Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Di ruang keamanan yang canggih di Mansion Rossie, tim keamanan yang dipimpin oleh Clark terus sibuk dengan pekerjaan intens mereka. Tim keamanan sedang berusaha keras untuk menganalisis data terkait pelaku penusukan Arren, Nona muda mereka. Clark, yang tidak sabar menunggu proses investigasi kepolisian, lebih suka melakukan penelusuran jejak sendiri dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Sumber daya keluarga Rossie tidak dapat diremehkan. Mereka memiliki segala hal yang diperlukan untuk kepentingan penyelidikan. "Sudah berapa banyak data yang berhasil kalian analisis?" tanya Clark dengan penuh perhatian kepada salah seorang anggota timnya."Hingga saat ini, kami telah berhasil menganalisis data dari 50 orang residivis, Tuan," jawab anggota timnya."Residivis kasus apa?""Mereka adalah residivis dengan kasus pembunuhan," sahutnya. Clark mengangguk puas. "Bagus sekali! Lanjutkan analisis kalian. Tetap fokus pada orang-orang yang memiliki kemungkinan untuk melakukan tindakan sekeji in
"Bagaimana persiapannya?""Clear!""Bagus. Kita berangkat!"Tim keamanan bekerja sama untuk mengamankan area Mansion terlebih dahulu, dan memastikan bahwa seluruh akses telah dijaga secara ketat dan terkendali. Mereka meningkatkan keamanan dengan memperkuat patroli.Setelah menyusun rencana dengan matang, Clark kemudian mengumpulkan tim keamanan terbaik untuk menangkap terduga pelaku. Mereka segera bergerak menuju ke desa Tar untuk menegakkan keadilan. ***Suasana di desa tampak lengang dan mencekam. Tidak ada tanda-tanda aktivitas warga di waktu petang seperti ini. Clark dan timnya sengaja melakukan operasi ketika matahari telah terbenam, agar pergerakannya tidak menarik perhatian.Clark dan timnya, yang terdiri dari anggota keamanan yang terlatih, bergerak menuju ke arah bangunan tua yang terletak di perbatasan desa. Bangunan tersebut dikelilingi oleh pepohonan lebat dan jalanan yang curam, sehingga memberikan kesan yang semakin menyeramkan. "Kita berpencar, blokir pintu keluar," p
Arren dan Nyonya besar telah sampai di pusat kota. Betapa terkejutnya mereka, suasana yang awalnya kacau dan mencekam, kini tampak tenang. Massa tidak lagi berdemo menuntut pelengseran pimpinan. Mereka hanya berkumpul, dengan alas duduk, payung, dan segala yang dapat menutupi diri dari terik matahari, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan sebagai penyemangat di siang ini. Arren dan Nyonya Besar merasa lega. Selama beberapa waktu ini, para massa tampak beringas dan bahkan saling melukai. Bentrokan fisik menjadi tak terelakkkan, dan rumah sakit-rumah sakit menjadi penuh oleh para korban demonstrasi. Namun, saat ini, suasana terlihat aman dan kondusif. Massa aksi yang sebelumnya marah dan beringas sekarang tampak tenang, meskipun kerusakan yang diakibatkan oleh aksi anarkis masih terlihat di sekeliling mereka. Beberapa bangunan rusak, jalan-jalan berdebu, dan sisa-sisa api yang padam dari bentrokan sebelumnya masih terlihat. Namun, suasana telah berubah menjadi lebih damai, benar-be
“Kau masih bisa berbicara?” tanya Nyonya Rossie bernada satir pada Abigail yang sok berkuasa. “Ibu, ini adalah forum resmi, sopanlah kepadaku.” “Aku bukan Ibumu!” “Ya, terserahlah…” Adu mulut dua pimpinan itu membuat suasana ruang rapat menjadi tegang. Para anggota dewan yang hadir merasa tidak nyaman dengan konflik yang sedang berlangsung di antara dua wanita itu. Beberapa dari mereka mencoba menjaga ketenangan dengan tetap fokus pada agenda rapat. Namun, kehadiran Abigail–sang pimpinan baru yang belum mendapatkan pengakuan– cukup mengganggu kondusifitas rapat hari ini. Salah seorang anggota dewan akhirnya mencoba menenangkan situasi. "Mungkin kita sebaiknya fokus pada agenda rapat hari ini. Dimohon para Nyonya dapat tenang," ucapnya tanpa ingin menyinggung salah satu di antara mereka. "Kita harus mencari solusi atas tuntutan para demonstran yang merusak kota selama beberapa hari ini,” lanjutnya. Nyonya Rossie mengangguk setuju, sementara Abigail mengalihkan pandangannya. Ia t
