Keina seketika tersentak mendengar ucapan Alden. Apa katanya tadi? Seumur hidup tidak pernah panggilan itu ia berikan kepada Alden. Panggilan itu terdengar berlebihan di telinganya."Kenapa harus memberi panggilan seperti itu?""Bukankah itu hal yang wajar bagi pasangan? Lagipula aku pernah memanggilmu dengan sebutan itu tempo hari.""Tapi, itu kan karena kau ingin memanas-manasi Adrian, Alden. Kau tidak tulus melakukannya.""Tulus atau tidak, setidaknya aku pernah mencoba. Sekarang giliranmu mencobanya. Ikuti aku, Alden Sayang... Kau harus memanggilku seperti itu di depan teman-temanmu nanti.""Alden Sa– hahaha,"Alden membrenggutkan wajah saat tawa yang kuat keluar dari mulut Keina saat ini. Sesulit itukah memanggil dirinya dengan sebutan 'Sayang'?"Keina, jangan tertawa, coba lagi. Kau ingin mengundang Adrian, bukan? Cepat coba.""Alden Say– Hahahaha,"Keina segera mengibaskan tangannya sambil memegangi perutnya yang terasa geli, bagaimana mungkin ia bisa memanggil Alden dengan seb
"Alden, kita sebenarnya mau kemana?""Tutup matamu dulu Keina, diam saja sebentar, kita hampir sampai.Dengan mata yang tertutup suatu kain, Keina hanya bisa mengikuti perintah Alden yang menuntunnya. Sejak tadi sore, Alden memang bersikap aneh. Ia uring-uringan dan terus menerus mengecek ponselnya. Meski Keina sempat bertanya, tapi Alden bilang hanya karena masalah pekerjaan.Namun, saat malam tiba, Alden mengajaknya untuk makan malam, tapi anehnya matanya harus ditutup. Entah kemana Alden sebenarnya akan membawanya malam ini.Meski dengan mata tertutup Keina dapat merasakan mobil yang mereka kendarai berhenti, Keina masih bertanya-tanya dimana mereka saat Alden membawanya turun dari arah mobil."Ikuti saja arahanku, Keina. Pegang tanganku dengan kuat."Dengan langkah ragu-ragu ia mengikuti Alden, sesekali ia tertawa saat ia melangkah ke arah yang salah."Nah sekarang buka matamu."Saat penutup matanya di buka, mata Keina seketika melebar melihat pemandangan yang berada di hadapanny
Keina tersentak saat mendengar ucapan Shiren. Tatapan matanya segera ia layangkan kepada Alden dengan penuh kecewa. Ya benar, jika bukan dari Alden, darimana Shiren tahu mengenai pesta ini? Semua teman-temannya tidak ada yang mengenal Shiren.Melihat tatapan Keina, Alden segera mengangkat tangannya."Tidak Keina, tidak. Aku benar-benar tidak mengundangnya." ujar Alden dengan kuat."Jika bukan dirimu, siapa yang memberitahunya?"Keina segera mengambil tas tangannya yang tergeletak di atas meja lalu melirik ke arah orang tuanya."Pa, Ma, ayo kita pergi.""Tidak Keina, tunggu."Handika yang melihat Alden hendak mengejar Keina segera menahan menantunya."Papa benar-benar kecewa pada kamu, Alden. Jangan mengejar Keina karena Papa sendiri tidak ingin melihat kamu lagi."Alden terlihat terhenyak melihat semua ini. Padahal mereka baru saja berbaikan dan berharap memulai suasana baru, tapi apa ini? Kenapa jadi begini?"Kamu sengaja datang kemari kan? Kamu memang wanita ular!" ujar Audrey memoj
