Terhitung sudah hampir empat bulan pernikahanku dengan Mas Bayu berjalan. Aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik. Namun, selama beberapa minggu belakangan Mas Bayu tidak pulang ke rumah. Dia bilang urusan pekerjaan sedang rumit. Jadi, Mas Bayu harus tinggal di apartemen untuk menghemat waktu.
Awalnya aku tidak masalah kalau Mas Bayu harus tinggal di apartemen karena urusan pekerjaan. Namun, apakah urusannya terlalu rumit sampai setiap hari dia tidak pulang ke rumah? Mas Bayu hanya pulang ketika weekend, selebihnya Mas Bayu tinggal di apartemen.
Jujur aku kesepian selama ini. Aku memiliki suami, tetapi seperti tidak memiliki suami. Di rumah sendirian tanpa Mas Bayu. Terlebih lagi Mas Bayu tidak mengizinkanku untuk keluar rumah tanpa dirinya.
Kami terjebak di dalam perjodohan orang tua kami. Ayah dan ibuku tewas enam bulan yang lalu akibat kecelakaan. Kemudian, Pak Santoso, yang sekarang menjadi mertuaku memberikan surat wasiat dari ayah. Surat itu tertulis aku harus menikah dengan Mas Bayu agar perusahaan milik ayah dapat dijalankan oleh Mas Bayu.
Akhirnya, kami menikah karena perjodohan, bukan karena cinta.
Namaku Citra Gayatri Pradana. Aku adalah istri dari seorang pemilik perusahaan ternama di Jakarta. Awalnya aku ragu dengan pernikahan ini. Banyak hal buruk yang akan terjadi jika menikah tanpa didasari oleh cinta. Namun, Mas Bayu mengubah itu semua menjadi rumah tangga yang penuh cinta.
Aku langsung buru-buru masak setelah mendapatkan kabar kalau Mas Bayu akan pulang malam ini. Siapa yang tidak senang kalau suaminya akan pulang? Terlebih aku sudah tidak melihat suamiku selama seminggu.
Sekarang aku sudah selesai memasak untuk Mas Bayu makan nanti. Dia pasti sedang berjalan pulang, sudah jam tujuh sekarang. Biasanya dia akan pulang sedikit terlambat, tetapi aku harap malam ini dia tidak terlambat.
Setelah menata makanan di atas piring, aku langsung duduk di depan pintu sambil menunggu kedatangan Mas Bayu. Hal itu sudah sering aku lakukan sejak dulu. Ketika Mas Bayu membuka pintu, aku akan langsung berdiri dan memeluknya. Romantis, bukan?
Suara mobil Mas Bayu sudah terdengar, kuangkat tubuhku hingga berdiri. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan menampilkan Mas Bayu, suamiku tercinta dengan tubuh tegap. Kemejanya sedikit berantakan, sepertinya dia sangat lelah.
Aku langsung memeluknya. Kemudian dia mencium bibirku. “Mas Bayu!”
Mas Bayu tersenyum ke arahku. “Dalem, Sayang.”
Sungguh, aku masih belum bisa terbiasa ketika Mas Bayu menjawab dengan kata-kata, “dalem, Sayang.” Aku langsung tersipu di hadapan wajahnya. “Aku sudah masak makanan kesukaan, Mas. Nanti mandi dulu baru makan, ya?”
Mas Bayu hanya tersenyum menanggapi. Dia langsung mengecup bibirku dengan lembut. Hal yang aku suka dari Mas Bayu adalah perlakuan lembutnya.
Mas Bayu mencium kedua pelupuk mataku. Kemudian dia menatapku dengan senyum yang mengembang. “Mau mandiin aku?”
Mas Bayu langsung memeluk erat pinggangku. Sekarang tidak ada celah yang memisahkan kami berdua. Aku langsung tersenyum menatapnya. “Mandiin aku juga, ya.”
Mas Bayu langsung mengangkat tubuhku sebatas pinggangnya. Kemudian aku lingkarkan kedua kaki di pinggang Mas Bayu. Satu kecupan lembut aku hadiahkan di bibirnya. “Ayo!”
Kami mulai mengarah ke arah kamar mandi. Dia menjatuhkan bokongku di samping wastafel. Bibir kami mulai berpagut. Aku menjambak rambut belakangnya ketika tangan Mas Bayu mulai bergerak menjelajahi tubuhku.
Suara cecapan mulut kami terdengar keras. Mas Bayu mulai melepaskan kaus yang aku pakai. Tangannya langsung meremas dadaku. “Aah, Mas.”
Aku tidak pernah bisa menahan desahan ketika Mas Bayu mulai menjalankan tugasnya. Sungguh, aku rindu ini semua. Rasanya sudah lama sekali tidak bermesraan dengan Mas Bayu. terakhir yang aku ingat itu dua minggu yang lalu. “Jangan lama-lama, aku nggak tahan.”
