Perkara Restu Orang Tua
"Lah kau ini bagaimana? Bukankah katamu kalian akan menikah? Kau sudah tiba di Indonesia sejak semalam mengapa kau tak memberikan kabar pada calon suamimu sendiri? Aneh sekali kau ini, Gendhis. Kau jangan terlalu egois dan jual mahal. Kau jangan mementingkan gengsimu, ingat umurmu, Nduk. Jika dia lelaki baik dan sholeh, turunkan sedikit egomu dan menikahlah," tegur Bu Ririn."Iya, Ma," jawab Gendhis."Jangan hanya iya-iya saja. Hubungi dia dulu, Mama tahu kau berubah, kau ingin menjauhi zina. Toh hanya meberi kabar kalau kau sudah tiba di indonesia apa salahnya? Tak akan zina," omelnya lagi."Iya, Ma. Iya," jawab Gendhis menghela nafas panjang. Bu Ririn pun meninggalkannya masuk ke dalam rumah. Dia pun segera mengeluarkan HP nya. Memang sesampainya di Indonesia dia sama sekali tak memberi kabar pada Mulki.[Assalamualaikum, Mulki aku sudah sampai di Indonesia. Maaf baru sempat memberi kabar]SendSIAPA CALON MULKI, BAH?"Berarti kalau Umi tak merestuinya Mulki tak akan diizinkan menikahi wanita itu? Meskipun itu rekomendasi Abah Usman dan anakmu sendiri mencintainya, Mi?" selidik Abah Furqon.Umi Laila langsung terdiam mendengar pertanyaan suaminya itu. Berat sekali jawabannya, padahal dalam kehidupan ini tentu sering mendapatkan kasus di mana kedua pasangan tidak direstui oleh kedua orang tuanya untuk menikah. Alasan dari tidak direstui hubungan kedua pasangan pun beraneka ragam, namun biasanya alasan orang tua tak merestui hubungan anaknya adalah karena calon menantu atau pendamping anaknya tidak memenuhi kriteria mereka. Dia sadar sekali akan hal itu."Kenapa Umi diam saja?" tanya Abah Furqon menyadari istrinya melamun."Sebenarnya susah pertanyaan Abah ini di jawabnya. Kadang Umi ini juga manusia yang memiliki sisi egois juga, di sisi lain umi tahu bahwa menikah pilihan anak. Itu kebebasan anak, Bah. Namun di sisi lain sebagai mertua,
DIA GENDHIS!"Kedua, jangan menganggap putra kita itu sempurna, Mi. Meskipun kita orang tuanya, anak kita juga banyak memiliki kekurangan juga. Apalagi Mulki mengidap penyakit meningitis, Umi harus ingat itu. Jangan menuntut bidadari syurga karena anak kita pun tak sempurna. Paham?" tegas Abah Furqon. Umi Laila menganggukkan kepalanya."Ketiga, yang perlu menjadi pertimbangan Umi adalah wanita ini sudah di pilihkan oleh Abah Usman guru besar Abah dan Mulki. Tentu bukan asal-asalan di pilih, selain itu dia juga mau menerima semua, ingat SEMUA kondisi anak kita. Baik buruknya dia sudah sepakat. Jadi pertimbangkan ini juga meski kau kecewa akan pilihannya," sambungnya."Siapa wanita itu, Bah?" tanya Umi Laila mulai tak sabaran. Abah Furqon menatap ke arah istrinya."Wanita itu adalah Gendis," jawabnya.Umi Laila terdiam sepersekian detik, dia mencoba mencerna apa ucapan sang suami. Dia masih tak mau terburuk sangka, dia takut Gendhis yang d
MULAI MAULIDA SAMPAI IFAH DAN BERAKHIR GENDHIS"Allah, apa yang harus aku lakukan? Andai bisa, namun aku tahu berandai-andai tidak boleh," monolog Umi Laila.Hanya saja kali ini dia kalah, sang Putri sangat menyayangi suaminya bahkan cintanya itu sampai menutupi rasa sakit hatinya dan sebagai orang tua kembali lagi dia pun tak bisa berbuat apa-apa juga melihat sang Putri ingin tetap bersih kukuh bersama Rio. Apalagi sekarang Rio sudah menunjukkan gejala berubah, lalu tiba-tiba anak lelakinya dengan konyol ingin menikahi wanita yang pernah dibekasi oleh kakak iparnya. "Bukankah ini Sama saja bunuh diri?" batinnya lagi,"Bagaimana jika mereka bertemu dengan Syifa? Aku tahu Sifa anak yang sangat baik, namun dia akan sakit hati dan Rio akan kembali perasaannya mencintai Wanita itu. Sungguh ini tak akan bisa dibayangkan. Gusti, Allah, Allah," monolog Umi Laila. Berkali-kali Umi Laila mengusap air matanya, Abah Furqon membiarkan sang istri
