"Membosankan, Paman kenapa lama sekali?" Rubby bergumam, dia kini sedang tengkurap di atas sofa dalam ruangan Elvano sambil terus mencoba menghubungi Vina. Pikiran Rubby tidak bisa tenang sebelum dia mengetahui Vina dimana, Rubby memang terlihat begitu tidak peduli dengan sahabatnya itu. Namun, dalam hati yang terdalam, Rubby begitu menyayangi Vina layaknya saudara sendiri. Sebab, Vina wanita yang mandiri dan selalu berpikir dewasa wanita itu selalu memberikan masukan yang berguna bagi Rubby. "Haaah ... Vina, kok, aku mau menangis? Rasanya sesak saat memikirkanmu. Apa kamu benar-benar sedang kesulitan?" lagi-lagi, Rubby bermonolog. Krek! Mendengar suara pintu ruangan terbuka, Rubby bangkit dari tidurnya, dia melihat Elvano dengan panik disertai wajah cemas berlari menghampirinya. "Monster kecil, ada apa denganmu, apa yang terjadi?" Rubby langsung memeluk tubuh Elvano. Menangis di dada bidang suaminya itu. Elvano menjadi tambah bingung, apakah Ayah dan Ibu tirinya menyakitinya a
Vina terkesiap saat mendengar suara derap langkah kaki yang begitu bergema berjalan ke arah sel dimana dirinya ditahan. Dengan segera, Vina beranjak dari lantai dan menuju ke arah jeruji. Dia tahu, itu tentu sipir wanita yang beberapa saat menemuinya. Deg! Pupil mata Vina membulat saat Gio yang berdiri di depan sel tersebut. Pria arogan itu tampsk membakar rokoknya sambil menyemburkan asapnya ke arah Vina. "Uhuk ... Uhuk!" Vina terbatuk, dia mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahnya. "Sepertinya, kau sangat bersemangat melihat kedatanganku, Vina. Bagaimana, apakah kau sudah menyerah?" ujar Gio dengan sinis. Vina menegakkan dirinya dan mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. "Gio, biarlah ini menjadi terakhir kalinya kita bertemu. Tolong, jangan lagi menggangguku. Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi," katanya dengan suara bergetar.Gio tertawa sinis. "Oh Vina, kau benar-benar lucu. Bagaimana bisa kau tidak ingin bertemu denganku? Sementara kau memiliki hutang ya
"Paman, apakah kau yakin ingin ikut menemui Ibuku? Kau tahu sendiri bagaimana sikap ibuku terhadapmu," ucap Rubby saat mereka hendak turun dari mobil. "Yakin, selama ini, aku belum minta maaf kepada Ibumu. Apalagi, minta restu kepada ibumu. Malam ini adalah malam yang tepat untuk meminta restu dari ibumu," jawab Elvano sambil tersenyum. Wajah Rubby tampak meragu. Saat terakhir dia pergi meninggalkan Ibunya waktu Rubby mendengar ada suara wanita yang mengangkat teleponnya. Bagaimana reaksi ibu? Tentu ibu akan mengutuknya. Apalagi Ibu yang begitu membenci Elvano karena perseteruan saham.Mengetahui Istrinya dilanda kegelisahan, Elvano menggenggam erat tangan Istrinya itu. "Monster kecil, semuanya akan baik-baik saja! Ada aku, ayo!" ajak Elvano. Mereka berdua akhirnya turun dari mobil, langkah kaki mereka terasa berat. Rubby berusaha untuk mengumpulkan keberanian, meneguk ludah sebelum akhirnya mengetuk pintu rumah. Tak lama, suara langkah kaki Ibunya terdengar dari balik pintu.Pintu
Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju kediaman Anderson. Di perjalanan, Rubby dan Elvano berbicara tentang berbagai hal. Rubby merasa begitu beruntung memiliki suami seperti Elvano yang merupakan seorang CEO yang sukses dan penuh perhatian."Ingat, apapun yang aku katakan, cukup mengangguk," kata Elvano, dengan suara menekan.Rubby mengangguk, "Baik, Paman. Tapi sebenarnya, apa yang ingin Paman berikan kepada mereka? Ayolah, aku sungguh penasaran. Kalau Paman tidak beritahu, aku gantung diri di pohon toge!""Sengaja biar kamunya penasaran." "Ih ... Paman selalu begitu, ih!" Rubby cemberut, dia memalingkan wajahnya ke arah kaca mobil yang melaju. Elvano tersenyum melihat reaksi Rubby. Hingga mobil itu tiba di kediaman Anderson, mereka segera membuka pintu mobil, berjalan dengan langkah ringan menuju pintu depan. Rubby mencoba untuk tidak terlihat gugup, tetapi rasa penasaran dan kecemasan membuat jantungnya berdebar kencang saat mereka berjalan mendekati pintu rumah.Mereka berdu
"Paman aku sudah siap, ayo kita ke kampung Vina!" seru Rubby dengan perlengkapan yang membuat Elvano tercengang. Elvano menatap Istrinya itu, yang sedang menyeret sebuah koper besar membuat Elvano menggelengkan kepalanya. "Untuk apa dengan koper ini, Cinta? Apakah kamu ingin pindah rumah?" Rubby menggeleng. "Tidak, Paman, tapi ini adalah bekal selama perjalanan. Ada ikan kaleng, obat serangga, mie instan, dll, Paman!" jawabnya begitu polos. Satu alis Elvano bergerak-gerak, melihat kelakuan Istrinya itu. Tidak habis pikir bagaimana jalan pikiran Monster kecilnya. "Cinta, kalau kamu mau, kita bisa membeli bekal di reset area dan kita bisa menginap di hotel kalau kau kelelahan. Kenapa harus merepotkan diri?" ujar Elvano. Mata Rubby melotot ke arah Elvano. "Paman, aku juga membawa tenda. Karena Paman tahu, selama menuju ke kampung Vina, tidak ada hotel! Karena semuanya hutan. Aku mempersiapkan semua ini karena aku pernah berkunjung ke kampungnya, Paman!" jawab Rubby dengan semangat.
