Tanpa aba-aba Adrian langsung menerjang tubuh Alden lalu memberikan tinju kepadanya. Alden yang tidak memiliki persiapan jatuh sejenak, untuk kemudian membalas pukulan Adrian. Pertengkaran pun tak terelakkan, mereka saling memberi serangan bertubi-tubi ke lawannya. Namun rupanya, kemampuan berkelahi Adrian sama sekali tidak baik, Adrian jatuh tersungkur hanya dengan beberapa pukulan dari Alden. Alden yang melihat lawannya tidak berdaya segera menghentikan pukulannya. Namun alih-alih merasa kesakitan, sebuah tawa meledak dari mulut Adrian.Alis Alden terangkat dengan bingung, sebenarnya pria ini kenapa?"Kepalamu terbentur ya?" ujar Alden dengan heran.Adrian masih saja terkekeh membuat Alden semakin kebingungan, rasanya ia tidak memukul Adrian secara berlebihan, tapi kenapa tindakan pria ini aneh sekali? Alden mulai berpikir suatu opsi, apa ia harus membawa pria ini ke rumah sakit untuk melihat isi kepalanya?"Kau ingin pergi ke rumah sakit? Ayo, kita periksa kepalamu sepertinya kau t
Tubuh Alden sudah melemas di tempat saat melihat Handika beranjak dari tempatnya. Setelah semua yang ia lakukan ia tidak menyangka jika Handika masih akan meragukan keputusannya."Sepertinya Papa masih memerlukan waktu, Alden, jangan diambil hati. Biar Mama yang bicara padanya, kalian ngobrol saja dulu berdua."Meski ia menganggukkan kepalanya ke arah Tiana, hatinya masih menimbulkan tanda tanya. Kenapa Handika masih meragukannya? Apa alasannya sebenarnya?"Kau baik-baik saja?"Alden segera mengangkat wajah saat mendengar pertanyaan dari Keina, melihat raut wajah Keina yang khawatir kepadanya, hati Alden sedikit terhibur."Siapapun tidak akan baik-baik saja jika mendapat respon seperti ini.""Bersabarlah. Aku yakin Papa hanya butuh waktu,"Alden hanya mengulas senyum tipis, "Semoga saja ucapanmu itu benar.""Tapi Alden, apa kau membuat semua perjanjian pra nikah itu atas dasar keputusanmu sendiri? Apa kau sudah memikirkannya matang-matang sebelum menulis dan mengajukannya pada ayahku?
"Apa Pa? Maaf, bisa Papa ulangi?""Kami tidak akan menolak lamaran kamu, kamu bisa menikah dengan Keina."Raut wajah Alden seketika berubah sumringah mendengar ucapan Handika."Hore!! Akhirnya dapat restu juga!"Alden melonjak kegirangan hingga membuat Tiana dan Keina yang berada di dapur segera memasuki ruang tamu."Astaga, dia senang sekali," komentar Tiana dengan menggelengkan kepalanya.Keina hanya bisa tertawa melihat betapa riangnya Alden saat ini. Hanya sebuah persetujuan restu, Alden bisa sebahagia ini.Alden segera mendekatkan dirinya ke arah Handika hendak memeluknya, namun Handika segera menahan Alden dengan mengangkat tangan."Apa yang mau kamu lakukan?""Memeluk Papa, tentu saja.""Tidak perlu, saya sudah berulang kali dipeluk oleh Keina. Saya tidak perlu pelukan dari kamu.""Hanya sebentar Pa,""Tidak, sekali tidak tetap tidak."Alden membrenggutkan wajahnya mendengar jawaban Handika, "Kalau begitu saya akan peluk Keina,"Handika segera menahan langkah Alden dengan menye
