"Aaargh!" Raline menjerit, kesakitan saat mobil itu berhasil menyerempet tubuhnya.
Ia terjatuh ke aspal dengan tubuh yang terbanting keras. Asap dari ban mobil dan suara deru mesin masih terdengar di telinganya, namun rasa sakit yang menjalar di tubuhnya segera mengambil alih.Lututnya lecet, begitu juga dengan sikunya yang ikut tergores oleh aspal basah yang licin akibat hujan yang turun deras.Setiap tetes air yang jatuh dari langit menyentuh lukanya, membuat perihnya semakin terasa. Raline menahan napas, merasakan nyeri yang semakin menyengat.Hujan membasahi wajah dan tubuhnya, menciptakan rasa dingin yang tak terduga di tengah rasa panas yang menyebar akibat luka luka itu.Dengan gemetar, Raline berusaha bangkit, menahan rasa sakit yang menguasai seluruh tubuhnya.Ia melihat ke jalanan sepi itu, tempat yang seharusnya menjadi kenangan yang tak ingin diingat."Tempat ini ... Ya, aku ingat. Pohon itu, pohon randu.Aurora menangis dalam pelukan Adam, tubuhnya gemetar, seakan air mata itu melepaskan segala penyesalan dan beban yang menggerogoti dirinya. Setiap tetes air mata yang jatuh mengisyaratkan sebuah luka yang belum sembuh, meskipun dia telah mencoba untuk membalas semua yang telah terjadi padanya.Lelaki tampan yang telah menjadikan Aurora sebagai obsesinya itu mengusap punggung Aurora dengan lembut.Seolah dia sedang memberikan kenyamanan yang mungkin hanya bisa ia temukan dalam pelukan lelaki itu."Sudah ku katakan padamu. Sekali kau melakukan kejahatan, maka alam bawah sadarmu akan terus menggerogoti. Kau tahu konsekuensinya, jika kau akan kecanduan. Tapi, kau tak mendengarku, Aurora!" kata Adam dengan nada penuh penyesalan, namun juga ketegasan yang tak terbantahkan.Aurora menggigit bibir, menahan tangis yang semakin pecah. "Kau tak mengerti bagaimana sakitnya saat dia berbuat jahat padaku, Adam!" suaranya tersendat, penuh dengan keputu
Usai memperingatkan wanita yang tak dia kenal tadi, Evelyn kembali ke gedung perkantoran milik Adam.Di sana, para security yang sudah mengetahui sosok Evelyn pun segera mempersilakan wanita itu masuk. Evelyn memasuki gedung dengan langkah penuh tekad. Sejak beberapa waktu lalu, hubungannya dengan Adam, mantan suaminya, semakin memburuk. Nomor ponselnya diblokir, dan upaya untuk menghubunginya melalui media sosial selalu berakhir sia sia. Hatinya diliputi rasa rindu yang dalam terhadap Alan, anak mereka yang sejak ia sibuk mengejar karier di Paris, terabaikan. Kini, dia harus menemui Adam, apapun yang terjadi. Karena saat dia mencoba menuju ke perumahan Adam, di sana dia tak diijinkan masuk oleh penjaga gerbang.Begitu sampai di meja resepsionis, Evelyn langsung bertanya dengan nada sedikit terburu buru. "Aku ingin bertemu Adam. Di mana dia? Apa dia ada di kantor?""Ada, Miss," sahutnya singkat. Resepsionis yang sedang sibuk mengetik di komputernya menoleh sebentar, tampak bingung
Adam sedang duduk santai di ruang keluarga bersama kekasihnya, Aurora, dan anaknya yang masih kecil, Alan. Keheningan mereka tiba-tiba terganggu oleh kedatangan seorang pembantu yang memberitahukan bahwa Evelyn, mantan istri Adam, ada di luar rumah."Tuan, di luar ada Nona Evelyn. Tadi, dia mengelabuhi petugas keamanan di gerbang sana dan berdalih Tuan Muda Kecil Alan sakit," ujar pembantu itu dengan cemas.Evelyn. Nama yang bisa membuat hati Adam bergejolak. Sebelumnya, mereka pernah berpisah dalam keadaan yang sulit, namun dia tak pernah benar-benar melupakan wanita itu. Segala perasaan yang tertahan kini kembali menghampiri Adam begitu mendengar nama Evelyn."Dia datang? Untuk apa?" tanya Adam dengan ekspresi yang sulit dibaca, langsung berdiri dari kursinya."Ya, Tuan Muda. Saya tidak tahu. Mungkin ingin bertemu Tuan Kecil Alan. Apa ... saya perlu mempersilakan dia masuk?" pembantu itu bertanya lagi dengan ragu.Saat itu, Adam menggelengkan kepala. "Tidak usah, aku akan menemui
