Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Setelah suasana tegang yang melanda kediaman Rossie selama ini, Mansion tersebut kini terlihat tenang. Udara di sekitarnya terasa segar, menciptakan atmosfer yang nyaman. Keindahan alam dengan kebun-kebun yang hijau dan pepohonan yang rimbun, menambah pesona Mansion Rossie yang tak tergantikan.Dalam suasana yang menyejukkan itu, terdengar suara angin yang perlahan menerpa dedaunan, menciptakan bunyi desiran yang menenangkan. Sinar matahari menerobos melalui celah pepohonan, menyisakan bayangan yang bermain-main di sekitar Mansion kebanggaan Nyonya besar."Bagaimana persiapannya?" tanya Nyonya besar sambil berbisik, kepada kepala pelayan yang sedang berjalan ke luar rumah utama."Aman, Nyonya. Mereka bekerja sesuai rencana," sahutnya."Bagus."Nyonya besar tersenyum puas dengan penuturan kepala pelayan. Wanita tua itu kemudian melanjutkan perjalanannya untuk menuju ke kamar sang cucu yang tak jauh dari kamarnya.Di sekitar ruangan, tercium aroma mawar yang mampu mengisi Mansion Rossie
Di ruang keamanan yang canggih di Mansion Rossie, tim keamanan yang dipimpin oleh Clark terus sibuk dengan pekerjaan intens mereka. Tim keamanan sedang berusaha keras untuk menganalisis data terkait pelaku penusukan Arren, Nona muda mereka. Clark, yang tidak sabar menunggu proses investigasi kepolisian, lebih suka melakukan penelusuran jejak sendiri dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Sumber daya keluarga Rossie tidak dapat diremehkan. Mereka memiliki segala hal yang diperlukan untuk kepentingan penyelidikan. "Sudah berapa banyak data yang berhasil kalian analisis?" tanya Clark dengan penuh perhatian kepada salah seorang anggota timnya."Hingga saat ini, kami telah berhasil menganalisis data dari 50 orang residivis, Tuan," jawab anggota timnya."Residivis kasus apa?""Mereka adalah residivis dengan kasus pembunuhan," sahutnya. Clark mengangguk puas. "Bagus sekali! Lanjutkan analisis kalian. Tetap fokus pada orang-orang yang memiliki kemungkinan untuk melakukan tindakan sekeji in
"Bagaimana persiapannya?""Clear!""Bagus. Kita berangkat!"Tim keamanan bekerja sama untuk mengamankan area Mansion terlebih dahulu, dan memastikan bahwa seluruh akses telah dijaga secara ketat dan terkendali. Mereka meningkatkan keamanan dengan memperkuat patroli.Setelah menyusun rencana dengan matang, Clark kemudian mengumpulkan tim keamanan terbaik untuk menangkap terduga pelaku. Mereka segera bergerak menuju ke desa Tar untuk menegakkan keadilan. ***Suasana di desa tampak lengang dan mencekam. Tidak ada tanda-tanda aktivitas warga di waktu petang seperti ini. Clark dan timnya sengaja melakukan operasi ketika matahari telah terbenam, agar pergerakannya tidak menarik perhatian.Clark dan timnya, yang terdiri dari anggota keamanan yang terlatih, bergerak menuju ke arah bangunan tua yang terletak di perbatasan desa. Bangunan tersebut dikelilingi oleh pepohonan lebat dan jalanan yang curam, sehingga memberikan kesan yang semakin menyeramkan. "Kita berpencar, blokir pintu keluar," p
Arren dan Nyonya besar telah sampai di pusat kota. Betapa terkejutnya mereka, suasana yang awalnya kacau dan mencekam, kini tampak tenang. Massa tidak lagi berdemo menuntut pelengseran pimpinan. Mereka hanya berkumpul, dengan alas duduk, payung, dan segala yang dapat menutupi diri dari terik matahari, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan sebagai penyemangat di siang ini. Arren dan Nyonya Besar merasa lega. Selama beberapa waktu ini, para massa tampak beringas dan bahkan saling melukai. Bentrokan fisik menjadi tak terelakkkan, dan rumah sakit-rumah sakit menjadi penuh oleh para korban demonstrasi. Namun, saat ini, suasana terlihat aman dan kondusif. Massa aksi yang sebelumnya marah dan beringas sekarang tampak tenang, meskipun kerusakan yang diakibatkan oleh aksi anarkis masih terlihat di sekeliling mereka. Beberapa bangunan rusak, jalan-jalan berdebu, dan sisa-sisa api yang padam dari bentrokan sebelumnya masih terlihat. Namun, suasana telah berubah menjadi lebih damai, benar-be
