Keina hanya bisa tertegun di depan pintu rumahnya, ia segera mundur selangkah, merasa enggan kembali ke dalam rumah. Bayangan saat Handika menamparnya masih teringat di ingatan, bagaimana mungkin ia bisa kembali ke sana dan membuat perasaannya kembali sakit?"Tidak Alden, aku tidak bisa kembali."Alden yang mendengar hal itu segera menggenggam erat tangan Keina, "Dia ayahmu, Keina. Aku tahu kau kecewa padanya, tapi melarikan diri dari rumahmu bukanlah solusi terbaik."Keina menghela nafasnya panjang, membiarkan Alden membawanya ke dalam rumah. Alden mengetuk pintu perlahan, tidak menunggu beberapa lama pintu dibuka menampilkan Tiana yang berdiri di hadapannya."Keina Sayang, kamu sudah pulang? Kami baru saja ingin menjemput kamu.""Alden yang mengantarku kemari." balas Keina dengan lirih."Pa, Keina sudah pulang, Pa." Teriak Tiana dengan kuat.Alden tersentak saat melihat ada Adrian juga yang menyusul langkah Handika saat menyambut mereka, kenapa Adrian datang kemari pagi-pagi sekali?
Tanpa aba-aba Adrian langsung menerjang tubuh Alden lalu memberikan tinju kepadanya. Alden yang tidak memiliki persiapan jatuh sejenak, untuk kemudian membalas pukulan Adrian. Pertengkaran pun tak terelakkan, mereka saling memberi serangan bertubi-tubi ke lawannya. Namun rupanya, kemampuan berkelahi Adrian sama sekali tidak baik, Adrian jatuh tersungkur hanya dengan beberapa pukulan dari Alden. Alden yang melihat lawannya tidak berdaya segera menghentikan pukulannya. Namun alih-alih merasa kesakitan, sebuah tawa meledak dari mulut Adrian.Alis Alden terangkat dengan bingung, sebenarnya pria ini kenapa?"Kepalamu terbentur ya?" ujar Alden dengan heran.Adrian masih saja terkekeh membuat Alden semakin kebingungan, rasanya ia tidak memukul Adrian secara berlebihan, tapi kenapa tindakan pria ini aneh sekali? Alden mulai berpikir suatu opsi, apa ia harus membawa pria ini ke rumah sakit untuk melihat isi kepalanya?"Kau ingin pergi ke rumah sakit? Ayo, kita periksa kepalamu sepertinya kau t
Tubuh Alden sudah melemas di tempat saat melihat Handika beranjak dari tempatnya. Setelah semua yang ia lakukan ia tidak menyangka jika Handika masih akan meragukan keputusannya."Sepertinya Papa masih memerlukan waktu, Alden, jangan diambil hati. Biar Mama yang bicara padanya, kalian ngobrol saja dulu berdua."Meski ia menganggukkan kepalanya ke arah Tiana, hatinya masih menimbulkan tanda tanya. Kenapa Handika masih meragukannya? Apa alasannya sebenarnya?"Kau baik-baik saja?"Alden segera mengangkat wajah saat mendengar pertanyaan dari Keina, melihat raut wajah Keina yang khawatir kepadanya, hati Alden sedikit terhibur."Siapapun tidak akan baik-baik saja jika mendapat respon seperti ini.""Bersabarlah. Aku yakin Papa hanya butuh waktu,"Alden hanya mengulas senyum tipis, "Semoga saja ucapanmu itu benar.""Tapi Alden, apa kau membuat semua perjanjian pra nikah itu atas dasar keputusanmu sendiri? Apa kau sudah memikirkannya matang-matang sebelum menulis dan mengajukannya pada ayahku?