Clara segera mengambil ponselnya yang berada di saku lalu menempelkan benda itu ke arah telinga. Ia harus berdiskusi mengenai hal ini dengan seseorang. Ia tidak terima, bagaimana bisa Alden malah mengusirnya dari kediamannya?“Adrian, bisa kita bertemu?”“Ah ya bisa, kebetulan aku sedang beristirahat. Mau bertemu dimana?”“Kita akan bertemu di dekat kediamanmu, kalau begitu sampai bertemu di sana.”Setelah mendengar jawaban Adrian, Clara segera menyimpan ponselnya kembali. Ia segera masuk ke dalam mobilnya lalu menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi bergerak ke tempat tujuan.Tepat saat ia sampai di sana sudah terlihat Adrian yang melambaikan tangan ke arahnya. Clara mengangkat alisnya dengan heran melihat keadaan Adrian. Alih-alih seperti dirinya yang emosional, Adrian terlihat lebih tenang dan kalem. Apa pria itu tidak tahu bahwa Keina kembali bersama Alden?"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Adrian saat ia menghampirinya.Clara menarik nafasnya lalu menghembuskannya s
"Clara? Kenapa dengan Clara?" tanya Keina dengan raut wajah penasaran. Semenjak ia berselisih dengan sang ayah, Keina memang sudah lama tidak berhubungan dengan Clara. Ia terlalu sibuk dengan masalahnya dan belum sempat menemui Clara."Terakhir aku menemuinya, sepertinya dia sangat marah, Keina. Kau harus berhati-hati, tapi aku tidak yakin apa yang bisa ia lakukan karena dirimu dan Alden akan menikah,"Keina tertegun sejenak, ia menghela nafasnya panjang, "Wajar jika dia marah, aku akan mencoba menghubunginya nanti.""Kau akan menemuinya?" Tanya Adrian tidak percaya."Ya, aku akan menemuinya jika sempat.""Astaga Keina Nayara memang berbeda, dia malah menghampiri musuhnya sendiri begitu saja.""Hei Clara belum ada apa-apanya, kau lupa jika aku pernah menghadapi Shiren Athalia yang lebih berbahaya?""Astaga benar, ngomong-ngomong kau tahu dia kemana? Sepertinya dia menghilang."Keina mengangkat bahunya, "Aku tidak tahu dan aku tidak perduli."Adrian hanya terkekeh mendengar ucapan Kein
Alden dan Keina keluar dari butik sambil bergandengan tangan. Senyuman lebar masih terlihat dari wajah keduanya setelah mereka melakukan fitting baju pengantin.Keina tiba-tiba menghentikan langkah membuat Alden ikut berhenti lalu bertanya, "Ada apa?""Alden, bagaimana jika kita berjalan-jalan hari ini?"Alden terlihat mengerutkan keningnya mendengar perkataan Keina saat mereka hendak bergerak ke arah mobil. Untuk kemudian ia mengangguk merasa bahwa ide yang Keina kemukakkan tidaklah buruk. Akhir-akhir ini mereka memang sudah jarang melakukan jalan-jalan bersama, kebetulan cuaca sore hari ini terlihat cerah."Baiklah, ayo."Keina tersenyum dengan lebar mendengar persetujuan Alden, namun ia tertegun kembali melihat mobil Alde yang terparkir, "Lalu bagaimana dengan mobilnya?" tunjuknya dengan wajah bingung."Aku akan meminta bawahan ayah untuk membawanya, tidak perlu cemas."Keina mengulas senyuman kembali mendengar ucapan Alden, "Baiklah, ayo!" ujarnya dengan penuh semangat.Alden hany
Keina hanya bisa berlari mengikuti petugas kesehatan yang tengah mendorong tubuh Alden dari ambulans. Tangisnya tidak henti berurai mengikuti tubuh Alden yang kemudian dibawa ke suatu ruangan oleh para petugas kesehatan di sana."Anda keluarganya? Tolong tunggu di luar," ujar salah satu perawat ketika ia hendak masuk ke dalam."Izinkan saya melihat Alden Sus,""Tolong tunggu saja di luar, Anda hanya akan mengganggu pekerjaan dokter di dalam."Keina hanya bisa terduduk lemas saat pintu ditutup oleh perawat itu. Tubuhnya terasa kehilangan seluruh kekuatannya saat ini mengingat Alden yang bersimbah darah di hadapannya. Ini semua karena dirinya, jika saja ia tidak berlari mengejar anak itu, jika saja ia tidak mendekati anak kecil yang membuat kucing yang ia bawa terkejut hingga lari ke jalanan, mungkin saja seluruh musibah ini tidak akan terjadi. Mungkin saja Alden saat ini masih bersamanya.Ketika ia sedang merenungi nasibnya yang hanya bisa memeluk lutut sambil menunggui Alden dengan gu
