“Apa yang dilakukan seorang Adam Dean di kediaman sederhanaku?” tanya Elric kepada Adam yang sekarang telah berada di hadapannya. “Aku tidak merasa telah memberikan undangan yang layak untuk menerima tamu sepenting dirimu,” tuturnya, sebuah sarkasme yang menandakan bahwa dirinya tidak mengundang Adam ke kediamannya. Adam menyapu pemandangan sekeliling. Kalaupun kediaman Elric tidak semegah kediaman Dean, tapi dari perlengkapan yang mengisi rumah tersebut, bisa Adam pastikan tempat tinggal pria itu tidak pantas disebut ‘sederhana’. “Rena,” ucap Adam seraya menggeser manik birunya kepada Elric, membuat pria itu tertegun. “Aku tidak menyangka bahwa dia merupakan Yarena Wijaya yang dikabarkan telah meninggal lima tahun lalu.” Elric mengepalkan tangannya. Kelihatannya Adam Dean datang ke tempatnya dengan informasi yang sangat cukup. Sesuai dengan yang Adam katakan, Yarena Wijaya memang diketahui oleh publik dunia bawah sebagai sosok yang telah meninggal saat bertugas. Itu adalah jalan k
“Kamu … kabur dari rumah sakit?!” seru Rena seraya menghampiri Dominic yang terlihat begitu lemas. Sesampainya di hadapan Dominic, Rena langsung mengangkat pakaian pria tersebut. Matanya memperhatikan perban yang membalut pinggang pria itu, mempelajari kondisinya untuk memastikan bahwa pria itu baik-baik saja. Beruntung, luka Dominic tidak kembali terbuka. Selagi Rena sibuk memastikan dirinya baik-baik saja, Dominic sendiri malah menyunggingkan sebuah senyuman penuh arti sembari tertawa rendah. “Aku tahu tubuhku bagus, tapi jangan begitu terus terang bisa, ‘kan?” godanya. “Kamu membuatku ma— agh!” Ekspresi Dominic berubah cepat menjadi kesakitan ketika Rena menekan balutan lukanya. “Apa yang kamu lakukan?!” tanyanya dengan sedikit meringis sembari sedikit meringkuk di sofa. Dengan wajah acuh tak acuh dan dengusan, Rena menutup kembali pakaian Dominic dan berkata, “Karena mulutmu begitu aktif, kukira kamu sudah sembuh.” Dia memasang wajah dingin seraya menambahkan, “Ternyata, aku sal
“Dengan kekuasaanku, kamu tahu aku mampu melakukan itu untukmu.” Pernyataan Dominic membuat Rena tercengang. Gadis tersebut mempelajari ekspresi sang penguasa dunia bawah itu selama sesaat, berharap bisa menemukan kebohongan di sana. Namun, nihil, Rena hanya bisa mengakui bahwa pria itu bersungguh-sungguh dengan apa yang dia ucapkan. “Kamu bahkan tidak tahu apa rencanaku,” balas Rena dengan kening berkerut. Kenapa? Kenapa Dominic bisa begitu yakin dan bersedia untuk mendukungnya? Hanya karena mereka menghabiskan satu malam bersama?! “Apa yang akan kamu lakukan kalau aku meminta nyawamu atau kejatuhan Keluarga Grey?” Dominic terdiam untuk beberapa detik dan memandang Rena dengan saksama. Pria itu berusaha memahami apa yang sedang berjalan di pikiran gadis tersebut, lalu dia pun tersenyum. “Tidak mungkin.” Dominic mendekatkan wajahnya kepada Rena, memberikannya tatapan tegas. “Lagi pula, dendam macam apa yang mungkin dimiliki seorang Yarena Wijaya terhadap diriku maupun keluargaku?