Plaak!Baru saja Alden menginjakkan kakinya di ruangan ayahnya, satu buah tamparan Reymand layangkan hingga mendarat tepat di pipinya. Alden hanya terdiam, menerima kemarahannya ayahnya yang sangat murka di hadapannya. Ia memang telah salah karena masih berbaik hati kepada Shiren hingga jadi seperti ini."Bukankah Papa sudah memperingatkan Alden? Jauhi wanita itu! Dia hanya akan menyusahkan kamu seperti sekarang." Teriak Reymand dengan penuh amarah, "Tapi apa kau harus memberitahunya tentang pesta istrimu? Kau berniat membuat hati istrimu lebih terluka lagi, begitu Alden?" ujar Reymand tidak habis pikirAlden seketika mengangkat wajah mendengar ucapan Reymand. Ia memang telah bersalah, tapi sungguh menyakiti hati Keina bukanlah tujuannya. "Meski sulit dipercaya, tapi aku benar-benar sudah mengakhiri hubunganku dengannya, Pa. Aku tidak akan mungkin memberitahukan pesta itu kepadanya dan melukai hati Keina."Reymand terlihat menghela nafas, "Lalu bagaimana dengan hal yang terjadi kemari
Karena Adrian menolak untuk menemuinya, Alden segera bergerak ke arah rumah sakit tempat pria itu bekerja.Ia segera bergerak ke arah suster yang menjaga ruangan Alden lalu berkata, "Saya wali dari pasien yang ditangani oleh Dokter Adrian. Walau tanpa bersama pasien, saya masih bisa bertemu dengannya, bukan? Ada hal penting yang ingin saya konsultasikan dengan Beliau.""Tentu saja Pak, silahkan masuk. Kebetulan hari ini pasien Dokter Adrian tidak begitu banyak.""Terimakasih suster.""Selamat siang–"Alden segera mengulas senyumannya saat melihat Adrian yang terlihat terkejut dengan kedatangannya. Raut wajah Adrian yang semula ramah berubah menjadi tegang, ia menatap tidak senang ke arah Alden, "Rupanya Anda cukup gigih, Anda sampai datang kemari hanya untuk bicara dengan saya." sinis Adrian."Tentu saja saya harus gigih jika ingin menangkap seekor serigala berbulu domba di sini."Adrian mendengus, "Serigala berbulu domba? kenapa Anda membicarakan diri Anda sendiri seperti itu?"Tanpa
Perasaan hati Keina semakin gelisah, ia kembali membuka jendela lalu terhenyak saat melihat Alden masih di sana. Apa pria itu sudah gila? Apa dia akan terus di sana meski hujan mulai menurunkan titik-titik airnya?"Kei, hujan lho..." ucap Tiana yang makin merasa tidak tega dengan keadaan Alden.Keina berdecak, ia menutup jendela dengan cepat. Tidak, ia tidak boleh lemah, Alden pantas mendapatkan hal ini."Nanti juga dia pergi Ma," ujar Keina mencoba mengabaikan pria itu.Keina segera mengunci jendela lalu beranjak ke arah tempat tidur."Mama dan Papa tidak perlu memikirkannya lagi. Jika dia kedinginan, Keina yakin dia akan segera pergi.""Tapi Nak,"Handika segera memegang bahu Tiana, "Sudahlah Ma, benar kata Keina nanti juga Alden pergi sendiri."Tiana hanya bisa menghela nafasnya melihat kekeraskepalaan Keina dan juga Handika. Ia segera menyerah, jika keduanya memang bersikeras untuk mengabaikan Alden, mau bagaimana lagi.Keina menarik selimutnya lalu membelakangi kedua orang tuanya
Keina hanya bisa terhenyak mendengar perkataan Alden. Wajahnya seketika memerah mendengar godaan Alden."Benar kan kau khawatir?""Kau ini!"Keina sudah mengangkat tangannya, hendak memukul Alden kembali, namun Alden segera menahannya.Keina terhenyak saat Alden menatapnya dengan intens, "Kau tidak marah padaku lagi, bukan? Hubunganku dengan Shiren sudah benar-benar berakhir, percayalah padaku."Tatapan Alden yang begitu dalam membuat Keina menjadi gugup seketika. Dengan perlahan Keina mengangguk, Alden sudah menunjukkan perasaannya hingga pria itu sakit seperti ini. Mana mungkin Keina masih bersikeras untuk tidak memaafkannya?"Kalau begitu kau mau kembali ke rumah, bukan?"Lagi-lagi Keina mengangguk. Alden mengulas senyuman puas melihat hal itu. Mereka kembali bertatapan membuat jantung Keina meloncat tidak karuan.Alden mendekatkan wajahnya hendak mencium Keina, namun tiba-tiba suara deheman kuat terdengar dari arah luar."Ehem-ehem!"Dengan cepat Keina bangkit berdiri, saling menj
