Langit mendung menggantung di atas kota pagi itu, memancarkan suasana murung yang seolah menjadi pertanda akan sesuatu. Hujan gerimis mulai turun, menciptakan ritme lembut di jendela apartemen Nayara. Sambil menyeruput kopi hangat, ia memandang keluar jendela, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi hari yang penuh tekanan.
Proyek yang sedang ia kerjakan bersama Devandra telah memasuki tahap kritis. Semakin hari, ia semakin sadar bahwa ekspektasi pria itu tidak hanya tinggi, tetapi juga sangat spesifik. Setiap detail harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Setelah memastikan dokumen dan sketsanya tersusun rapi, ia bergegas menuju kantor. Jalanan licin karena hujan, dan udara pagi yang dingin membuat tubuhnya menggigil. Sesampainya di kantor Mahendra Group, ia disambut oleh Valen, asisten Devandra, yang terlihat sedikit panik. “Nona Nayara, Tuan Mahendra meminta Anda segera ke ruang rapat di lantai delapan. Ada masalah mendesak dengan klien,” ujar Valen dengan nada terburu-buru. Nayara hanya mengangguk, meski hatinya mulai berdebar. Saat tiba di ruang rapat, jantung nya berdebar lebih kencang. Nayara dapat merasakan ruang rapat kini di isi dengan suasana tegang. Devandra berdiri di ujung meja panjang, sorot matanya yang tajam memandang layar proyektor yang menampilkan presentasi mereka. Klien mereka, seorang pria paruh baya dengan wajah kaku, tampak tidak puas. “Konsep ini terlalu biasa,” ujar klien itu dengan nada mengecam. “Saya mengharapkan sesuatu yang lebih inovatif, lebih berani. Ini tidak mencerminkan visi perusahaan kami sama sekali.” Nayara merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Konsep yang sedang dipresentasikan adalah hasil karyanya. Ia mencoba membaca ekspresi Devandra, tetapi pria itu tetap tenang. “Jika Anda tidak puas, kita bisa mendiskusikan revisi,” jawab Devandra dengan nada datar, tetapi penuh wibawa. Klien itu menghela napas panjang. “Saya harap Anda bisa memberikan sesuatu yang lebih baik dalam dua minggu. Kalau tidak, saya akan mempertimbangkan pihak lain.” Saat klien pergi, ruangan itu terasa sunyi. Semua mata tertuju pada Devandra, menunggu reaksinya. Pria itu hanya menatap Nayara. “Nayara, ikut saya ke ruang kerja,” katanya singkat sebelum melangkah keluar. Hujan masih mengguyur deras saat Nayara memasuki ruang kerja Devandra. Ia merasa seperti anak sekolah yang dipanggil kepala sekolah karena melakukan kesalahan besar. “Duduk,” ujar Devandra sambil menunjuk kursi di depan mejanya. Nayara menurut, menahan napas saat pria itu mengambil posisi di balik meja besar yang mendominasi ruangan. “Konsep Anda ditolak,” katanya tanpa basa-basi. “Saya tahu, Tuan Mahendra. Saya minta maaf—” “Saya tidak butuh permintaan maaf,” potong Devandra. “Saya butuh solusi.” Nayara terdiam. Hujan di luar semakin deras, suara petir terdengar di kejauhan, seolah mencerminkan kegelisahannya. “Saya akan bekerja keras untuk memperbaikinya,” ujarnya akhirnya. Devandra mengangguk pelan, tetapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Kita tidak punya banyak waktu. Saya akan membantu Anda. Mulai sekarang, kita akan bekerja lebih dekat untuk memastikan tidak ada kesalahan lagi.” Ucapan itu membuat Nayara tercengang. Selama ini, Devandra selalu menjaga jarak, membiarkan ia bekerja sendiri. “Kita mulai sekarang,” tambahnya sambil membuka laptopnya. --- Waktu berlalu dengan cepat. Hujan di luar tetap deras, membuat suasana kantor terasa dingin dan sunyi. Nayara duduk di seberang Devandra, mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi kehadiran pria itu begitu mendominasi. Mereka membahas setiap