Sebelum Dominic bisa mendapatkan jawaban, dia merasakan Rena menjauhkan diri darinya. Pandangan pria itu pun mengikuti gerakan gadis tersebut, memperhatikan bagaimana gadis dengan kemeja yang tidak lagi dikancing itu menegapkan tubuh dan menyugar rambut panjangnya ke belakang, terlihat begitu panas dan menggoda. Netra hitam Dominic menyapu pemandangan yang disuguhkan di hadapan. Bibir mungil yang berisi, leher jenjang yang indah, dada sintal yang berbalut bra hitam, dan pinggang ramping yang diakhiri dengan bokong padat berisi. Semua hal itu membuat darah Dominic berdesir dan napasnya pun menjadi semakin berat. Sesuatu dalam dirinya terpancing dan mulai meronta. “Apa yang kamu lihat?” Suara Rena terdengar berkata seiring jari telunjuk gadis itu mengangkat dagu Dominic untuk menatapnya. Netra hijaunya yang menatap lurus ke arah pria di hadapan memancarkan keinginan mendalam untuk membuat pemimpin klan mafia Capitol itu merintih. Bibir Dominic terbuka. “Aku—!” Belum sempat pria itu me
Suara langkah kaki yang cepat terdengar bergema di lorong rumah sakit. Hal itu membuat semua orang memperhatikan lima sosok yang tengah berlari menghampiri ruang inap VIP di lantai tersebut. Saat mencapai tujuan, wanita yang berada di paling depan langsung mendorong pintu ruang inap sampai terbanting terbuka. Hal tersebut membuat pria yang terbaring di tempat tidur sembari bermain dengan ponselnya itu melirik ke arah pintu. “Evelyn?” Alis kanan pria itu meninggi, terlihat bingung dengan kepanikan sang adik. “Apa kamu tidak bisa masuk ke dalam ruangan dengan sedikit lebih tenang?” tanya Dominic. Melihat saudaranya begitu santai, Evelyn mengerutkan keningnya. Dia segera menghampiri sang kakak dan memperhatikan tubuhnya yang mengenakan seragam pasien. Saat melihat tidak ada yang terluka selain tangan Dominic yang diinfus, Evelyn bertanya, “Bukankah Kakak terluka? Katanya ada serangan di hotel dan Kakak tertembak?” Wanita itu terlihat sedikit terengah-engah, efek dari berlari dari lobi
*Beberapa saat yang lalu*“Mati kamu, Wijaya!”DOR! Suara tembakan yang terngiang di telinga Rena diikuti dengan benturan tubuhnya pada jalanan parkiran yang keras. Akan tetapi, benturan tersebut tidak sekeras yang seharusnya lantaran tangan Dominic menahan kejatuhan Rena.“Ugh!” Lenguhan kesakitan itu terdengar dari Dominic.Kalaupun kepanikan menyelimuti dirinya yang khawatir terhadap Dominic, tapi kewaspadaan Rena yang meningkat membuatnya mengangkat pandangan untuk melihat sang pelaku. Seorang pria bertubuh kurus dengan kantung mata gelap terlihat oleh gadis tersebut, membuat matanya membesar karena mengenali sosok itu.Saat mata mereka bertemu, pria bertubuh kurus itu bergetar hebat. Dengan dua tangan yang menggenggam pistolnya erat, dia berteriak, “Mati kau, Yarena Wijaya!”DOR! DOR! DOR!“Ack! Agh! Uh ….”Teriakan kesakitan yang berujung dengan lenguhan pertanda kematian terdengar mengikuti tiga kali tembakan pistol.Rena yang masih memperhatikan pria bertubuh kurus itu meliha
Belum sempat Dominic menyelesaikan kalimatnya, sebuah pukulan keras mendarat di tengkuknya, membuat pria itu sekejap tidak sadarkan diri. Semua orang di tempat itu tercengang dan menoleh kepada sosok Rena yang memukul atasan mereka dari belakang. “A-apa yang kamu lakukan, Nona?!” seru salah seorang bawahan Dominic. Mereka sama sekali tidak menyangka gadis bertubuh mungil nan ramping itu memiliki kemampuan untuk melayangkan pukulan seperti itu! “Lukanya tidak berat, tapi tidak bisa hanya dirawat di sini,” tegas Rena dengan santai. “Aku yakin kalian memiliki cara untuk membawanya ke rumah sakit tanpa menarik perhatian. Bawa dia ke sana dan pastikan dia sembuh total sebelum keluar dari sana.” Rena berjalan menghampiri mayat pria bertubuh kurus yang beberapa waktu lalu kentara menginginkan nyawanya. Dia memperhatikan wajah pria itu untuk sesaat sebelum akhirnya menutup mata. “Pastikan tempat ini bersih tanpa jejak,” ucap Rena seraya berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum benar
