Sejenak Audrey hanya tertegun mendengar penuturan Keina, namun ia segera menyadarkan dirinya. Audrey menarik tangan Keina untuk masuk ke dalam rumah dengan cepat."Astaga, hujan di luar lebat sekali, kenapa kamu datang ketika hujan?"Keina tersenyum tipis tidak menyangka jika Audrey akan menyambutnya."Sebentar, Mama akan ambilkan baju ganti."Keina terdiam sejenak, menunggu hingga Audrey datang lalu membawa sebuah kemeja."Mama hanya menemukan kemeja Alden yang ini. Baju-baju Mama tidak cocok untuk badan kamu yang mungil,"Keina menerima kemeja itu lalu memakainya dengan cepat."Ayo kita masuk ke dalam,"Keina terlihat mengedarkan pandangannya, Audrey terlihat mengamati tindakan Keina lalu berujar, "Alden sedang pergi ke dokter bersama ayahnya."Keina tersentak mendengar ucapan Audrey, "Apa kemarin luka-lukanya parah? Kenapa Alden sampai harus pergi ke dokter?""Ah tidak, itu karena Papa Reymand memaksa untuk memeriksakan luka-luka Alden, ia sangat khawatir jika itu akan berbekas."
"Kalian ini sudah bukan suami istri, jadi Keina akan tidur bersama Mama bukan bersama kamu,"Alden mendesah kecewa mendengar ucapan Audrey, "Ah Mama tidak seru!"Mendengar keluhan Alden, Audrey dan Keina seketika berpandangan, untuk kemudian tawa mereka pecah seketika menertawakan tingkah Alden. Hati Kein berdesir, ia sungguh merindukan suasana ramai seperti ini di dalam kehidupannya. Tidak ada kebencian dan amarah, yang ada hanya gurauan dan saling memberi dukungan."Sana keluar, Mama ingin bersama dengan Keina hari ini. Kamu tidur bersama Papa saja."Dengan langkah gontai, Alden keluar dari kamarnya lalu bergerak ke arah ayahnya.Audrey terlihat melirik ke arah Keina lalu menghela nafasnya panjang, "Sudah lama kita tidak tidur bersama, bukan?"Keina mengangguk kecil, ia tersenyum ke arah Audrey, "Ya sudah lama sekali." Saat Audrey menghampirinya lalu duduk di sampingnya, Keina mulai bertanya dengan nada hati-hati, "Apa Mama tidak marah kepada Papa Handika?""Marah, tentu saja Mama m
Keina hanya bisa tertegun di depan pintu rumahnya, ia segera mundur selangkah, merasa enggan kembali ke dalam rumah. Bayangan saat Handika menamparnya masih teringat di ingatan, bagaimana mungkin ia bisa kembali ke sana dan membuat perasaannya kembali sakit?"Tidak Alden, aku tidak bisa kembali."Alden yang mendengar hal itu segera menggenggam erat tangan Keina, "Dia ayahmu, Keina. Aku tahu kau kecewa padanya, tapi melarikan diri dari rumahmu bukanlah solusi terbaik."Keina menghela nafasnya panjang, membiarkan Alden membawanya ke dalam rumah. Alden mengetuk pintu perlahan, tidak menunggu beberapa lama pintu dibuka menampilkan Tiana yang berdiri di hadapannya."Keina Sayang, kamu sudah pulang? Kami baru saja ingin menjemput kamu.""Alden yang mengantarku kemari." balas Keina dengan lirih."Pa, Keina sudah pulang, Pa." Teriak Tiana dengan kuat.Alden tersentak saat melihat ada Adrian juga yang menyusul langkah Handika saat menyambut mereka, kenapa Adrian datang kemari pagi-pagi sekali?