detail desain, dari warna hingga tekstur, hingga hal-hal kecil yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan. Devandra menunjukkan sisi lain dari dirinya—seorang perfeksionis yang sangat memperhatikan detail. “Kenapa memilih warna ini?” tanya Devandra sambil menunjuk salah satu elemen di layar. “Karena saya pikir itu bisa memberikan kesan elegan,” jawab Nayara hati-hati. “Tapi tidak cukup kuat untuk menarik perhatian,” balas Devandra. “Coba pikirkan sesuatu yang lebih mencolok, tetapi tetap elegan.” Nayara menghela napas dalam hati. Bekerja dengan Devandra seperti berjalan di atas tali tipis. Tetapi ia juga merasa tertantang. Beberapa kali, Nayara mencoba bercanda untuk mencairkan suasana, tetapi Devandra tetap dingin. Hanya ada beberapa momen ketika pria itu tersenyum tipis, tetapi itu pun seperti kilatan petir—cepat berlalu dan sulit ditangkap. Saat malam tiba, hujan akhirnya mereda. Namun, Nayara dan Devandra masih terjebak di kantor, tenggelam dalam pekerjaan mereka. “Nayara,” panggil Devandra tiba-tiba. "Ya?” Nayara mengangkat wajahnya, menatap pria itu. “Kamu memiliki potensi besar,” katanya pelan. “Tapi kamu terlalu sering meragukan dirimu sendiri.” Kata-kata itu membuat Nayara terdiam. Ia tidak pernah menyangka Devandra akan mengatakan sesuatu seperti itu. “Saya hanya ingin memberikan yang terbaik,” balas Nayara akhirnya. “Itu bagus. Tapi jangan biarkan rasa takut menghalangi kreativitasmu,” ujar Devandra. Untuk pertama kalinya, Nayara merasa ada sedikit kehangatan dalam suara pria itu. Ketika mereka akhirnya selesai, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Nayara merasa tubuhnya lelah, tetapi ada rasa lega karena pekerjaan mereka mulai menunjukkan hasil yang memuaskan. “Saya akan memastikan hasil ini siap untuk presentasi berikutnya,” ujar Nayara sambil membereskan dokumennya. Devandra mengangguk. “Saya harap begitu. Dan Nayara...” Wanita itu berhenti, menatapnya. “Terima kasih telah bekerja keras hari ini,” ucap Devandra. Meski nadanya tetap datar, ada ketulusan yang tidak bisa disembunyikan. Nayara tersenyum tipis. “Sama-sama, Tuan Mahendra.” Nayara melangkah keluar dari gedung Mahendra Group, merasakan udara malam yang segar setelah hujan yang deras. Langit kini bersih, dihiasi dengan kilauan bintang yang langka di kota besar seperti ini. Angin malam yang lembut menyapu wajahnya, memberikan ketenangan setelah seharian penuh ketegangan. Langkah kakinya terasa berat, bukan hanya karena lelah fisik, tetapi juga karena beban emosional yang mulai mengendap di dalam dirinya. Ia mengambil nafas dalam-dalam, mencoba meredakan gejolak dalam hatinya. Kerja keras bersama Devandra, yang tadinya ia anggap sebagai tantangan besar, mulai terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh dengan ujian, baik profesional maupun personal. Meski masih ada ketegangan dan perbedaan dalam cara kerja mereka, Nayara bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai berkembang antara dirinya dan pria itu. Namun, ia berusaha menepis perasaan tersebut, berfokus pada pekerjaan yang harus diselesaikan. Saat ia berjalan menuju tempat parkir, pikirannya kembali mengingat kata-kata Devandra tadi malam. "Kamu memiliki potensi besar, tapi kamu terlalu sering meragukan dirimu sendiri." Suara itu terngiang di telinganya, seolah mengingatkan Nayara akan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pekerjaan. Ia tahu bahwa Devandra bukanlah tipe orang yang banyak bicara atau memberi pujian, jadi kata-katanya barangkali lebih berarti dari yang ia sadari. Namun, di sisi lain, Nayara juga merasa ragu. Apa yang sebenarnya dirasakan