Melihat mantan suaminya dikerjai beramai ramai seperti itu, Aurora mendadak ngilu. Dia membekap mulutnya dan memuntahkan isi perutnya ke westafel. "Hoek, hoek!" Seruan itu membuat Adam menyeringai. Dia mendekati Aurora, kemudian menggoda dengan jahil, "Udah hamil aja, Buk!" "Hamil gigimu itu!" "Terus kalau nggak hamil kenapa muntah-muntah terus? Dedek bayi udah tumbuh di sini, ya? Ugh, gemes!" Tawa Adam terdengar begitu ringan, namun Aurora bisa merasakan amarah yang mulai merayap dalam dirinya. Namun, ia menepis tangan Adam dengan kasar. "Kamu sengaja bawa aku ke tempat ini dan memperlihatkan semua yang dialami Samuel padaku?" suaranya penuh dengan kemarahan. Matanya yang tajam menatap Adam, tak berniat menyembunyikan perasaan kecewanya. Adam terkejut, sejenak menahan reaksi dari Aurora yang langsung memprotesnya. "Kamu kan yang minta?" jawabnya, mencoba mencari pembenaran. "Iya, tapi nggak gini juga kali!" Aurora merasa hatinya semakin hancur dengan apa yang baru saja
Aurora keluar dari ruangan dengan wajah kusut, pakaian terkoyak, dan tubuh yang remuk. Setiap langkahnya penuh dengan rasa sakit, baik fisik maupun emosional. Ia merasa seperti melangkah melalui kegelapan yang tak terhingga, ketakutan dan rasa cemas merasuki hatinya. Dengan penuh kebingungan, dia berlari, mencoba untuk melarikan diri dari kenyataan yang mengekangnya. Langkahnya terburu buru, namun tak bisa menghapuskan rasa tertekan yang mendalam.Namun baru saja ia beranjak, langkahnya terhenti begitu saja. Para pengawal yang berdiri tegak di depan pintu telah menghalangi jalan keluarnya, dan melihat wajah mereka yang dingin dan penuh kewaspadaan, ia langsung merasa ketakutan. Rasa cemasnya berubah menjadi ketegangan yang memuncak."Biarkan aku pergi, ku mohon!" Suaranya bergetar, penuh dengan permohonan yang mendalam. Aurora menundukkan kepala, mencoba untuk menyembunyikan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Di antara para pengawal yang tak bergerak, dia merasa seperti se
Aurora berjalan keluar dengan cepat dari rumah bordil yang penuh dengan bayang-bayang kelam. Jantungnya berdetak cepat, perasaan tertekan dan khawatir bercampur aduk dalam dirinya. Begitu melangkah masuk ke rumah Adam, suasana terasa semakin mencekam. Suara tangisan bayi, Alan Sky Walker, langsung menyambutnya begitu dia membuka pintu. Tanpa berpikir panjang, Aurora berlari menuju kamar bayi, hatinya berdebar. Alan, anaknya yang baru lahir, menangis keras. Mimik wajah Aurora langsung berubah, cemas dan penuh kekhawatiran. Tangisan bayi itu begitu menusuk, seakan memberitahunya bahwa ada yang tidak beres. Dengan cepat dia mendekat, meraih tubuh mungil Alan dan memeluknya erat. "Oh, Sayang? Kenapa kamu menangis, Sayang? Apa kamu lapar?" bisiknya dengan penuh kelembutan, mencoba menenangkan bayinya. Namun, begitu mendengar suara langkah kaki di belakangnya, dia sadar bahwa Adam baru saja memasuki ruangan itu.
“Apa kau yang menyembunyikan Samuel?” Raline mencoba untuk menanggapi, namun kata-kata yang keluar hanyalah sebuah desahan berat.Aurora menatapnya tanpa keraguan, lalu menjawab, “Bukan.” Jawaban itu sungguh jujur, tanpa ada sedikit pun kebohongan. Dia tak akan menutupi apapun yang berhubungan dengan pria yang dulu menjadi suaminya, pria yang telah menghancurkan hidupnya lebih dulu. Tidak ada alasan untuk berpura-pura.Raline terdiam. Dia tahu bahwa Aurora tidak berbohong, namun ada sesuatu yang mengganjal. Entah apa, tapi intuisi Raline mengatakan bahwa ada lebih banyak yang tersembunyi."Ah, bohong! Kau pasti tahu di mana dia!" Raline hampir berteriak, suara penuh kebencian, seakan menuntut sebuah jawaban yang ia anggap pasti ada."Aku tidak tahu sama sekali!""Bibir dan ekspresimu sangat bertolak belakang. Kau yakin tidak tahu, hm? Kau mau aku menurutimu, tapi kau tak.jujur padaku?""Apa yang harus ku katakan padamu?
