Malam itu, Nayara berusaha memfokuskan diri di apartemennya. Di depannya terbentang berbagai sketsa baru yang ia buat setelah pertemuannya dengan Devandra. Kata-kata pria itu terus terngiang di telinganya.
"Saya ingin sesuatu yang mencerminkan keberanian dan kekuatan." Nayara menghela napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya soal memenuhi ekspektasi seorang klien, tapi tentang membuktikan dirinya di dunia yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Dunia Devandra Satya Mahendra. --- Pagi yang cerah ini, Nayara bangun lebih awal dari biasanya dengan perasaan campur aduk. Kerja sama dengan Devandra Satya Mahendra membawa tekanan yang luar biasa. Meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah peluang besar, ada sesuatu tentang pria itu yang terus mengganggunya. Sikap dinginnya, sorot matanya yang tajam, dan cara bicaranya yang tegas sering membuat Nayara merasa seperti sedang diuji, bukan diajak bekerja sama. Namun, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik. Setelah memastikan semua sketsa dan bahan presentasinya siap, Nayara meninggalkan apartemennya menuju kantor Mahendra Group. Nayara sudah tiba di kantor Mahendra Group lebih awal. Ia membawa sketsa baru yang ia buat semalaman dan menunggu giliran untuk bertemu dengan Devandra. Setelah beberapa menit, asistennya mempersilakan masuk. Hari itu, suasana kantor terasa sibuk seperti biasanya. Asisten Devandra, seorang wanita bernama Valen, menyambut Nayara dengan senyum profesional. “Selamat pagi, Nona Nayara. Tuan Mahendra sudah menunggu Anda,” katanya sambil mempersilakan Nayara masuk ke ruangan. Di dalam, Devandra sedang berdiri di dekat jendela besar. Pemandangan kota yang megah membentang di depannya, tetapi perhatian Nayara tertuju pada pria itu. Ia tampak tenang, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang sulit diabaikan. Di ruangannya yang luas dan elegan, Devandra duduk di belakang meja. Pria itu mengenakan setelan abu-abu gelap yang membuat penampilannya semakin berwibawa. Ia menatap Nayara sekilas sebelum mengisyaratkan agar ia duduk. “Saya membawa desain baru,” kata Nayara, mencoba mengatur nada suaranya agar terdengar percaya diri. “Baiklah, tunjukkan,” jawab Devandra singkat. Nayara mengeluarkan sketsa-sketsa itu dari mapnya dan menjelaskan setiap detailnya. Kali ini, ia merasa lebih siap. Ia berusaha menjelaskan idenya dengan rinci, menekankan elemen keberanian dan kekuatan yang diminta Devandra. Devandra mengamati sketsa itu dalam diam. Matanya tajam, seolah menilai setiap detail dengan kritis. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan. “Lebih baik,” katanya akhirnya. “Tapi Anda bisa lebih eksploratif. Jangan takut untuk keluar dari zona nyaman Anda.” Nayara mengerutkan kening. “Tuan Mahendra, saya mencoba memberikan yang terbaik. Tapi apa yang Anda maksud dengan keluar dari zona nyaman?” Devandra menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Nayara dengan intens. “Anda punya potensi besar, Nayara. Tapi Anda terlalu aman. Desain-desain ini bagus, tapi tidak luar biasa. Saya ingin sesuatu yang bisa membuat orang berhenti dan memperhatikan.” Kata-kata itu membuat Nayara terdiam. Ia tahu Devandra benar, tapi caranya mengungkapkan itu terasa begitu dingin dan tanpa kompromi. --- Hari-hari berikutnya, Nayara semakin sibuk bekerja di bawah tekanan Devandra. Setiap kali ia menyerahkan desain baru, pria itu selalu menemukan celah untuk dikritik. “Apa ini?” kata Devandra suatu