oleh Devandra? Apakah ia hanya merasa terpaksa untuk membantu, ataukah ada ketulusan di balik sikap dinginnya? Nayara tidak tahu pasti, dan itu membuat hatinya bimbang. Sampai di mobil, Nayara duduk sebentar di kursi pengemudi, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Lampu-lampu jalanan yang memantul di genangan air hujan memberikan kesan melankolis yang menyelimuti suasana hatinya. Ia memulai perjalanan pulang, tetapi pikirannya masih jauh dari rumah. Ia berusaha menenangkan dirinya dengan mendengarkan lagu-lagu favoritnya yang diputar dari playlist di ponselnya. Ketika sampai di rumah, suasana rumah yang sunyi menyambutnya. Nayara meletakkan tasnya di meja samping pintu dan berjalan ke ruang tamu. Ia merasa kosong—seperti ada sesuatu yang hilang meski tubuhnya sudah berada di rumah yang seharusnya memberinya kenyamanan. Mata Nayara menatap kosong ke dinding, mencoba meredam perasaan yang terus muncul dalam dirinya. --- Keesokan harinya, langit pagi tampak lebih cerah meskipun udara tetap sejuk. Nayara memutuskan untuk berjalan kaki ke kantor, berusaha mengosongkan pikirannya dan memulai hari dengan pikiran yang jernih. Pagi itu, langkahnya terasa lebih ringan daripada sebelumnya, meski ia tahu tantangan besar masih menunggunya. Sesampainya di kantor, suasana terasa berbeda. Staf-staf Mahendra Group tampak lebih sibuk dari biasanya, dengan banyaknya rapat dan pertemuan yang dijadwalkan sepanjang hari. Nayara merasa sedikit cemas, karena ia tahu bahwa Devandra mengandalkan hasil kerja keras mereka untuk pertemuan penting yang akan datang. Ia tahu bahwa presentasi kali ini harus sempurna—tidak ada lagi ruang untuk kesalahan. Valen, asisten Devandra, segera mendekatinya saat ia baru saja memasuki ruang kerjanya. “Nona Nayara, Tuan Mahendra meminta Anda segera ke ruang rapat,” kata Valen dengan nada terburu-buru. Dengan langkah cepat, Nayara mengikuti Valen menuju ruang rapat. Hati Nayara berdebar-debar, dan ia berusaha menenangkan dirinya sebelum masuk. Begitu pintu ruang rapat terbuka, ia melihat Devandra sudah duduk di meja, memandangi layar proyektor yang memuat berbagai data dan grafik yang menunjukkan hasil kerja mereka. “Selamat pagi, Tuan Mahendra,” ujar Nayara sopan. Devandra mengangkat wajahnya dan menatap Nayara. “Nayara, kita harus memastikan bahwa presentasi ini berjalan lancar. Saya ingin kamu siap untuk segala kemungkinan,” katanya dengan nada serius. Nayara mengangguk, berusaha untuk tetap tenang. “Saya siap, Tuan Mahendra.” Selama rapat, mereka kembali bekerja dengan intensitas yang tinggi. Nayara merasa seolah dirinya dan Devandra terhubung dalam satu tujuan yang sama, mencapai kesempurnaan. Setiap kali ada masalah atau pertanyaan dari klien yang muncul, mereka langsung bekerja sama untuk memberikan solusi yang tepat. Meskipun tak ada banyak interaksi personal antara mereka, Nayara mulai merasakan adanya aliran komunikasi yang lebih lancar, lebih terarah. Namun, begitu rapat selesai dan klien akhirnya puas dengan presentasi mereka, Nayara merasakan kelelahan yang mendalam. Ia tahu, meskipun hari ini berhasil, masih banyak tantangan lain yang menunggu. Tidak hanya dari pekerjaan, tetapi juga dari perasaan yang terus berkembang di dalam dirinya. Saat rapat berakhir dan klien meninggalkan ruangan, Devandra kembali menghadap Nayara dengan tatapan tajam. “Kita berhasil, Nayara,” kata Devandra dengan suara yang lebih lembut, meskipun tetap serius. “Tetapi, ini baru permulaan. Kita akan menghadapi lebih banyak ujian. Pastikan kamu siap untuk itu.” Nayara menatapnya, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Devandra