Langit malam itu seolah terbelah oleh kilatan petir yang memancar tajam, menyambar udara dengan suara gemuruh yang membuat tanah bergetar.
Dalam gelapnya, langit seakan menggantung, terbungkus awan hitam pekat yang mengancam.Suara guntur yang datang begitu cepat, membuat getaran di dada Adam semakin menguasai dirinya.Di ruang yang sempit, lampu-lampu redup seakan tak sanggup menerangi kegelisahannya.Hanya ada satu titik yang tetap bercahaya— sebuah botol wine yang terbuka, tergeletak di atas meja kayu.Tanpa memedulikan aroma tajam yang menyergap hidung, Adam menyambar gelas kristal, menuangkannya dengan tangan gemetar.Wine itu turun ke dalam gelas, warnanya merah pekat, menciptakan lingkaran yang terus berputar di permukaan kaca, seolah mengikuti irama pikirannya yang kacau.Tangannya masih terbungkuk, lelah menahan perasaan yang tak mampu ia tahan. Dengan satu teguk, wine itu menelan sakitnya, namun tak sedikiSetelah Aurora membalut luka adam dengan kain kasa dan mengolesinya dengan antiseptik agar tak infeksi, kini dia kembali memeluk sang CEO.Pada saat yang sama, Adam meremas tubuh Aurora lebih erat, seolah berharap kehangatan yang diberikan bisa meredakan setiap getaran emosinya yang tak kunjung reda. Tangannya yang terluka masih terasa sakit, tapi itu bukan lagi hal utama yang ia rasakan— perasaan hatinya jauh lebih menyakitkan.“Kau tahu, dia dulu pergi, meninggalkan aku dan Alan, sendirian. Aku seperti orang bodoh yang meratapi nasib karena wanita sialan itu,” ucap Adam dengan suara serak. Kata katanya seperti tertahan di tenggorokan, seolah setiap kalimat yang keluar dari bibirnya membebani dadanya. "Saat aku down, menangisi kepergiannya, dia tak peduli. Dia mengabaikan kami. Dia bersenang senang ke sana kemari tanpa mempedulikan aku yang merana."Dengan hati bergetar, Aurora mendengarkan dengan seksama, tetap diam dengan telapak tan
"Mengapa aku harus membayangkan orang lain saat bersamamu? Justru, aku membayangkan dirimu, dan selalu menginginkanmu."Telapak tangan lebar Adam membingkai pinggang Aurora dengan lembut, namun penuh keyakinan. Ah, Ada kedekatan yang begitu nyata di antara mereka, meskipun terkadang kata-kata Adam datang begitu mendalam dan penuh makna. Kemudian, ia mengusap perlahan perut Aurora yang masih datar, menandakan harapannya yang tersembunyi."Bahkan aku ingin adiknya Alan Sky tumbuh di sini," lanjut Adam dengan suara yang penuh kehangatan.Namun, juga memberi kesan bahwa itu lebih dari sekadar angan-angan. Itu adalah sebuah keinginan yang tumbuh di dalam hatinya, seolah dunia kecil mereka hanya milik berdua.Sedangkan Aurora yang semula terbuai dengan sentuhan itu, seketika merasa dunia mereka tiba tiba berputar terlalu cepat. Dalam sepersekian detik setelah Adam berbhcara demikian, dia melepaskan diri dari pelukan Adam de
"Kenapa?" tanya Adam ketika sang anak buah menghubunginya tengah malam begini.Aurora menatap Adam, merasa ada yang tak beres saat dia mendengar nada cemas dalam suara Adam. "Ada apa ini?" tanya Aurira dalam hati."Tuan Muda, Samuel kabur. Dia mengelabuhi petugas rumah sakit jiwa dengan keracunan cairan pembersih lantai. Tapi saat dibawa pergi oleh ambulans, dia kabur dan melukai petugas ambulans.""Apa? What the hell?" Adam tersentak, dan seketika tubuhnya terasa kaku. Kata kata itu datang begitu cepat, seolah olah sebuah badai yang menghantam. Sungguh, dia telah memperketat keamanan dan tak mungkin samuel kabur begitu saja.Murka? Tentu saja! Orang orangnya adalah orang orang terbaik yang dia pilih menjadi tim keamanan. Tentunya mereka tidak akan membiarkan Samuel pergi begitu saja.Dalam hatinya, Adam tentu saja bertanya tanya Apakah ada penghianatan? Atau, ada orang-orangnya yang bekerjasama dengan Samuel demi memuluskan ren
