Pagi ini, langit cerah dengan sinar matahari yang lembut menerobos kaca jendela ruang kerja Devandra. Di luar, hiruk-pikuk kota mulai terasa, tetapi di dalam ruangan itu, keheningan mendominasi. Nayara baru saja menyelesaikan presentasinya di hadapan beberapa petinggi perusahaan, termasuk Devandra. Tatapan pria itu sulit ditebak, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Nayara gugup.
Setelah rapat usai, Nayara hendak kembali ke mejanya ketika suara berat Devandra menghentikannya. “Nayara, tunggu sebentar.” Nayara berbalik, menatap pria itu dengan sedikit kebingungan. “Ada apa, Pak Devandra?” “Kamu punya waktu sebentar? Aku ingin membahas sesuatu.” Nada suaranya terdengar santai, tetapi Nayara merasakan ketegangan yang tersirat. Ia mengangguk, mengikuti langkah Devandra menuju ruangannya. Setelah berada di dalam ruangan, Devandra duduk di balik mejanya, sementara Nayara duduk di seberangnya. Suasana terasa canggung, seperti ada sesuatu yang ingin Devandra katakan tetapi ia ragu untuk memulainya. “Aku perhatikan, kamu terlihat tegang saat presentasi tadi,” kata Devandra akhirnya. Nayara tersenyum kecil, mencoba meredakan suasana. “Mungkin karena ini presentasi besar. Saya hanya takut kalau ada yang salah.” Devandra menggeleng pelan, matanya memperhatikan setiap gerakan Nayara. “Bukan itu. Kamu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang lain.” Nayara terdiam, mencoba menutupi kegelisahannya. Namun, tatapan Devandra yang tajam seakan mampu menembus dinding pertahanan yang ia bangun. “Aku tidak apa-apa,” jawab Nayara akhirnya, meskipun suaranya terdengar tidak meyakinkan. Devandra mendesah, lalu bersandar di kursinya. “Kamu tahu, Nayara, aku bisa membaca orang dengan cukup baik. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, kamu bisa memberitahuku.” Sebelum Nayara sempat menjawab, suara ketukan di pintu memecah suasana. Seorang staf masuk untuk memberikan dokumen, memberi Nayara kesempatan untuk mengalihkan perhatian Devandra. Setelah staf itu keluar dan pintu kembali tertutup, Nayara berusaha mengendalikan dirinya. Ia tahu Devandra tidak akan menyerah begitu saja. Pria itu adalah seseorang yang selalu menggali lebih dalam, terutama jika ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan. "Maaf, tadi aku tidak sempat menjawab," ucap Nayara, mencoba memecah keheningan. "Tapi sungguh, aku tidak apa-apa." Devandra mengangkat alis, sedikit skeptis. “Benarkah? Karena aku punya firasat bahwa apa pun yang kamu sembunyikan, itu cukup berat untuk membuatmu kehilangan fokus.” Nayara menundukkan kepala, menggenggam tangannya sendiri. Perasaan gugup semakin nyata. Namun, sebelum ia sempat memberikan jawaban lain, Devandra melanjutkan. “Aku tidak memaksa. Tapi aku harap kamu tahu bahwa aku di sini bukan hanya sebagai atasanmu. Jika kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, aku... ingin mencoba ada untukmu.” Kata-kata itu membuat Nayara mendongak, menatap Devandra dengan mata yang penuh kebingungan sekaligus harapan. Sulit baginya untuk percaya bahwa pria yang terkenal dingin dan berwibawa ini mau menunjukkan sisi lembutnya. Namun, ia juga tahu bahwa membuka diri bukanlah hal mudah, terutama dengan seseorang seperti Devandra. “Tapi... ini bukan sesuatu yang mudah untuk dibicarakan,” ujar Nayara akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Devandra mengangguk perlahan. “Aku mengerti. Tapi aku ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku tidak akan menghakimi. Setiap orang punya masa lalu atau masalah yang sulit dihadapi. Aku juga tahu rasanya.” Keheningan kembali mengisi ruangan. Kali ini, Nayara merasa ada kehangatan dalam hening itu, seolah Devandra mencoba memberikan ruang baginya untuk berbicara, tanpa tekanan. “Baiklah,” ucap Nayara akhirnya, mengambil napas dalam-dalam. “Aku akan mencoba jujur... tapi tidak sekarang.” Devandra mengangguk, wajahnya menunjukkan pengertian. “Aku tidak akan memaksamu. