Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang telah baca sejauh ini! Semoga cerita ini, dengan segala kekurangan dan kelebihannya (jika ada), cukup menghibur kalian semua! Jikalau memang ada kesempatan untuk bertemu kembali di universe Capitol dan Nusantara, maka semoga kita bertemu lagi di sana! Lots of love dari author! Sampai bertemu di cerita berikutnya! Untuk yang mau tahu cerita terbaru author apa dan kapan rilis, bisa follow ins ta author @luciferater yaa. Project berikutnya akan jauh lebih menarik dari buku ini!
“Urgh ….” Suara lenguhan terdengar dari sesosok gadis muda yang terduduk dari tempat tidurnya. Dentuman di kepala gadis tersebut membuatnya mengernyit selagi memperhatikan pemandangan sekeliling ruangan yang terlihat asing. Tidak merasa familier dengan ruangan tempatnya berada membuat jantung gadis itu berdetak semakin cepat. Maniknya bergerak cepat ke arah lain dan berujung membesar di saat pandangannya bertemu dengan keberadaan seorang pria tak berbusana di sisinya. Bukan, bukan hanya sembarang pria, melainkan seorang pria dengan tubuh yang dihiasi otot indah dan menggoda. Menyadari ada yang salah, gadis itu dengan cepat mengalihkan pandangan ke bawah.. ‘Sial!’ maki gadis itu dalam hati ketika menyadari bahwa dirinya juga tidak berbusana. Di saat gadis itu masih bergelut dengan keterkejutannya, suara getaran menarik pandangannya pada nakas tempat ponselnya berada. Dia langsung meraih ponsel tersebut dan menemukan sejumlah panggilan tidak terjawab beserta pesan yang belum terbac
‘Bagaimana mungkin aku salah kamar?!’ teriak Evelyn dalam hati. Menyadari bahwa dirinya telah melakukan hal gila karena alasan bodoh, Evelyn pun berbalik dan berniat untuk berlari pergi meninggalkan tempat tersebut. Dia berdoa bahwa tidak ada yang akan pernah tahu tentang hal ini, terutama karena dirinya telah memiliki status sebagai tunangan orang! Akan tetapi, sayangnya … takdir berkata lain. “Evelyn?” Baru saja Evelyn berbalik dan ingin mulai berlari, seorang pria berwajah tampan memasang ekspresi kebingungan dan kecewa. Manik pria itu terarah pada kamar nomor 1010, lalu kembali pada sosok Evelyn yang berantakan. “Andre …,” panggil Evelyn dengan suara parau. Andre Diwangkara, putra satu-satunya keluarga pebisnis terkaya Nusantara, merupakan tunangan Evelyn atas dasar perjodohan. Walau dijodohkan, tapi Andre sungguh mencintai Evelyn, dan Evelyn pun mencintai pria tersebut. Mata Andre mengarah pada sejumlah bekas merah pada leher dan dada Evelyn yang tidak tertutup oleh
Suara tamparan keras menggema di ruang tamu Keluarga Aditama. “Anak nggak tahu malu!” maki seorang pria paruh baya dengan emosi yang menggebu-gebu. Di tempatnya, Evelyn hanya bisa membeku, masih begitu terkejut akibat tamparan yang diterimanya begitu melewati pintu masuk ruang tamu kediaman. “Dari mana kamu tadi malam, hah? Sama siapa kamu?!” sembur Reyhan dengan tatapan nyalang. Bayangan gelap di bawah mata pria itu menunjukkan bahwa dirinya tidak tidur dengan nyenyak. Evelyn menggigit bibirnya, bingung harus menjawab apa. “Aku ….” Evelyn mengepalkan tangannya. “Aku di—” Seorang gadis dengan wajah ayu bergegas menahan tangan sang ayah. Wajahnya menatap Evelyn dengan pandangan prihatin. “Pa! Jangan kasar dengan Kak Evelyn! Dengerin penjelasan Kak Evelyn dulu!” “Diam, Risa! Asal kamu tahu, kakakmu ini tadi malam berlaga layaknya seorang wanita penghibur!” teriak Reyhan dengan emosi menggebu-gebu. Kemudian, pria paruh baya itu menunjukkan sebuah rekaman ke hadapan Risa dan Eve
“Gugurin kandungan itu!” seru Reyhan dengan dingin sebagai balasan atas pernyataan Evelyn. “Kita gugurin kandungan itu hari ini!” Mendengar ucapan sang ayah, Evelyn menautkan alisnya. “Tapi Pa ….” Pandangan gadis itu turun menatap perutnya, satu tangan mengusapnya lembut. “Bayi ini nggak bersalah.” Balasan Evelyn membuat Reyhan menaikkan alisnya, pria itu pun bertanya, “Terus kenapa?” Perasaannya sedikit tidak enak, merasa bahwa putri sulungnya memiliki ide bodoh. “Bayi itu memang nggak salah, tapi kamu yang salah! Karena itu, menggugurkan bayi itu adalah pilihan terbaik untuk membenarkan kesalahan kamu!” Evelyn menutup matanya, tahu bahwa di hadapan sang ayah dirinya akan selalu salah. Dia tidak mengelak, kelalaian karena telah bermalam dengan pria asing jelas merupakan kesalahannya. Namun, setelah merenungkan keseluruhan situasinya selama beberapa minggu membuatnya yakin akan satu hal; Dirinya telah dijebak seseorang. “Kesalahanku akan kutanggung sendiri, tapi bukan dengan
