Hujan deras mengguyur kota malam itu, menciptakan irama yang samar menenangkan namun penuh kesedihan. Di apartemennya yang luas, Devandra duduk sendirian di ruang kerja, tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Sebuah gelas bourbon hampir kosong berada di atas meja, sementara tangan kirinya memegang sebuah bingkai foto tua.
Foto itu sederhana, tetapi menyimpan begitu banyak kenangan. Seorang bocah kecil dengan senyum polos berdiri di samping seorang wanita cantik yang memeluknya penuh kasih. Wanita itu adalah ibunya—sosok yang dulu menjadi dunianya, sebelum segalanya berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia harapkan. Kilasan Masa Lalu Devandra kecil duduk di tangga rumah mewahnya, memeluk boneka singa lusuh kesayangannya. Di ruang tamu, suara teriakan memecah keheningan malam. Ayahnya berdiri dengan wajah merah padam, memandang ibunya dengan penuh amarah. “Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu menyembunyikan uang dariku!” bentaknya kasar. "Aku hanya ingin menyimpan sedikit untuk kebutuhan Devandra. Apa salahnya?" jawab ibunya, suaranya bergetar. Tamparan keras mendarat di wajah ibunya, membuatnya terjatuh. Tubuh kecil Devandra menggigil di sudut tangga, memandangi pemandangan yang membuat hatinya remuk. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis dalam diam. Hari-hari yang penuh kehangatan berubah menjadi mimpi buruk. Ibunya, yang dulu penuh senyum, semakin sering menangis. Ayahnya, yang seharusnya menjadi pelindung, malah menjadi ancaman terbesar. Hingga suatu malam yang tak terlupakan, ibunya membuat keputusan yang mengubah segalanya. “Maafkan Mama, Dev,” ucapnya lembut sambil membelai rambut anak laki-lakinya. “Mama tidak kuat lagi.” "Jangan pergi, Ma. Tolong jangan tinggalkan aku," Devandra kecil memohon dengan air mata bercucuran. Namun, pelukan kecilnya tak mampu menahan keputusan ibunya. Malam itu, Devandra kehilangan orang yang paling ia cintai. Kembali ke Masa Kini Devandra memandang foto itu dengan mata yang kosong, lalu meletakkannya di atas meja. Luka lama itu terus menghantuinya, menancapkan duri-duri kecil di hatinya setiap kali ia mencoba melangkah maju. Baginya, cinta bukanlah kebahagiaan—cinta adalah luka yang tidak pernah sembuh. Namun, kehadiran Nayara mulai mengusik keyakinannya. Wanita itu memiliki sesuatu yang berbeda, sesuatu yang perlahan-lahan melembutkan dinding keras yang ia bangun di sekeliling hatinya. "Aku ingin percaya lagi," gumamnya pelan. "Tapi... apakah aku mampu mencintai tanpa menyakiti?" Devandra menarik napas panjang, memutuskan untuk menyimpan kenangan pahit itu di sudut pikirannya—setidaknya untuk malam itu. --- Pagi yang sibuk di kantor tidak mampu mengalihkan pikiran Devandra dari Nayara. Setiap kali wanita itu lewat, ia merasa hatinya bergetar. Devandra tahu ia semakin tenggelam dalam perasaan yang seharusnya ia hindari. Namun, ia juga sadar bahwa bayangan masa lalu masih menjadi penghalang besar. Menjelang sore, ia memanggil Nayara ke ruangannya. “Kamu ingin membahas laporan ini?” tanya Nayara sambil meletakkan dokumen di meja. Devandra menggeleng perlahan, menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Tidak. Ada hal lain yang ingin aku bicarakan.” Nayara terlihat bingung. “Apa itu?” Devandra berdiri, berjalan menuju jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin jujur padamu, Nayara. Tentang siapa aku sebenarnya.” Nayara memandangnya penuh perhatian, mencoba membaca raut wajah Devandra yang kali ini terlihat rapuh. “Maksudnya?” tanyanya hati-hati. Devandra terdiam beberapa saat, lalu berbalik menghadap Nayara. “Aku mendekati mu bukan maksud untuk bermain-main, aku tau ini memang aneh karena aku bukan atasan yang mudah di dekati tapi, aku bukan pria yang seperti kamu pikirkan. Di balik semua ini, aku menyimpan banyak luka. Aku hanya takut, Nayara. Takut kalau aku mencoba mendekatimu, aku hanya akan menyakitimu." Nayara menatapnya, ragu untuk menjawab. Kata-kata