"Aaargh!" Raline menjerit, kesakitan saat mobil itu berhasil menyerempet tubuhnya.Ia terjatuh ke aspal dengan tubuh yang terbanting keras. Asap dari ban mobil dan suara deru mesin masih terdengar di telinganya, namun rasa sakit yang menjalar di tubuhnya segera mengambil alih.Lututnya lecet, begitu juga dengan sikunya yang ikut tergores oleh aspal basah yang licin akibat hujan yang turun deras. Setiap tetes air yang jatuh dari langit menyentuh lukanya, membuat perihnya semakin terasa. Raline menahan napas, merasakan nyeri yang semakin menyengat.Hujan membasahi wajah dan tubuhnya, menciptakan rasa dingin yang tak terduga di tengah rasa panas yang menyebar akibat luka luka itu.Dengan gemetar, Raline berusaha bangkit, menahan rasa sakit yang menguasai seluruh tubuhnya. Ia melihat ke jalanan sepi itu, tempat yang seharusnya menjadi kenangan yang tak ingin diingat. "Tempat ini ... Ya, aku ingat. Pohon itu, pohon randu.
Aurora menangis dalam pelukan Adam, tubuhnya gemetar, seakan air mata itu melepaskan segala penyesalan dan beban yang menggerogoti dirinya. Setiap tetes air mata yang jatuh mengisyaratkan sebuah luka yang belum sembuh, meskipun dia telah mencoba untuk membalas semua yang telah terjadi padanya.Lelaki tampan yang telah menjadikan Aurora sebagai obsesinya itu mengusap punggung Aurora dengan lembut.Seolah dia sedang memberikan kenyamanan yang mungkin hanya bisa ia temukan dalam pelukan lelaki itu."Sudah ku katakan padamu. Sekali kau melakukan kejahatan, maka alam bawah sadarmu akan terus menggerogoti. Kau tahu konsekuensinya, jika kau akan kecanduan. Tapi, kau tak mendengarku, Aurora!" kata Adam dengan nada penuh penyesalan, namun juga ketegasan yang tak terbantahkan.Aurora menggigit bibir, menahan tangis yang semakin pecah. "Kau tak mengerti bagaimana sakitnya saat dia berbuat jahat padaku, Adam!" suaranya tersendat, penuh dengan keputu
Usai memperingatkan wanita yang tak dia kenal tadi, Evelyn kembali ke gedung perkantoran milik Adam.Di sana, para security yang sudah mengetahui sosok Evelyn pun segera mempersilakan wanita itu masuk. Evelyn memasuki gedung dengan langkah penuh tekad. Sejak beberapa waktu lalu, hubungannya dengan Adam, mantan suaminya, semakin memburuk. Nomor ponselnya diblokir, dan upaya untuk menghubunginya melalui media sosial selalu berakhir sia sia. Hatinya diliputi rasa rindu yang dalam terhadap Alan, anak mereka yang sejak ia sibuk mengejar karier di Paris, terabaikan. Kini, dia harus menemui Adam, apapun yang terjadi. Karena saat dia mencoba menuju ke perumahan Adam, di sana dia tak diijinkan masuk oleh penjaga gerbang.Begitu sampai di meja resepsionis, Evelyn langsung bertanya dengan nada sedikit terburu buru. "Aku ingin bertemu Adam. Di mana dia? Apa dia ada di kantor?""Ada, Miss," sahutnya singkat. Resepsionis yang sedang sibuk mengetik di komputernya menoleh sebentar, tampak bingung
Adam sedang duduk santai di ruang keluarga bersama kekasihnya, Aurora, dan anaknya yang masih kecil, Alan. Keheningan mereka tiba-tiba terganggu oleh kedatangan seorang pembantu yang memberitahukan bahwa Evelyn, mantan istri Adam, ada di luar rumah."Tuan, di luar ada Nona Evelyn. Tadi, dia mengelabuhi petugas keamanan di gerbang sana dan berdalih Tuan Muda Kecil Alan sakit," ujar pembantu itu dengan cemas.Evelyn. Nama yang bisa membuat hati Adam bergejolak. Sebelumnya, mereka pernah berpisah dalam keadaan yang sulit, namun dia tak pernah benar-benar melupakan wanita itu. Segala perasaan yang tertahan kini kembali menghampiri Adam begitu mendengar nama Evelyn."Dia datang? Untuk apa?" tanya Adam dengan ekspresi yang sulit dibaca, langsung berdiri dari kursinya."Ya, Tuan Muda. Saya tidak tahu. Mungkin ingin bertemu Tuan Kecil Alan. Apa ... saya perlu mempersilakan dia masuk?" pembantu itu bertanya lagi dengan ragu.Saat itu, Adam menggelengkan kepala. "Tidak usah, aku akan menemui