berbicara kali ini. Tidak hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang dirinya. Ia bisa merasakan ada semacam pengakuan terhadap usaha kerasnya, yang selama ini sulit ia dapatkan. “Terima kasih, Tuan Mahendra. Saya akan terus berusaha,” jawab Nayara dengan rendah hati. Namun, dalam hati Nayara, ia tahu bahwa hubungan mereka mulai memasuki fase yang lebih rumit. Pekerjaan yang mereka lakukan bersama mulai membuka pintu menuju sesuatu yang lebih pribadi, sesuatu yang bisa berbahaya jika tidak berhati-hati. Tapi, entah kenapa, Nayara merasa ia ingin melangkah lebih jauh, meskipun itu berarti mempertaruhkan segala sesuatu yang telah ia bangun selama ini. Malam hari tiba, dan Nayara kembali merasakan ketegangan yang sama setelah seharian bekerja dengan Devandra. Udara malam ini lebih hangat, meski tetap terasa lembap setelah hujan. Ia berjalan kembali menuju apartemennya, tetapi kali ini langkahnya terasa lebih lambat, seperti ia sedang berpikir lebih dalam tentang apa yang telah terjadi. --- To Be Continued.Pagi itu, cuaca di luar kantor Mahendra Group terasa begitu cerah. Matahari yang bersinar hangat seakan memberi semangat bagi setiap orang yang berada di dalamnya. Nayara duduk di mejanya, memandang berkas-berkas yang berserakan di depannya. Hatinya sedikit cemas karena hari ini ia harus menyelesaikan beberapa tugas yang telah menumpuk, tetapi suasana tenang di ruang kerjanya memberinya sedikit ketenangan. Beberapa kolega melintas di depannya, tersenyum ramah dan menyapanya dengan hangat. Nayara membalas sapaan mereka dengan senyuman ringan. Pekerjaan di kantor ini bukanlah hal yang asing bagi Nayara. Setelah bertahun-tahun bekerja dengan berbagai atasan, ia mulai merasa lebih percaya diri dan menguasai apa yang ia lakukan. Namun, kali ini semuanya terasa berbeda. Ada hal yang lebih rumit di balik pekerjaan ini, dan itu datang dalam bentuk Devandra Satya Mahendra—CEO muda yang terkenal dengan ketegasannya. Meskipun mereka sudah bekerja sama selama beberapa waktu, Nayara masih merasa
Pagi ini, cuaca di luar kantor Mahendra Group begitu cerah. Matahari bersinar hangat, seakan memberi semangat pada semua orang yang bekerja di dalam gedung itu. Di salah satu sudut ruangan, Nayara duduk di mejanya, memandangi dokumen yang berserakan. Hatinya sedikit cemas karena harus menyelesaikan beberapa tugas yang menumpuk, tapi ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Semangat, Nayara," gumamnya pada diri sendiri sambil mulai membuka laptop. Suara langkah-langkah sepatu terdengar dari arah pintu utama ruangan. Beberapa kolega Nayara berjalan melintas, tersenyum ramah. Salah satu dari mereka, Lisa Adriani, atau kerap di sapa Lisa. Ia berhenti sejenak di meja Nayara. "Pagi, Nay! Banyak kerjaan, ya?" tanya Lisa sambil menaruh secangkir kopi di meja Nayara. Nayara mengangkat wajahnya, tersenyum kecil. "Seperti biasa, Lis. Tapi nggak apa-apa. Lagi coba menyelesaikan yang bisa hari ini." "Kalau butuh bantuan, kasih tahu, ya. Tapi kayaknya, nggak lama lagi ada yang mau
Setelah makan siang itu, Nayara kembali ke mejanya dengan langkah sedikit lebih lambat dari biasanya. Pikiran-pikirannya berputar pada percakapan mereka di restoran tadi. Saya ingin lebih mengenalmu. Kata-kata Devandra masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. "Nayara!" Suara Lisa mengejutkannya dari lamunan. Nayara mengerjap, menoleh cepat ke arah sahabatnya yang berdiri dengan senyum usil. "Kamu kenapa sih? Dari tadi senyum-senyum sendiri. Ada apa, nih?" "Apa sih, Lis?" Nayara buru-buru merapikan dokumen di mejanya, berusaha mengalihkan topik. Namun Lisa tentu saja tidak akan berhenti semudah itu. "Jangan bohong! Tadi aku lihat kalian berdua makan siang bareng di restoran bawah." Lisa memelankan suaranya sambil mendekat. "Ada apa, Nay? Jangan bilang bos kita yang super dingin itu mulai menunjukkan sisi manusiawinya?" "Lisa, tolong, ya." Nayara mendesah pelan, menyembunyikan rasa malunya. "Itu cuma makan siang biasa. Dia