TANTANGAN MULKI TA'ARUF!"Bukan merendahkan standar, Mi. Pertama kita lihat saja usia mereka jauh lebih muda daripada Mulki. Belum tentu mereka bisa merawat Mulki dengan baik saat Mulki sakit. Iya kalau sakitnya masih di Indonesia, Mi. Jika sakit itu harus diderita saat di luar negeri? Saat Mulki kembali menuntut ilmu terakhir di Tarim, bagaimana?" tanya Mulki."Apakah Umi harus terbang ke sana? Apakah Mulki harus mengurus diri Mulki sendiri? Apa gunanya memiliki istri jika begitu? Itu adalah alasan pertama, Mi. Kedua, jikalau pun mereka sanggup mengurus Mulki, apakah mereka bisa menerima konsekuensi Mulki, Mi? Bukankah dokter sudah mengatakan kalau kemungkinan terburuk yang akan Mulki derita jika penyakit ini kambuh lagi adalah mandul? Mengingat penyakit serangan yang kedua itu sudah parah, konsekuensinya Umi ingatkan?" kata Mulki lagi. Umi Laila terdiam dan meneguk ludahnya dengan kasar. "Mi, setiap pernikahan yang dilakukan itu pasti menginginkan ketur
LELAKI DENGAN HARGA DIRI SEPARUH?"Sudah, Bah. Mulki tak keberatan jika memang Umi menginginkan Mulki untuk berta'aruf dengan wanita pilihannya, baik dengan Maulida maupun maupun dengan iffah. Namun Mulki hanya meminta satu hal yaitu menjelaskan kondisi Mulki dengan jujur tanpa ditutupi. Bahkan Mulki mau bertemu keluarganya dan menjelaskan duduk permasalahannya, Bah," jawab Mulki."Lalu?" tanya Abah Furqon.Umi Laila hanya diam. Abah Furqon dan Mulki pun langsung berpandangan mereka paham sekali jika sang Umi sudah diam maka artinya tahapan marahnya sudah diambang batas kecewa. Sedikit membahayakan sebenarnya. Mulki pun memberika kode pada Abah Furqon dengan kedipan mata, Abah Furqon menganggukkan kepalanya."Mi, Umi ini hanya ingin menikah seumur hidup sekali. Rasanya itu tak beratkan sama seperti Umi dan Abah membina rumah tangga sekali seumur hidup, hanya itu saja. Sedangkan kondisi Mulki seperti ini, Mulki hanya ingin sakinnah, mawaddah, wara
AKANKAH RIO MENGETAHUINYA?"Percayalah, Mi. Ketika seorang wanita sudah berada di titik menyayangi suami, calon pasangannya dan menerima semua keputusan serta kondisi sang suami, maka keberkahan dalam rumah tangganya akan berlangsung lama dan awet. Tak mudah memang menerima lelaki dengan harga diri yang sudah tinggal separuh," jelas Abah Furqon."Abah bisa mengatakannya begitu karena Abah lelaki, Mi. Percayalah, karena harga diri lelaki itu ya itu, Mi. Kelelakian, memang wanita tak menuntut bahkan bisa menahan, tapi untuk seumur hidup? Bisakah? Bayangkan saja, Mi. Bagaimana amit-amit jika menimpa Umi. Ketika lelaki kehilangan keperkasaannya, maka harga dirinya akan turun dan itu wajar," sambungnya. "Entahlah, Bah. Aku belum bisa berpikir sampai sana, aku masih ingin memiliki waktu sendiri dan untuk memikirkan semua dalam posisi yang dingin. Biarkan aku mencari waktu dulu," terang Umi Laila.Abah Furqon pun langsung terdiam, dia malas berdebat de