"F*ckk, Adam!" Janda muda itu berteriak histeris saat gelombang kenikmatan lain mengalir melalui dirinya yang menyebabkan orgasme kelimanya meledak malam itu.Di atas ranjang, Adam dan Aurora larut dalam gelora tak tertahankan.Adam menempelkan tangannya ke kepala Aurora saat dia terus menerus menghantam vagi-nanya. Mereka menyukainya dengan kasar dan siapa dia yang bisa mengeluh?Kaki Aurora melilit pinggang pria itu sambil menundukkan kepalanya dengan sembrono. Matanya berputar ke belakang kepala saat merasakan gelombang orgasme keenamnya malam itu."Oooh, Adam!""Kau suka, kan?" Adam menyeringai. Dia mencabut dengan kasar kemaluannya dari vagina wanita itu dan mengganti kemaluannya dengan jari-jarinya sambil menghunjamkannya lebih dalam dan lebih cepat.Menggali ke dalam dagingnya yang hangat dan panas serta menghantam ke dalam vagina wanita itu yang sudah basah kuyup."Ouh, ouh! Adam, st
Di bawah langit sore yang memerah, Adam duduk di sudut sebuah tempat tersembunyi di Ubud, dikelilingi oleh Moreno, George, dan Frans. Suasana di sekitar mereka tenang, hanya sesekali terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Adam, yang masih merasa cemas, menghisap pelan cerutunya, sambil menatap kosong ke arah langit yang perlahan menggelap.Dengan senyum sarkastik yang terukir di bibirnya, Moreno menatap Adam penuh tanda tanya. "Hei, kau ini mantan mafia. Kenapa kau takut kinerja kami melambat? Apa yang kau takutkan?" tanyanya, suaranya santai namun mengandung sindiran tajam. Asap cerutu itu melayang ke udara, menambah kesan angkuh pada sosok Moreno.Kala itu, Adam tak segera menjawab. Ia memutar gelas berisi alkohol di tangannya, menatap cairan keemasan itu sejenak sebelum meneguknya perlahan. "Kau tak tahu saja," gumamnya, suaranya serak. "Jika semua bisa saja berubah. Si Samuel sialan itu meninggalkan wasiat untuk Auror
"Tuan Muda, ada kabar mengejutkan. Lelaki yang menabrakkan diri di rel kereta kemarin malam adalah orang yang kita cari, Samuel."Kata kata itu seperti petir yang menyambar sesaat setelah Adam bangun. Adam terdiam sejenak, matanya yang tajam menyiratkan kekhawatiran meskipun ia berusaha tetap tenang. Pikirannya berputar, mencoba mencerna informasi itu."Apa? Kau yakin itu dia?""Ya. 500 meter dari tempat dia tewas, ada sebuah surat, pakaian celana dan kaos, juga ponsel. Dia juga menyebutkan alamat.""Sial!" Adam menggeram, ekspresinya berubah seketika. "Ini bisa menjadi masalah besar.""Bagaimana ini, Tuan? Kalau sampai dia diautopsi, dan kita—""Kau tak perlu khawatir. Kita bekerja dengan baik, dan jejak semuanya bersih. Oke, tak masalah. Kau tangani masalah ini. Aku, Baby Alan dan Aurora akan segera ke Paris. Jika tidak, dia dalam bahaya karena jejaknya sebagai mantan istri akan terlacak.""Baik, Tuan."Suara
Usai dari rumah sakit, siang itu, Samuel berjalan gontai, langkahnya terseok seok di sepanjang trotoar yang sepi, seperti jiwa yang kehilangan arah. Aspal panas di bawah kakinya tak mampu menghangatkan tubuh yang terasa kaku dan beku. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa fokus, seolah segala sesuatu di sekitarnya tidak lagi relevan. Dunia di sekitar terasa kabur, bising, dan asing, seperti suara suara yang tidak bisa ia dengar. Kebingungannya semakin dalam, seolah setiap langkah hanya semakin menjauhkan dia dari jalan yang benar.Tanpa rencana, tanpa tujuan, Samuel berhenti di sebuah toko dan membeli kertas juga pulpen. Tangannya gemetar ketika ia membuka kertas itu dan mulai menulis. Di sebuah taman yang sepi, dengan suara dedaunan berdesir tertiup angin, ia menulis pesan pesan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Di atas kertas itu, ia menuangkan kata kata yang tidak bisa ia ungkapkan secara langsung— sebua
Usai bertemu dengan Adam dan diberikan obat peluruh janin, wanita ini begitu sunringah. Apalagi saat dirinya dibawa ke sebuah bangunan apartemen, dia begitu bahagia."Hm, apa dia akan memberikanku apartemen dan seisinya? Jika iya, itu bagus sekali. Dan jika tidak, maka aku akan menghancurkannya!"Raline melangkah ke dalam apartemen mewah yang dipandu oleh anak buah Adam. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, seolah-olah ia memasuki dunia yang baru, dunia yang berbeda dari apa yang biasa ia kenal. Dan begitu ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada luasnya ruangan yang terbuka di depannya.Apartemen itu tidak hanya besar, tetapi juga dihiasi dengan furnitur modern yang terlihat sangat mahal."Wow, ini bagus." Anak matanya berpendar. Dinding dindingnya dicat dengan warna netral yang memberi kesan elegan dan nyaman, sementara jendela besar menawarkan pemandangan kota yang memukau di luar. Raline memandang ke se