"Siapa itu?" Abigail menyipitkan mata, tidak bisa melihat dengan jelas gerombolan perusuh yang tampak memadati ruang rapat yang suci ini. "Nyonya Abigail! Anda dan Nyonya Andersen telah mencederai hak kami!" teriaknya masih penuh amarah. "Kalian akan kami tuntut!""Sialan! Setan tua Voltus! Mau apa dia?!" geram Abigail ketika melihat Tuan Voltus, pemimpin kelompok oposisi yang tiba-tiba muncul dan menciptakan kerusuhan di tempat ini.Kelompok oposisi seharusnya menjadi sahabat politiknya, namun entah kenapa, sekarang mereka tampak menjadi musuh yang pahit. Abigail merasa bingung, ia tidak memahami mengapa situasi bisa berubah seburuk ini."Bibi, apa yang terjadi?" tanya Abigail dengan panik kepada Nyonya Andersen."Entahlah, Abbey. Tahan emosimu!" Nyonya Andersen beranjak dari kursinya kemudian mendekat ke arah Tuan Voltus dan rombongannya. Jantungnya berdetak kencang, tidak menyangka akan adanya perdebatan seperti ini. "Tuan-tuan, apa yang terjadi? Apakah Anda terlambat datang rapat
(Distrik Provence, Rossie; 40 tahun yang lalu) "Ibu di mana?" tanya Abigail kecil, yang saat itu berusia 5 tahun. Pengasuhnya baru saja membuatkan makanan, namun Abigail menolak memakannya karena menunggu kehadiran sang ibu. "Ibu Anda sedang berada di paviliun, Nona. Silakan dimakan sarapannya," ucap sang pengasuh sedikit memaksa. Sepertinya, ia tidak mengizinkan Abigail menemui sang ibu. "Aku ingin makan bersama Ibu!""Tidak boleh! Maksud saya... Tidak bisa, Nona. Ayah Anda akan segera menjemput, silakan makan dulu baru menemui beliau."Abigail merengek dan menolak bujukan pengasuhnya. Ia bersikeras ingin menemui sang ibu, baru menghabiskan makanannya. Abigail sudah beberapa waktu ini tidak bertemu dengan ibunya. Ia ingin sekali merangkul ibunya lagi, mendengar suaranya, dan merasakan kehangatan cinta sang ibunda yang telah lama tidak dirasakannya. Namun, ibunya kini terbaring lemah di kamar yang jauh di Paviliun sana. Nyonya besar bahkan hampir tak berdaya, dan hanya sedang menu
Malam yang kacau di Balai Regional membuat Nyonya Besar dan Arren dievakuasi secara mendadak. Pimpinan tim pengawal, Clark, dengan sigap mengarahkan kedua majikannya itu ke mobil pengawal. Setelah itu, mereka segera meninggalkan lokasi bentrok untuk dipindahkan ke tempat yang aman.Mesin mobil terus berderu dengan kecepatan sedang yang saling beriringan. Tiga mobil berderet rapi di sisi jalan, dengan mantan pimpinan Rossis di awal barisan. Mereka membentuk iring-iringan mobil yang melaju secara rapi, dengan tekad untuk terus menyelaraskan barisan."Syukurlah kalian mengevakuasi tepat waktu. Arren hampir terluka lagi," ucap Nyonya besar sambil menghela napas. "Kami telah mengidentifikasi situasi sebelumnya, Nyonya. Shaun juga memperingatkan tentang potensi bentrok. Kami selalu waspada," sahut Clark dengan tegas. Di samping kirinya, sang sopir yang sedang menyetir dengan tenang, tidak tampak bersuara. "Nenek, apa yang terjadi dengan Shaun dan Tuan West? Mengapa mereka tidak ikut kita
Hujan deras yang semakin mengguyur jalanan kota membuat suasana semakin menyeramkan. Hari sudah semakin malam, tidak ada satu kendaraan pun yang melintasi jalan, selain iring-iringan mobil sang Nyonya besar. Butiran-butiran air hujan berdengung, menciptakan suara memekakkan telinga ketika menyentuh bagian atap mobil yang berlapis baja. Kaca depan tertutup oleh tetes-tetes air yang berputar-putar, seiring dengan sapuan wiper yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Jarak pandang sopir menjadi sangat terbatas, sehingga membuat perjalanan semakin berisiko."Pak, tidakkah kita menepi dulu?" tanya Arren yang mulai mengkhawatirkan kondisi jalanan yang kian membahayakan. "Tidak, Nona. Kita tidak bisa mengambil resiko. Saya akan menyetir dengan hati-hati," ucap sang sopir dengan tegas. "Benar, Arren. Jika kita berhenti, akan bahaya," sahut Clark yang juga menyetujui ide sang sopir. Meski pelan, mereka harus tetap bergerak, supaya tidak memberikan kesempatan bagi penjahat untuk mengejar mereka