Devandra terasa berat, seperti ada beban yang selama ini ia pendam sendirian. “Ada banyak hal yang belum kamu tahu tentangku, Nayara. Dan sebelum semua ini berkembang lebih jauh, aku merasa kamu berhak tahu.” Nayara menatapnya dengan ekspresi tak terbaca, jantungnya berdegup cepat. “Apa maksudmu, Devandra?” Devandra berjalan perlahan menuju meja kerjanya, mengambil sebuah map tua dari laci. Ia membuka map itu, memperlihatkan foto seorang wanita yang tersenyum lembut. “Ini... ibuku. Wanita yang mengajarkan aku apa itu cinta. Tapi juga wanita yang meninggalkan aku dalam malam terburuk dalam hidupku.” Nayara terdiam, mencoba mencerna kata-kata Devandra. Ia tidak menyangka pria yang selalu tampak begitu dingin dan berwibawa ini menyimpan luka sedalam itu. “Aku tumbuh dalam keluarga yang... tidak seharusnya disebut keluarga,” lanjut Devandra, suaranya lebih pelan. “Ibuku meninggal setelah meninggalkan rumah, dan sejak itu, aku tidak pernah mempercayai apa pun yang disebut cinta. Bagiku, cinta selalu membawa luka. Itu sebabnya aku menjadi seperti ini—dingin, menjaga jarak dari semua orang.” Nayara merasa dadanya sesak. Ia bisa merasakan rasa sakit yang disimpan Devandra bertahun-tahun lamanya. Tapi di balik rasa sakit itu, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya—keberanian Devandra untuk membuka diri, untuk membiarkannya melihat sisi yang paling rapuh dari dirinya. “Devandra...” Nayara akhirnya berbicara, suaranya lembut. “Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku berterima kasih karena kamu mau jujur padaku.” Devandra menatapnya, mata gelapnya menyimpan harapan yang tersembunyi. “Aku tidak berharap kamu langsung mengerti atau menerima ini, Nayara. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa jika aku terlihat terlalu mendekatimu, itu bukan karena aku ingin memanfaatkan posisi atau situasi. Aku benar-benar ingin mencoba percaya lagi. Dan aku ingin mencoba itu bersamamu.” Kata-kata itu membuat Nayara terdiam. Ia tahu dirinya berada di persimpangan yang sulit—antara menjaga batas profesionalitas atau membiarkan dirinya merasakan sesuatu yang mungkin ia anggap mustahil sebelumnya. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: kata-kata Devandra telah mengguncang hatinya. “Berikan aku waktu,” ucap Nayara akhirnya, dengan suara yang sedikit gemetar. “Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini.” Devandra tersenyum tipis, mengangguk pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Aku akan menunggu, Nayara.” Suasana hening menyelimuti ruangan itu, tapi bukan hening yang canggung. Ada kehangatan dan pengertian di antara mereka sebuah awal baru yang entah akan membawa mereka ke mana. --- To Be Continued.Pagi ini, langit cerah dengan sinar matahari yang lembut menerobos kaca jendela ruang kerja Devandra. Di luar, hiruk-pikuk kota mulai terasa, tetapi di dalam ruangan itu, keheningan mendominasi. Nayara baru saja menyelesaikan presentasinya di hadapan beberapa petinggi perusahaan, termasuk Devandra. Tatapan pria itu sulit ditebak, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Nayara gugup.Setelah rapat usai, Nayara hendak kembali ke mejanya ketika suara berat Devandra menghentikannya.“Nayara, tunggu sebentar.”Nayara berbalik, menatap pria itu dengan sedikit kebingungan. “Ada apa, Pak Devandra?”“Kamu punya waktu sebentar? Aku ingin membahas sesuatu.”Nada suaranya terdengar santai, tetapi Nayara merasakan ketegangan yang tersirat. Ia mengangguk, mengikuti langkah Devandra menuju ruangannya.Setelah berada di dalam ruangan, Devandra duduk di balik mejanya, sementara Nayara duduk di seberangnya. Suasana terasa canggung, seperti ada sesuatu yang ingin Devandra katakan tetapi ia ragu untu