Hujan deras mengguyur kota malam itu, menciptakan irama yang samar menenangkan namun penuh kesedihan. Di apartemennya yang luas, Devandra duduk sendirian di ruang kerja, tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Sebuah gelas bourbon hampir kosong berada di atas meja, sementara tangan kirinya memegang sebuah bingkai foto tua. Foto itu sederhana, tetapi menyimpan begitu banyak kenangan. Seorang bocah kecil dengan senyum polos berdiri di samping seorang wanita cantik yang memeluknya penuh kasih. Wanita itu adalah ibunya—sosok yang dulu menjadi dunianya, sebelum segalanya berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia harapkan. Kilasan Masa Lalu Devandra kecil duduk di tangga rumah mewahnya, memeluk boneka singa lusuh kesayangannya. Di ruang tamu, suara teriakan memecah keheningan malam. Ayahnya berdiri dengan wajah merah padam, memandang ibunya dengan penuh amarah. “Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu menyembunyikan uang dariku!” bentaknya kasar. "Aku hanya ingin menyimpan sedikit untuk
Pagi ini, langit cerah dengan sinar matahari yang lembut menerobos kaca jendela ruang kerja Devandra. Di luar, hiruk-pikuk kota mulai terasa, tetapi di dalam ruangan itu, keheningan mendominasi. Nayara baru saja menyelesaikan presentasinya di hadapan beberapa petinggi perusahaan, termasuk Devandra. Tatapan pria itu sulit ditebak, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Nayara gugup.Setelah rapat usai, Nayara hendak kembali ke mejanya ketika suara berat Devandra menghentikannya.“Nayara, tunggu sebentar.”Nayara berbalik, menatap pria itu dengan sedikit kebingungan. “Ada apa, Pak Devandra?”“Kamu punya waktu sebentar? Aku ingin membahas sesuatu.”Nada suaranya terdengar santai, tetapi Nayara merasakan ketegangan yang tersirat. Ia mengangguk, mengikuti langkah Devandra menuju ruangannya.Setelah berada di dalam ruangan, Devandra duduk di balik mejanya, sementara Nayara duduk di seberangnya. Suasana terasa canggung, seperti ada sesuatu yang ingin Devandra katakan tetapi ia ragu untu
Langit yang tadinya cerah mendadak berubah mendung. Hujan deras mulai turun saat Devandra dan Nayara keluar dari gedung tempat mereka menghadiri rapat dengan salah satu klien penting. Jalanan mulai dipenuhi genangan air, dan suara derasnya hujan mengisi keheningan di antara mereka.“Sepertinya kita harus menunggu hujan reda,” ucap Nayara, memandang langit yang gelap.Devandra mengangguk. “Tunggu di sini. Aku akan meminta sopir membawa mobil lebih dekat.”Namun, sebelum Devandra sempat melangkah pergi, sebuah pengumuman terdengar dari ponselnya. “Pak, maaf. Mobil terjebak macet di persimpangan. Mungkin akan memakan waktu lebih lama.”Devandra menghela napas pelan, lalu kembali berdiri di samping Nayara. Ia melirik wanita itu yang mulai gelisah karena angin dingin yang menyertai hujan.“Di sini terlalu dingin. Kita cari tempat berteduh,” ucap Devandra sambil melangkah lebih dulu menuju sebuah teras kecil di dekat mereka.Mereka duduk di kursi kayu yang sudah agak basah karena cipratan h