"Adam, Adam! Ku mohon, jangan pergi! Aku ke sini cuma mau bilang sama kamu, aku ambil kontrak satu tahun. Dan ini sudah hampir finish. Jadi, ayolah kita kembali. Aku rindu kamu dan Alan. Ku mohon!" Evelyn memegangi kaki adam dan pria itu menahan napas saat mantan istrinya bersikeras ingin kembali. Kemudian, Adam dia hanya geming dan tak menyahut apa pun. Kala itu, dirinya melirik Evelyn yang masih menangis tersedu. Dan Adam teringat saat di mana Evelyn memilih pergi setelah melahirkan Alan secara normal. "Ku mohon, bertahanlah. Uangku masih sangat cukup jika hanya menghidupimu dan Alan Sky, Ev. Satu kali ini saja, aku memohon padamu. Tinggallah bersama kami," kata Adam memohon. Dan pada saat yang sama, Evelyn menoleh pada Adam dengan tatapan enggan, "Kau tahu, memiliki Alan adalah kesalahan terbesarku." Sontak, Adam tercekat akan hal itu. "Ev—" "Kau yang membuatku hamil! Dari dulu, kita berhubungan hanya sebatas
"Dam, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Ku mohon, sekali saja. Beri aku kesempatan kedua," ucap Evelyn, suaranya tercekat oleh tangisan yang begitu dalam. Tubuhnya terhuyung lemah, jatuh di atas paving block yang dingin itu, seakan seluruh dunia menyeretnya ke dalam kehancuran. Air mata mengalir tanpa henti, mengaburkan pandangannya. Wajahnya yang dulu penuh kebanggaan kini dipenuhi rasa malu dan penyesalan. Ia merasa begitu bodoh, sebab telah menyia nyiakan Adam dan Alan Sky, anak yang ia tinggalkan begitu saja tanpa belas kasih. Dan kini, ketika ia ingin kembali, sang mantan suami justru berpaling darinya, tak mau sedikit pun melirik dirinya yang mengiba.Sedangkan Adam yang hendak pergi, langkahnya sudah hampir meninggalkan Evelyn di dekat pos satpam, tiba tiba berhenti. Tanpa suara, dia menoleh, matanya menangkap sosok wanita yang tadi bersimpuh di tanah. Ada kesedihan mendalam dalam tatapannya, namun lebih dari itu
Langit malam itu seolah terbelah oleh kilatan petir yang memancar tajam, menyambar udara dengan suara gemuruh yang membuat tanah bergetar. Dalam gelapnya, langit seakan menggantung, terbungkus awan hitam pekat yang mengancam. Suara guntur yang datang begitu cepat, membuat getaran di dada Adam semakin menguasai dirinya.Di ruang yang sempit, lampu-lampu redup seakan tak sanggup menerangi kegelisahannya. Hanya ada satu titik yang tetap bercahaya— sebuah botol wine yang terbuka, tergeletak di atas meja kayu. Tanpa memedulikan aroma tajam yang menyergap hidung, Adam menyambar gelas kristal, menuangkannya dengan tangan gemetar.Wine itu turun ke dalam gelas, warnanya merah pekat, menciptakan lingkaran yang terus berputar di permukaan kaca, seolah mengikuti irama pikirannya yang kacau. Tangannya masih terbungkuk, lelah menahan perasaan yang tak mampu ia tahan. Dengan satu teguk, wine itu menelan sakitnya, namun tak sediki