"Apa Pa? Maaf, bisa Papa ulangi?""Kami tidak akan menolak lamaran kamu, kamu bisa menikah dengan Keina."Raut wajah Alden seketika berubah sumringah mendengar ucapan Handika."Hore!! Akhirnya dapat restu juga!"Alden melonjak kegirangan hingga membuat Tiana dan Keina yang berada di dapur segera memasuki ruang tamu."Astaga, dia senang sekali," komentar Tiana dengan menggelengkan kepalanya.Keina hanya bisa tertawa melihat betapa riangnya Alden saat ini. Hanya sebuah persetujuan restu, Alden bisa sebahagia ini.Alden segera mendekatkan dirinya ke arah Handika hendak memeluknya, namun Handika segera menahan Alden dengan mengangkat tangan."Apa yang mau kamu lakukan?""Memeluk Papa, tentu saja.""Tidak perlu, saya sudah berulang kali dipeluk oleh Keina. Saya tidak perlu pelukan dari kamu.""Hanya sebentar Pa,""Tidak, sekali tidak tetap tidak."Alden membrenggutkan wajahnya mendengar jawaban Handika, "Kalau begitu saya akan peluk Keina,"Handika segera menahan langkah Alden dengan menye
Clara segera mengambil ponselnya yang berada di saku lalu menempelkan benda itu ke arah telinga. Ia harus berdiskusi mengenai hal ini dengan seseorang. Ia tidak terima, bagaimana bisa Alden malah mengusirnya dari kediamannya?“Adrian, bisa kita bertemu?”“Ah ya bisa, kebetulan aku sedang beristirahat. Mau bertemu dimana?”“Kita akan bertemu di dekat kediamanmu, kalau begitu sampai bertemu di sana.”Setelah mendengar jawaban Adrian, Clara segera menyimpan ponselnya kembali. Ia segera masuk ke dalam mobilnya lalu menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi bergerak ke tempat tujuan.Tepat saat ia sampai di sana sudah terlihat Adrian yang melambaikan tangan ke arahnya. Clara mengangkat alisnya dengan heran melihat keadaan Adrian. Alih-alih seperti dirinya yang emosional, Adrian terlihat lebih tenang dan kalem. Apa pria itu tidak tahu bahwa Keina kembali bersama Alden?"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Adrian saat ia menghampirinya.Clara menarik nafasnya lalu menghembuskannya s
"Clara? Kenapa dengan Clara?" tanya Keina dengan raut wajah penasaran. Semenjak ia berselisih dengan sang ayah, Keina memang sudah lama tidak berhubungan dengan Clara. Ia terlalu sibuk dengan masalahnya dan belum sempat menemui Clara."Terakhir aku menemuinya, sepertinya dia sangat marah, Keina. Kau harus berhati-hati, tapi aku tidak yakin apa yang bisa ia lakukan karena dirimu dan Alden akan menikah,"Keina tertegun sejenak, ia menghela nafasnya panjang, "Wajar jika dia marah, aku akan mencoba menghubunginya nanti.""Kau akan menemuinya?" Tanya Adrian tidak percaya."Ya, aku akan menemuinya jika sempat.""Astaga Keina Nayara memang berbeda, dia malah menghampiri musuhnya sendiri begitu saja.""Hei Clara belum ada apa-apanya, kau lupa jika aku pernah menghadapi Shiren Athalia yang lebih berbahaya?""Astaga benar, ngomong-ngomong kau tahu dia kemana? Sepertinya dia menghilang."Keina mengangkat bahunya, "Aku tidak tahu dan aku tidak perduli."Adrian hanya terkekeh mendengar ucapan Kein
Alden dan Keina keluar dari butik sambil bergandengan tangan. Senyuman lebar masih terlihat dari wajah keduanya setelah mereka melakukan fitting baju pengantin.Keina tiba-tiba menghentikan langkah membuat Alden ikut berhenti lalu bertanya, "Ada apa?""Alden, bagaimana jika kita berjalan-jalan hari ini?"Alden terlihat mengerutkan keningnya mendengar perkataan Keina saat mereka hendak bergerak ke arah mobil. Untuk kemudian ia mengangguk merasa bahwa ide yang Keina kemukakkan tidaklah buruk. Akhir-akhir ini mereka memang sudah jarang melakukan jalan-jalan bersama, kebetulan cuaca sore hari ini terlihat cerah."Baiklah, ayo."Keina tersenyum dengan lebar mendengar persetujuan Alden, namun ia tertegun kembali melihat mobil Alde yang terparkir, "Lalu bagaimana dengan mobilnya?" tunjuknya dengan wajah bingung."Aku akan meminta bawahan ayah untuk membawanya, tidak perlu cemas."Keina mengulas senyuman kembali mendengar ucapan Alden, "Baiklah, ayo!" ujarnya dengan penuh semangat.Alden hany
Keina hanya bisa berlari mengikuti petugas kesehatan yang tengah mendorong tubuh Alden dari ambulans. Tangisnya tidak henti berurai mengikuti tubuh Alden yang kemudian dibawa ke suatu ruangan oleh para petugas kesehatan di sana."Anda keluarganya? Tolong tunggu di luar," ujar salah satu perawat ketika ia hendak masuk ke dalam."Izinkan saya melihat Alden Sus,""Tolong tunggu saja di luar, Anda hanya akan mengganggu pekerjaan dokter di dalam."Keina hanya bisa terduduk lemas saat pintu ditutup oleh perawat itu. Tubuhnya terasa kehilangan seluruh kekuatannya saat ini mengingat Alden yang bersimbah darah di hadapannya. Ini semua karena dirinya, jika saja ia tidak berlari mengejar anak itu, jika saja ia tidak mendekati anak kecil yang membuat kucing yang ia bawa terkejut hingga lari ke jalanan, mungkin saja seluruh musibah ini tidak akan terjadi. Mungkin saja Alden saat ini masih bersamanya.Ketika ia sedang merenungi nasibnya yang hanya bisa memeluk lutut sambil menunggui Alden dengan gu