"Cukup! Cukup!" Jerit Audrey saat melihat Reymand mulai emosi, tangisnya berderai melihat keadaan kedua keluarga yang selalu berselisih pendapat ini."Alden sedang terbaring di kamar dan kalian malah berdebat siapa yang salah? Mau mengulang kejadian saat Keina terbaring di sana?" jerit Audrey kembali. Hatinya terasa sangat sakit saat ini, tapi Handika dan Reymand malah tak pernah akur."Audrey benar, saat ini hati dan kepala kita terasa sangat pusing memikirkan keadaan anak kita, kenapa kalian para pria malah bersikap egois dan saling menyalahkan? Apa kejadian saling bermusuhan ini harus terus terulang? Sebenarnya apa untungnya kalian berdebat seperti ini? Lihat wajah anak kalian, apa anak kalian juga merasa nyaman dengan perilaku kalian ini?"Reymand dan Handika terlihat menunduk, rasa emosi dan amarah seolah selalu membutakan logika mereka. Reymand menghela nafasnya panjang, merasa menyesal karena sudah membuat keributan yang tidak berarti. Benar kata istrinya, memangnya jika berdeb
"Kau benar-benar akan pergi sekarang? Tanpa melihat pernikahanku terlebih dulu?" rengek Keina kepada Adrian. Hari ini adalah hari dimana Adrian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan seperti yang ia sudah ia rencanakan sedari awal. Karena keadaan Alden sudah stabil, ia merasa cukup tenang meninggalkan Keina sendirian sekarang."Bukankah sudah ku bilang, aku tidak akan mau menanggung resiko menangis di hari itu."Keina membrenggutkan wajahnya, ia segera merentangkan tangannya di depan Adrian, "Kalau begitu aku akan memelukmu saja."Adrian tersenyum kecil mendengar ucapan itu, ia segera memeluk Keina dengan erat."Apa aku patung di sini?" timpal Alden yang sedari tadi hanya mengawasi tingkah Adrian dan juga Keina. Matanya menatap tajam ke arah mereka yang malah asyik berpelukan. Sebal melihatnya, Alden segera menarik tubuh mungil Keina untuk menjauh dari jangkauan Adrian, "Sudah hentikan, jika kau terus memeluknya seperti itu, ia akan mengurungkan niatnya kembali untuk pergi.""Astaga
Saat mengetahui bahwa Alden yang datang menjenguk dirinya hari ini, raut wajah Clara seketika berubah cerah, ia segera merangsek maju dengan antusias saat sampai di ruang tunggu para tamu."Alden, akhirnya kau menemuiku, bagaimana keadaanmu? Aku sungguh minta maaf karena membuat dirimu celaka tempo hari. Itu karena Keina–""Kau sedang membicarakan aku, Clara?"Kata-kata Clara seketika tergantung begitu saja saat melihat Keina yang ternyata mengikuti langkah Alden dari belakang."Kenapa diam? Lanjutkan saja perkataanmu." ujar Keina dengan tatapan tajam."Dia yang sudah membuat kita seperti ini, Alden. Kau harus mengeluarkan aku dari sini, aku sama sekali tidak bersalah, dia mencoba memisahkan kita.""Astaga wanita ini benar-benar gila." dengus Keina tidak percaya. Setelah semua yang ia lakukan, Clara sama sekali tidak merasa bersalah."Alden katakan sesuatu!" Jerit Clara dengan kesal karena melihat Alden yang hanya terdiam."Kau ingin aku mengatakan sesuatu?"Clara mengangguk kecil, "K