“Kau masih bisa berbicara?” tanya Nyonya Rossie bernada satir pada Abigail yang sok berkuasa. “Ibu, ini adalah forum resmi, sopanlah kepadaku.” “Aku bukan Ibumu!” “Ya, terserahlah…” Adu mulut dua pimpinan itu membuat suasana ruang rapat menjadi tegang. Para anggota dewan yang hadir merasa tidak nyaman dengan konflik yang sedang berlangsung di antara dua wanita itu. Beberapa dari mereka mencoba menjaga ketenangan dengan tetap fokus pada agenda rapat. Namun, kehadiran Abigail–sang pimpinan baru yang belum mendapatkan pengakuan– cukup mengganggu kondusifitas rapat hari ini. Salah seorang anggota dewan akhirnya mencoba menenangkan situasi. "Mungkin kita sebaiknya fokus pada agenda rapat hari ini. Dimohon para Nyonya dapat tenang," ucapnya tanpa ingin menyinggung salah satu di antara mereka. "Kita harus mencari solusi atas tuntutan para demonstran yang merusak kota selama beberapa hari ini,” lanjutnya. Nyonya Rossie mengangguk setuju, sementara Abigail mengalihkan pandangannya. Ia t
"Siapa itu?" Abigail menyipitkan mata, tidak bisa melihat dengan jelas gerombolan perusuh yang tampak memadati ruang rapat yang suci ini. "Nyonya Abigail! Anda dan Nyonya Andersen telah mencederai hak kami!" teriaknya masih penuh amarah. "Kalian akan kami tuntut!""Sialan! Setan tua Voltus! Mau apa dia?!" geram Abigail ketika melihat Tuan Voltus, pemimpin kelompok oposisi yang tiba-tiba muncul dan menciptakan kerusuhan di tempat ini.Kelompok oposisi seharusnya menjadi sahabat politiknya, namun entah kenapa, sekarang mereka tampak menjadi musuh yang pahit. Abigail merasa bingung, ia tidak memahami mengapa situasi bisa berubah seburuk ini."Bibi, apa yang terjadi?" tanya Abigail dengan panik kepada Nyonya Andersen."Entahlah, Abbey. Tahan emosimu!" Nyonya Andersen beranjak dari kursinya kemudian mendekat ke arah Tuan Voltus dan rombongannya. Jantungnya berdetak kencang, tidak menyangka akan adanya perdebatan seperti ini. "Tuan-tuan, apa yang terjadi? Apakah Anda terlambat datang rapat
(Distrik Provence, Rossie; 40 tahun yang lalu) "Ibu di mana?" tanya Abigail kecil, yang saat itu berusia 5 tahun. Pengasuhnya baru saja membuatkan makanan, namun Abigail menolak memakannya karena menunggu kehadiran sang ibu. "Ibu Anda sedang berada di paviliun, Nona. Silakan dimakan sarapannya," ucap sang pengasuh sedikit memaksa. Sepertinya, ia tidak mengizinkan Abigail menemui sang ibu. "Aku ingin makan bersama Ibu!""Tidak boleh! Maksud saya... Tidak bisa, Nona. Ayah Anda akan segera menjemput, silakan makan dulu baru menemui beliau."Abigail merengek dan menolak bujukan pengasuhnya. Ia bersikeras ingin menemui sang ibu, baru menghabiskan makanannya. Abigail sudah beberapa waktu ini tidak bertemu dengan ibunya. Ia ingin sekali merangkul ibunya lagi, mendengar suaranya, dan merasakan kehangatan cinta sang ibunda yang telah lama tidak dirasakannya. Namun, ibunya kini terbaring lemah di kamar yang jauh di Paviliun sana. Nyonya besar bahkan hampir tak berdaya, dan hanya sedang menu
Malam yang kacau di Balai Regional membuat Nyonya Besar dan Arren dievakuasi secara mendadak. Pimpinan tim pengawal, Clark, dengan sigap mengarahkan kedua majikannya itu ke mobil pengawal. Setelah itu, mereka segera meninggalkan lokasi bentrok untuk dipindahkan ke tempat yang aman.Mesin mobil terus berderu dengan kecepatan sedang yang saling beriringan. Tiga mobil berderet rapi di sisi jalan, dengan mantan pimpinan Rossis di awal barisan. Mereka membentuk iring-iringan mobil yang melaju secara rapi, dengan tekad untuk terus menyelaraskan barisan."Syukurlah kalian mengevakuasi tepat waktu. Arren hampir terluka lagi," ucap Nyonya besar sambil menghela napas. "Kami telah mengidentifikasi situasi sebelumnya, Nyonya. Shaun juga memperingatkan tentang potensi bentrok. Kami selalu waspada," sahut Clark dengan tegas. Di samping kirinya, sang sopir yang sedang menyetir dengan tenang, tidak tampak bersuara. "Nenek, apa yang terjadi dengan Shaun dan Tuan West? Mengapa mereka tidak ikut kita
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.