Elvano tengah berkutat dengan berkas-berkasnya. Hari ini, sepertinya laporan perusahaan begitu menumpuk. Padahal, Elvano sudah berjanji kepada Amora untuk mengajak keluarga kecil mereka jalan-jalan.
"Sampai kapan pekerjaan ini selesai?" Elvano melirik jam di pergelangan tangannya. Rasa rindu dengan kepada Rubby dan Amora membuat Elvano merasa semakin tergesa-gesa. Dia merasa waktu berjalan begitu lambat, seolah-olah jam di pergelangan tangannya berhenti bergerak.Elvano menghela nafas panjang, mencoba meredakan rasa frustrasinya. Dia meraih secangkir kopi yang sudah dingin di meja kerjanya, menyeruputnya pelan sambil menatap tumpukan berkas yang masih harus dia selesaikan.Tok tok tokElvano terperanjat mendengar suara ketukan ruangan. "Masuk!" Perintah Elvano.Pintu pun terbuka, dan Mark melangkah masuk ke dalam ruangan di mana Elvano berada. "Tuan, Nona Olivia ingin bertemu dengan anda." lapor Mark.Elvano mengerutkan alisny"Kamu kenapa, Monster Kecil? Kenapa terlihat sangat cemas?" tanya Elvano yang kini sedang duduk di gazebo belakang kediaman ditemani oleh Rubby.Dengan meremas kedua tangannya gelisah, Rubby pun menjawab, "tadi siang Amy, ibu kandung Amora menelpon, Paman. Wanita itu meminta uang 50 juta. Jika kita tidak memberikan uang tersebut, mereka akan mencabut hak adopsi Amora." "Apa?!" Elvano terkejut. "Tapi mengapa mereka meminta uang sebesar itu? Bukankah kita sudah membayar biaya adopsi dengan jumlah yang sudah ditentukan?"Rubby menghela nafas berat. "Mungkin ada masalah keuangan di pihak mereka, Paman, atau mungkin mereka memanfaatkan situasi untuk mendapatkan lebih banyak uang karena mereka tahu jika Paman adalah seorang Presdir di sebuah perusahaan terbesar," jawab Rubby.Elvano yang mendengar jawaban Monster Kecilnya pun tersenyum sinis. "Mereka pikir dengan statusku sebagai presdir, mereka bisa meminta uang dengan seenaknya udel mereka? Dikira me
"Maafkan aku, Paman Dokter. Jika penolakanku membuat Paman Dokter kecewa. Bisakah Paman memaafkanku?" ucap Gina lirih menatap Andre dengan tatapan sayu. "Sudahlah, kesempatan sudah aku berikan. Jika kamu masih ingin bertahan, silahkan. Jika tidak, silahkan pergi. Dan satu hal lagi, jangan lupa untuk terus mengkonsumsi pil kontrasepsi. Karena aku tidak ingin kamu hamil. Dan jangan pernah berpikir jika kamu harus mengandung benihku!" tegas Andre. Gina tertunduk mendengar penuturan Andre. Itu terasa sangat menyakitkan hatinya merasa terkoyak. Jika dia tahu dari awal, dia tidak akan menolak pria yang menggunakan jas lab itu. "Hah...!" Gina membuang nafas panjang. "Baiklah Paman Dokter, aku tidak akan hamil anakmu," jawabnya lirih. "Bagus. Jika kamu berpikir demikian. Jadi sekarang, segera bersihkan semua kekacauan yang ada di sini sebelum para pasien berkunjung!" "Baik," jawab Gina, dia segera turun dari bed pasien dan melepaskan seprei
"Untuk apa Ayah harus tahu? Aku sudah cukup dewasa. Jadi berhenti memperlakukan aku seperti Anak kecil lagi!" bentak Olivia. Olivia membalikkan tubuhnya berlalu, dia merasa sakit hati akibat tamparan yang dirinya terima. Almero yang melihat sikap Olivia seperti itu, pria paruh bayah tersebut segera mengejar. "Olivia, dengarkan Ayah! Berhenti!" Almero berteriak lantang melihat Olivia berlalu. Olivia tak memperdulikan teriakan Ayahnya dan terus melangkah cepat menjauh. Air mata mulai membanjir di wajahnya, campur aduk dengan rasa marah dan kekecewaan yang memenuhi hatinya. Setelah beberapa langkah, Olivia berbalik dan melihat Ayahnya yang mencoba mengejarnya. "Ayah, aku sudah dewasa! Aku bisa mengatur hidupku sendiri, tidak perlu ikut campur! Apa yang aku lakukan, aku tentu sudah memikirkan resikonya!" pekik Olivia. Wanita itu kembali melangkah tanpa menunggu jawab dari Almero. "Olivia! Kamu memang anak pembangkang. Ayah bilang berhent
Pagi hari saat matahari sudah menampakkan dirinya menyapa para penduduk bumi, Amora terbangun dari tidurnya. "Mama...!" Panggil gadis kecil sambil melangkah ke arah pintu kamarnya. "Krek!" Amora keluar dari kamar menuju ke kamar orang tuanya. "Mama... Papa!" Panggil Amora di depan pintu kamar. Di dalam kamar, Rubby terperanjat kaget saat mendengar panggilan Amora. Rubby bergegas hendak bangun. Namun tangan Elvano masih melingkar di pinggang wanita itu. Rubby tersenyum menatap Elvano, dia mengusap lembut pipi Suaminya lalu pelan-pelan menyingkirkan tangan Elvano dari pinggangnya. Berharap, suaminya itu tidak terbangun dengan gerakan pelan yang Rubby lakukan. "Mmm...." Elvano mengeram dengan kepala menggeliat beberapa kali lalu membuka matanya yang masih terasa amat berat itu menatap ke arah Rubby. "Monster Kecil, kamu mau ke mana?" Tanya Elvano dengan suara serak. "Amora menangis di depan pintu, Paman. Maka dari itu, aku mau