Langkah Arga terdengar jelas di tengah keheningan. Suaranya yang memanggil nama Nayara membuat suasana menjadi tegang. Devandra tetap berdiri di samping Nayara, melindungi wanita itu dengan caranya yang tenang tapi penuh kewibawaan.“Arga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nayara, mencoba menenangkan diri meski hatinya bergemuruh.Arga melangkah mendekat, sorot matanya serius. “Aku mendengar tentangmu dari teman-teman lama. Aku tahu aku bukan bagian dari hidupmu lagi, tapi aku ingin kita bicara. Hanya sebentar.”Devandra menatap Arga tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Ia menoleh pada Nayara, memberikan ruang untuknya memutuskan.Nayara menghela napas panjang, lalu menatap Devandra. “Aku akan bicara dengannya. Sebentar saja.”Devandra ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Aku akan menunggu di sini kalau kamu butuh.”Nayara melangkah keluar bersama Arga. Mereka berhenti di sebuah sudut yang cukup sepi, jauh dari perhatian orang-orang. Hujan masih terdengar samar di luar gedung, menciptak
Beberapa hari kemudian, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Koleksi baru hasil kolaborasi Nayara dan Devandra mulai menarik perhatian media. Semua karyawan tampak bersemangat, membicarakan desain-desain yang akan segera diluncurkan.Nayara duduk di ruangannya, memeriksa prototipe terakhir gaun-gaun yang akan digunakan dalam koleksi tersebut. Pikirannya masih bercampur aduk setelah wawancara dengan majalah fashion ternama. Kata-kata sang pewawancara terus terngiang di kepalanya."Apakah Anda berencana untuk kembali ke dunia modeling?"Ia menghela napas panjang. Tidak semudah itu baginya untuk kembali, meskipun dukungan publik begitu besar. Ada banyak kenangan pahit yang masih membekas di hatinya, kenangan yang membuatnya takut untuk melangkah lagi.Devandra muncul di pintu ruangannya, mengetuk pintu dengan pelan. “Bagaimana hasil revisi terakhirnya?” tanyanya, suaranya seperti biasa, tenang dan lugas.Nayara menoleh, menunjukkan beberapa sketsa di mejanya. “Aku sudah menye
Devandra kembali ke kamarnya, matanya tertuju pada bayangannya sendiri di cermin. Ia menatap wajahnya yang dingin, mencerminkan kepribadiannya yang keras kepala dan tertutup. Ia selalu begitu, tak mau menunjukkan kelemahan di depan orang lain. Ia terbiasa dengan dunia yang keras dan penuh bahaya.Ia mengingat perkataan Nayara, "Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian." Namun, bagaimana bisa ia berbagi beban yang ia tanggung selama ini?Ia tak pernah melupakan kekecewaan yang dalam yang ia rasakan ketika ayahnya, Mahendra, meninggalkan ibunya dan dirinya. Kekecewaan itu menyeruak kembali ketika ia melihat Mahendra bersama istri barunya. Devandra tak pernah memaafkan ayahnya.Ayahnya yang seharusnya menjadi tiang penyangga kehidupan, yang seharusnya memberikan perlindungan dan cinta, justru meninggalkan mereka saat mereka paling membutuhkan. Devandra merasa dikhianati. Ia merasakan bahwa ibunya men
Setelah Nayara pergi, Devandra berdiri mematung di sudut ruangan. Pikirannya kacau, bercampur aduk antara rasa marah, khawatir, dan sedih. Kehadiran ayahnya, Mahendra, di acara ini bukan hanya mengancam dirinya tetapi juga orang-orang yang ia sayangi. Dan sekarang, ancaman itu semakin nyata. Devandra melangkah menuju balkon hotel untuk menenangkan diri. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi tidak cukup untuk mendinginkan pikirannya yang bergolak. Ia mengingat setiap kata ayahnya, setiap ancaman yang dilontarkan dengan nada datar namun penuh intimidasi. "Kalau aku menyerah pada ancamannya, aku sama saja membiarkan dia menang," gumam Devandra sambil mengepalkan tangannya. "Tapi kalau aku terus melawan, Nayara dan yang lain akan menjadi targetnya." Ia menatap langit malam yang gelap. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ibunya masih hidup. Ia teringat senyuman lembut ibunya yang selalu menjadi sumber kekuatan bagi dirinya. Tapi sekarang, ia merasa sendirian. Hanya dirinya