"Itu... Aku belum tahu." ujar Alden akhirnya. Tidak tega rasanya jika ia memberitahu Keina mengenai Adrian. Selama beberapa hari ini Keina terlihat stress, jadi lebih baik ia menyimpan semuanya."Kau benar-benar tidak tahu? Biasanya kau sangat tanggap dalam mencari informasi, Alden." tanya Keina yang masih merasa ragu."Aku masih menyelidikinya karena tidak ada bukti apapun di sana. Entah darimana Shiren sebenarnya tahu tentang pesta itu. Sudahlah tidak perlu dipikirkan lagi, bagaimana jika kita istirahat saja? Kepalaku masih pusing karena demam semalam.""Ah benar, kau belum terlalu sehat, ayo kita masuk ke kamar saja."Alden menghela nafasnya lega saat Keina tidak lagi bertanya tentang hal yang terjadi kemarin. Lebih baik ia simpan saja semuanya agar Keina tidak merasa stress kembali. Keina tidak perlu tahu segalanya tentang Adrian yang telah mengkhianatinya.****Shiren bergegas berjalan menuju ruangan kantor Alden. Sejak kemarin Alden menolak seluruh panggilannya dan itu membuatny
"Kau benar-benar akan pergi sekarang? Tanpa melihat pernikahanku terlebih dulu?" rengek Keina kepada Adrian. Hari ini adalah hari dimana Adrian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan seperti yang ia sudah ia rencanakan sedari awal. Karena keadaan Alden sudah stabil, ia merasa cukup tenang meninggalkan Keina sendirian sekarang."Bukankah sudah ku bilang, aku tidak akan mau menanggung resiko menangis di hari itu."Keina membrenggutkan wajahnya, ia segera merentangkan tangannya di depan Adrian, "Kalau begitu aku akan memelukmu saja."Adrian tersenyum kecil mendengar ucapan itu, ia segera memeluk Keina dengan erat."Apa aku patung di sini?" timpal Alden yang sedari tadi hanya mengawasi tingkah Adrian dan juga Keina. Matanya menatap tajam ke arah mereka yang malah asyik berpelukan. Sebal melihatnya, Alden segera menarik tubuh mungil Keina untuk menjauh dari jangkauan Adrian, "Sudah hentikan, jika kau terus memeluknya seperti itu, ia akan mengurungkan niatnya kembali untuk pergi.""Astaga
Saat mengetahui bahwa Alden yang datang menjenguk dirinya hari ini, raut wajah Clara seketika berubah cerah, ia segera merangsek maju dengan antusias saat sampai di ruang tunggu para tamu."Alden, akhirnya kau menemuiku, bagaimana keadaanmu? Aku sungguh minta maaf karena membuat dirimu celaka tempo hari. Itu karena Keina–""Kau sedang membicarakan aku, Clara?"Kata-kata Clara seketika tergantung begitu saja saat melihat Keina yang ternyata mengikuti langkah Alden dari belakang."Kenapa diam? Lanjutkan saja perkataanmu." ujar Keina dengan tatapan tajam."Dia yang sudah membuat kita seperti ini, Alden. Kau harus mengeluarkan aku dari sini, aku sama sekali tidak bersalah, dia mencoba memisahkan kita.""Astaga wanita ini benar-benar gila." dengus Keina tidak percaya. Setelah semua yang ia lakukan, Clara sama sekali tidak merasa bersalah."Alden katakan sesuatu!" Jerit Clara dengan kesal karena melihat Alden yang hanya terdiam."Kau ingin aku mengatakan sesuatu?"Clara mengangguk kecil, "K
