"Huu… yeah… begitu… umm!" Vina menggigit bibirnya menahan perasaan aneh saat telapak tangan Sergio bermain di dada Vina. Sementara Mark yang masih berada di lokasi, harus menelan salivanya saat melihat wajah Vina yang begitu menggoda. Sergio segera tersadar. Bahwa mereka masih dilihat oleh beberapa orang di dalam gudang itu pun melepaskan tangannya dari dada wanita itu. "Gio… kenapa dilepas?" rengek Vina dengan tatapan mata penuh nafsu menatap Gio. Gio melepaskan jasnya. Lalu menutupi tubuh Vina. "Ayo, aku akan kamu pulang, Vina. Kamu dalam pengaruh obat," ucap Gio sambil mengangkat tubuh Vina ke dalam gendongan. Vina mendesis-desis dengan lidah menjulur di ceruk leher Gio. Membuat Gio merinding disusul tubuh yang refleks menggeliat. Langkah kaki Gio terhenti di sisi tubuh Mark yang mematung. Di wajah pria berparas eksotik itu, kini terlihat keringat dingin sudah bertumpu."Mark, sisanya kau yang urus. Segera selidiki siapa dibalik penculikan ini. Dan tolong, urus mobil Rubby. Te
"Kau ingin tahu bagaimana aku mengajarimu, Vina? Maka kau akan tahu setelah ini!" Gio yang sudah berada di dalam kamar hotel menatap penuh gelora dengan wanita yang kini sudah telentang di atas tempat tidur berukuran Size king. Tubuh Vina menggeliat seperti cacing yang terkena garam.Gio membuka kancing kemejanya satu per satu. Demi membuktikan jika dirinya bukan pria impoten, caranya hanya satu. Yaitu membuktikan. Gio meraih tengkuk Vina. Dia, mulai mencumbu bibir Vina dengan penuh nafsu. Satu tangan Gio menarik turun kerah baju Vina dan satu gunung itu pun menyembul keluar. "Akhh…!" Vina tiba-tiba merintih ketika Gio mencubit ujung gunung itu yang sudah terasa keras. "Gio, jangan dicubit. Sakit…!" keluhnya manja. Saat Vina menarik wajahnya ke belakang karena merasakan nyeri di ujung dadanya. "Kalau sakit, seharusnya kau tidak menyindirku. Siap dan tidak, kau harus melayaniku malam ini. Karena kau sudah membuat birahi ku menggila," ujar Gio dengan jari-jari yang terus memelintir
"Kau pikir aku wanita seperti apa?" Vina terperanjat kaget. Wanita itu langsung bangun dari tidurnya saat Gio melemparkan sejumlah uang kertas di atas tubuhnya. Dia tidak Terima dengan apa yang dilakukan oleh Gio. Gio menatap hina. Dia pikir, Vina adalah gadis baik-baik. Nyatanya dia sama halnya seperti wanita di luar sana. Jika malam ini Gio yang menodainya, mungkin saja, Gio akan berubah pikiran. Namun, malam ini Gio begitu kecewa. "Ambil saja, kau bukannya hanya wanita melarat, bukan? Untuk apa munafik? Apa yang aku berikan ini masih kurang?" ujarnya penuh cibiran kepada Vina. Vina meraih uang-uang itu. Dia melempar uang tersebut ke arah Gio dengan dada naik-turun emosi. "Ambil dan bawa uangmu. Aku memang wanita miskin. Dan yang kau lihat belum tentu apa yang kau pikirkan! Kau kecewa karena aku tidak perawan? Ya, aku memang melakukan dengan pacarku sebelumnya. Bukan untuk dibayar!" Vina memekik. Gio tersenyum angkuh melihat Vina seperti tersakiti. "Itulah bodohnya wanita. Kalau
"Hmmm… hoaamm!" Rubby merenggangkan tubuhnya perlahan, masih merasakan tubuhnya terlelap setelah tidur semalaman. Namun, tatapan matanya langsung tertuju pada sebuah kertas note yang melekat di atas meja samping tempat tidurnya. Rubby membaca dengan seksama, senyumnya semakin melebar ketika ia menyadari bahwa itu adalah catatan dari Elvano."Jika sudah bangun, aku sudah menyiapkan susu coklat dan Sandwich. Sarapan barulah ke kampus. Aku sudah kembali ke Mansion karena ada sedikit urusan. Semoga kamu suka dengan sarapan yang aku buat." Rubby membaca catatan tersebut.Rubby merasakan detak jantungnya menjadi semakin cepat, hatinya berdebar kencang saat membayangkan Elvano sibuk menyiapkan sarapan untuk dirinya. Ia merasa sangat istimewa. Rubby bangkit dari tempat tidurnya dengan perasaan bahagia dan antusias yang meluap-luap.Dengan cepat, Rubby membersihkan dirinya dan melangkah keluar dari kamarnya. Ia tercengang ketika melihat meja sudah ada sarapan yang disiapkan oleh Elvano dengan