Saat ini Devandra kembali masuk ke dalam hotel dengan langkah berat, pikirannya terus tertuju pada sang ayah yang setelah sekian lama nya ia diberi peringatan yang begitu membuatnya terancam, dimana ayahnya mengancam seluruh orang terdekat di sekitar nya termasuk Nayara. Entah jalan apa yang akan ia ambil untuk langkah selanjutnya. Karna awal ancaman ayahnya dulu sangat tidak terlalu membuatnya takut tidak seperti sekarang, karena semuanya sudah berubah. Inilah yang ia takutkan di saat ingin mendekati lebih sosok Nayara karena cepat atau lambat ayah nya pasti tau dirinya mendekati seorang perempuan dan sekarang akan menjadi tersangka ancaman nya.Disaat Devandra tengah berkelahi dengan pikiran nya, jauh dari sana seseorang memperhatikan Devandra dengan secangkir minuman di tangannya. "Kamu sudah tidak bisa lari lagi dari ku, Devan." Pria itu, berjalan mendekati Devandra dengan langkah tenang. Dia, Ayah Devandra yang tidak lama datang menginjak lantai hotel dan bergabung dengan tamu
Setelah percakapan singkat itu, Nayara melangkah meninggalkan Devandra. Namun, Devandra tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung Nayara yang perlahan menghilang di balik kerumunan tamu undangan. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, tetapi ia juga tahu tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang Nayara belum siap untuk menerima. Suasana pesta semakin meriah. Musik lembut mengalun, lampu-lampu kristal memancarkan kilauan elegan, dan tamu-tamu saling bercakap dengan gelas sampanye di tangan. Devandra memutuskan untuk menepi sejenak, mencari udara segar di balkon hotel. Saat ia keluar, ia menemukan Arga berdiri di sana, memandangi pemandangan kota malam. Devandra mengerutkan kening. Ia tidak menyangka pria itu akan hadir di acara ini, apalagi setelah pertemuan mereka di kafe tadi malam. "Arga," sapa Devandra dengan nada datar. Arga menoleh, wajahnya menyiratkan kejengkelan yang sama seperti sebelumnya. "Kita bertemu lagi. Dunia ini memang kecil, ya?" Devandra berjalan me
Setelah kepergian Nayara, Devandra masih duduk di sofanya, memandang map yang ditinggalkan Nayara. Perasaannya campur aduk. Ia tahu mendukung Nayara adalah hal yang benar, tetapi pikirannya terusik oleh kenyataan bahwa kepergian Nayara ke New York akan membuatnya kehilangan sosok yang selama ini memberinya semangat.Ia mengambil map itu, mencoba fokus pada laporan yang Nayara bawa, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata terakhir Nayara. "Terima kasih, Devandra." Kalimat itu terdengar tulus, tetapi di balik senyumnya, Devandra merasakan jarak yang tak bisa ia jangkau. Nayara belum siap membuka hati, dan ia tahu itu. Namun, apakah ia harus menyerah?Devandra bangkit dari sofa dan berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. Matanya tertuju pada kerlip lampu kota yang seolah mencerminkan kegelisahan di hatinya. Ponselnya yang tergeletak di meja mulai berdering lagi, kali ini dari nomor yang sama. Dengan enggan, Devandra mengangkatnya."Ayah, saya sudah bilang—""Devandra," suar