pagi ketika Nayara menunjukkan salah satu konsep terbarunya. “Warna ini terlalu lembut. Anda harus lebih berani bermain dengan kontras.” “Tapi saya pikir warna ini akan lebih cocok untuk pasar kita,” jawab Nayara mencoba membela diri. “Saya tidak mencari sesuatu yang cocok, Nayara. Saya mencari sesuatu yang menonjol,” balas Devandra dengan nada tegas. Percakapan seperti itu terjadi hampir setiap hari. Sementara Nayara merasa frustasi, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa kritik Devandra membantunya tumbuh sebagai desainer. Ia mulai melihat proyek ini sebagai tantangan terbesar dalam kariernya. Namun, ada saat-saat ketika sisi lain dari Devandra muncul, meski hanya sekilas. Seperti ketika ia memberikan waktu tambahan untuk Nayara mengerjakan revisi, atau ketika ia menawarkan teh saat Nayara terlihat kelelahan. “Tuan Mahendra, Anda tidak perlu repot-repot,” kata Nayara suatu kali ketika ia menemukan secangkir teh di mejanya. “Anggap saja ini penghargaan atas kerja keras Anda,” jawab Devandra singkat, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih lembut. Waktu berlalu begitu cepat, hari mulai sore, setelah rapat panjang dengan tim pemasaran, Nayara dan Devandra keluar dari kantor bersama. Langit kota mulai berubah warna menjadi jingga, dan angin sore terasa sejuk. “Proyek ini cukup berat, ya?” tanya Nayara mencoba memecah keheningan. “Tidak ada yang mudah di dunia ini, Nayara. Kalau Anda ingin berhasil, Anda harus siap untuk berkorban,” jawab Devandra sambil memasukkan tangannya ke saku. “Bagaimana dengan Anda, Tuan Mahendra? Apa yang sudah Anda korbankan untuk mencapai posisi Anda sekarang?” Devandra menoleh ke arah Nayara, sejenak terlihat ragu untuk menjawab. “Terlalu banyak,” katanya akhirnya, dengan nada yang lebih pelan dari biasanya. Jawaban itu membuat Nayara terdiam. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi melihat ekspresi Devandra, ia memutuskan untuk tidak memaksakan diri. --- Keesokan harinya, seperti nya sejak bekerja sama dengan Davendra hari-hari selalu sibuk. Pagi ini Nayara kembali ke kantor dengan semangat baru. Ia membawa konsep desain yang menurutnya paling berani dan kreatif yang pernah ia buat. Saat ia mempresentasikan desain itu, Devandra memperhatikan dengan seksama. Ketika Nayara selesai, pria itu tetap diam untuk beberapa saat. “Apa Anda yakin dengan ini?” tanyanya akhirnya. “Saya yakin, Tuan Mahendra. Saya pikir ini adalah interpretasi terbaik dari apa yang Anda inginkan,” jawab Nayara tegas. Devandra mengangguk pelan. “Baiklah. Kita akan mencoba ini. Saya harap Anda bisa mempertahankan kualitas seperti ini di proyek-proyek berikutnya.” Ucapan itu, meski terdengar biasa saja, adalah bentuk penghargaan tertinggi yang pernah Nayara dapatkan dari Devandra. Untuk pertama kalinya, ia merasa usahanya dihargai. Namun, kerja sama mereka tidak selalu berjalan mulus. Beberapa kali, Nayara merasa lelah dengan sikap dingin Devandra. Ia mulai bertanya-tanya apakah pria itu pernah benar-benar santai atau menikmati hidup. Hari ini setelah menghabiskan hari yang panjang di kantor. setelah bekerja lembur, Nayara memberanikan diri bertanya. “Tuan Mahendra, apa Anda pernah merasa lelah dengan semua ini?” Devandra yang sedang membaca dokumen menoleh ke arah Nayara. “Kenapa Anda bertanya?” “Karena saya rasa Anda selalu terlihat seperti... robot. Selalu serius, selalu bekerja. Apakah Anda tidak pernah ingin mengambil waktu untuk diri sendiri?” Devandra terdiam. Ia menatap