"Tentu saja bodoh! Aku mengingat semuanya, semuanya termasuk rencana pernikahan kita sebelumnya."Keina membekap mulutnya, merasa sangat terharu dengan seluruh keajaiban ini, ia sungguh tidak menyangka akhirnya hari ini datang juga, hari dimana Alden akan kembali mengingat cinta mereka, "Astaga!""Tadi kau bilang apa? Kau mau menjauh dariku setelah ini? Dua kali aku hampir mati untukmu, tapi kau malah mau meninggalkan aku. Kau pikir siapa–"Alden tersentak saat tiba-tiba merasakan bibir Keina yang mengecupnya. Matanya mengerjap sempurna, merasa tidak percaya jika Keina akan melakukan ini.Setelah mengecup bibir Alden selama beberapa menit, Keina menjauhkan dirinya, "Aku senang kau selamat, aku senang kau mengingatku lagi, Alden." ujar Keina dengan berurai air mata. Penantiannya kali ini ternyata mendapat sambutan hangat, Alden akhirnya dapat mengingat dirinya.Alden tersenyum mendengar ucapan Keina, ia mengusap air mata Keina yang masih mengalir, "Aku minta maaf karena membuatmu kesuli
Puas menumpahkan semuanya di dalam bilik toilet, Keina segera bangkit. Perlahan Keina kembali ke ruangan Alden. Keina tersentak saat melihat Audrey dan juga Handika sudah ada di sana, raut wajah bersalah kembali memenuhi hatinya. Keina segera berlari ke arah Audrey hendak menjatuhkan diri untuk berlutut di hadapan kedua figur yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri."Maafkan Keina Ma, sungguh maafkan Keina.""Bangun Keina, apa yang kamu lakukan?"Keina hanya bisa tergugu, ia bangkit dengan air mata yang masih mengalir tiada henti."Keina selalu membuat Alden seperti ini, maafkan Keina.""Sudahlah Sayang, Dokter sudah menangani Alden, kita berdoa saja yang terbaik untuknya. Kamu juga terluka saat ini."Keina mengangkat wajahnya merasa tidak percaya jika Audrey tidak menyalahkan dirinya, Audrey bahkan terlihat lebih tegar dibandingkan dengan saat Alden mengalami kecelakaan saat itu."Mama tidak marah padaku?""Untuk Mama marah? Mama marah pun tidak akan membuat Alden sembuh le
"Hentikan!!"Keina yang hampir frustasi dengan keadaannya segera mengangkat wajah saat mendengar teriakan itu. Harapan segera terlihat di sudut matanya, akhirnya Tuhan menjawab do'anya, Alden ada di sana mendobrak pintu gudang dengan tatapan nyalang yang ia berikan.Clara terlihat terkejut, ia tidak menduga akan kehadiran Alden yang berada di sini. Padahal ia sudah melakukan rencana serapi mungkin, tapi kenapa Alden ada di sini?Alden terhenyak melihat keadaan Keina, amarahnya segera naik ke ubun-ubun melihat beberapa pria tengah melecehkan Keina di sana. Baju Keina terlihat sudah compang-camping, dengan amarah yang teramat besar Alden segera menerjang maju ke arah mereka. Pukulan demi pukulan Alden layangkan, merasa tidak terima melihat orang lain menyentuh Keina sesuka hati. Mendengar tangisan Keina yang begitu menyayat membuat bara api di dalam hatinya semakin menyala-nyala. Berani sekali! Berani sekali mereka menyentuh Keina!"Kurang ajar kalian! Kurang ajar! Berani sekali kalian m
Tepat saat Alden merasa sangat frustasi dengan keadaan yang menimpa Keina, ponselnya berdering dengan nyaring. Alden segera mengangkat panggilan itu ternyata itu dari Erik."Bagaimana Erik? Kau menemukan jejak Keina di lokasi terakhir yang aku kirimkan?""Ya Pak, saya juga menemukan mobil yang membawa Nona Keina. Saya akan segera mengirim lokasi terakhir mobil itu ditemukan dengan bantuan orang-orang profesional kita."Mendengar hal itu Alden kembali memantapkan pemikirannya, Alden segera menyalakan mesin mobilnya lalu melihat ke arah pesan Erik. Keningnya berkerut dalam melihat lokasi pesan itu, lokasinya mengarah kepada tempat dimana pabrik makanan yang sudah terbengkalai. Pasti Keina ada di sana. Mata Alden segera berubah dengan yakin, ia harus bisa menemukan Keina secepatnya.****Keina mengerjapkan matanya saat kesadarannya mulai kembali. Ia terhenyak saat matanya menangkap pemandangan di hadapannya. Ruangan tempat ia berada sepertinya merupakan bangunan tua. Rasa pengap dan deb