APAKAH DIA GENDHIS BABY BINALKU?"Sudah tidak usah dipikirkan lagi, aku akan menjelaskan semua kepada Mamamu Nanti. Insya Allah habis maghrib aku akan ke sana, bolehkan aku berkunjung ke rumahmu?" tanya Mulki."Ah rupanya dia ingin perjanjian pergi ke rumah wanitanya. Hahaha, polos sekali dia harus bertanya dulu," kata Rio dalam hati. "Ya memang bisa semua dikatakan ditelepon, tapi kan ini menyangkut penjelasan kepada orang tuamu, Gendis. Sebagai lelaki malu dong jika hanya lewat telepon, ini sebagai bukti kesungguhanku. Aku akan datang ke sana dan aku harus menjelaskan secara langsung semua ini, masa ia meminang anak perempuan orang hanya lewat telepon saja," ujar Mulki lagi."Tak elok, tak baik kan. Meskipun ini bukan acara mengkhitbah resmi hanya saja aku ingin menunjukkan keseriusan ku serta silaturahmi kepada Ibumu. Lama aku tak bertemu dengan beliau. Jadi bisakah kau membiarkan aku ke sana? Boleh kan?" tanya Mulki sekali lagi. 'D
MEMBUNTUTI MULKI UNTUK MELAKUKAN PEMBUKTIAN! "Ya sudah kalau begitu nanti aku akan segera menjemput Farhat setelah asar," kata Syifa. "AKU TAK AKAN MEMBIARKANMU!" ancam Rio dalam hati. Rio pun menganggukkan kepalanya, mereka masuk ke kamar lagi. Rio ingin istirahat sebenarnya namun tak bisa. Rio diam-diam memperhatikan gerak-gerik dari Mulki yang memang tak kembali ke pondok. Dia tak ingin ketinggalan lelaki itu, setelah memastikan semua di rumah aman dan tak curiga Rio pun menyusun strategi dan hanya tinggal menunggu eksekusinya saja. Dia menunggu sambil bermain dengan putranya, sedangkan Farhat karena ada ujian belum bisa menyusulnya. "Mas Farhat belum selesai ujiannya. Masih harus ujian hafalan dan sebagainya, sampean ke Pondok pun tak akan bisa bertemu karena dalam kelas. Jadi kemungkinan belum bisa bertemu. Bagaimana?" tanya Sifa setelah mendapatkan kabar dari pengurus pondoknya. "Biarlah, Dek. Jangan
ANAK PEREMPUANKU DAN SEJUTA MASA LALUNYA!"Kenapa? Kenapa aku yang harus bertanggung jawab atas kebahagiaan Kakak kandungku? Bukankah selama ini kau yang mengecewakan Kakak kandungku, Mas?" ledek Mulki."Mas Rio, Mas Rio. Kau ini aneh dan lucu sekali, kau itu jangan mencari kambing hitam atas rasa cemburumu. Kenapa? Kau masih tak terima kalah dariku? Dari tadi semua ucapan dan pembicaraanmu itu selalu berputar-putar arah! Pembicara kamu sungguh tak jelas seperti itu, kau di sini yang salah tapi kau tak mau mengakui kesalahan," ujar Mulki lirih. Dia tak enak juga jika mama Gendhis mendengarnya.Rio terdiam, dia hanya mengusap wajahnya dengan kasar. Tak lama kemudian Bu Ririn datang dari belakang, sudah tak mengenakan mukena lagi. Hanya mengenakan gamis panjang dan jilbabnya. Tak lama Gendhis menyusul di belakang sang Ibu sambil membawa nampan minuman dan meletakkannya di hadapan Rio."Maaf ya lama," kata Mama Gendis."Oh tidak apa apa, Tante. Kebetulan saya juga baru datang," sahut Mu
KENAPA HARUS AKU YANG BERTANGGUNG JAWAB?Mendengar ucapan Rio itu Gendis terdiam, dia tak mengira Rio akan menilainya seperti itu. Dia cukup kaget meskipun apa yang dikatakan Rio adalah kebenaran. Dia tak mengira serendah itu harga dirinya di hadapan Rio."Apakah sebegitu hina aku di hadapanmu, Mas?" Tanya Gendis dengan mata berkaca-kaca.Rio terdiam diam memandang ke arah wanita yang begitu dia cintai itu, kemudian dia menyadari kesalahannya. Mata cantik itu dulu pasti akan nyalang ketika dia melakukan kesalhan, langsung mendebat tanpa ampun namun sekarang semua sudah berbeda."Dia berubah," batin Rio dalam hati, justru berubahnya Gendhis membuat lelaki itu sedikit ketakutan.Rio meneguk ludahnya dengan kasar dan merutuki kebodohannya sendiri. Ya, karena emosinya tadi dan tak bisa menahannya, sampai dia mengucapkan sesuatu yang mungkin menyakiti hati Gendis. Rio pun melirik Gendhis lagi, wanita itu masih diam. Alih-alih marah justru Gendhis terlihat menyeka air matanya yang mulai