Nayara dengan mata yang sulit ditebak. “Saya tidak punya pilihan, Nayara. Ada terlalu banyak hal yang harus saya pertanggung jawabkan.” Jawaban itu membuat Nayara merasa sedikit bersalah telah mengajukan pertanyaan itu. Tapi di sisi lain, ia merasa bahwa ia mulai melihat sisi lain dari Devandra—sisi yang lebih manusiawi, yang mungkin tidak pernah ditunjukkan pada siapa pun. --- To Be Continued.Langit mendung menggantung di atas kota pagi itu, memancarkan suasana murung yang seolah menjadi pertanda akan sesuatu. Hujan gerimis mulai turun, menciptakan ritme lembut di jendela apartemen Nayara. Sambil menyeruput kopi hangat, ia memandang keluar jendela, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi hari yang penuh tekanan.Proyek yang sedang ia kerjakan bersama Devandra telah memasuki tahap kritis. Semakin hari, ia semakin sadar bahwa ekspektasi pria itu tidak hanya tinggi, tetapi juga sangat spesifik. Setiap detail harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan.Setelah memastikan dokumen dan sketsanya tersusun rapi, ia bergegas menuju kantor. Jalanan licin karena hujan, dan udara pagi yang dingin membuat tubuhnya menggigil. Sesampainya di kantor Mahendra Group, ia disambut oleh Valen, asisten Devandra, yang terlihat sedikit panik.“Nona Nayara, Tuan Mahendra meminta Anda segera ke ruang rapat di lantai delapan. Ada masalah mendesak dengan klien,” ujar Valen dengan nada terburu-bu
Pagi itu, cuaca di luar kantor Mahendra Group terasa begitu cerah. Matahari yang bersinar hangat seakan memberi semangat bagi setiap orang yang berada di dalamnya. Nayara duduk di mejanya, memandang berkas-berkas yang berserakan di depannya. Hatinya sedikit cemas karena hari ini ia harus menyelesaikan beberapa tugas yang telah menumpuk, tetapi suasana tenang di ruang kerjanya memberinya sedikit ketenangan. Beberapa kolega melintas di depannya, tersenyum ramah dan menyapanya dengan hangat. Nayara membalas sapaan mereka dengan senyuman ringan. Pekerjaan di kantor ini bukanlah hal yang asing bagi Nayara. Setelah bertahun-tahun bekerja dengan berbagai atasan, ia mulai merasa lebih percaya diri dan menguasai apa yang ia lakukan. Namun, kali ini semuanya terasa berbeda. Ada hal yang lebih rumit di balik pekerjaan ini, dan itu datang dalam bentuk Devandra Satya Mahendra—CEO muda yang terkenal dengan ketegasannya. Meskipun mereka sudah bekerja sama selama beberapa waktu, Nayara masih merasa
Pagi ini, cuaca di luar kantor Mahendra Group begitu cerah. Matahari bersinar hangat, seakan memberi semangat pada semua orang yang bekerja di dalam gedung itu. Di salah satu sudut ruangan, Nayara duduk di mejanya, memandangi dokumen yang berserakan. Hatinya sedikit cemas karena harus menyelesaikan beberapa tugas yang menumpuk, tapi ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Semangat, Nayara," gumamnya pada diri sendiri sambil mulai membuka laptop. Suara langkah-langkah sepatu terdengar dari arah pintu utama ruangan. Beberapa kolega Nayara berjalan melintas, tersenyum ramah. Salah satu dari mereka, Lisa Adriani, atau kerap di sapa Lisa. Ia berhenti sejenak di meja Nayara. "Pagi, Nay! Banyak kerjaan, ya?" tanya Lisa sambil menaruh secangkir kopi di meja Nayara. Nayara mengangkat wajahnya, tersenyum kecil. "Seperti biasa, Lis. Tapi nggak apa-apa. Lagi coba menyelesaikan yang bisa hari ini." "Kalau butuh bantuan, kasih tahu, ya. Tapi kayaknya, nggak lama lagi ada yang mau