Pagi sudah tiba, sorot Sinar sang mentari baru saja menampakkan diri ke atas Cakrawala. Namun Adam sengaja mengingkari janjinya pada Aurora. Alih alih pulang ke rumah, dia langsung menuju kantornya dengan tujuan yang lebih mendalam. Dia tidak mau membawa kemarahannya sampai ke rumah.Setelah mengatur beberapa hal, semalam dia menghubungi sahabat sahabatnya yang ada di Bali dan Lombok, meminta mereka untuk segera datang. Mereka adalah Moreno, George, dan Frans —tiga orang yang pernah terlibat dalam dunia mafia bersama Adam, tetapi kini mereka telah bertaubat. Mereka tahu betul bahwa jika Adam meminta bantuan, itu berarti ada sesuatu yang sangat serius.Ketiganya datang dengan cepat saat waktu menunjukkan pukul 07. 00 pagi, meskipun ada sedikit tawa di antara mereka saat mereka memasuki ruang kantor Adam. Moreno, si pecandu alkohol yang tak bisa lepas dari gelas wine, duduk dengan santai, memutar gelasnya sebelum akhirnya berta
Aurora menatap Adam dengan tatapan tajam, matanya penuh pertanyaan. "Kau dari mana? Kemarin tidak pulang?" suaranya datar, namun penuh makna. Di balik tatapannya yang tajam, ada kecemasan yang tidak bisa dia sembunyikan.Adam, yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk, hanya menghela napas panjang. Sebagai seorang CEO, dia terbiasa dengan tekanan dan pekerjaan yang terus menerus. Namun, kali ini hatinya terasa lebih berat. Meski hari itu dia sudah menyelesaikan tumpukan tugas, rasa gelisahnya masih ada."Maafkan aku," kata Adam, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Pekerjaanku di kantor menumpuk. Bisa beri aku pelukan sebentar?" permintaannya sederhana, namun penuh harapan.Kini, Aurora yang sedang menggendong Adam, melihatnya dengan tatapan yang campur aduk. Tanpa berkata apa apa, dia mengangguk. "Kemarilah!" jawabnya, membuka pelukan untuk Adam.Dengan penuh kehangatan, mereka berpelukan meski tubuh Aurora hanya setinggi dada Adam. Di ambang pintu, mereka berdiri be
Malam itu, Evelyn terbaring di lantai dengan tubuh yang lemah. Cambukan yang mendarat di kulitnya meninggalkan bekas merah yang jelas terlihat di lengan dan betisnya.Luka itu bukan hanya fisik, tapi juga menunjukkan betapa kerasnya konsekuensi dari setiap pilihan yang ia buat.Dia terengah, napasnya terputus-putus. Tetesan darah mengalir dari bibirnya, dan meskipun rasa sakit menyiksa, matanya tetap penuh dengan kebencian yang tak terucapkan."Berhenti!" serunya, suaranya serak dan darah pekat menyembur ke lantai kotor. "Cukup."Namun, ketiga pria itu tetap berdiri di atasnya, wajah mereka tidak menunjukkan rasa kasihan. Dengan cambuk yang masih tergenggam erat di tangan mereka, mereka saling bertukar pandang. Wajah mereka dingin, penuh dengan tekad yang keras."Masih belum cukup, Evelyn," kata George dengan nada tegas. "Kau harus belajar dari kesalahanamu.""Yeah." Frans menambahkan dengan nada yang lebih rendah, "Bag