"Tentu saja bodoh! Aku mengingat semuanya, semuanya termasuk rencana pernikahan kita sebelumnya."Keina membekap mulutnya, merasa sangat terharu dengan seluruh keajaiban ini, ia sungguh tidak menyangka akhirnya hari ini datang juga, hari dimana Alden akan kembali mengingat cinta mereka, "Astaga!""Tadi kau bilang apa? Kau mau menjauh dariku setelah ini? Dua kali aku hampir mati untukmu, tapi kau malah mau meninggalkan aku. Kau pikir siapa–"Alden tersentak saat tiba-tiba merasakan bibir Keina yang mengecupnya. Matanya mengerjap sempurna, merasa tidak percaya jika Keina akan melakukan ini.Setelah mengecup bibir Alden selama beberapa menit, Keina menjauhkan dirinya, "Aku senang kau selamat, aku senang kau mengingatku lagi, Alden." ujar Keina dengan berurai air mata. Penantiannya kali ini ternyata mendapat sambutan hangat, Alden akhirnya dapat mengingat dirinya.Alden tersenyum mendengar ucapan Keina, ia mengusap air mata Keina yang masih mengalir, "Aku minta maaf karena membuatmu kesuli
Puas menumpahkan semuanya di dalam bilik toilet, Keina segera bangkit. Perlahan Keina kembali ke ruangan Alden. Keina tersentak saat melihat Audrey dan juga Handika sudah ada di sana, raut wajah bersalah kembali memenuhi hatinya. Keina segera berlari ke arah Audrey hendak menjatuhkan diri untuk berlutut di hadapan kedua figur yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri."Maafkan Keina Ma, sungguh maafkan Keina.""Bangun Keina, apa yang kamu lakukan?"Keina hanya bisa tergugu, ia bangkit dengan air mata yang masih mengalir tiada henti."Keina selalu membuat Alden seperti ini, maafkan Keina.""Sudahlah Sayang, Dokter sudah menangani Alden, kita berdoa saja yang terbaik untuknya. Kamu juga terluka saat ini."Keina mengangkat wajahnya merasa tidak percaya jika Audrey tidak menyalahkan dirinya, Audrey bahkan terlihat lebih tegar dibandingkan dengan saat Alden mengalami kecelakaan saat itu."Mama tidak marah padaku?""Untuk Mama marah? Mama marah pun tidak akan membuat Alden sembuh le
"Hentikan!!"Keina yang hampir frustasi dengan keadaannya segera mengangkat wajah saat mendengar teriakan itu. Harapan segera terlihat di sudut matanya, akhirnya Tuhan menjawab do'anya, Alden ada di sana mendobrak pintu gudang dengan tatapan nyalang yang ia berikan.Clara terlihat terkejut, ia tidak menduga akan kehadiran Alden yang berada di sini. Padahal ia sudah melakukan rencana serapi mungkin, tapi kenapa Alden ada di sini?Alden terhenyak melihat keadaan Keina, amarahnya segera naik ke ubun-ubun melihat beberapa pria tengah melecehkan Keina di sana. Baju Keina terlihat sudah compang-camping, dengan amarah yang teramat besar Alden segera menerjang maju ke arah mereka. Pukulan demi pukulan Alden layangkan, merasa tidak terima melihat orang lain menyentuh Keina sesuka hati. Mendengar tangisan Keina yang begitu menyayat membuat bara api di dalam hatinya semakin menyala-nyala. Berani sekali! Berani sekali mereka menyentuh Keina!"Kurang ajar kalian! Kurang ajar! Berani sekali kalian m
Tepat saat Alden merasa sangat frustasi dengan keadaan yang menimpa Keina, ponselnya berdering dengan nyaring. Alden segera mengangkat panggilan itu ternyata itu dari Erik."Bagaimana Erik? Kau menemukan jejak Keina di lokasi terakhir yang aku kirimkan?""Ya Pak, saya juga menemukan mobil yang membawa Nona Keina. Saya akan segera mengirim lokasi terakhir mobil itu ditemukan dengan bantuan orang-orang profesional kita."Mendengar hal itu Alden kembali memantapkan pemikirannya, Alden segera menyalakan mesin mobilnya lalu melihat ke arah pesan Erik. Keningnya berkerut dalam melihat lokasi pesan itu, lokasinya mengarah kepada tempat dimana pabrik makanan yang sudah terbengkalai. Pasti Keina ada di sana. Mata Alden segera berubah dengan yakin, ia harus bisa menemukan Keina secepatnya.****Keina mengerjapkan matanya saat kesadarannya mulai kembali. Ia terhenyak saat matanya menangkap pemandangan di hadapannya. Ruangan tempat ia berada sepertinya merupakan bangunan tua. Rasa pengap dan deb