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Tapi ingat, aku ada di sini jika kamu membutuhkanku.” Mereka saling menatap sejenak, sebuah momen yang terasa lebih dari sekadar interaksi antara atasan dan bawahan. Ada koneksi yang tak terucapkan di antara mereka, meskipun keduanya belum sepenuhnya menyadarinya. Sebelum percakapan itu berlanjut, ponsel Nayara berbunyi. Ia melirik layar, matanya melebar saat melihat nama yang tertera. Mantan pacarnya. Detik itu juga, kegelisahan yang tadi sempat memudar kembali menyelimuti dirinya. “Maaf, aku harus menjawab ini,” ucap Nayara cepat sambil berdiri. Devandra mengangguk, tetapi tatapannya tajam, memperhatikan perubahan ekspresi Nayara yang tak luput dari pengamatannya. Setelah Nayara keluar dari ruangan, ia mengangkat telepon tersebut dengan ragu. “Halo?” sapanya, suaranya pelan. “Nayara, aku ingin bertemu denganmu,” suara di seberang terdengar penuh penyesalan. “Aku tahu aku salah, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Tolong beri aku kesempatan.” Jantung Nayara berdegup kencang. Ia tidak menyangka pria itu akan kembali muncul di hidupnya, apalagi setelah semua yang terjadi di antara mereka. Namun, sebelum Nayara sempat menjawab, suara pintu terbuka di belakangnya. Devandra berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Nayara, ada sesuatu yang penting di sini. Bisa kita lanjutkan sekarang?” tanyanya, tetapi nada suaranya menunjukkan ketertarikan yang lebih besar terhadap apa yang sedang terjadi. Nayara menatap Devandra, lalu melirik telepon di tangannya. Di satu sisi, ia ingin menyelesaikan percakapan itu. Di sisi lain, ada sesuatu dalam tatapan Devandra yang membuatnya merasa lebih nyaman tetap di sini. “Maaf,” ucap Nayara ke telepon. “Aku tidak bisa bicara sekarang.” Ia memutuskan panggilan itu, lalu menatap Devandra. “Apa yang perlu dibahas?” Devandra tidak langsung menjawab. Ia menatap Nayara dengan intens, seolah mencoba membaca apa yang baru saja terjadi. “Kamu yakin tidak ada yang perlu kamu ceritakan?” tanyanya, lebih lembut dari yang Nayara duga. Nayara hanya tersenyum tipis. “Tidak untuk saat ini.” Devandra mengangguk pelan, tetapi sesuatu dalam dirinya mulai merasa ada yang salah. Ia tidak tahu apa, tetapi perasaan posesif yang baru ia sadari mulai tumbuh perlahan. --- Jam sudah menunjukkan pukul 13.00, Nayara melewatkan waktu istirahat karena menyelesaikan tugas bersama Devandra. Tapi kini Devandra mengizinkan dirinya untuk istirahat sejenak. Nayara memutuskan untuk berjalan ke sebuah kafe dekat kantor. Ia butuh waktu untuk meredakan pikirannya. Namun, saat tiba di sana, ia terkejut mendapati seorang pria yang beberapa waktu sebelumnya memenuhi pikirannya, sedang duduk di salah satu meja, menatapnya dengan senyuman lebar. “Nayara!” panggil pria itu, melambai ke arahnya. Langkah Nayara terhenti. Pria itu adalah Arga, mantan pacarnya yang pergi tanpa alasan bertahun-tahun lalu. Keberadaannya di sana seperti membawa gelombang emosi yang tak terduga. Dengan enggan, Nayara melangkah mendekat. “Arga? Apa yang kamu lakukan di sini?” “Aku sedang di kota ini untuk urusan pekerjaan. Tidak menyangka kita akan bertemu di sini, padahal baru tadi aku menelepon mu karena ingin bertemu,” jawab Arga sambil berdiri. Nayara tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Namun, sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Arga sudah mempersilakannya duduk. “Aku sudah lama ingin bertemu denganmu,” kata Arga setelah mereka duduk. “Ada banyak hal yang ingin aku jelaskan.” Nayara mengernyit. “Setelah bertahun-tahun kamu menghilang tanpa kabar, sekarang kamu ingin menjelaskan?” “Aku tahu aku salah,” jawab Arga dengan nada penuh penyesalan. “Tapi aku berharap kamu mau memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.” Nayara terdiam, matanya memandang ke luar jendela. Kenangan masa lalu yang pahit kembali menghantuinya. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapi ini. --- Di kantor, Devandra menyadari bahwa Nayara belum kembali dari istirahat siangnya. Ia merasa tidak nyaman, meskipun tidak tahu apa alasannya. Ada sesuatu tentang Nayara yang membuatnya sulit untuk tidak peduli. Ketika akhirnya Nayara kembali, Devandra memperhatikannya dari kejauhan. Wajah wanita itu terlihat berbeda, seperti ada sesuatu yang mengganggunya. “Nayara, ke ruanganku,” kata Devandra melalui telepon internal. Beberapa menit kemudian, Nayara muncul di depan pintu ruangannya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” “Duduklah,” kata Devandra sambil menunjuk kursi di depannya. Nayara menurut, tetapi raut wajahnya menunjukkan kebingungan. “Kamu bertemu seseorang tadi, ya?” tanya Devandra langsung. Nayara terkejut. “Bagaimana Anda tahu?” “Saya hanya menebak,” jawab Devandra dengan nada tenang, meskipun matanya memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Siapa dia?” “Arga,” jawab Nayara pelan. “Dia... hanya masa lalu.” Devandra merasakan dadanya menghangat dengan rasa yang aneh. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa ia kendalikan—rasa posesif yang mulai muncul. “Apa yang dia inginkan?” tanya Devandra, suaranya sedikit lebih tajam dari yang ia maksudkan. Nayara menghela napas. “Dia bilang ingin memperbaiki semuanya. Tapi... aku tidak yakin.” Devandra terdiam sejenak, memandangi Nayara dengan intens. “Apakah kamu masih memiliki perasaan untuknya?” Pertanyaan itu membuat Nayara terguncang. Ia tahu ia harus menjawab dengan hati-hati, tetapi ia tidak tahu apa jawaban yang sebenarnya. “Aku tidak tahu,” jawab Nayara akhirnya. Suasana menjadi tegang. Devandra merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—ketakutan kehilangan seseorang yang mulai ia pedulikan. --- To Be ContinuedLangit yang tadinya cerah mendadak berubah mendung. Hujan deras mulai turun saat Devandra dan Nayara keluar dari gedung tempat mereka menghadiri rapat dengan salah satu klien penting. Jalanan mulai dipenuhi genangan air, dan suara derasnya hujan mengisi keheningan di antara mereka.“Sepertinya kita harus menunggu hujan reda,” ucap Nayara, memandang langit yang gelap.Devandra mengangguk. “Tunggu di sini. Aku akan meminta sopir membawa mobil lebih dekat.”Namun, sebelum Devandra sempat melangkah pergi, sebuah pengumuman terdengar dari ponselnya. “Pak, maaf. Mobil terjebak macet di persimpangan. Mungkin akan memakan waktu lebih lama.”Devandra menghela napas pelan, lalu kembali berdiri di samping Nayara. Ia melirik wanita itu yang mulai gelisah karena angin dingin yang menyertai hujan.“Di sini terlalu dingin. Kita cari tempat berteduh,” ucap Devandra sambil melangkah lebih dulu menuju sebuah teras kecil di dekat mereka.Mereka duduk di kursi kayu yang sudah agak basah karena cipratan h
Langkah Arga terdengar jelas di tengah keheningan. Suaranya yang memanggil nama Nayara membuat suasana menjadi tegang. Devandra tetap berdiri di samping Nayara, melindungi wanita itu dengan caranya yang tenang tapi penuh kewibawaan.“Arga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nayara, mencoba menenangkan diri meski hatinya bergemuruh.Arga melangkah mendekat, sorot matanya serius. “Aku mendengar tentangmu dari teman-teman lama. Aku tahu aku bukan bagian dari hidupmu lagi, tapi aku ingin kita bicara. Hanya sebentar.”Devandra menatap Arga tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Ia menoleh pada Nayara, memberikan ruang untuknya memutuskan.Nayara menghela napas panjang, lalu menatap Devandra. “Aku akan bicara dengannya. Sebentar saja.”Devandra ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Aku akan menunggu di sini kalau kamu butuh.”Nayara melangkah keluar bersama Arga. Mereka berhenti di sebuah sudut yang cukup sepi, jauh dari perhatian orang-orang. Hujan masih terdengar samar di luar gedung, menciptak
