Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Gemuruh ombak yang marah terus menghantam sisi kapal Serenade, menciptakan harmoni alami yang tak kenal lelah mengguncang perjalanan mereka. Angin malam memilin rambut Leon yang saat ini sedang naik ke dek kapal. Perasaannya yang berat selama beberapa waktu, kini menghangat. Arren, istrinya itu, akan segera kembali lagi ke pelukannya.. “Aku tidak percaya ini,” gumamnya dengan mata berkabut yang seakan hendak menumpahkan airnya. Leon tak dapat menahan haru dan kegembiraan hatinya yang begitu membuncah, setelah mendengar kabar bahwa istrinya dan ia akan kembali bersama. Setelah merenung selama beberapa saat, Leon kembali lagi ke penjara tempat Mei Ling ditahan. Tatapannya tajam dan penuh tekad. Ia ingin mengorek informasi berharga ini sedetail mungkin. Jika sampai Mei Ling berani membohonginya, Leon akan memastikan bahwa hari itu adalah hari terakhirnya di dunia. "Kau harus tahu, ini adalah satu-satunya kesempatanmu untuk menebus kesalahan, Mei Ling," ujar Leon dengan suara yang tajam
Setelah suasana tegang yang melanda kediaman Rossie selama ini, Mansion tersebut kini terlihat tenang. Udara di sekitarnya terasa segar, menciptakan atmosfer yang nyaman. Keindahan alam dengan kebun-kebun yang hijau dan pepohonan yang rimbun, menambah pesona Mansion Rossie yang tak tergantikan.Dalam suasana yang menyejukkan itu, terdengar suara angin yang perlahan menerpa dedaunan, menciptakan bunyi desiran yang menenangkan. Sinar matahari menerobos melalui celah pepohonan, menyisakan bayangan yang bermain-main di sekitar Mansion kebanggaan Nyonya besar."Bagaimana persiapannya?" tanya Nyonya besar sambil berbisik, kepada kepala pelayan yang sedang berjalan ke luar rumah utama."Aman, Nyonya. Mereka bekerja sesuai rencana," sahutnya."Bagus."Nyonya besar tersenyum puas dengan penuturan kepala pelayan. Wanita tua itu kemudian melanjutkan perjalanannya untuk menuju ke kamar sang cucu yang tak jauh dari kamarnya.Di sekitar ruangan, tercium aroma mawar yang mampu mengisi Mansion Rossie
Di ruang keamanan yang canggih di Mansion Rossie, tim keamanan yang dipimpin oleh Clark terus sibuk dengan pekerjaan intens mereka. Tim keamanan sedang berusaha keras untuk menganalisis data terkait pelaku penusukan Arren, Nona muda mereka. Clark, yang tidak sabar menunggu proses investigasi kepolisian, lebih suka melakukan penelusuran jejak sendiri dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Sumber daya keluarga Rossie tidak dapat diremehkan. Mereka memiliki segala hal yang diperlukan untuk kepentingan penyelidikan. "Sudah berapa banyak data yang berhasil kalian analisis?" tanya Clark dengan penuh perhatian kepada salah seorang anggota timnya."Hingga saat ini, kami telah berhasil menganalisis data dari 50 orang residivis, Tuan," jawab anggota timnya."Residivis kasus apa?""Mereka adalah residivis dengan kasus pembunuhan," sahutnya. Clark mengangguk puas. "Bagus sekali! Lanjutkan analisis kalian. Tetap fokus pada orang-orang yang memiliki kemungkinan untuk melakukan tindakan sekeji in
"Bagaimana persiapannya?""Clear!""Bagus. Kita berangkat!"Tim keamanan bekerja sama untuk mengamankan area Mansion terlebih dahulu, dan memastikan bahwa seluruh akses telah dijaga secara ketat dan terkendali. Mereka meningkatkan keamanan dengan memperkuat patroli.Setelah menyusun rencana dengan matang, Clark kemudian mengumpulkan tim keamanan terbaik untuk menangkap terduga pelaku. Mereka segera bergerak menuju ke desa Tar untuk menegakkan keadilan. ***Suasana di desa tampak lengang dan mencekam. Tidak ada tanda-tanda aktivitas warga di waktu petang seperti ini. Clark dan timnya sengaja melakukan operasi ketika matahari telah terbenam, agar pergerakannya tidak menarik perhatian.Clark dan timnya, yang terdiri dari anggota keamanan yang terlatih, bergerak menuju ke arah bangunan tua yang terletak di perbatasan desa. Bangunan tersebut dikelilingi oleh pepohonan lebat dan jalanan yang curam, sehingga memberikan kesan yang semakin menyeramkan. "Kita berpencar, blokir pintu keluar," p