Langit yang tadinya cerah mendadak berubah mendung. Hujan deras mulai turun saat Devandra dan Nayara keluar dari gedung tempat mereka menghadiri rapat dengan salah satu klien penting. Jalanan mulai dipenuhi genangan air, dan suara derasnya hujan mengisi keheningan di antara mereka.“Sepertinya kita harus menunggu hujan reda,” ucap Nayara, memandang langit yang gelap.Devandra mengangguk. “Tunggu di sini. Aku akan meminta sopir membawa mobil lebih dekat.”Namun, sebelum Devandra sempat melangkah pergi, sebuah pengumuman terdengar dari ponselnya. “Pak, maaf. Mobil terjebak macet di persimpangan. Mungkin akan memakan waktu lebih lama.”Devandra menghela napas pelan, lalu kembali berdiri di samping Nayara. Ia melirik wanita itu yang mulai gelisah karena angin dingin yang menyertai hujan.“Di sini terlalu dingin. Kita cari tempat berteduh,” ucap Devandra sambil melangkah lebih dulu menuju sebuah teras kecil di dekat mereka.Mereka duduk di kursi kayu yang sudah agak basah karena cipratan h
Langkah Arga terdengar jelas di tengah keheningan. Suaranya yang memanggil nama Nayara membuat suasana menjadi tegang. Devandra tetap berdiri di samping Nayara, melindungi wanita itu dengan caranya yang tenang tapi penuh kewibawaan.“Arga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nayara, mencoba menenangkan diri meski hatinya bergemuruh.Arga melangkah mendekat, sorot matanya serius. “Aku mendengar tentangmu dari teman-teman lama. Aku tahu aku bukan bagian dari hidupmu lagi, tapi aku ingin kita bicara. Hanya sebentar.”Devandra menatap Arga tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Ia menoleh pada Nayara, memberikan ruang untuknya memutuskan.Nayara menghela napas panjang, lalu menatap Devandra. “Aku akan bicara dengannya. Sebentar saja.”Devandra ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Aku akan menunggu di sini kalau kamu butuh.”Nayara melangkah keluar bersama Arga. Mereka berhenti di sebuah sudut yang cukup sepi, jauh dari perhatian orang-orang. Hujan masih terdengar samar di luar gedung, menciptak
Beberapa hari kemudian, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Koleksi baru hasil kolaborasi Nayara dan Devandra mulai menarik perhatian media. Semua karyawan tampak bersemangat, membicarakan desain-desain yang akan segera diluncurkan.Nayara duduk di ruangannya, memeriksa prototipe terakhir gaun-gaun yang akan digunakan dalam koleksi tersebut. Pikirannya masih bercampur aduk setelah wawancara dengan majalah fashion ternama. Kata-kata sang pewawancara terus terngiang di kepalanya."Apakah Anda berencana untuk kembali ke dunia modeling?"Ia menghela napas panjang. Tidak semudah itu baginya untuk kembali, meskipun dukungan publik begitu besar. Ada banyak kenangan pahit yang masih membekas di hatinya, kenangan yang membuatnya takut untuk melangkah lagi.Devandra muncul di pintu ruangannya, mengetuk pintu dengan pelan. “Bagaimana hasil revisi terakhirnya?” tanyanya, suaranya seperti biasa, tenang dan lugas.Nayara menoleh, menunjukkan beberapa sketsa di mejanya. “Aku sudah menye
Nayara termenung dalam duduk nya. Hari ini setelah rapat yang panjang mengenai pakaian desain nya yang akan di luncurkan sudah di setujui dan akan di laksanakan esok harinya. Entah mengapa Nayara seakan tidak tau langkah setelah ini.Ia memikirkan mengenai perkataan orang-orang yang mendukung nya untuk kembali ke dunia modeling dimana dirinya sudah dua tahun meninggalkan dunia itu dan berhenti dari dunia itu juga tidak semudah itu. Banyak yang dilalui Nayara setelahnya.Diwaktu yang sama, di dalam ruangan Devandra. Ia sibuk berkutat dengan ponsel nya. Melihat perkembangan mengenai berita tentang Nayara yang kembali tersorot.Devandra tersenyum tipis, sangat tipis. Tapi tidak sampai beberapa detik senyuman itu hilang bersama dengan layar ponsel nya yang menunjukkan telpon masuk dari nomor yang tidak ia kenal.Dengan ragu, Devandra menjawab telpon tersebut.Seketika wajahnya berubah datar dan dingin setelah tau si penelpon."Apa lagi!" ucapnya dengan menekan setiap katanya."Saya tida