Setelah makan siang itu, Nayara kembali ke mejanya dengan langkah sedikit lebih lambat dari biasanya. Pikiran-pikirannya berputar pada percakapan mereka di restoran tadi. Saya ingin lebih mengenalmu. Kata-kata Devandra masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. "Nayara!" Suara Lisa mengejutkannya dari lamunan. Nayara mengerjap, menoleh cepat ke arah sahabatnya yang berdiri dengan senyum usil. "Kamu kenapa sih? Dari tadi senyum-senyum sendiri. Ada apa, nih?" "Apa sih, Lis?" Nayara buru-buru merapikan dokumen di mejanya, berusaha mengalihkan topik. Namun Lisa tentu saja tidak akan berhenti semudah itu. "Jangan bohong! Tadi aku lihat kalian berdua makan siang bareng di restoran bawah." Lisa memelankan suaranya sambil mendekat. "Ada apa, Nay? Jangan bilang bos kita yang super dingin itu mulai menunjukkan sisi manusiawinya?" "Lisa, tolong, ya." Nayara mendesah pelan, menyembunyikan rasa malunya. "Itu cuma makan siang biasa. Dia
Hujan deras mengguyur kota malam itu, menciptakan irama yang samar menenangkan namun penuh kesedihan. Di apartemennya yang luas, Devandra duduk sendirian di ruang kerja, tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Sebuah gelas bourbon hampir kosong berada di atas meja, sementara tangan kirinya memegang sebuah bingkai foto tua. Foto itu sederhana, tetapi menyimpan begitu banyak kenangan. Seorang bocah kecil dengan senyum polos berdiri di samping seorang wanita cantik yang memeluknya penuh kasih. Wanita itu adalah ibunya—sosok yang dulu menjadi dunianya, sebelum segalanya berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia harapkan. Kilasan Masa Lalu Devandra kecil duduk di tangga rumah mewahnya, memeluk boneka singa lusuh kesayangannya. Di ruang tamu, suara teriakan memecah keheningan malam. Ayahnya berdiri dengan wajah merah padam, memandang ibunya dengan penuh amarah. “Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu menyembunyikan uang dariku!” bentaknya kasar. "Aku hanya ingin menyimpan sedikit untuk
Pagi ini, langit cerah dengan sinar matahari yang lembut menerobos kaca jendela ruang kerja Devandra. Di luar, hiruk-pikuk kota mulai terasa, tetapi di dalam ruangan itu, keheningan mendominasi. Nayara baru saja menyelesaikan presentasinya di hadapan beberapa petinggi perusahaan, termasuk Devandra. Tatapan pria itu sulit ditebak, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Nayara gugup.Setelah rapat usai, Nayara hendak kembali ke mejanya ketika suara berat Devandra menghentikannya.“Nayara, tunggu sebentar.”Nayara berbalik, menatap pria itu dengan sedikit kebingungan. “Ada apa, Pak Devandra?”“Kamu punya waktu sebentar? Aku ingin membahas sesuatu.”Nada suaranya terdengar santai, tetapi Nayara merasakan ketegangan yang tersirat. Ia mengangguk, mengikuti langkah Devandra menuju ruangannya.Setelah berada di dalam ruangan, Devandra duduk di balik mejanya, sementara Nayara duduk di seberangnya. Suasana terasa canggung, seperti ada sesuatu yang ingin Devandra katakan tetapi ia ragu untu
Langit yang tadinya cerah mendadak berubah mendung. Hujan deras mulai turun saat Devandra dan Nayara keluar dari gedung tempat mereka menghadiri rapat dengan salah satu klien penting. Jalanan mulai dipenuhi genangan air, dan suara derasnya hujan mengisi keheningan di antara mereka.“Sepertinya kita harus menunggu hujan reda,” ucap Nayara, memandang langit yang gelap.Devandra mengangguk. “Tunggu di sini. Aku akan meminta sopir membawa mobil lebih dekat.”Namun, sebelum Devandra sempat melangkah pergi, sebuah pengumuman terdengar dari ponselnya. “Pak, maaf. Mobil terjebak macet di persimpangan. Mungkin akan memakan waktu lebih lama.”Devandra menghela napas pelan, lalu kembali berdiri di samping Nayara. Ia melirik wanita itu yang mulai gelisah karena angin dingin yang menyertai hujan.“Di sini terlalu dingin. Kita cari tempat berteduh,” ucap Devandra sambil melangkah lebih dulu menuju sebuah teras kecil di dekat mereka.Mereka duduk di kursi kayu yang sudah agak basah karena cipratan h