Beberapa hari kemudian, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Koleksi baru hasil kolaborasi Nayara dan Devandra mulai menarik perhatian media. Semua karyawan tampak bersemangat, membicarakan desain-desain yang akan segera diluncurkan.Nayara duduk di ruangannya, memeriksa prototipe terakhir gaun-gaun yang akan digunakan dalam koleksi tersebut. Pikirannya masih bercampur aduk setelah wawancara dengan majalah fashion ternama. Kata-kata sang pewawancara terus terngiang di kepalanya."Apakah Anda berencana untuk kembali ke dunia modeling?"Ia menghela napas panjang. Tidak semudah itu baginya untuk kembali, meskipun dukungan publik begitu besar. Ada banyak kenangan pahit yang masih membekas di hatinya, kenangan yang membuatnya takut untuk melangkah lagi.Devandra muncul di pintu ruangannya, mengetuk pintu dengan pelan. “Bagaimana hasil revisi terakhirnya?” tanyanya, suaranya seperti biasa, tenang dan lugas.Nayara menoleh, menunjukkan beberapa sketsa di mejanya. “Aku sudah menye
Nayara termenung dalam duduk nya. Hari ini setelah rapat yang panjang mengenai pakaian desain nya yang akan di luncurkan sudah di setujui dan akan di laksanakan esok harinya. Entah mengapa Nayara seakan tidak tau langkah setelah ini.Ia memikirkan mengenai perkataan orang-orang yang mendukung nya untuk kembali ke dunia modeling dimana dirinya sudah dua tahun meninggalkan dunia itu dan berhenti dari dunia itu juga tidak semudah itu. Banyak yang dilalui Nayara setelahnya.Diwaktu yang sama, di dalam ruangan Devandra. Ia sibuk berkutat dengan ponsel nya. Melihat perkembangan mengenai berita tentang Nayara yang kembali tersorot.Devandra tersenyum tipis, sangat tipis. Tapi tidak sampai beberapa detik senyuman itu hilang bersama dengan layar ponsel nya yang menunjukkan telpon masuk dari nomor yang tidak ia kenal.Dengan ragu, Devandra menjawab telpon tersebut.Seketika wajahnya berubah datar dan dingin setelah tau si penelpon."Apa lagi!" ucapnya dengan menekan setiap katanya."Saya tida
Setelah kepergian Nayara, Devandra masih duduk di sofanya, memandang map yang ditinggalkan Nayara. Perasaannya campur aduk. Ia tahu mendukung Nayara adalah hal yang benar, tetapi pikirannya terusik oleh kenyataan bahwa kepergian Nayara ke New York akan membuatnya kehilangan sosok yang selama ini memberinya semangat.Ia mengambil map itu, mencoba fokus pada laporan yang Nayara bawa, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata terakhir Nayara. "Terima kasih, Devandra." Kalimat itu terdengar tulus, tetapi di balik senyumnya, Devandra merasakan jarak yang tak bisa ia jangkau. Nayara belum siap membuka hati, dan ia tahu itu. Namun, apakah ia harus menyerah?Devandra bangkit dari sofa dan berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. Matanya tertuju pada kerlip lampu kota yang seolah mencerminkan kegelisahan di hatinya. Ponselnya yang tergeletak di meja mulai berdering lagi, kali ini dari nomor yang sama. Dengan enggan, Devandra mengangkatnya."Ayah, saya sudah bilang—""Devandra," suar
Setelah percakapan singkat itu, Nayara melangkah meninggalkan Devandra. Namun, Devandra tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung Nayara yang perlahan menghilang di balik kerumunan tamu undangan. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, tetapi ia juga tahu tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang Nayara belum siap untuk menerima. Suasana pesta semakin meriah. Musik lembut mengalun, lampu-lampu kristal memancarkan kilauan elegan, dan tamu-tamu saling bercakap dengan gelas sampanye di tangan. Devandra memutuskan untuk menepi sejenak, mencari udara segar di balkon hotel. Saat ia keluar, ia menemukan Arga berdiri di sana, memandangi pemandangan kota malam. Devandra mengerutkan kening. Ia tidak menyangka pria itu akan hadir di acara ini, apalagi setelah pertemuan mereka di kafe tadi malam. "Arga," sapa Devandra dengan nada datar. Arga menoleh, wajahnya menyiratkan kejengkelan yang sama seperti sebelumnya. "Kita bertemu lagi. Dunia ini memang kecil, ya?" Devandra berjalan me