Setelah kepergian Nayara, Devandra masih duduk di sofanya, memandang map yang ditinggalkan Nayara. Perasaannya campur aduk. Ia tahu mendukung Nayara adalah hal yang benar, tetapi pikirannya terusik oleh kenyataan bahwa kepergian Nayara ke New York akan membuatnya kehilangan sosok yang selama ini memberinya semangat.Ia mengambil map itu, mencoba fokus pada laporan yang Nayara bawa, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata terakhir Nayara. "Terima kasih, Devandra." Kalimat itu terdengar tulus, tetapi di balik senyumnya, Devandra merasakan jarak yang tak bisa ia jangkau. Nayara belum siap membuka hati, dan ia tahu itu. Namun, apakah ia harus menyerah?Devandra bangkit dari sofa dan berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. Matanya tertuju pada kerlip lampu kota yang seolah mencerminkan kegelisahan di hatinya. Ponselnya yang tergeletak di meja mulai berdering lagi, kali ini dari nomor yang sama. Dengan enggan, Devandra mengangkatnya."Ayah, saya sudah bilang—""Devandra," suar
Setelah percakapan singkat itu, Nayara melangkah meninggalkan Devandra. Namun, Devandra tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung Nayara yang perlahan menghilang di balik kerumunan tamu undangan. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, tetapi ia juga tahu tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang Nayara belum siap untuk menerima. Suasana pesta semakin meriah. Musik lembut mengalun, lampu-lampu kristal memancarkan kilauan elegan, dan tamu-tamu saling bercakap dengan gelas sampanye di tangan. Devandra memutuskan untuk menepi sejenak, mencari udara segar di balkon hotel. Saat ia keluar, ia menemukan Arga berdiri di sana, memandangi pemandangan kota malam. Devandra mengerutkan kening. Ia tidak menyangka pria itu akan hadir di acara ini, apalagi setelah pertemuan mereka di kafe tadi malam. "Arga," sapa Devandra dengan nada datar. Arga menoleh, wajahnya menyiratkan kejengkelan yang sama seperti sebelumnya. "Kita bertemu lagi. Dunia ini memang kecil, ya?" Devandra berjalan me
Saat ini Devandra kembali masuk ke dalam hotel dengan langkah berat, pikirannya terus tertuju pada sang ayah yang setelah sekian lama nya ia diberi peringatan yang begitu membuatnya terancam, dimana ayahnya mengancam seluruh orang terdekat di sekitar nya termasuk Nayara. Entah jalan apa yang akan ia ambil untuk langkah selanjutnya. Karna awal ancaman ayahnya dulu sangat tidak terlalu membuatnya takut tidak seperti sekarang, karena semuanya sudah berubah. Inilah yang ia takutkan di saat ingin mendekati lebih sosok Nayara karena cepat atau lambat ayah nya pasti tau dirinya mendekati seorang perempuan dan sekarang akan menjadi tersangka ancaman nya.Disaat Devandra tengah berkelahi dengan pikiran nya, jauh dari sana seseorang memperhatikan Devandra dengan secangkir minuman di tangannya. "Kamu sudah tidak bisa lari lagi dari ku, Devan." Pria itu, berjalan mendekati Devandra dengan langkah tenang. Dia, Ayah Devandra yang tidak lama datang menginjak lantai hotel dan bergabung dengan tamu
Devandra kembali ke kamarnya, matanya tertuju pada bayangannya sendiri di cermin. Ia menatap wajahnya yang dingin, mencerminkan kepribadiannya yang keras kepala dan tertutup. Ia selalu begitu, tak mau menunjukkan kelemahan di depan orang lain. Ia terbiasa dengan dunia yang keras dan penuh bahaya.Ia mengingat perkataan Nayara, "Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian." Namun, bagaimana bisa ia berbagi beban yang ia tanggung selama ini?Ia tak pernah melupakan kekecewaan yang dalam yang ia rasakan ketika ayahnya, Mahendra, meninggalkan ibunya dan dirinya. Kekecewaan itu menyeruak kembali ketika ia melihat Mahendra bersama istri barunya. Devandra tak pernah memaafkan ayahnya.Ayahnya yang seharusnya menjadi tiang penyangga kehidupan, yang seharusnya memberikan perlindungan dan cinta, justru meninggalkan mereka saat mereka paling membutuhkan. Devandra merasa dikhianati. Ia merasakan bahwa ibunya men