Setelah Aurora membalut luka adam dengan kain kasa dan mengolesinya dengan antiseptik agar tak infeksi, kini dia kembali memeluk sang CEO.Pada saat yang sama, Adam meremas tubuh Aurora lebih erat, seolah berharap kehangatan yang diberikan bisa meredakan setiap getaran emosinya yang tak kunjung reda. Tangannya yang terluka masih terasa sakit, tapi itu bukan lagi hal utama yang ia rasakan— perasaan hatinya jauh lebih menyakitkan.“Kau tahu, dia dulu pergi, meninggalkan aku dan Alan, sendirian. Aku seperti orang bodoh yang meratapi nasib karena wanita sialan itu,” ucap Adam dengan suara serak. Kata katanya seperti tertahan di tenggorokan, seolah setiap kalimat yang keluar dari bibirnya membebani dadanya. "Saat aku down, menangisi kepergiannya, dia tak peduli. Dia mengabaikan kami. Dia bersenang senang ke sana kemari tanpa mempedulikan aku yang merana."Dengan hati bergetar, Aurora mendengarkan dengan seksama, tetap diam dengan telapak tan
"Mengapa aku harus membayangkan orang lain saat bersamamu? Justru, aku membayangkan dirimu, dan selalu menginginkanmu."Telapak tangan lebar Adam membingkai pinggang Aurora dengan lembut, namun penuh keyakinan. Ah, Ada kedekatan yang begitu nyata di antara mereka, meskipun terkadang kata-kata Adam datang begitu mendalam dan penuh makna. Kemudian, ia mengusap perlahan perut Aurora yang masih datar, menandakan harapannya yang tersembunyi."Bahkan aku ingin adiknya Alan Sky tumbuh di sini," lanjut Adam dengan suara yang penuh kehangatan.Namun, juga memberi kesan bahwa itu lebih dari sekadar angan-angan. Itu adalah sebuah keinginan yang tumbuh di dalam hatinya, seolah dunia kecil mereka hanya milik berdua.Sedangkan Aurora yang semula terbuai dengan sentuhan itu, seketika merasa dunia mereka tiba tiba berputar terlalu cepat. Dalam sepersekian detik setelah Adam berbhcara demikian, dia melepaskan diri dari pelukan Adam de
"F*ckk, Adam!" Janda muda itu berteriak histeris saat gelombang kenikmatan lain mengalir melalui dirinya yang menyebabkan orgasme kelimanya meledak malam itu.Di atas ranjang, Adam dan Aurora larut dalam gelora tak tertahankan.Adam menempelkan tangannya ke kepala Aurora saat dia terus menerus menghantam vagi-nanya. Mereka menyukainya dengan kasar dan siapa dia yang bisa mengeluh?Kaki Aurora melilit pinggang pria itu sambil menundukkan kepalanya dengan sembrono. Matanya berputar ke belakang kepala saat merasakan gelombang orgasme keenamnya malam itu."Oooh, Adam!""Kau suka, kan?" Adam menyeringai. Dia mencabut dengan kasar kemaluannya dari vagina wanita itu dan mengganti kemaluannya dengan jari-jarinya sambil menghunjamkannya lebih dalam dan lebih cepat.Menggali ke dalam dagingnya yang hangat dan panas serta menghantam ke dalam vagina wanita itu yang sudah basah kuyup."Ouh, ouh! Adam, st
Di bawah langit sore yang memerah, Adam duduk di sudut sebuah tempat tersembunyi di Ubud, dikelilingi oleh Moreno, George, dan Frans. Suasana di sekitar mereka tenang, hanya sesekali terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Adam, yang masih merasa cemas, menghisap pelan cerutunya, sambil menatap kosong ke arah langit yang perlahan menggelap.Dengan senyum sarkastik yang terukir di bibirnya, Moreno menatap Adam penuh tanda tanya. "Hei, kau ini mantan mafia. Kenapa kau takut kinerja kami melambat? Apa yang kau takutkan?" tanyanya, suaranya santai namun mengandung sindiran tajam. Asap cerutu itu melayang ke udara, menambah kesan angkuh pada sosok Moreno.Kala itu, Adam tak segera menjawab. Ia memutar gelas berisi alkohol di tangannya, menatap cairan keemasan itu sejenak sebelum meneguknya perlahan. "Kau tak tahu saja," gumamnya, suaranya serak. "Jika semua bisa saja berubah. Si Samuel sialan itu meninggalkan wasiat untuk Auror