"Sial! Mereka bahkan tidak bisa menangani wanita itu. Apa susahnya membuat dia cedera!" Di ruang televisi itu, Olivia membanting ponselnya dengan emosi yang membakar dada. Ponsel yang ia banting mengeluar bunyi keras, Dia terlihat benar-benar kacau saat dirinya mendapatkan telepon jika rencananya tersebut gagal total. "Haarrrgghh!" Olivia menjatuhkannya tubuhnya di atas sofa. "Bodoh! Tidak berguna! Aku sudah mentransfer sejumlah uang tapi apa! Sama sekali sia-sia!" geramnya kecewa dengan rasa frustasi. Soraya yang duduk sambil menyeruput teh pun hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya yang seperti orang gila l berteriak lantang dan marah-marah. Soraya meletakkan cangkirnya di atas meja kaca. "Ibu sudah mengatakan, bukan? Kamu jangan dulu mencari masalah dengan Rubby. Apalagi Ayahmu sekarang emosinya begitu tidak stabil," ucap Soraya. Oliva bangun dari sofa dan duduk dengan tegak. Dia menatap tajam ke dalam manik mata Soraya dengan tatapan penuh bara api yang dirinya
Di ruang rapat, Sergio duduk di ujung meja, menghadap teman-temannya. Mereka duduk dengan serius, sedang membahas masalah yang mendesak: konser yang akan digelar dalam waktu dekat. Namun, ada satu masalah yang belum terselesaikan - penyanyi yang akan memeriahkan konser tersebut.Sergio menjelaskan dengan penuh semangat, "Kita perlu menemukan penyanyi yang tepat untuk konser ini. Kita butuh seseorang yang bisa menghidupkan suasana, membuat penonton terpukau. Ide-ide, siapa yang bisa kita undang?"Teman-teman Sergio mulai memberi saran dan mencoba mencari nama-nama penyanyi yang potensial. Mereka berdiskusi dengan penuh semangat, mencoba memilih yang terbaik dari banyak pilihan.Namun, satu orang terdiam sejak Sergio memberikan penjelasan - Elvano. Dia duduk di sudut ruangan, kehilangan sorot matanya. Teman-temannya memperhatikannya dengan kekhawatiran, menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.Sergio melihat Elvano dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu
"Segeralah mandi dan tidur," ucap Elvano dingin. Elvano merasa tersinggung dengan ucapan Rubby. Suasana yang tadinya penuh gelora, kini menjadi hambar karena ucapan Rubby. Elvano segera meraih handuk putih yang tergantung dan segera mengusap ke rambutnya yang basah dan berlalu dari kamar mandi. Rugby mematung melihat sikap Elvano yang tiba-tiba saja dingin dan cuek. Dia buru-buru meraih handuk kimono dan segera menyusul Elvano. Di dalam kamar, Elvano membuka lemari pakaiannya untuk dikenakan. "Paman, ada apa denganmu? Kenapa kamu bertingkah seperti ini? Apakah aku mengucapkan sesuatu yang salah?" tanya Rugby dengan bingung melihat perubahan sikap yang Elvano tunjukan kepadanya. Sambil mengenakan kemejanya, Elvano pun menjawab. "Rubby, kamu benar. Sepertinya hubungan kita hanya Suami-Istri di atas kertas. Untuk kedepannya, kita masing-masing. Pernikahan ini terjadi karena kita mempunyai tujuan masing-masing." Sedikit terkejut mendengar penuturan Elvano. 'Jadi, yang membuat Paman
"Bubu…!" Wanita tinggi dengan tubuh yang proporsional, berjalan dengan elegan di dalam bandara. Rambutnya tergerai lurus seperti air, menambah kesan anggun pada penampilannya. Wajahnya yang cantik memancarkan kilauan yang menarik perhatian. Dengan senyuman manis, ia melambaikan tangan ke arah Elvano yang sedang berjalan menuju area kedatangan. "Bubu, aku disini!" serunya dengan senyum merekah lebar melihat kedatang Elvano. Dibalik masker yang Elvano kenalan, wajah sedingin Es saat matahari sudah berada di atas kepala, Elvano yang menggunakan masker mulut itu melangkah menuju ke arah Anna. Elvano sengaja memakai masker mulut karena takut terlihat oleh publik. "Bubu…! I Miss You So Much!" Anna memeluk tubuh Elvano dengan gembira. Sesekali, dia mengecup pipi Elvano. Elvano yang merasa risih pun mendorong tubuh mantan kekasihnya itu. "Jaga sikapmu. Kamu seorang bintang!" hardik Elvano. Anna mengerucutkan bibirnya. "Kamu masih marah? Karena aku meninggalkanmu?" Dengan wajah yang mas