Setelah Nayara pergi, Devandra berdiri mematung di sudut ruangan. Pikirannya kacau, bercampur aduk antara rasa marah, khawatir, dan sedih. Kehadiran ayahnya, Mahendra, di acara ini bukan hanya mengancam dirinya tetapi juga orang-orang yang ia sayangi. Dan sekarang, ancaman itu semakin nyata. Devandra melangkah menuju balkon hotel untuk menenangkan diri. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi tidak cukup untuk mendinginkan pikirannya yang bergolak. Ia mengingat setiap kata ayahnya, setiap ancaman yang dilontarkan dengan nada datar namun penuh intimidasi. "Kalau aku menyerah pada ancamannya, aku sama saja membiarkan dia menang," gumam Devandra sambil mengepalkan tangannya. "Tapi kalau aku terus melawan, Nayara dan yang lain akan menjadi targetnya." Ia menatap langit malam yang gelap. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ibunya masih hidup. Ia teringat senyuman lembut ibunya yang selalu menjadi sumber kekuatan bagi dirinya. Tapi sekarang, ia merasa sendirian. Hanya dirinya
Saat ini Devandra kembali masuk ke dalam hotel dengan langkah berat, pikirannya terus tertuju pada sang ayah yang setelah sekian lama nya ia diberi peringatan yang begitu membuatnya terancam, dimana ayahnya mengancam seluruh orang terdekat di sekitar nya termasuk Nayara. Entah jalan apa yang akan ia ambil untuk langkah selanjutnya. Karna awal ancaman ayahnya dulu sangat tidak terlalu membuatnya takut tidak seperti sekarang, karena semuanya sudah berubah. Inilah yang ia takutkan di saat ingin mendekati lebih sosok Nayara karena cepat atau lambat ayah nya pasti tau dirinya mendekati seorang perempuan dan sekarang akan menjadi tersangka ancaman nya.Disaat Devandra tengah berkelahi dengan pikiran nya, jauh dari sana seseorang memperhatikan Devandra dengan secangkir minuman di tangannya. "Kamu sudah tidak bisa lari lagi dari ku, Devan." Pria itu, berjalan mendekati Devandra dengan langkah tenang. Dia, Ayah Devandra yang tidak lama datang menginjak lantai hotel dan bergabung dengan tamu
Setelah percakapan singkat itu, Nayara melangkah meninggalkan Devandra. Namun, Devandra tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung Nayara yang perlahan menghilang di balik kerumunan tamu undangan. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, tetapi ia juga tahu tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang Nayara belum siap untuk menerima. Suasana pesta semakin meriah. Musik lembut mengalun, lampu-lampu kristal memancarkan kilauan elegan, dan tamu-tamu saling bercakap dengan gelas sampanye di tangan. Devandra memutuskan untuk menepi sejenak, mencari udara segar di balkon hotel. Saat ia keluar, ia menemukan Arga berdiri di sana, memandangi pemandangan kota malam. Devandra mengerutkan kening. Ia tidak menyangka pria itu akan hadir di acara ini, apalagi setelah pertemuan mereka di kafe tadi malam. "Arga," sapa Devandra dengan nada datar. Arga menoleh, wajahnya menyiratkan kejengkelan yang sama seperti sebelumnya. "Kita bertemu lagi. Dunia ini memang kecil, ya?" Devandra berjalan me
Setelah kepergian Nayara, Devandra masih duduk di sofanya, memandang map yang ditinggalkan Nayara. Perasaannya campur aduk. Ia tahu mendukung Nayara adalah hal yang benar, tetapi pikirannya terusik oleh kenyataan bahwa kepergian Nayara ke New York akan membuatnya kehilangan sosok yang selama ini memberinya semangat.Ia mengambil map itu, mencoba fokus pada laporan yang Nayara bawa, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata terakhir Nayara. "Terima kasih, Devandra." Kalimat itu terdengar tulus, tetapi di balik senyumnya, Devandra merasakan jarak yang tak bisa ia jangkau. Nayara belum siap membuka hati, dan ia tahu itu. Namun, apakah ia harus menyerah?Devandra bangkit dari sofa dan berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. Matanya tertuju pada kerlip lampu kota yang seolah mencerminkan kegelisahan di hatinya. Ponselnya yang tergeletak di meja mulai berdering lagi, kali ini dari nomor yang sama. Dengan enggan, Devandra mengangkatnya."Ayah, saya sudah bilang—""Devandra," suar