“Mama, Mama! Aku mau itu!” seru seorang gadis kecil berkisar tujuh tahun sembari menunjuk ke arah gambar es krim sebuah restoran. Mata bulat gadis itu terlihat menggemaskan, juga memesona akibat maniknya yang berwarna biru terang. Mendadak, sebuah tangan mungil menggenggam tangan gadis kecil itu untuk menahannya. “Lili, jangan ngerepotin Mama. Kita bisa beli itu nanti, ya,” balas seorang bocah laki-laki dengan wajah yang hampir sama persis dengan sang gadis kecil. Sikap sang bocah kecil yang begitu tenang membuat beberapa orang yang memperhatikan mengira bocah itu lebih tua dari penampilannya. Di antara kedua kembar menggemaskan tersebut, seorang wanita cantik berpakaian elegan menggandeng keduanya sembari tersenyum. Wanita itu berjongkok di hadapan kedua putra-putrinya dan berkata, “Liam memang paling pengertian,” pujinya. Kemudian, dia beralih kepada sang gadis kecil dan mengusap kepalanya lembut. “Lili sabar dulu ya, Sayang. Setelah kita sampai apartemen dan selesai berberes, Ma
‘Pria ini!’ Melihat pria di hadapannya, Evelyn tak mampu melanjutkan ucapannya. Bukan hanya karena pandangan sang pria yang mengintimidasi, tapi juga karena keberadaan permata biru terang yang begitu dia kenali. “Tidak masalah,” balas Adam dengan suara rendah yang menggelitik telinga, tidak menunggu Evelyn menyelesaikan ucapannya. Suara dalam milik Adam membuat darah dalam tubuh Evelyn berdesir. Walau telah lama berusaha melupakan malam itu, tapi ingatan Evelyn menghantui dirinya. Tubuh wanita itu dengan jelas mengingat jejak yang telah ditinggalkan pria di hadapannya tersebut. Delapan tahun sudah berlalu, tapi sedikit pun tidak pernah Evelyn lupakan perihal penampilan pria di hadapannya ini. Mata biru terang itu, bibir tipisnya, juga lekukan otot pada tubuh yang satu malam itu pernah menguasai dirinya. Bibir Evelyn terbuka mengucapkan sebuah kata, “Kamu—" “Pak Adam, kita harus segera pergi,” sebuah suara lain menghentikan Evelyn dan mengalihkan pandangan Adam. “Julian,
“Selamat, Evelyn. Kamu sudah dinyatakan diterima sebagai sekretaris direktur bisnis. Pak Direktur pun sudah berpesan kalau kamu akan mulai bekerja besok,” ucap seorang pria berusia sekitar tiga puluhan sembari mengulurkan tangannya ke hadapan Evelyn. Evelyn membalas uluran tangan tersebut dengan mantap dan membungkuk hormat sedikit. “Terima kasih, Pak Handi. Saya akan berusaha untuk menunjukkan kinerja terbaik agar tidak mengecewakan ekspektasi Bapak,” balas Evelyn dengan sopan. Handi—manajer personalia dan juga teman Anita—menganggukkan kepala. “Rena,” panggil pria itu yang kemudian diikuti dengan kemunculan seorang gadis muda di sisinya. “Kamu antar Evelyn keliling kantor dulu agar besok dia nggak canggung dengan situasi kantor.” Gadis bernama Rena itu menyapa Evelyn dengan sopan, tahu bahwa posisi Evelyn tidak bisa didapatkan sembarang orang, “Halo, Bu Evelyn. Perkenalkan, saya Rena, staf departemen personalia.” Perkenalannya ditanggapi Evelyn dengan sebuah senyuman dan jabata
“Kita terlambat,” ucap Julian sembari melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Interview seharusnya sudah hampir selesai.” Pandangannya terangkat ke kaca mobil bagian depan, meratapi kemacetan ibu kota Nusantara. “Tidak masalah,” balas pria yang terduduk di sebelah Julian dengan datar, tidak hentinya mengetukkan jari pada laptop di hadapan. “Hanya interview kecil, seharusnya HRD bisa mengurusnya. Tidak mungkin kulewatkan kesempatan kontrak dengan label musik ternama, bukan?” balasnya, begitu jelas dengan prioritasnya. Lima belas menit kemudian, setelah keduanya baru saja melangkah masuk ke lobi kantor, sebuah dentingan notifikasi terdengar dari tablet yang dipegang Julian. Pria itu melirik notifikasi tersebut dan menghela napas seraya berkata, “Manajer HRD baru saja mengabarkan kalau wawancara telah selesai.” “Hmm,” Adam membalas singkat, tidak menghentikan langkah untuk masuk ke dalam lift. “Suruh dia untuk persiapkan laporan kandidat yang lolos. Ketika sudah siap, la
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p