"Mau ke mana kesayangannya Daddy sudah rapi dan wangi?"Mata Adam tampak lembut saat menatap sosok kecil yang kini berada dalam pelukannya. Bayi Alan, yang sudah mulai tumbuh gemuk dengan pipi tembam dan lengan yang semakin berisi, memancarkan keimutan yang tak bisa disangkal. Aurora tersenyum lembut, meski hatinya terselip kerisauan yang hanya bisa dia pendam dalam diam. Keinginan untuk melihat Alan sehat dan tumbuh bahagia adalah dambaan setiap orangtua, tetapi bagi Aurora, kebahagiaan itu terasa seperti bayang bayang yang selalu menyertai, namun sulit digapai."Imunisasi." Aurora melanjutkan dengan nada ceria, mencoba menghapus kegundahan yang merayap di benaknya. Dia memandang Baby Alan yang dengan lugu memandang dunia sekelilingnya. "Daddy ikut, kan?" tanya Aurora, suaranya sedikit menggoda, namun matanya tak bisa menyembunyikan ketegangan yang bersembunyi di balik senyum itu.Adam mengangguk, tangannya semakin erat
Mobil yang ditumpangi Aurora meluncur cepat, menembus kegelapan malam yang semakin pekat. Mesin mobil mengeluarkan asap, seiring dengan kecepatan yang semakin bertambah. Sementara itu, ketegangan di dalam kabin terasa mencekam, udara terasa berat, setiap detik seperti penuh ancaman.Aurora meremas tangan Alan Sky, putranya, yang kini duduk dalam pelukannya. Matanya menatap lurus ke depan, merasakan setiap getaran dari kendaraan yang melaju kencang, berusaha menghindari kejaran dua mobil yang terus membuntuti mereka dari belakang."Pegangan." Suara pengemudi mobil terdengar tenang namun tegas, seakan menegaskan bahaya yang akan mereka hadapi. "Saya akan mengebut.""Oke." Aurora hanya mengangguk cepat, meski dadanya sesak karena kecemasan yang mendera. Dengan reflek, ia mendekap anaknya lebih erat, memeluknya seolah dunia sedang mengancam. Mobil itu melesat, melaju deras memasuki jalan tol, seakan menghindari pintu mau
"F*ckk, Adam!" Janda muda itu berteriak histeris saat gelombang kenikmatan lain mengalir melalui dirinya yang menyebabkan orgasme kelimanya meledak malam itu.Di atas ranjang, Adam dan Aurora larut dalam gelora tak tertahankan.Adam menempelkan tangannya ke kepala Aurora saat dia terus menerus menghantam vagi-nanya. Mereka menyukainya dengan kasar dan siapa dia yang bisa mengeluh?Kaki Aurora melilit pinggang pria itu sambil menundukkan kepalanya dengan sembrono. Matanya berputar ke belakang kepala saat merasakan gelombang orgasme keenamnya malam itu."Oooh, Adam!""Kau suka, kan?" Adam menyeringai. Dia mencabut dengan kasar kemaluannya dari vagina wanita itu dan mengganti kemaluannya dengan jari-jarinya sambil menghunjamkannya lebih dalam dan lebih cepat.Menggali ke dalam dagingnya yang hangat dan panas serta menghantam ke dalam vagina wanita itu yang sudah basah kuyup."Ouh, ouh! Adam, st
Di bawah langit sore yang memerah, Adam duduk di sudut sebuah tempat tersembunyi di Ubud, dikelilingi oleh Moreno, George, dan Frans. Suasana di sekitar mereka tenang, hanya sesekali terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin. Adam, yang masih merasa cemas, menghisap pelan cerutunya, sambil menatap kosong ke arah langit yang perlahan menggelap.Dengan senyum sarkastik yang terukir di bibirnya, Moreno menatap Adam penuh tanda tanya. "Hei, kau ini mantan mafia. Kenapa kau takut kinerja kami melambat? Apa yang kau takutkan?" tanyanya, suaranya santai namun mengandung sindiran tajam. Asap cerutu itu melayang ke udara, menambah kesan angkuh pada sosok Moreno.Kala itu, Adam tak segera menjawab. Ia memutar gelas berisi alkohol di tangannya, menatap cairan keemasan itu sejenak sebelum meneguknya perlahan. "Kau tak tahu saja," gumamnya, suaranya serak. "Jika semua bisa saja berubah. Si Samuel sialan itu meninggalkan wasiat untuk Auror