Saat ini Devandra kembali masuk ke dalam hotel dengan langkah berat, pikirannya terus tertuju pada sang ayah yang setelah sekian lama nya ia diberi peringatan yang begitu membuatnya terancam, dimana ayahnya mengancam seluruh orang terdekat di sekitar nya termasuk Nayara. Entah jalan apa yang akan ia ambil untuk langkah selanjutnya. Karna awal ancaman ayahnya dulu sangat tidak terlalu membuatnya takut tidak seperti sekarang, karena semuanya sudah berubah. Inilah yang ia takutkan di saat ingin mendekati lebih sosok Nayara karena cepat atau lambat ayah nya pasti tau dirinya mendekati seorang perempuan dan sekarang akan menjadi tersangka ancaman nya.Disaat Devandra tengah berkelahi dengan pikiran nya, jauh dari sana seseorang memperhatikan Devandra dengan secangkir minuman di tangannya. "Kamu sudah tidak bisa lari lagi dari ku, Devan." Pria itu, berjalan mendekati Devandra dengan langkah tenang. Dia, Ayah Devandra yang tidak lama datang menginjak lantai hotel dan bergabung dengan tamu
Setelah Nayara pergi, Devandra berdiri mematung di sudut ruangan. Pikirannya kacau, bercampur aduk antara rasa marah, khawatir, dan sedih. Kehadiran ayahnya, Mahendra, di acara ini bukan hanya mengancam dirinya tetapi juga orang-orang yang ia sayangi. Dan sekarang, ancaman itu semakin nyata. Devandra melangkah menuju balkon hotel untuk menenangkan diri. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi tidak cukup untuk mendinginkan pikirannya yang bergolak. Ia mengingat setiap kata ayahnya, setiap ancaman yang dilontarkan dengan nada datar namun penuh intimidasi. "Kalau aku menyerah pada ancamannya, aku sama saja membiarkan dia menang," gumam Devandra sambil mengepalkan tangannya. "Tapi kalau aku terus melawan, Nayara dan yang lain akan menjadi targetnya." Ia menatap langit malam yang gelap. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ibunya masih hidup. Ia teringat senyuman lembut ibunya yang selalu menjadi sumber kekuatan bagi dirinya. Tapi sekarang, ia merasa sendirian. Hanya dirinya
Nayara menghubungi agen nya dan menceritakan kabar baik itu. Agen nya sangat bahagia mendengar itu dan langsung mengatur jadwal pertemuan untuk menandatangani kontrak esok.Nayara merasa sangat bahagia dan bersemangat. Mimpi nya akhirnya terwujud. Ia akan menjadi model utama 'The Muse', salah satu perusahaan fashion terbesar di New York.Ia berjalan keluar dari kantor 'The Muse' dengan langkah yang ringan, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Ia merasakan seolah-olah semua yang ia lakukan selama ini terbayar lunas.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sebuah rasa kekosongan yang menyeruak di hatinya. Ia merasa sedikit hampa tanpa Devandra. Ia mengingat pertemuan terakhir mereka di Indonesia. Kata-kata Devandra masih terngiang di telinganya. "Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian."Nayara tahu bahwa Devandra memiliki masalah yang besar, namun ia tak perna