Dengan wajah cemas, Adam membawa Raline langsung menuju klinik yang dikelola oleh temannya. Wanita itu dengan gamang mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat namun penuh harapan. Tak lama setelahnya, mobil yang dikendarai anak buah Adam tiba di klinik dengan cepat. Adam langsung menuju ruang periksa, meminta seorang wanita bernama Dona, yang adalah dokter kandungan rekannya juga, untuk segera memeriksa kondisi Aurora.Setelah beberapa menit, Dona mengajak mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Aurora terbaring di atas tempat tidur periksa, terlihat sedikit gelisah meski berusaha tetap tenang. Dona yang sudah mempersiapkan peralatan medisnya, mulai melakukan pemeriksaan dengan penuh ketelitian. Dia meminta Adam keluar, karena tahu jika Adam bukanlah suami Raline.Beberapa saat kemudian, Dona keluar dari ruang pemeriksaan dengan ekspresi serius. Langkahnya terhenti di depan Adam dan Raline, wajahnya tak menunjukkan tanda tanda optimi
"Apa? Lo hamil?" Adam terdiam, tatapannya kosong sejenak, seolah mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Raline. Dia tercenung dan memperhatikan perut Rakine yang emang sih agak cembung. Dan dia sama sekali gak nyangka kalo hal itu akan terjadi.Suasana di sekitarnya terasa hening, hanya detak jantungnya yang bergema di telinga. Kata-kata itu, tajam dan menusuk, meluncur deras seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan.Raline berdiri di hadapannya, tubuhnya gemetar, wajahnya terpelintir antara marah dan putus asa. Matanya yang merah karena tangisan menatap langsung ke arah Adam, seolah ingin menuntut pertanggungjawaban atas segala kekacauan yang terjadi. Lalu, dengan mengangkat dagu tinggi, Raline berkata, "Ya, gue hamil!" Suaranya meninggi, dipenuhi emosi yang meluap.Tak lama setelah itu, dia mengetuk dada Adam dengan air mata berderai. Namun, tak ada tangis di sana sama sekali."Gara gara l
Kata orang, menangis adalah cara kita melepaskan segala sesak dalam hati. Begitu pula dengan Aurora siang itu. Di tengah desakan ketakutan yang menyelubungi dirinya, ketika bertemu Adam, pelukannya begitu erat, seolah ingin memastikan dirinya tak akan lepas. Air matanya tumpah, tak bisa lagi dibendung."Tenanglah, kau sudah aman," bisik Adam dengan lembut, mencoba menenangkan kekasihnya yang masih terisak. Dia tahu betul, siang ini, Aurora baru saja melewati mimpi buruk yang mengerikan. Dia sebagai seorang kekasih tentu tak akan membiarkan hal ini berlarut larut.Pelukan Aurora perlahan merenggang, namun hatinya masih kacau. Adam berpaling sejenak, melihat Baby Alan yang tampak resah di pelukan Aurora. Dengan gerakan cepat, dia meraih si kecil dari pelukan Aurora. "Sini, biar aku yang menggendong," ujarnya lembut.Aurora mengangguk tanpa kata. Dia merasakan sedikit kelegaan saat bayi itu berada dalam pelukan Adam. Se
Dor! Dor!Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan malam yang semakin mencekam. Santos dan Jerry yang sudah berada di dalam mobil, merasakan getaran hebat dari peluru yang menghantam tubuh kendaraan.Meski telah melakukan manuver zig-zag, mereka tahu, ancaman semakin dekat.Akhirnya, setelah berlari sejauh ini, mereka tiba di tempat yang mereka tuju— lokasi sepi yang dipilih Jerry untuk menghadapi musuh. Namun, sialnya, kecepatan mobil yang terlalu tinggi dan kondisi ban yang mulai kempes karena ditembaki, membuat mobil mereka oleng. Sangat sulit dikendalikan hingga memaksa mereka harus turun dengan segera."Bahaya! Kita harus berhenti!" teriak Santos, melihat ban depan mobil yang sudah kempes."Siap, aku mengurangi kecepatan!" seru Jerry, namun telat. Dengan ketegangan yang semakin memuncak, mobil itu mulai tergelincir, meluncur tak terkendali di jalanan yang sempit dan sepi."Turun!" perintah Jer