BRAK!Suara pintu terbanting terbuka mengejutkan sepasang pria dan wanita yang berada di ruang tamu kediaman mewah tersebut. Keduanya menoleh ke arah pintu, hanya untuk mendapati sosok seorang gadis muda dengan pakaian profesional berjalan menghampiri. Aura yang mengelilingi gadis tersebut dingin dan diselimuti amarah menggebu.“Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan, Rena?!” bentak sang pria seraya berdiri dari sofa ruang tamunya dengan wajah marah. Dia menatap nyalang sosok Rena yang mendekatinya dengan cepat dan berakhir mencengkeram kerah pakaiannya.“Elric!” pekik wanita di sofa, istri sang pria bernama Elric, ketika melihat suaminya diperlakukan tidak sopan oleh sang tamu tak diundang. Wanita itu pun melirik Rena. “Rena, apa yang—"“Kakak yang melakukannya, bukan?” tanya Rena dengan mata membara, mengutarakan kebencian atas apa yang telah pria di hadapan lakukan padanya. “Kakak yang mengirimkan putra dari pria itu untuk mengusikku agar aku kembali ke Nusantara?!” sergahnya memb
“Kamu tidak ingin mengingat kenyataan bahwa tanganmu dikotori darah begitu banyak orang?”Tangan Rena mengepal erat sampai buku-buku jarinya memutih. “Yarena Wijaya sudah mati, kita sepakat mengenai hal tersebut,” ucapnya.“Itu benar,” balas Elric dengan wajah tenang. “Yarena Wijaya sudah mati dan hanya Rena Karga yang hidup.” Kemudian, pandangan pria itu menggelap. “Akan tetapi, Rena Karga hanyalah seorang gadis biasa yang tinggal di Nusantara dan bekerja sebagai seorang karyawan biasa, bukan asisten pribadi wanita yang berasal dari keluarga terkuat dunia bawah Capitol!” Kepala Elric menggeleng. “Tidakkah kamu sadar bahwa melakukan ini sama saja dengan mengkhianati janjimu pada Eli?!”Saat mendengar ucapan sang kakak, ingatan Rena mengenai masa lalunya mengalir deras ke dalam benak.Yarena Karga Wijaya, itulah nama asli Rena yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ibu Rena meninggal tidak lama setelah melahirkan dirinya. Semenjak itu, ayah Rena menjadi orang tua tunggal yang membesar
“Apa yang dilakukan seorang Adam Dean di kediaman sederhanaku?” tanya Elric kepada Adam yang sekarang telah berada di hadapannya. “Aku tidak merasa telah memberikan undangan yang layak untuk menerima tamu sepenting dirimu,” tuturnya, sebuah sarkasme yang menandakan bahwa dirinya tidak mengundang Adam ke kediamannya. Adam menyapu pemandangan sekeliling. Kalaupun kediaman Elric tidak semegah kediaman Dean, tapi dari perlengkapan yang mengisi rumah tersebut, bisa Adam pastikan tempat tinggal pria itu tidak pantas disebut ‘sederhana’. “Rena,” ucap Adam seraya menggeser manik birunya kepada Elric, membuat pria itu tertegun. “Aku tidak menyangka bahwa dia merupakan Yarena Wijaya yang dikabarkan telah meninggal lima tahun lalu.” Elric mengepalkan tangannya. Kelihatannya Adam Dean datang ke tempatnya dengan informasi yang sangat cukup. Sesuai dengan yang Adam katakan, Yarena Wijaya memang diketahui oleh publik dunia bawah sebagai sosok yang telah meninggal saat bertugas. Itu adalah jalan k
“Kamu … kabur dari rumah sakit?!” seru Rena seraya menghampiri Dominic yang terlihat begitu lemas. Sesampainya di hadapan Dominic, Rena langsung mengangkat pakaian pria tersebut. Matanya memperhatikan perban yang membalut pinggang pria itu, mempelajari kondisinya untuk memastikan bahwa pria itu baik-baik saja. Beruntung, luka Dominic tidak kembali terbuka. Selagi Rena sibuk memastikan dirinya baik-baik saja, Dominic sendiri malah menyunggingkan sebuah senyuman penuh arti sembari tertawa rendah. “Aku tahu tubuhku bagus, tapi jangan begitu terus terang bisa, ‘kan?” godanya. “Kamu membuatku ma— agh!” Ekspresi Dominic berubah cepat menjadi kesakitan ketika Rena menekan balutan lukanya. “Apa yang kamu lakukan?!” tanyanya dengan sedikit meringis sembari sedikit meringkuk di sofa. Dengan wajah acuh tak acuh dan dengusan, Rena menutup kembali pakaian Dominic dan berkata, “Karena mulutmu begitu aktif, kukira kamu sudah sembuh.” Dia memasang wajah dingin seraya menambahkan, “Ternyata, aku sal
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p