Keina mengulas senyumnya dengan lebar saat mendapati telepon dari Alden. Ia segera mengangkat panggilan itu lalu menempelkan ponselnya ke arah telinga.Keina berdeham sejenak, mencoba mengendalikan dirinya agar tidak terlalu terlihat antusias."Ya Alden?" Tanyanya dengan nada setenang mungkin."Kau ada di mana?""Aku ada di rumah, kenapa?" jawab Keina enteng."Mau bertemu?"Senyuman lebar kembali terukir di wajahnya saat mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Alden, "Ya, boleh. Kapan?""Sekarang. Bisa?"Keina menundukkan wajahnya lalu melirik ke arah tubuhnya yang masih berantakan, "Ah bisa. Tapi, bisa kau beri aku waktu untuk bersiap dulu, tiga puluh menit?""Baiklah, tiga puluh menit, kita bertemu di rumah.""Rumah maksudmu–?""Rumah kita, Keina Nayara. Kita bertemu di sana. Aku rasa di sana tempat paling aman untuk kita bertemu.""Ah, baik."Setelah berkata seperti itu panggilan mereka seketika berhenti. Keina mengulas senyuman kembali lalu melesat ke arah kamar mandi, karena Ald
Meski merasa bingung dengan tindakan Alden, Keina hanya bisa membalas pelukan pria itu. Ia mengusap punggung Alden dengan perlahan, rasanya sudah lama sekali mereka tidak berpelukan seperti ini.Saat Alden melepaskan pelukan mereka, Keina segera bertanya, "Jadi, apa maksudnya?""Sebenarnya aku mengingatmu."Raut wajah Keina seketika berubah cerah mendengar ucapan Alden, ia mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu, "Kau mengingatku? Jadi apa yang kau ingat?""Aku ingat dirimu dari masakan yang kau buat. Ku kira itu Clara yang membuatnya.""Astaga, jadi selama ini kau salah paham?""Begitulah,"Keina menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, ternyata ia terlalu menganggap remeh Clara Benedict. Bisa-bisanya Clara berbohong pada mereka selama ini."Bahkan dia menyombongkan diri padaku bahwa dia bisa mengambil hatimu, ternyata firasatku benar, dia menipumu." gumam Keina sambil memijat kepalanya.Alden yang mendengar hal itu segera mengambil tangan Keina, merasa sangat bersalah karena ia te
Tepat sebelum Keina membuka mulutnya, ponsel Alden berbunyi dengan nyaring. Keina segera menggeser tubuh pria itu lalu berkata, "Ponselmu, ponselmu berbunyi!" ujarnya dengan gugup.Alden segera mundur, ia mengambil ponsel yang berada di saku jasnya. Sejenak Alden terlihat termenung melihat siapa yang memanggilnya saat ini. Clara."Kau tidak mengangkatnya?" tanya Keina yang melihat Alden hanya terdiam dengan ponsel di tangan.Alden mengangkat wajah lalu mematikan ponselnya dengan cepat, "Sudahlah, tidak penting."Keina yang melihat hal itu mengerutkan dahinya, bukankah itu adalah telepon dari Clara? Kenapa Alden tidak mau mengangkatnya?"Kita lanjutkan saja perjalanan kita, bagaimana kalau kita ke rumah itu?""Maksudmu rumah kita terdahulu?""Ya, mungkin kau benar akan ada sesuatu yang tertinggal di sana. Mungkin aku harus berada di sana sedikit lebih lama."Meski merasa aneh dengan tingkah Alden, Keina mengangguk kecil. Saat ini adalah waktu bersama Alden, ia harus bisa memanfaatkan w