Devandra kembali ke kamarnya, matanya tertuju pada bayangannya sendiri di cermin. Ia menatap wajahnya yang dingin, mencerminkan kepribadiannya yang keras kepala dan tertutup. Ia selalu begitu, tak mau menunjukkan kelemahan di depan orang lain. Ia terbiasa dengan dunia yang keras dan penuh bahaya.Ia mengingat perkataan Nayara, "Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian." Namun, bagaimana bisa ia berbagi beban yang ia tanggung selama ini?Ia tak pernah melupakan kekecewaan yang dalam yang ia rasakan ketika ayahnya, Mahendra, meninggalkan ibunya dan dirinya. Kekecewaan itu menyeruak kembali ketika ia melihat Mahendra bersama istri barunya. Devandra tak pernah memaafkan ayahnya.Ayahnya yang seharusnya menjadi tiang penyangga kehidupan, yang seharusnya memberikan perlindungan dan cinta, justru meninggalkan mereka saat mereka paling membutuhkan. Devandra merasa dikhianati. Ia merasakan bahwa ibunya men
Setelah Nayara pergi, Devandra berdiri mematung di sudut ruangan. Pikirannya kacau, bercampur aduk antara rasa marah, khawatir, dan sedih. Kehadiran ayahnya, Mahendra, di acara ini bukan hanya mengancam dirinya tetapi juga orang-orang yang ia sayangi. Dan sekarang, ancaman itu semakin nyata. Devandra melangkah menuju balkon hotel untuk menenangkan diri. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi tidak cukup untuk mendinginkan pikirannya yang bergolak. Ia mengingat setiap kata ayahnya, setiap ancaman yang dilontarkan dengan nada datar namun penuh intimidasi. "Kalau aku menyerah pada ancamannya, aku sama saja membiarkan dia menang," gumam Devandra sambil mengepalkan tangannya. "Tapi kalau aku terus melawan, Nayara dan yang lain akan menjadi targetnya." Ia menatap langit malam yang gelap. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ibunya masih hidup. Ia teringat senyuman lembut ibunya yang selalu menjadi sumber kekuatan bagi dirinya. Tapi sekarang, ia merasa sendirian. Hanya dirinya
Saat ini Devandra kembali masuk ke dalam hotel dengan langkah berat, pikirannya terus tertuju pada sang ayah yang setelah sekian lama nya ia diberi peringatan yang begitu membuatnya terancam, dimana ayahnya mengancam seluruh orang terdekat di sekitar nya termasuk Nayara. Entah jalan apa yang akan ia ambil untuk langkah selanjutnya. Karna awal ancaman ayahnya dulu sangat tidak terlalu membuatnya takut tidak seperti sekarang, karena semuanya sudah berubah. Inilah yang ia takutkan di saat ingin mendekati lebih sosok Nayara karena cepat atau lambat ayah nya pasti tau dirinya mendekati seorang perempuan dan sekarang akan menjadi tersangka ancaman nya.Disaat Devandra tengah berkelahi dengan pikiran nya, jauh dari sana seseorang memperhatikan Devandra dengan secangkir minuman di tangannya. "Kamu sudah tidak bisa lari lagi dari ku, Devan." Pria itu, berjalan mendekati Devandra dengan langkah tenang. Dia, Ayah Devandra yang tidak lama datang menginjak lantai hotel dan bergabung dengan tamu
Setelah percakapan singkat itu, Nayara melangkah meninggalkan Devandra. Namun, Devandra tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung Nayara yang perlahan menghilang di balik kerumunan tamu undangan. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, tetapi ia juga tahu tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang Nayara belum siap untuk menerima. Suasana pesta semakin meriah. Musik lembut mengalun, lampu-lampu kristal memancarkan kilauan elegan, dan tamu-tamu saling bercakap dengan gelas sampanye di tangan. Devandra memutuskan untuk menepi sejenak, mencari udara segar di balkon hotel. Saat ia keluar, ia menemukan Arga berdiri di sana, memandangi pemandangan kota malam. Devandra mengerutkan kening. Ia tidak menyangka pria itu akan hadir di acara ini, apalagi setelah pertemuan mereka di kafe tadi malam. "Arga," sapa Devandra dengan nada datar. Arga menoleh, wajahnya menyiratkan kejengkelan yang sama seperti sebelumnya. "Kita bertemu lagi. Dunia ini memang kecil, ya?" Devandra berjalan me