"Setelah mengetahui hal itu, aku akan membunuh orang itu dengan tanganku sendiri!” Seusai mengatakan hal tersebut, Rena pun mengepalkan kedua tangannya. Dia sadar bahwa informasi yang telah diberitahukan kepada Dominic adalah suatu hal yang sangat rahasia, bahkan kakaknya sendiri—Elric—sama sekali tidak mengetahui hal ini. Lalu, kenapa Rena dengan begitu yakin menjelaskan hal tersebut kepada pria di hadapannya ini sekarang? Apakah Rena mengharapkan sesuatu dari Dominic? Bahwa pria itu akan menolongnya dalam perjalanan pembalasan dendamnya? ‘Heh.’ Rena mendengus dalam hati, merasa dirinya terlalu bodoh. Sebagai seorang Penguasa Dunia Bawah, Dominic seharusnya paham bahwa rencana pembalasan dendam Rena adalah sebuah kebodohan. Sebagai seorang pembunuh bayaran, ayah Rena tentu saja mengumpulkan dendam dari banyak orang. Kematian adalah suatu karma yang telah menunggu, jadi … usaha Rena untuk mencari tahu siapa pembunuh sang ayah sama saja seperti suatu hal yang sia-sia. “Aku menger
“Liam mau bikin satu tim sepak bola?” tanya Lili dengan kening berkerut sembari membayangkan Liam dengan sepuluh adik mereka dijadi satu tim. Semakin dipikirkan, Lili merasa semakin pusing. Astaga, sepertinya akan terlalu ramai! Evelyn hanya bisa tersenyum tak berdaya mendengar percakapan kedua anak-anaknya. Terlihat keduanya sangat menginginkan seorang adik. Akan tetapi, sepuluh sepertinya agak keterlaluan, ya? Ketika Evelyn sedang memikirkan hal tersebut, pintu hotelnya terbuka dan memperlihatkan sosok Adam yang melangkah masuk bersama dengan dua orang lain. Hal tersebut membuat Liam dan Lili yang sempat terdiam untuk mengecek siapa yang datang langsung menyapa ayah mereka. “Papa,” panggil Liam dengan senyum manisnya. “Daddy!” Lili melambaikan tangan kecilnya dan melirik ke Julian. “Ada Om Julian dan Bibi Elena juga!” “Hai, hai!” balas Elena dengan senyuman ramah selagi menghampiri dua bocah kecil menggemaskan itu dan Evelyn. “Elena,” sapa Evelyn dengan senyuman ramah. Melihat
Ucapan Adam membuat Evelyn terdiam. Wanita itu menjatuhkan pandangan ke lantai dan berpikir selama sesaat. Sejujurnya, Evelyn ingin sekali membantu Rena, terlebih bila mengingat bahwa gadis itu memiliki peran kunci dalam jatuhnya Keluarga Smith. Akan tetapi, mengetahui sikap Rena, dia tahu gadis itu tidak akan senang apabila dirinya ikut campur secara langsung dalam hal ini. Pemikiran tersebut sangat jelas tergambarkan dari cara Rena meninggalkan pesan kepada Dominic. Akhirnya, Evelyn pun tersenyum. “Aku mengerti,” balasnya. Dia menuturkan, “Lagi pula, aku yakin Dominic juga tidak akan senang kalau kita mengambil kesempatannya untuk terlihat keren di hadapan Rena.” Wanita itu tertawa kecil. Kalaupun Rena telah memperingatkan Dominic untuk tidak mencarinya, tapi apakah pria itu akan mendengarkannya? Tentu saja tidak. Sudah memiliki penguasa dunia bawah Capitol sebagai bala bantuan, Evelyn yakin Rena tidak memerlukan dirinya lagi. Dia tahu kakaknya itu mampu untuk mengurus masalah in
“Orang tersebut jelas merujuk kepada Rena.” Alis Evelyn tertaut. Dia berusaha memproses informasi yang baru saja didapatkan olehnya dari Adam. “Siapa yang mencoba menyelidiki tentang Rena?” tanya wanita itu pada akhirnya. “Apa kamu mendapatkan identitas orang tersebut?” Kepala Adam menggeleng. “Aku telah meminta orang menyelidikinya, tapi dengan suara yang sama, identitas yang diberikan berbeda. Setiap identitas yang diberikan pun berasal dari negara yang berbeda,” jelas pria tersebut dengan pandangan dingin. ‘Identitas berbeda dari negara berbeda, tapi suara yang sama menandakan informasi itu hanya pengecoh saja,’ ulang Evelyn. “Sudah periksa koordinat sumber telepon?” “Tidak bisa dilacak,” balas Adam singkat. Mendengar jawaban Adam, Evelyn pun mencapai satu kesimpulan. “Keamanan yang begitu tinggi hanya dimiliki oleh segelintir orang.” Dia pun menatap sang suami dan menuturkan, “Tersangka utama kita jelas berasal dari eksekutif pemerintahan atau militer.” “Kamu tidak mencurigai
Di lobi Hotel Greymore, terlihat sekelompok pegawai berbaris dengan rapi untuk mengantar kepergian seorang tamu terhormat. Hal tersebut menarik perhatian sejumlah tamu lain yang kemudian melirik sejumlah sosok rupawan yang memasuki kendaraan mewah mereka masing-masing.Manager hotel membungkuk hormat ke arah seorang pria berambut hitam dengan netra tajam berwarna serupa lautan seraya berkata, “Sungguh sebuah kehormatan bisa menjamu Anda beberapa waktu ini, Tuan Adam.”Mendengar sanjungan sang manager, Adam menganggukkan kepalanya. Netranya beralih kepada sosok Elena dan Sera yang sibuk berbincang dengan Evelyn. Daniel dan Julian juga terlihat bersama dengan mereka.“Sejumlah keluargaku memutuskan untuk tinggal lebih lama di tempat ini,” tutur Adam dengan tenang sebelum berakhir menatap sang manager. “Kamu bisa kirimkan tagihannya ke Eden.”“Baik, Tuan.”Setelah menerima titah tersebut, sang manager pun meninggalkan Adam yang kemudian mengarah ke kerumunan keluarganya.Para orang tua—D
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p