"Sepertinya, kita harus bertemu untuk membicarakan masalah ini," ucap Rubby membalas ucapan si penelpon. Tidak ada jawaban dari seberang, Rubby hanya mendengar bisik-bisik yang tidak bisa Rubby tangkap pembicaraan di seberang telepon. Sepertinya, Amy sedang berbicara dengan suami atau orang lain di sana. "Baik, jika Nyonya ingin bertemu. Tapi, bawa uang 50 juta yang aku minta. Jika tidak, aku akan mengatakan kepada Amora. Bahwa kamu bukanlah Ibu kandungnya," ucap Amy terdengar seperti mengancam. Rubby merasakan detak jantungnya meningkat dengan cepat saat mendengar ancaman tersebut. Rubby merenung sejenak, lalu menjawab, "baik, aku akan membawa uang sesuai yang kamu minta. Di mana kita akan bertemu?" "Di kafe melati. Aku tunggu!" tanpa menunggu jawaban dari Rubby, wanita itu sudah memutuskan sambungan teleponnya. Rubby menarik nafas dalam-dalam, mencoba menguasai diri. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dalam hatinya, Rubby marah besa
Rubby duduk di kursi sudut paling pojok di sebuah bangunan kafe yang sudah ditetapkan oleh Amy dan dirinya. Sesekali, Rubby menyesap minuman yang sudah dia pesan. "Kenapa lama sekali? Apakah Amy hanya sengaja mengerjaiku?" gumam Rubby, tangannya sibuk memainkan sedotan di dalam gelas. Rubby melirik jam di pergelangan tangannya. "Sudah satu jam aku menunggu. Ditelfon nomornya tidak aktif. Orang ini serius atau hanya bermain-main?" Rubby dengan gelisah masih berharap jika Amy akan datang dan dia ingin menyelesaikan konflik antara dirinya dan Amy. "Maaf, sudah membuat Nyonya menunggu." wanita paruh baya itu menarik kursi dan duduk di hadapan Rubby. Wajah yang Rubby tunjukkan begitu datar saat menyambut kedatangan Amy. "Aku tidak suka basa-basi. Aku akan memberikan uang 50 juta itu sesuai dengan yang kamu minta. Namun, aku ingin ada kesepakatan yang harus kamu setujui," ucap Rubby dengan suara tegas. Amy memandang Rubby dengan tatapan tajam. "Kesepakatan apa yang kamu maksud?" tanya
"Mama...!" seru Amora berlari menghampiri Rubby dengan senyum lebar yang merekah di bibir mungilnya. Rubby merentangkan tangannya menyambut tubuh mungil Amora. Anak yang telah hadir memberikan warna dan senyuman dibibir Rubby setelah insiden kecelakaan. Setelah bertemu dengan Amy, Rubby memutuskan untuk menjemput Amora. Karena tepat dengan waktu pulang Amora. "Mama, tadi atu belajal dan mendapatan teman yang banyat!" celoteh Amora yang begitu bersemangat menceritakan pengalamannya saat les pertama kali. Mendengarkan si kecil berceloteh, tentu hal yang membuat Rubby sangat bersemangat untuk menjalani hidup nya lagi. "Oh ya? Siapa teman barumu, sayang?" tanya Rubby sambil mengelus rambut Amora dengan penuh kasih sayang. "Namanya Salah, Mama. Dia baik banget dan senang setali main dengan Mola. Tita langsung jadi teman!" jawab Amora riang.Rubby tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Amora. "Apa kalian berdua sudah berjanji untuk bertemu lagi besok?" tanya Rubby."Bel
“Apa maksudmu dengan berkata demikian, hah?” tanya Elvano dengan satu alis naik. Bibir dengan warna menyala itu menyungging menanggapi pertanyaan Elvano. Olivia turun dari sisi meja, wanita itu berjalan ke arah Elvano sambil telapak tangan menyeret manja di atas permukaan meja. Olivia, Menatap lekat wajah Elvano, menarik dasi yang Elvano kenakan hingga wajah Elvano terdorong maju tepat di depan wajah Olivia. “Kakak Ipar, kita sudah sama-sama Dewasa, kan? Masa, harus aku jelaskan apa tujuanku? Apakah Kakak Ipar tidak ingin mempunyai penerus?” ucap Olivia dengan suara yang terdengar menggoda.Wajah Elvano berubah berang, rahangnya tiba-tiba mengeras saat mengetahui jika Olivia ingin memprovokasinya. “Lepaskan tanganmu, apa kau pikir aku akan tertarik dengan tawaranmu, huh?” sentak Elvano. Bukannya menyingkir atau takut, Olivia mendekatkan bibirnya lebih dekat pada wajah Elvano. “Kakak ipar, tolong tidak perlu munafik. sebenarnya, jauh di dalam hatimu tentu menginginkan seorang anak