Langkah Arga terdengar jelas di tengah keheningan. Suaranya yang memanggil nama Nayara membuat suasana menjadi tegang. Devandra tetap berdiri di samping Nayara, melindungi wanita itu dengan caranya yang tenang tapi penuh kewibawaan.“Arga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nayara, mencoba menenangkan diri meski hatinya bergemuruh.Arga melangkah mendekat, sorot matanya serius. “Aku mendengar tentangmu dari teman-teman lama. Aku tahu aku bukan bagian dari hidupmu lagi, tapi aku ingin kita bicara. Hanya sebentar.”Devandra menatap Arga tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Ia menoleh pada Nayara, memberikan ruang untuknya memutuskan.Nayara menghela napas panjang, lalu menatap Devandra. “Aku akan bicara dengannya. Sebentar saja.”Devandra ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Aku akan menunggu di sini kalau kamu butuh.”Nayara melangkah keluar bersama Arga. Mereka berhenti di sebuah sudut yang cukup sepi, jauh dari perhatian orang-orang. Hujan masih terdengar samar di luar gedung, menciptak
Di sebuah ruang kerja megah, Mahendra duduk di balik meja kayu mahoni yang besar. Ia menatap layar laptopnya, membaca laporan terbaru dari timnya yang melacak Nayara. Sorot matanya tajam, penuh determinasi. Baginya, wanita itu adalah alasan utama mengapa Devandra semakin jauh dari keluarga dan tanggung jawabnya sebagai pewaris perusahaan. Mahendra menutup laptopnya dengan kasar dan memijat pelipisnya. "Anak itu keras kepala," gumamnya pelan. "Jika dia tidak segera sadar, semua yang telah aku bangun akan sia-sia." Beberapa bulan terakhir, Mahendra merasakan perubahan besar pada Devandra. Putra nya yang dulu dingin tak tersentuh. Kini berubah hangat dan peduli bahkan penuh perhatian. Saat Nayara muncul dalam hidup Devandra. Wanita muda itu mungkin tidak sadar, tetapi kehadirannya memberi Devandra alasan untuk perubahan Devandra bahkan kini putranya semakin jauh untuk dia gapai. Nayara wanita dengan asal usul yang tidak jelas. Hidup sebatang kara di dunia ini... itu mustahil kecuali d
Nayara duduk termenung di apartemennya yang mungil di New York. Hatinya diliputi campuran emosi yang sulit ia pahami. Kecewa atas pembatalan kontraknya, bingung dengan tindakan Mahendra, dan kini ada sesuatu yang lebih rumit mengusik pikirannya, perasaannya terhadap Devandra. Selama ini, Nayara mengira Devandra hanyalah seseorang yang hadir dalam hidupnya sebagai teman kerja profesional. Namun, kenyataan bahwa ia terus memikirkan pria itu, merindukan suaranya, dan merasa hampa saat tidak bisa menghubunginya membuatnya sadar: ia telah jatuh cinta. "Kenapa harus dia?" pikir Nayara sambil memeluk lututnya di sofa. "Kenapa aku harus mencintai seseorang yang hidupnya penuh rahasia?" Perasaan itu terasa indah sekaligus menakutkan. Ia takut terluka, terutama karena Devandra adalah bagian dari keluarga yang kini menjadi sumber masalahnya. Bagaimana jika perasaannya hanya akan membawa lebih banyak kesedihan? --- Hari berikutnya, Nayara memutuskan untuk mencari udara segar di Central Park.