Keina mengulas senyumnya dengan lebar saat mendapati telepon dari Alden. Ia segera mengangkat panggilan itu lalu menempelkan ponselnya ke arah telinga.Keina berdeham sejenak, mencoba mengendalikan dirinya agar tidak terlalu terlihat antusias."Ya Alden?" Tanyanya dengan nada setenang mungkin."Kau ada di mana?""Aku ada di rumah, kenapa?" jawab Keina enteng."Mau bertemu?"Senyuman lebar kembali terukir di wajahnya saat mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Alden, "Ya, boleh. Kapan?""Sekarang. Bisa?"Keina menundukkan wajahnya lalu melirik ke arah tubuhnya yang masih berantakan, "Ah bisa. Tapi, bisa kau beri aku waktu untuk bersiap dulu, tiga puluh menit?""Baiklah, tiga puluh menit, kita bertemu di rumah.""Rumah maksudmu–?""Rumah kita, Keina Nayara. Kita bertemu di sana. Aku rasa di sana tempat paling aman untuk kita bertemu.""Ah, baik."Setelah berkata seperti itu panggilan mereka seketika berhenti. Keina mengulas senyuman kembali lalu melesat ke arah kamar mandi, karena Ald
Meski merasa bingung dengan tindakan Alden, Keina hanya bisa membalas pelukan pria itu. Ia mengusap punggung Alden dengan perlahan, rasanya sudah lama sekali mereka tidak berpelukan seperti ini.Saat Alden melepaskan pelukan mereka, Keina segera bertanya, "Jadi, apa maksudnya?""Sebenarnya aku mengingatmu."Raut wajah Keina seketika berubah cerah mendengar ucapan Alden, ia mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu, "Kau mengingatku? Jadi apa yang kau ingat?""Aku ingat dirimu dari masakan yang kau buat. Ku kira itu Clara yang membuatnya.""Astaga, jadi selama ini kau salah paham?""Begitulah,"Keina menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, ternyata ia terlalu menganggap remeh Clara Benedict. Bisa-bisanya Clara berbohong pada mereka selama ini."Bahkan dia menyombongkan diri padaku bahwa dia bisa mengambil hatimu, ternyata firasatku benar, dia menipumu." gumam Keina sambil memijat kepalanya.Alden yang mendengar hal itu segera mengambil tangan Keina, merasa sangat bersalah karena ia te
Tepat sebelum Keina membuka mulutnya, ponsel Alden berbunyi dengan nyaring. Keina segera menggeser tubuh pria itu lalu berkata, "Ponselmu, ponselmu berbunyi!" ujarnya dengan gugup.Alden segera mundur, ia mengambil ponsel yang berada di saku jasnya. Sejenak Alden terlihat termenung melihat siapa yang memanggilnya saat ini. Clara."Kau tidak mengangkatnya?" tanya Keina yang melihat Alden hanya terdiam dengan ponsel di tangan.Alden mengangkat wajah lalu mematikan ponselnya dengan cepat, "Sudahlah, tidak penting."Keina yang melihat hal itu mengerutkan dahinya, bukankah itu adalah telepon dari Clara? Kenapa Alden tidak mau mengangkatnya?"Kita lanjutkan saja perjalanan kita, bagaimana kalau kita ke rumah itu?""Maksudmu rumah kita terdahulu?""Ya, mungkin kau benar akan ada sesuatu yang tertinggal di sana. Mungkin aku harus berada di sana sedikit lebih lama."Meski merasa aneh dengan tingkah Alden, Keina mengangguk kecil. Saat ini adalah waktu bersama Alden, ia harus bisa memanfaatkan w