"Aw ...!" Elvano meringis saat mendapatkan tendangan dari Rubby saat Istrinya itu sedang tertidur pulas dalam perjalanan menuju ke kampung Vina. "Yang jadi pemandu jalan sekarang siapa? Kalau Monster kecil ini tidur?" tanya Elvano kepada Mark. "Apakah Tuan juga tidak tahu?" "Aku tahu hanya jalur utamanya. Kalau ke perkampungan, sepertinya harus si kebo ini!" "GPS, Tuan, kita pakai saja. Mungkin bisa berguna." "Kadang sesat!" "Tapi lebih baik mencoba daripada tersesat tanpa arah, bukan?" sahut Mark sambil tersenyum simpul.Elvano terdiam sejenak. Dia kemudian berkata, "Baiklah, kita coba pakai GPS."Mereka lantas mengemudikan mobil mereka mengikuti petunjuk arah dari GPS. Setelah beberapa waktu, mereka berada di jalur hutan dan tidak ada satupun kenderaan yang lewat di jalan yang mereka lalui.Tiba-tiba, GPS mulai memberikan instruksi yang semakin tidak masuk akal. "Belok ke kanan, ke kiri, lalu ke kanan lagi," kata GPS dengan suara yang merdu namun menyeramkan. Elvano merasa ada
"Maaf, Bu, kalau boleh tahu, Siapa yang mencariku?" tanya Vina kepada sipir wanita yang sedang memanggilnya. "Ada seorang pria," jawab sipir itu. Mendengar kata "pria", Vina begitu yakin jika yang mengunjunginya kali ini adalah Sergio. Sontak wajahnya terlihat cemas dan disaat berjalan, Vina tidak henti-hentinya menggigit bibir bawahnya gelisah. "Itu pria yang ingin membebaskanmu," ucap sipir wanita itu. Dugaan Vina benar, ternyata memang Sergio yang datang menemuinya. Wajah Vina seketika berubah tanpa ekspresi. Saat melihat pria itu berjalan ke arah Vina yang masih berdiri. "Bagaimana kabarmu?" tanya Sergio. "Kelihatannya bagaimana?" jawab Vina dengan ketus. "Bersikaplah manis, Vina. Karena sekarang, aku sudah mencabut tuduhan ku terhadapmu!" Vina tertunduk, sungguh pria yang sulit ditebak. Padahal dia yang memasukan dirinya ke sel tahanan. Begitu melihat wajah pria kini sudah berdiri di hadapannya, Vina ingin sekali menampar pipi pria itu. Namun sayangnya, Vina tidak mempuny
"Vina, kuharap kali ini, kau lebih nyaman tinggal tinggal di sini. Tolong jangan bertingkah aneh atau ingin kabur dari dari sini!" ujar Sergio di ambang pintu kamar dimana Vina berada. Vina mengangguk dengan perasaan takut. "Baik—" belum sempat Vina melanjutkan kalimatnya, Sergio berlari sambil memegangi mulutnya meninggalkan Vina. Wanita itu mengernyitkan dahinya melihat reaksi yang Sergio berikan. "Haah ... Bodo! Apa yang harus aku takutkan? Selagi dia tidak menyentuhku atau membuatku seperti mainan, aku tentu akan baik-baik saja," gumam Vina mencoba meyakinkan dirinya. Setelah kepergian Sergio, Vina dengan cepat berlari ke arah pintu kamar yang masih terbuka. Dengan segera, dia mengunci pintu kamar itu dari dalam agar pria mesum seperti Sergio tidak mengganggunya. "Kurasa, ini cukup aman. Untuk saat ini, aku harus berhati-hati dengan serigala ini. Aku tidak boleh terpancing dengan siasat licik serigala liar ini," Vina bermonolog penuh dengan tekad. Setelah memastikan semuanya