"Tuan Muda, ada kabar mengejutkan. Lelaki yang menabrakkan diri di rel kereta kemarin malam adalah orang yang kita cari, Samuel."Kata kata itu seperti petir yang menyambar sesaat setelah Adam bangun. Adam terdiam sejenak, matanya yang tajam menyiratkan kekhawatiran meskipun ia berusaha tetap tenang. Pikirannya berputar, mencoba mencerna informasi itu."Apa? Kau yakin itu dia?""Ya. 500 meter dari tempat dia tewas, ada sebuah surat, pakaian celana dan kaos, juga ponsel. Dia juga menyebutkan alamat.""Sial!" Adam menggeram, ekspresinya berubah seketika. "Ini bisa menjadi masalah besar.""Bagaimana ini, Tuan? Kalau sampai dia diautopsi, dan kita—""Kau tak perlu khawatir. Kita bekerja dengan baik, dan jejak semuanya bersih. Oke, tak masalah. Kau tangani masalah ini. Aku, Baby Alan dan Aurora akan segera ke Paris. Jika tidak, dia dalam bahaya karena jejaknya sebagai mantan istri akan terlacak.""Baik, Tuan."Suara
Usai dari rumah sakit, siang itu, Samuel berjalan gontai, langkahnya terseok seok di sepanjang trotoar yang sepi, seperti jiwa yang kehilangan arah. Aspal panas di bawah kakinya tak mampu menghangatkan tubuh yang terasa kaku dan beku. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa fokus, seolah segala sesuatu di sekitarnya tidak lagi relevan. Dunia di sekitar terasa kabur, bising, dan asing, seperti suara suara yang tidak bisa ia dengar. Kebingungannya semakin dalam, seolah setiap langkah hanya semakin menjauhkan dia dari jalan yang benar.Tanpa rencana, tanpa tujuan, Samuel berhenti di sebuah toko dan membeli kertas juga pulpen. Tangannya gemetar ketika ia membuka kertas itu dan mulai menulis. Di sebuah taman yang sepi, dengan suara dedaunan berdesir tertiup angin, ia menulis pesan pesan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Di atas kertas itu, ia menuangkan kata kata yang tidak bisa ia ungkapkan secara langsung— sebua
Usai bertemu dengan Adam dan diberikan obat peluruh janin, wanita ini begitu sunringah. Apalagi saat dirinya dibawa ke sebuah bangunan apartemen, dia begitu bahagia."Hm, apa dia akan memberikanku apartemen dan seisinya? Jika iya, itu bagus sekali. Dan jika tidak, maka aku akan menghancurkannya!"Raline melangkah ke dalam apartemen mewah yang dipandu oleh anak buah Adam. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, seolah-olah ia memasuki dunia yang baru, dunia yang berbeda dari apa yang biasa ia kenal. Dan begitu ia melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada luasnya ruangan yang terbuka di depannya.Apartemen itu tidak hanya besar, tetapi juga dihiasi dengan furnitur modern yang terlihat sangat mahal."Wow, ini bagus." Anak matanya berpendar. Dinding dindingnya dicat dengan warna netral yang memberi kesan elegan dan nyaman, sementara jendela besar menawarkan pemandangan kota yang memukau di luar. Raline memandang ke se