Arren dan Nyonya besar telah sampai di pusat kota. Betapa terkejutnya mereka, suasana yang awalnya kacau dan mencekam, kini tampak tenang. Massa tidak lagi berdemo menuntut pelengseran pimpinan. Mereka hanya berkumpul, dengan alas duduk, payung, dan segala yang dapat menutupi diri dari terik matahari, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan sebagai penyemangat di siang ini. Arren dan Nyonya Besar merasa lega. Selama beberapa waktu ini, para massa tampak beringas dan bahkan saling melukai. Bentrokan fisik menjadi tak terelakkkan, dan rumah sakit-rumah sakit menjadi penuh oleh para korban demonstrasi. Namun, saat ini, suasana terlihat aman dan kondusif. Massa aksi yang sebelumnya marah dan beringas sekarang tampak tenang, meskipun kerusakan yang diakibatkan oleh aksi anarkis masih terlihat di sekeliling mereka. Beberapa bangunan rusak, jalan-jalan berdebu, dan sisa-sisa api yang padam dari bentrokan sebelumnya masih terlihat. Namun, suasana telah berubah menjadi lebih damai, benar-be
“Kau masih bisa berbicara?” tanya Nyonya Rossie bernada satir pada Abigail yang sok berkuasa. “Ibu, ini adalah forum resmi, sopanlah kepadaku.” “Aku bukan Ibumu!” “Ya, terserahlah…” Adu mulut dua pimpinan itu membuat suasana ruang rapat menjadi tegang. Para anggota dewan yang hadir merasa tidak nyaman dengan konflik yang sedang berlangsung di antara dua wanita itu. Beberapa dari mereka mencoba menjaga ketenangan dengan tetap fokus pada agenda rapat. Namun, kehadiran Abigail–sang pimpinan baru yang belum mendapatkan pengakuan– cukup mengganggu kondusifitas rapat hari ini. Salah seorang anggota dewan akhirnya mencoba menenangkan situasi. "Mungkin kita sebaiknya fokus pada agenda rapat hari ini. Dimohon para Nyonya dapat tenang," ucapnya tanpa ingin menyinggung salah satu di antara mereka. "Kita harus mencari solusi atas tuntutan para demonstran yang merusak kota selama beberapa hari ini,” lanjutnya. Nyonya Rossie mengangguk setuju, sementara Abigail mengalihkan pandangannya. Ia t
"Siapa itu?" Abigail menyipitkan mata, tidak bisa melihat dengan jelas gerombolan perusuh yang tampak memadati ruang rapat yang suci ini. "Nyonya Abigail! Anda dan Nyonya Andersen telah mencederai hak kami!" teriaknya masih penuh amarah. "Kalian akan kami tuntut!""Sialan! Setan tua Voltus! Mau apa dia?!" geram Abigail ketika melihat Tuan Voltus, pemimpin kelompok oposisi yang tiba-tiba muncul dan menciptakan kerusuhan di tempat ini.Kelompok oposisi seharusnya menjadi sahabat politiknya, namun entah kenapa, sekarang mereka tampak menjadi musuh yang pahit. Abigail merasa bingung, ia tidak memahami mengapa situasi bisa berubah seburuk ini."Bibi, apa yang terjadi?" tanya Abigail dengan panik kepada Nyonya Andersen."Entahlah, Abbey. Tahan emosimu!" Nyonya Andersen beranjak dari kursinya kemudian mendekat ke arah Tuan Voltus dan rombongannya. Jantungnya berdetak kencang, tidak menyangka akan adanya perdebatan seperti ini. "Tuan-tuan, apa yang terjadi? Apakah Anda terlambat datang rapat
(Distrik Provence, Rossie; 40 tahun yang lalu) "Ibu di mana?" tanya Abigail kecil, yang saat itu berusia 5 tahun. Pengasuhnya baru saja membuatkan makanan, namun Abigail menolak memakannya karena menunggu kehadiran sang ibu. "Ibu Anda sedang berada di paviliun, Nona. Silakan dimakan sarapannya," ucap sang pengasuh sedikit memaksa. Sepertinya, ia tidak mengizinkan Abigail menemui sang ibu. "Aku ingin makan bersama Ibu!""Tidak boleh! Maksud saya... Tidak bisa, Nona. Ayah Anda akan segera menjemput, silakan makan dulu baru menemui beliau."Abigail merengek dan menolak bujukan pengasuhnya. Ia bersikeras ingin menemui sang ibu, baru menghabiskan makanannya. Abigail sudah beberapa waktu ini tidak bertemu dengan ibunya. Ia ingin sekali merangkul ibunya lagi, mendengar suaranya, dan merasakan kehangatan cinta sang ibunda yang telah lama tidak dirasakannya. Namun, ibunya kini terbaring lemah di kamar yang jauh di Paviliun sana. Nyonya besar bahkan hampir tak berdaya, dan hanya sedang menu