SEHINA ITUKAH AKU DI HADAPANMU, MAS?"Lalu kenapa kau menikah dengan Mulki?" cerca Rio."Aku tidak menikah dengan Mulki!" tegas Gendhis."Gendhis," panggil Mulki lirih, semua menoleh ke arah Mulki. Dengan cepat Gendhis memberikan kode pada lelaki itu, Mulki paham dan diam. Memang kalau di pikir lagi ucapan Gendhis benar, mereka belum menikah tak ada yang salah. "Halah omong kosong!" bentak Mulki."Demi Allah aku tidak menikah dengannya sekarang," sahut Gendhis dengan cepat"Tapi Mulki kan melamarmu," sanggah Rio. Gendhis menghela nafas panjang, sepersekian detik otaknya harus di paksa berpikir secepat mungkin agar dia bisa berkilah namun tak berbohong hanya dengan penyusunan kosakata."Tadinya memang begitu, tetapi aku telah membatalkannya," jawab Gendhis."Membatalkannya? Benarkah? Kau tak berbohong kan? Mengapa kau membatalkannya?" tanya Rio menatap ke arah Mulki dan Gendhis bergantian."Benar Mulki?" selidik Rio. Mulki diam tak menjawab namun dia menganggukkan kepalanya perl
AKU TIDAK MENIKAH DENGAN MULKI!"Allah itu maha pengampun, mungkin doa istrimu, doa mertuamu, atau doa orang tuamu yang dikabulkan Gusti Allah. Bersyukurlah atas itu, jangan sampai kau memiliki pemikiran POLIGAMI lagi!" bentaknya."Lantas kenapa kau berulah lagi? Kenapa kau datang ke sini marah-marah tak jelas seperti ini?" tanya Gendhis."Tak jelas katamu? Hah? Tak jelas? Hahaha!" teriak Rio dengan menatap nyala ke arah Gendis.Entah setan mana yang sedang menyambetnya, dia tiba-tiba maju dan mencengkram dagu Gendis dengan keras, sampai kuku itu sedikit menusuk ke pipi Gendhis. Wanita itu pun meringis kesakitan."Lepaskan!" perintah Mulki. "Tak usah ikut campur!" bentak Rio tanpa menoleh Gendis.Gendhis memberikan kode kedipan mata, membuat Mulki diam. Meski sangat ketakutan, Gendhis berusaha kuat. Jujur saja sekarang dadanya berdetak sangat kencang sekali, dia tak mengira Rio berani sekasar ini. Rio yang pendiam tiba-tiba berubah menjadi arogant bahkan kasar dan cenderung frontal
KETIKA KAU GAGAL JADI MADU KAU MEMBALAS INGIN MENJADI IPARKU!"Bagaimanapun juga dia anakku, Gendis! Tapi konyolnya aku tidak tahu! Aku berhak tahu!" sanggah Rio."Kata siapa? HAH?" bentak Gendhis."Apa maksudmu berkata seperti itu, Gendhis. Bagaimana pun juga aku adalah ayah Kai! Kau tahu itu kan? Sekarang kenapa kau berbicara seolah-olah aku orang asing bagimu dan Kai?" sahut Rio.Tangan Gendhis langsung mengepal, sungguh sakit hatinya sekarang. Marah dan tak terima bergolak menjadi satu dalam hatinya. Dia tak terima kepada sikap Rio, datang tak di undang melukai Mulki, dan sekarang mengatakan bahwa dia memiliki hak atas anaknya. Sedangkan dulu lelaki di hadapannya ini tak bisa memutuskan memberikan kejelasan akta pada putranya. Bahkan dia kembali pada Sifa, istrinya."Sepertinya kau lupa, Mas. Baiklah, aku akan jelaskan," kata Gendhis sambil tersenyum kecut, nada suaranya sudah bergetar menahan tangis dan amarah yang berkumpul menjadi satu."A...apa maksudmu?" tanya Rio dengan nad