Setelah kepergian Nayara, Devandra masih duduk di sofanya, memandang map yang ditinggalkan Nayara. Perasaannya campur aduk. Ia tahu mendukung Nayara adalah hal yang benar, tetapi pikirannya terusik oleh kenyataan bahwa kepergian Nayara ke New York akan membuatnya kehilangan sosok yang selama ini memberinya semangat.Ia mengambil map itu, mencoba fokus pada laporan yang Nayara bawa, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata terakhir Nayara. "Terima kasih, Devandra." Kalimat itu terdengar tulus, tetapi di balik senyumnya, Devandra merasakan jarak yang tak bisa ia jangkau. Nayara belum siap membuka hati, dan ia tahu itu. Namun, apakah ia harus menyerah?Devandra bangkit dari sofa dan berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. Matanya tertuju pada kerlip lampu kota yang seolah mencerminkan kegelisahan di hatinya. Ponselnya yang tergeletak di meja mulai berdering lagi, kali ini dari nomor yang sama. Dengan enggan, Devandra mengangkatnya."Ayah, saya sudah bilang—""Devandra," suar
Nayara termenung dalam duduk nya. Hari ini setelah rapat yang panjang mengenai pakaian desain nya yang akan di luncurkan sudah di setujui dan akan di laksanakan esok harinya. Entah mengapa Nayara seakan tidak tau langkah setelah ini.Ia memikirkan mengenai perkataan orang-orang yang mendukung nya untuk kembali ke dunia modeling dimana dirinya sudah dua tahun meninggalkan dunia itu dan berhenti dari dunia itu juga tidak semudah itu. Banyak yang dilalui Nayara setelahnya.Diwaktu yang sama, di dalam ruangan Devandra. Ia sibuk berkutat dengan ponsel nya. Melihat perkembangan mengenai berita tentang Nayara yang kembali tersorot.Devandra tersenyum tipis, sangat tipis. Tapi tidak sampai beberapa detik senyuman itu hilang bersama dengan layar ponsel nya yang menunjukkan telpon masuk dari nomor yang tidak ia kenal.Dengan ragu, Devandra menjawab telpon tersebut.Seketika wajahnya berubah datar dan dingin setelah tau si penelpon."Apa lagi!" ucapnya dengan menekan setiap katanya."Saya tida
Beberapa hari kemudian, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Koleksi baru hasil kolaborasi Nayara dan Devandra mulai menarik perhatian media. Semua karyawan tampak bersemangat, membicarakan desain-desain yang akan segera diluncurkan.Nayara duduk di ruangannya, memeriksa prototipe terakhir gaun-gaun yang akan digunakan dalam koleksi tersebut. Pikirannya masih bercampur aduk setelah wawancara dengan majalah fashion ternama. Kata-kata sang pewawancara terus terngiang di kepalanya."Apakah Anda berencana untuk kembali ke dunia modeling?"Ia menghela napas panjang. Tidak semudah itu baginya untuk kembali, meskipun dukungan publik begitu besar. Ada banyak kenangan pahit yang masih membekas di hatinya, kenangan yang membuatnya takut untuk melangkah lagi.Devandra muncul di pintu ruangannya, mengetuk pintu dengan pelan. “Bagaimana hasil revisi terakhirnya?” tanyanya, suaranya seperti biasa, tenang dan lugas.Nayara menoleh, menunjukkan beberapa sketsa di mejanya. “Aku sudah menye
Langkah Arga terdengar jelas di tengah keheningan. Suaranya yang memanggil nama Nayara membuat suasana menjadi tegang. Devandra tetap berdiri di samping Nayara, melindungi wanita itu dengan caranya yang tenang tapi penuh kewibawaan.“Arga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nayara, mencoba menenangkan diri meski hatinya bergemuruh.Arga melangkah mendekat, sorot matanya serius. “Aku mendengar tentangmu dari teman-teman lama. Aku tahu aku bukan bagian dari hidupmu lagi, tapi aku ingin kita bicara. Hanya sebentar.”Devandra menatap Arga tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Ia menoleh pada Nayara, memberikan ruang untuknya memutuskan.Nayara menghela napas panjang, lalu menatap Devandra. “Aku akan bicara dengannya. Sebentar saja.”Devandra ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Aku akan menunggu di sini kalau kamu butuh.”Nayara melangkah keluar bersama Arga. Mereka berhenti di sebuah sudut yang cukup sepi, jauh dari perhatian orang-orang. Hujan masih terdengar samar di luar gedung, menciptak