Nayara menghubungi agen nya dan menceritakan kabar baik itu. Agen nya sangat bahagia mendengar itu dan langsung mengatur jadwal pertemuan untuk menandatangani kontrak esok.Nayara merasa sangat bahagia dan bersemangat. Mimpi nya akhirnya terwujud. Ia akan menjadi model utama 'The Muse', salah satu perusahaan fashion terbesar di New York.Ia berjalan keluar dari kantor 'The Muse' dengan langkah yang ringan, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Ia merasakan seolah-olah semua yang ia lakukan selama ini terbayar lunas.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sebuah rasa kekosongan yang menyeruak di hatinya. Ia merasa sedikit hampa tanpa Devandra. Ia mengingat pertemuan terakhir mereka di Indonesia. Kata-kata Devandra masih terngiang di telinganya. "Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian."Nayara tahu bahwa Devandra memiliki masalah yang besar, namun ia tak perna
Devandra kembali ke kamarnya, matanya tertuju pada bayangannya sendiri di cermin. Ia menatap wajahnya yang dingin, mencerminkan kepribadiannya yang keras kepala dan tertutup. Ia selalu begitu, tak mau menunjukkan kelemahan di depan orang lain. Ia terbiasa dengan dunia yang keras dan penuh bahaya.Ia mengingat perkataan Nayara, "Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian." Namun, bagaimana bisa ia berbagi beban yang ia tanggung selama ini?Ia tak pernah melupakan kekecewaan yang dalam yang ia rasakan ketika ayahnya, Mahendra, meninggalkan ibunya dan dirinya. Kekecewaan itu menyeruak kembali ketika ia melihat Mahendra bersama istri barunya. Devandra tak pernah memaafkan ayahnya.Ayahnya yang seharusnya menjadi tiang penyangga kehidupan, yang seharusnya memberikan perlindungan dan cinta, justru meninggalkan mereka saat mereka paling membutuhkan. Devandra merasa dikhianati. Ia merasakan bahwa ibunya men
Setelah Nayara pergi, Devandra berdiri mematung di sudut ruangan. Pikirannya kacau, bercampur aduk antara rasa marah, khawatir, dan sedih. Kehadiran ayahnya, Mahendra, di acara ini bukan hanya mengancam dirinya tetapi juga orang-orang yang ia sayangi. Dan sekarang, ancaman itu semakin nyata. Devandra melangkah menuju balkon hotel untuk menenangkan diri. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi tidak cukup untuk mendinginkan pikirannya yang bergolak. Ia mengingat setiap kata ayahnya, setiap ancaman yang dilontarkan dengan nada datar namun penuh intimidasi. "Kalau aku menyerah pada ancamannya, aku sama saja membiarkan dia menang," gumam Devandra sambil mengepalkan tangannya. "Tapi kalau aku terus melawan, Nayara dan yang lain akan menjadi targetnya." Ia menatap langit malam yang gelap. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ibunya masih hidup. Ia teringat senyuman lembut ibunya yang selalu menjadi sumber kekuatan bagi dirinya. Tapi sekarang, ia merasa sendirian. Hanya dirinya
Saat ini Devandra kembali masuk ke dalam hotel dengan langkah berat, pikirannya terus tertuju pada sang ayah yang setelah sekian lama nya ia diberi peringatan yang begitu membuatnya terancam, dimana ayahnya mengancam seluruh orang terdekat di sekitar nya termasuk Nayara. Entah jalan apa yang akan ia ambil untuk langkah selanjutnya. Karna awal ancaman ayahnya dulu sangat tidak terlalu membuatnya takut tidak seperti sekarang, karena semuanya sudah berubah. Inilah yang ia takutkan di saat ingin mendekati lebih sosok Nayara karena cepat atau lambat ayah nya pasti tau dirinya mendekati seorang perempuan dan sekarang akan menjadi tersangka ancaman nya.Disaat Devandra tengah berkelahi dengan pikiran nya, jauh dari sana seseorang memperhatikan Devandra dengan secangkir minuman di tangannya. "Kamu sudah tidak bisa lari lagi dari ku, Devan." Pria itu, berjalan mendekati Devandra dengan langkah tenang. Dia, Ayah Devandra yang tidak lama datang menginjak lantai hotel dan bergabung dengan tamu