"Tuan Muda, ada kabar mengejutkan. Lelaki yang menabrakkan diri di rel kereta kemarin malam adalah orang yang kita cari, Samuel."Kata kata itu seperti petir yang menyambar sesaat setelah Adam bangun. Adam terdiam sejenak, matanya yang tajam menyiratkan kekhawatiran meskipun ia berusaha tetap tenang. Pikirannya berputar, mencoba mencerna informasi itu."Apa? Kau yakin itu dia?""Ya. 500 meter dari tempat dia tewas, ada sebuah surat, pakaian celana dan kaos, juga ponsel. Dia juga menyebutkan alamat.""Sial!" Adam menggeram, ekspresinya berubah seketika. "Ini bisa menjadi masalah besar.""Bagaimana ini, Tuan? Kalau sampai dia diautopsi, dan kita—""Kau tak perlu khawatir. Kita bekerja dengan baik, dan jejak semuanya bersih. Oke, tak masalah. Kau tangani masalah ini. Aku, Baby Alan dan Aurora akan segera ke Paris. Jika tidak, dia dalam bahaya karena jejaknya sebagai mantan istri akan terlacak.""Baik, Tuan."Suara
Usai dari rumah sakit, siang itu, Samuel berjalan gontai, langkahnya terseok seok di sepanjang trotoar yang sepi, seperti jiwa yang kehilangan arah. Aspal panas di bawah kakinya tak mampu menghangatkan tubuh yang terasa kaku dan beku. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa fokus, seolah segala sesuatu di sekitarnya tidak lagi relevan. Dunia di sekitar terasa kabur, bising, dan asing, seperti suara suara yang tidak bisa ia dengar. Kebingungannya semakin dalam, seolah setiap langkah hanya semakin menjauhkan dia dari jalan yang benar.Tanpa rencana, tanpa tujuan, Samuel berhenti di sebuah toko dan membeli kertas juga pulpen. Tangannya gemetar ketika ia membuka kertas itu dan mulai menulis. Di sebuah taman yang sepi, dengan suara dedaunan berdesir tertiup angin, ia menulis pesan pesan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Di atas kertas itu, ia menuangkan kata kata yang tidak bisa ia ungkapkan secara langsung— sebua
Usai bertemu dengan Adam dan diberikan obat peluruh janin, wanita ini begitu sunringah. Apalagi saat dirinya dibawa ke sebuah bangunan apartemen, dia begitu bahagia."Hm, apa dia akan memberikanku apartemen dan seisinya? Jika iya, itu bagus sekali. Dan jika tidak, maka aku akan menghancurkannya!"Raline melangkah ke dalam apartemen mewah yang dipandu oleh anak buah Adam. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, seolah-olah ia memasuki dunia yang baru, dunia yang berbeda dari apa yang biasa ia kenal. Dan begitu ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada luasnya ruangan yang terbuka di depannya.Apartemen itu tidak hanya besar, tetapi juga dihiasi dengan furnitur modern yang terlihat sangat mahal."Wow, ini bagus." Anak matanya berpendar. Dinding dindingnya dicat dengan warna netral yang memberi kesan elegan dan nyaman, sementara jendela besar menawarkan pemandangan kota yang memukau di luar. Raline memandang ke se