DIA ANAKKU! DAN MENINGGAL AKU TAK TAHU!"Semi ustadz?" tanya Rio mengerutkan keningnya."BADJINGAN KAU!" Pekik Rio dalam hatinya.Semakin ke sini dia makin curiga bahwa lelaki itu adalah Mulki. Namun sekali lagi Rio tak ingin tergesa-gesa dulu menyimpulkan. Dia harus mengatur strategi dan taktik agar tak salah jalan. Meskipun dia tak bisa bersama Gendis tetapi jika gadis itu bersama Mulki pun hatinya juga tak rela, menurutnya lebih baik Gendis bersama orang yang tak dia kenal. Dia harus mengumpulkan bukti kuat sebelum mengatakan semua kebenaran ini pada sifa."Mohon maaf Bu Apakah lelaki itu sedikit tinggi mungkin lebih tinggi dari aku dia hobi sekali memakai baju semi Koko begitu kaos tapi bentuknya Koko sedikit putih tetapi tidak terlalu putih juga dan memiliki suara yang sangat kalem sekali benarkah seperti itu tanya Rio mulai menggambarkan ciri-ciri Mulki"Iyo, Mas.""Sik sebentar, Bu. Saya boleh memastikan tidak? Sepertinya yang lelaki itu temanku juga," kata Rio."Ah saya lamat
BADJINGAN KAU!"Apa kau bilang?" tanya Gendis pun mendengus kesal."Entah mengapa tiba-tiba perasaan tak suka mencuat begitu saja, dia tak menyangka jika orang-orang alim yang identik paham dengan agama justru akan melakukan poligami ya meskipun itu tidak disalahkan tapi naluriahnya sebagai seorang wanita tak ingin diduakan."Aku sudah memberikan kesempatan kepada Umi bahwa aku rela dijodohkan dengan siapapun selama wanita itu tahu latar belakangku dan tak ada kebohongan. Dia tahu penyakitku dan dia bisa menerimaku," jelas Mulki."Gendis, kau juga wanita kan? Kau mengerti maksudku. Kau pikir siapa yang mau menikah denganku saat kondisiku seperti ini?" sambungnya."Kau memanfaatkan itu?" tanya Gendhis."Hahaha, bahasamu terlalu jahat. Apalagi aku tidak memanfaatkannya, kau salah, Gendhis. Sebagai orang yang paham tentang agama, aku hanya ingin tak gagal dalam melakukan dan menjalani rumah tangga. Dalam membina sebuah hubungan keluarga aku menginginkan menikah itu langgeng, satu selaman
BERI AKU WAKTU TIGA BULAN!"Jangan pernah memaksa orang tuamu merestuinya. Kalau memang mereka tak ingin anaknya menikah denganku maka aku ikhlas, ini semua bukan salah mereka tapi salahku. Kebodohanku di masa lalu dan sisi egoku," jelas Gendhis."Aku tak masalah jika kau membatalkan. Membatalkan pinangan ini," ujarnya.Mulki terdiam, dia menatap Gendhis dengan tatapan tak percaya. Ya, wanita memanglah begitu, selalu mengedepankan egonya dari pada logikanya. Namun dia tak menduga Gendhis akan langsung menyerah seperti ini. Padahal saat bersama Rio sosok wanita di hadapannya bisa memperjuangkan cinta yang salah."Apa kau berpikir begitu?" tanya Mulki."Ya," jawab Gendhis dengan tegas."Jujur saja ini agak mengecewakan aku," kata Mulki. Gendhis menatap Mulki dengan tatapan bingung dan penuh tanya."Kenapa?" "Ya, bagaimana mungkin dengan mudah kau mengatakan membatalkan lamaran ini? Padahal ini bukan permainan. P
ASSALAMUALAIKUM MANISKU!"Assalamualaikum," sapa Mulki sambil menenteng dua kresek berisi martabak manis dan asin."Waalaikumsalam," sahut Gendhis,"Masuklah, Mulki," perintah Gendhis."Masya Allah manis," kata Mulki."Hah?" sahutnya."Kau manis sekali, manisku," puji Mulki yang otomatis langsung membuat wahag Gendhis merona."Halah aku bisa saja," cebiknya.Gendhis memakai gamis hitam, semenjak ke Tarim dan kondisi berduka Gendhis lebih senang memakai semua pakaian hitam. Termasuk cincin, permata hitam. Antara tanda duka atau tanda yang mencerminkan dirinya sekarang. Meski begitu itu tak mengurangi kecantikan dan aura elegan yang dia tampilkan."Kau sekarang menyukai warna hitam? Itu nampak sangat elegan sekali. Dari pada Gendhis yang biasanya," sambungnya."Kenapa memangnya? Bukankah artinya duka?" jawab Gendhis."Warna hitam memiliki makna simbol yang berbeda bagi setiap orang. Ket