Tanpa aba-aba Adrian langsung menerjang tubuh Alden lalu memberikan tinju kepadanya. Alden yang tidak memiliki persiapan jatuh sejenak, untuk kemudian membalas pukulan Adrian. Pertengkaran pun tak terelakkan, mereka saling memberi serangan bertubi-tubi ke lawannya. Namun rupanya, kemampuan berkelahi Adrian sama sekali tidak baik, Adrian jatuh tersungkur hanya dengan beberapa pukulan dari Alden. Alden yang melihat lawannya tidak berdaya segera menghentikan pukulannya. Namun alih-alih merasa kesakitan, sebuah tawa meledak dari mulut Adrian.Alis Alden terangkat dengan bingung, sebenarnya pria ini kenapa?"Kepalamu terbentur ya?" ujar Alden dengan heran.Adrian masih saja terkekeh membuat Alden semakin kebingungan, rasanya ia tidak memukul Adrian secara berlebihan, tapi kenapa tindakan pria ini aneh sekali? Alden mulai berpikir suatu opsi, apa ia harus membawa pria ini ke rumah sakit untuk melihat isi kepalanya?"Kau ingin pergi ke rumah sakit? Ayo, kita periksa kepalamu sepertinya kau t
Tubuh Alden sudah melemas di tempat saat melihat Handika beranjak dari tempatnya. Setelah semua yang ia lakukan ia tidak menyangka jika Handika masih akan meragukan keputusannya."Sepertinya Papa masih memerlukan waktu, Alden, jangan diambil hati. Biar Mama yang bicara padanya, kalian ngobrol saja dulu berdua."Meski ia menganggukkan kepalanya ke arah Tiana, hatinya masih menimbulkan tanda tanya. Kenapa Handika masih meragukannya? Apa alasannya sebenarnya?"Kau baik-baik saja?"Alden segera mengangkat wajah saat mendengar pertanyaan dari Keina, melihat raut wajah Keina yang khawatir kepadanya, hati Alden sedikit terhibur."Siapapun tidak akan baik-baik saja jika mendapat respon seperti ini.""Bersabarlah. Aku yakin Papa hanya butuh waktu,"Alden hanya mengulas senyum tipis, "Semoga saja ucapanmu itu benar.""Tapi Alden, apa kau membuat semua perjanjian pra nikah itu atas dasar keputusanmu sendiri? Apa kau sudah memikirkannya matang-matang sebelum menulis dan mengajukannya pada ayahku?
"Apa Pa? Maaf, bisa Papa ulangi?""Kami tidak akan menolak lamaran kamu, kamu bisa menikah dengan Keina."Raut wajah Alden seketika berubah sumringah mendengar ucapan Handika."Hore!! Akhirnya dapat restu juga!"Alden melonjak kegirangan hingga membuat Tiana dan Keina yang berada di dapur segera memasuki ruang tamu."Astaga, dia senang sekali," komentar Tiana dengan menggelengkan kepalanya.Keina hanya bisa tertawa melihat betapa riangnya Alden saat ini. Hanya sebuah persetujuan restu, Alden bisa sebahagia ini.Alden segera mendekatkan dirinya ke arah Handika hendak memeluknya, namun Handika segera menahan Alden dengan mengangkat tangan."Apa yang mau kamu lakukan?""Memeluk Papa, tentu saja.""Tidak perlu, saya sudah berulang kali dipeluk oleh Keina. Saya tidak perlu pelukan dari kamu.""Hanya sebentar Pa,""Tidak, sekali tidak tetap tidak."Alden membrenggutkan wajahnya mendengar jawaban Handika, "Kalau begitu saya akan peluk Keina,"Handika segera menahan langkah Alden dengan menye
Clara segera mengambil ponselnya yang berada di saku lalu menempelkan benda itu ke arah telinga. Ia harus berdiskusi mengenai hal ini dengan seseorang. Ia tidak terima, bagaimana bisa Alden malah mengusirnya dari kediamannya?“Adrian, bisa kita bertemu?”“Ah ya bisa, kebetulan aku sedang beristirahat. Mau bertemu dimana?”“Kita akan bertemu di dekat kediamanmu, kalau begitu sampai bertemu di sana.”Setelah mendengar jawaban Adrian, Clara segera menyimpan ponselnya kembali. Ia segera masuk ke dalam mobilnya lalu menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi bergerak ke tempat tujuan.Tepat saat ia sampai di sana sudah terlihat Adrian yang melambaikan tangan ke arahnya. Clara mengangkat alisnya dengan heran melihat keadaan Adrian. Alih-alih seperti dirinya yang emosional, Adrian terlihat lebih tenang dan kalem. Apa pria itu tidak tahu bahwa Keina kembali bersama Alden?"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Adrian saat ia menghampirinya.Clara menarik nafasnya lalu menghembuskannya s
"Clara? Kenapa dengan Clara?" tanya Keina dengan raut wajah penasaran. Semenjak ia berselisih dengan sang ayah, Keina memang sudah lama tidak berhubungan dengan Clara. Ia terlalu sibuk dengan masalahnya dan belum sempat menemui Clara."Terakhir aku menemuinya, sepertinya dia sangat marah, Keina. Kau harus berhati-hati, tapi aku tidak yakin apa yang bisa ia lakukan karena dirimu dan Alden akan menikah,"Keina tertegun sejenak, ia menghela nafasnya panjang, "Wajar jika dia marah, aku akan mencoba menghubunginya nanti.""Kau akan menemuinya?" Tanya Adrian tidak percaya."Ya, aku akan menemuinya jika sempat.""Astaga Keina Nayara memang berbeda, dia malah menghampiri musuhnya sendiri begitu saja.""Hei Clara belum ada apa-apanya, kau lupa jika aku pernah menghadapi Shiren Athalia yang lebih berbahaya?""Astaga benar, ngomong-ngomong kau tahu dia kemana? Sepertinya dia menghilang."Keina mengangkat bahunya, "Aku tidak tahu dan aku tidak perduli."Adrian hanya terkekeh mendengar ucapan Kein