Dengan wajah cemas, Adam membawa Raline langsung menuju klinik yang dikelola oleh temannya. Wanita itu dengan gamang mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat namun penuh harapan. Tak lama setelahnya, mobil yang dikendarai anak buah Adam tiba di klinik dengan cepat. Adam langsung menuju ruang periksa, meminta seorang wanita bernama Dona, yang adalah dokter kandungan rekannya juga, untuk segera memeriksa kondisi Aurora.Setelah beberapa menit, Dona mengajak mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Aurora terbaring di atas tempat tidur periksa, terlihat sedikit gelisah meski berusaha tetap tenang. Dona yang sudah mempersiapkan peralatan medisnya, mulai melakukan pemeriksaan dengan penuh ketelitian. Dia meminta Adam keluar, karena tahu jika Adam bukanlah suami Raline.Beberapa saat kemudian, Dona keluar dari ruang pemeriksaan dengan ekspresi serius. Langkahnya terhenti di depan Adam dan Raline, wajahnya tak menunjukkan tanda tanda optimi
"Apa? Lo hamil?" Adam terdiam, tatapannya kosong sejenak, seolah mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Raline. Dia tercenung dan memperhatikan perut Rakine yang emang sih agak cembung. Dan dia sama sekali gak nyangka kalo hal itu akan terjadi.Suasana di sekitarnya terasa hening, hanya detak jantungnya yang bergema di telinga. Kata-kata itu, tajam dan menusuk, meluncur deras seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan.Raline berdiri di hadapannya, tubuhnya gemetar, wajahnya terpelintir antara marah dan putus asa. Matanya yang merah karena tangisan menatap langsung ke arah Adam, seolah ingin menuntut pertanggungjawaban atas segala kekacauan yang terjadi. Lalu, dengan mengangkat dagu tinggi, Raline berkata, "Ya, gue hamil!" Suaranya meninggi, dipenuhi emosi yang meluap.Tak lama setelah itu, dia mengetuk dada Adam dengan air mata berderai. Namun, tak ada tangis di sana sama sekali."Gara gara l
Kata orang, menangis adalah cara kita melepaskan segala sesak dalam hati. Begitu pula dengan Aurora siang itu. Di tengah desakan ketakutan yang menyelubungi dirinya, ketika bertemu Adam, pelukannya begitu erat, seolah ingin memastikan dirinya tak akan lepas. Air matanya tumpah, tak bisa lagi dibendung."Tenanglah, kau sudah aman," bisik Adam dengan lembut, mencoba menenangkan kekasihnya yang masih terisak. Dia tahu betul, siang ini, Aurora baru saja melewati mimpi buruk yang mengerikan. Dia sebagai seorang kekasih tentu tak akan membiarkan hal ini berlarut larut.Pelukan Aurora perlahan merenggang, namun hatinya masih kacau. Adam berpaling sejenak, melihat Baby Alan yang tampak resah di pelukan Aurora. Dengan gerakan cepat, dia meraih si kecil dari pelukan Aurora. "Sini, biar aku yang menggendong," ujarnya lembut.Aurora mengangguk tanpa kata. Dia merasakan sedikit kelegaan saat bayi itu berada dalam pelukan Adam. Se
Dor! Dor!Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan malam yang semakin mencekam. Santos dan Jerry yang sudah berada di dalam mobil, merasakan getaran hebat dari peluru yang menghantam tubuh kendaraan.Meski telah melakukan manuver zig-zag, mereka tahu, ancaman semakin dekat.Akhirnya, setelah berlari sejauh ini, mereka tiba di tempat yang mereka tuju— lokasi sepi yang dipilih Jerry untuk menghadapi musuh. Namun, sialnya, kecepatan mobil yang terlalu tinggi dan kondisi ban yang mulai kempes karena ditembaki, membuat mobil mereka oleng. Sangat sulit dikendalikan hingga memaksa mereka harus turun dengan segera."Bahaya! Kita harus berhenti!" teriak Santos, melihat ban depan mobil yang sudah kempes."Siap, aku mengurangi kecepatan!" seru Jerry, namun telat. Dengan ketegangan yang semakin memuncak, mobil itu mulai tergelincir, meluncur tak terkendali di jalanan yang sempit dan sepi."Turun!" perintah Jer