Nayara termenung dalam duduk nya. Hari ini setelah rapat yang panjang mengenai pakaian desain nya yang akan di luncurkan sudah di setujui dan akan di laksanakan esok harinya. Entah mengapa Nayara seakan tidak tau langkah setelah ini.Ia memikirkan mengenai perkataan orang-orang yang mendukung nya untuk kembali ke dunia modeling dimana dirinya sudah dua tahun meninggalkan dunia itu dan berhenti dari dunia itu juga tidak semudah itu. Banyak yang dilalui Nayara setelahnya.Diwaktu yang sama, di dalam ruangan Devandra. Ia sibuk berkutat dengan ponsel nya. Melihat perkembangan mengenai berita tentang Nayara yang kembali tersorot.Devandra tersenyum tipis, sangat tipis. Tapi tidak sampai beberapa detik senyuman itu hilang bersama dengan layar ponsel nya yang menunjukkan telpon masuk dari nomor yang tidak ia kenal.Dengan ragu, Devandra menjawab telpon tersebut.Seketika wajahnya berubah datar dan dingin setelah tau si penelpon."Apa lagi!" ucapnya dengan menekan setiap katanya."Saya tida
Beberapa hari kemudian, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Koleksi baru hasil kolaborasi Nayara dan Devandra mulai menarik perhatian media. Semua karyawan tampak bersemangat, membicarakan desain-desain yang akan segera diluncurkan.Nayara duduk di ruangannya, memeriksa prototipe terakhir gaun-gaun yang akan digunakan dalam koleksi tersebut. Pikirannya masih bercampur aduk setelah wawancara dengan majalah fashion ternama. Kata-kata sang pewawancara terus terngiang di kepalanya."Apakah Anda berencana untuk kembali ke dunia modeling?"Ia menghela napas panjang. Tidak semudah itu baginya untuk kembali, meskipun dukungan publik begitu besar. Ada banyak kenangan pahit yang masih membekas di hatinya, kenangan yang membuatnya takut untuk melangkah lagi.Devandra muncul di pintu ruangannya, mengetuk pintu dengan pelan. “Bagaimana hasil revisi terakhirnya?” tanyanya, suaranya seperti biasa, tenang dan lugas.Nayara menoleh, menunjukkan beberapa sketsa di mejanya. “Aku sudah menye
Langkah Arga terdengar jelas di tengah keheningan. Suaranya yang memanggil nama Nayara membuat suasana menjadi tegang. Devandra tetap berdiri di samping Nayara, melindungi wanita itu dengan caranya yang tenang tapi penuh kewibawaan.“Arga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nayara, mencoba menenangkan diri meski hatinya bergemuruh.Arga melangkah mendekat, sorot matanya serius. “Aku mendengar tentangmu dari teman-teman lama. Aku tahu aku bukan bagian dari hidupmu lagi, tapi aku ingin kita bicara. Hanya sebentar.”Devandra menatap Arga tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Ia menoleh pada Nayara, memberikan ruang untuknya memutuskan.Nayara menghela napas panjang, lalu menatap Devandra. “Aku akan bicara dengannya. Sebentar saja.”Devandra ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Aku akan menunggu di sini kalau kamu butuh.”Nayara melangkah keluar bersama Arga. Mereka berhenti di sebuah sudut yang cukup sepi, jauh dari perhatian orang-orang. Hujan masih terdengar samar di luar gedung, menciptak
Langit yang tadinya cerah mendadak berubah mendung. Hujan deras mulai turun saat Devandra dan Nayara keluar dari gedung tempat mereka menghadiri rapat dengan salah satu klien penting. Jalanan mulai dipenuhi genangan air, dan suara derasnya hujan mengisi keheningan di antara mereka.“Sepertinya kita harus menunggu hujan reda,” ucap Nayara, memandang langit yang gelap.Devandra mengangguk. “Tunggu di sini. Aku akan meminta sopir membawa mobil lebih dekat.”Namun, sebelum Devandra sempat melangkah pergi, sebuah pengumuman terdengar dari ponselnya. “Pak, maaf. Mobil terjebak macet di persimpangan. Mungkin akan memakan waktu lebih lama.”Devandra menghela napas pelan, lalu kembali berdiri di samping Nayara. Ia melirik wanita itu yang mulai gelisah karena angin dingin yang menyertai hujan.“Di sini terlalu dingin. Kita cari tempat berteduh,” ucap Devandra sambil melangkah lebih dulu menuju sebuah teras kecil di dekat mereka.Mereka duduk di kursi kayu yang sudah agak basah karena cipratan h