Setelah percakapan singkat itu, Nayara melangkah meninggalkan Devandra. Namun, Devandra tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung Nayara yang perlahan menghilang di balik kerumunan tamu undangan. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, tetapi ia juga tahu tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang Nayara belum siap untuk menerima. Suasana pesta semakin meriah. Musik lembut mengalun, lampu-lampu kristal memancarkan kilauan elegan, dan tamu-tamu saling bercakap dengan gelas sampanye di tangan. Devandra memutuskan untuk menepi sejenak, mencari udara segar di balkon hotel. Saat ia keluar, ia menemukan Arga berdiri di sana, memandangi pemandangan kota malam. Devandra mengerutkan kening. Ia tidak menyangka pria itu akan hadir di acara ini, apalagi setelah pertemuan mereka di kafe tadi malam. "Arga," sapa Devandra dengan nada datar. Arga menoleh, wajahnya menyiratkan kejengkelan yang sama seperti sebelumnya. "Kita bertemu lagi. Dunia ini memang kecil, ya?" Devandra berjalan me
Setelah kepergian Nayara, Devandra masih duduk di sofanya, memandang map yang ditinggalkan Nayara. Perasaannya campur aduk. Ia tahu mendukung Nayara adalah hal yang benar, tetapi pikirannya terusik oleh kenyataan bahwa kepergian Nayara ke New York akan membuatnya kehilangan sosok yang selama ini memberinya semangat.Ia mengambil map itu, mencoba fokus pada laporan yang Nayara bawa, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata terakhir Nayara. "Terima kasih, Devandra." Kalimat itu terdengar tulus, tetapi di balik senyumnya, Devandra merasakan jarak yang tak bisa ia jangkau. Nayara belum siap membuka hati, dan ia tahu itu. Namun, apakah ia harus menyerah?Devandra bangkit dari sofa dan berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. Matanya tertuju pada kerlip lampu kota yang seolah mencerminkan kegelisahan di hatinya. Ponselnya yang tergeletak di meja mulai berdering lagi, kali ini dari nomor yang sama. Dengan enggan, Devandra mengangkatnya."Ayah, saya sudah bilang—""Devandra," suar
Nayara termenung dalam duduk nya. Hari ini setelah rapat yang panjang mengenai pakaian desain nya yang akan di luncurkan sudah di setujui dan akan di laksanakan esok harinya. Entah mengapa Nayara seakan tidak tau langkah setelah ini.Ia memikirkan mengenai perkataan orang-orang yang mendukung nya untuk kembali ke dunia modeling dimana dirinya sudah dua tahun meninggalkan dunia itu dan berhenti dari dunia itu juga tidak semudah itu. Banyak yang dilalui Nayara setelahnya.Diwaktu yang sama, di dalam ruangan Devandra. Ia sibuk berkutat dengan ponsel nya. Melihat perkembangan mengenai berita tentang Nayara yang kembali tersorot.Devandra tersenyum tipis, sangat tipis. Tapi tidak sampai beberapa detik senyuman itu hilang bersama dengan layar ponsel nya yang menunjukkan telpon masuk dari nomor yang tidak ia kenal.Dengan ragu, Devandra menjawab telpon tersebut.Seketika wajahnya berubah datar dan dingin setelah tau si penelpon."Apa lagi!" ucapnya dengan menekan setiap katanya."Saya tida