Nayara termenung dalam duduk nya. Hari ini setelah rapat yang panjang mengenai pakaian desain nya yang akan di luncurkan sudah di setujui dan akan di laksanakan esok harinya. Entah mengapa Nayara seakan tidak tau langkah setelah ini.Ia memikirkan mengenai perkataan orang-orang yang mendukung nya untuk kembali ke dunia modeling dimana dirinya sudah dua tahun meninggalkan dunia itu dan berhenti dari dunia itu juga tidak semudah itu. Banyak yang dilalui Nayara setelahnya.Diwaktu yang sama, di dalam ruangan Devandra. Ia sibuk berkutat dengan ponsel nya. Melihat perkembangan mengenai berita tentang Nayara yang kembali tersorot.Devandra tersenyum tipis, sangat tipis. Tapi tidak sampai beberapa detik senyuman itu hilang bersama dengan layar ponsel nya yang menunjukkan telpon masuk dari nomor yang tidak ia kenal.Dengan ragu, Devandra menjawab telpon tersebut.Seketika wajahnya berubah datar dan dingin setelah tau si penelpon."Apa lagi!" ucapnya dengan menekan setiap katanya."Saya tida
Beberapa hari kemudian, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Koleksi baru hasil kolaborasi Nayara dan Devandra mulai menarik perhatian media. Semua karyawan tampak bersemangat, membicarakan desain-desain yang akan segera diluncurkan.Nayara duduk di ruangannya, memeriksa prototipe terakhir gaun-gaun yang akan digunakan dalam koleksi tersebut. Pikirannya masih bercampur aduk setelah wawancara dengan majalah fashion ternama. Kata-kata sang pewawancara terus terngiang di kepalanya."Apakah Anda berencana untuk kembali ke dunia modeling?"Ia menghela napas panjang. Tidak semudah itu baginya untuk kembali, meskipun dukungan publik begitu besar. Ada banyak kenangan pahit yang masih membekas di hatinya, kenangan yang membuatnya takut untuk melangkah lagi.Devandra muncul di pintu ruangannya, mengetuk pintu dengan pelan. “Bagaimana hasil revisi terakhirnya?” tanyanya, suaranya seperti biasa, tenang dan lugas.Nayara menoleh, menunjukkan beberapa sketsa di mejanya. “Aku sudah menye
Langkah Arga terdengar jelas di tengah keheningan. Suaranya yang memanggil nama Nayara membuat suasana menjadi tegang. Devandra tetap berdiri di samping Nayara, melindungi wanita itu dengan caranya yang tenang tapi penuh kewibawaan.“Arga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nayara, mencoba menenangkan diri meski hatinya bergemuruh.Arga melangkah mendekat, sorot matanya serius. “Aku mendengar tentangmu dari teman-teman lama. Aku tahu aku bukan bagian dari hidupmu lagi, tapi aku ingin kita bicara. Hanya sebentar.”Devandra menatap Arga tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Ia menoleh pada Nayara, memberikan ruang untuknya memutuskan.Nayara menghela napas panjang, lalu menatap Devandra. “Aku akan bicara dengannya. Sebentar saja.”Devandra ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Aku akan menunggu di sini kalau kamu butuh.”Nayara melangkah keluar bersama Arga. Mereka berhenti di sebuah sudut yang cukup sepi, jauh dari perhatian orang-orang. Hujan masih terdengar samar di luar gedung, menciptak
Langit yang tadinya cerah mendadak berubah mendung. Hujan deras mulai turun saat Devandra dan Nayara keluar dari gedung tempat mereka menghadiri rapat dengan salah satu klien penting. Jalanan mulai dipenuhi genangan air, dan suara derasnya hujan mengisi keheningan di antara mereka.“Sepertinya kita harus menunggu hujan reda,” ucap Nayara, memandang langit yang gelap.Devandra mengangguk. “Tunggu di sini. Aku akan meminta sopir membawa mobil lebih dekat.”Namun, sebelum Devandra sempat melangkah pergi, sebuah pengumuman terdengar dari ponselnya. “Pak, maaf. Mobil terjebak macet di persimpangan. Mungkin akan memakan waktu lebih lama.”Devandra menghela napas pelan, lalu kembali berdiri di samping Nayara. Ia melirik wanita itu yang mulai gelisah karena angin dingin yang menyertai hujan.“Di sini terlalu dingin. Kita cari tempat berteduh,” ucap Devandra sambil melangkah lebih dulu menuju sebuah teras kecil di dekat mereka.Mereka duduk di kursi kayu yang sudah agak basah karena cipratan h