Dengan wajah cemas, Adam membawa Raline langsung menuju klinik yang dikelola oleh temannya. Wanita itu dengan gamang mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat namun penuh harapan. Tak lama setelahnya, mobil yang dikendarai anak buah Adam tiba di klinik dengan cepat. Adam langsung menuju ruang periksa, meminta seorang wanita bernama Dona, yang adalah dokter kandungan rekannya juga, untuk segera memeriksa kondisi Aurora.Setelah beberapa menit, Dona mengajak mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Aurora terbaring di atas tempat tidur periksa, terlihat sedikit gelisah meski berusaha tetap tenang. Dona yang sudah mempersiapkan peralatan medisnya, mulai melakukan pemeriksaan dengan penuh ketelitian. Dia meminta Adam keluar, karena tahu jika Adam bukanlah suami Raline.Beberapa saat kemudian, Dona keluar dari ruang pemeriksaan dengan ekspresi serius. Langkahnya terhenti di depan Adam dan Raline, wajahnya tak menunjukkan tanda tanda optimi
"Apa? Lo hamil?" Adam terdiam, tatapannya kosong sejenak, seolah mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Raline. Dia tercenung dan memperhatikan perut Rakine yang emang sih agak cembung. Dan dia sama sekali gak nyangka kalo hal itu akan terjadi.Suasana di sekitarnya terasa hening, hanya detak jantungnya yang bergema di telinga. Kata-kata itu, tajam dan menusuk, meluncur deras seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan.Raline berdiri di hadapannya, tubuhnya gemetar, wajahnya terpelintir antara marah dan putus asa. Matanya yang merah karena tangisan menatap langsung ke arah Adam, seolah ingin menuntut pertanggungjawaban atas segala kekacauan yang terjadi. Lalu, dengan mengangkat dagu tinggi, Raline berkata, "Ya, gue hamil!" Suaranya meninggi, dipenuhi emosi yang meluap.Tak lama setelah itu, dia mengetuk dada Adam dengan air mata berderai. Namun, tak ada tangis di sana sama sekali."Gara gara l
Kata orang, menangis adalah cara kita melepaskan segala sesak dalam hati. Begitu pula dengan Aurora siang itu. Di tengah desakan ketakutan yang menyelubungi dirinya, ketika bertemu Adam, pelukannya begitu erat, seolah ingin memastikan dirinya tak akan lepas. Air matanya tumpah, tak bisa lagi dibendung."Tenanglah, kau sudah aman," bisik Adam dengan lembut, mencoba menenangkan kekasihnya yang masih terisak. Dia tahu betul, siang ini, Aurora baru saja melewati mimpi buruk yang mengerikan. Dia sebagai seorang kekasih tentu tak akan membiarkan hal ini berlarut larut.Pelukan Aurora perlahan merenggang, namun hatinya masih kacau. Adam berpaling sejenak, melihat Baby Alan yang tampak resah di pelukan Aurora. Dengan gerakan cepat, dia meraih si kecil dari pelukan Aurora. "Sini, biar aku yang menggendong," ujarnya lembut.Aurora mengangguk tanpa kata. Dia merasakan sedikit kelegaan saat bayi itu berada dalam pelukan Adam. Se
Dor! Dor!Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan malam yang semakin mencekam. Santos dan Jerry yang sudah berada di dalam mobil, merasakan getaran hebat dari peluru yang menghantam tubuh kendaraan.Meski telah melakukan manuver zig-zag, mereka tahu, ancaman semakin dekat.Akhirnya, setelah berlari sejauh ini, mereka tiba di tempat yang mereka tuju— lokasi sepi yang dipilih Jerry untuk menghadapi musuh. Namun, sialnya, kecepatan mobil yang terlalu tinggi dan kondisi ban yang mulai kempes karena ditembaki, membuat mobil mereka oleng. Sangat sulit dikendalikan hingga memaksa mereka harus turun dengan segera."Bahaya! Kita harus berhenti!" teriak Santos, melihat ban depan mobil yang sudah kempes."Siap, aku mengurangi kecepatan!" seru Jerry, namun telat. Dengan ketegangan yang semakin memuncak, mobil itu mulai tergelincir, meluncur tak terkendali di jalanan yang sempit dan sepi."Turun!" perintah Jer