Dia mulai memasukkan miliknya perlahan-lahan. Setelah itu dia gerakkan pinggulnya secara perlahan. Sungguh nikmat rasanya, ditambah bibir kami yang saling berpagutan. Aku begitu menikmati permainan ini. Tanganku mengarahkan wajah Mas Bayu ke dadaku.
Setelah selesai mandi, kami langsung mengganti pakaian kami. Kemudian aku bawa Mas Bayu menuju dapur. Makanan yang tadi sudah mulai dingin, mungkin karena kami bermain terlalu lama.
Aku berjalan ke arah Mas Bayu yang sedang duduk. Tanganku memeluk leher Mas bayu dengan mesra. “Mas, lauknya mulai dingin. Mau aku panasi dulu?”
Mas Bayu meremas salah satu lenganku. Kemudian mengecup pipiku dengan pelan. “Nggak usah, bawa ke sini aja makanannya.”
Aku mulai menyiapkan piring untuk Mas Bayu. Mataku tidak pernah beralih dari wajahnya. Ketika makan saja Mas Bayu bisa membuat jantungku berdegup kencang. Astaga, suamiku semakin tampan dengan kumis tipis yang menghias wajahnya. Aku baru sadar kalau Mas Bayu berkumis tipis sekarang.
“Kamu sibuk banget, ya? Sampai baru pulang ke sini, Mas.”
Mas Bayu menatapku dengan sendu. Kemudian dia tersenyum tipis. “Maaf, ya. Perusahaan lagi repot banget. Terus banyak meeting sore juga. Baru hari ini Mas bisa pulang karena lagi senggang. Maafin aku, ya?”
Aku menggeleng sambil memanyunkan bibirku. “Mas nggak salah. Lagian kamu begitu juga demi keluarga kita. Habis makan langsung tidur aja, ya, Mas? Pasti capek banget.”
Setelah Mas Bayu selesai makan, aku langsung membersihkan piring yang kotor. Mas Bayu masih menungguku di kursi tadi. Ketika aku menengok, dia sedang mengamatiku dari posisinya. Kemudian tersenyum jahil.
Aku menggandeng tangan Mas Bayu ke kamar setelah semua piring sudah bersih. Malam ini rasa rinduku terobati karena Mas Bayu sudah pulang. Jelas saja, dia yang berhasil mengubah hatiku yang benci dengan perjodohan menjadi cinta dengannya. Kalau aku boleh jujur, aku bahkan sudah cinta mati dengan lelaki bernama Bayu Adji Sasongko.
Astaga, aku sampai lupa membuat susu. Kebiasaanku saat malam adalah meminum segelas susu hangat sebelum tidur. Pasti karena terlalu bersemangat untuk tidur di samping Mas Bayu.
Ketika sampai di kamar, aku melepaskan tangan Mas Bayu. “Mas, aku lupa buat susu. Sebentar, ya, aku mau buat dulu."
Tangan Mas Bayu melingkar di pinggangku. Dia tarik hingga tubuhku hingga menindihnya. Aku tersenyum nakal, kemudian memainkan jemariku di dadanya yang bidang. “Kan, tadi udah. Nanti Mas makin capek.”
Mas Bayu menggeleng pelan. Kemudian dia mengecup kedua mataku. “Biar aku aja yang buat. Kamu pasti lelah,” kata Mas Bayu.
Rasa-rasanya jantungku ingin loncat. Dia memang selalu berhasil membuatku tersipu. Padahal hanya sekedar dibuatkan susu. Aku langsung menganggukkan kepala dan menyingkir dari atas tubuhnya. Mas Bayu mengecup bibirku lagi sebelum pergi.
Ketika Mas Bayu pergi, ponselnya terus berdering. Awalnya aku mengabaikan, karena bukan hak aku juga untuk mengangkat panggilan itu. Namun, ponsel itu terus berdering. Aku penasaran sekali, siapa yang menelepon malam-malam?
Aku melihat nama Leon di panggilan itu. Siapa Leon? Apakah dia rekan bisnis Mas Bayu? Baru saja aku ingin mengangkat panggilan itu, Leon sudah memutuskan panggilannya. Tidak mungkin aku telepon balik.
Akhirnya aku memutuskan untuk masa bodoh. Lagi pula kalau memang terlalu genting, tidak mungkin dia putus asa menghubungi Mas Bayu. Pasti nanti akan ada panggilan berikutnya. Tunggu saja sampai Mas Bayu datang dan mengangkatnya.
Ketika aku ingin kembali ke posisi awal, ponsel itu kembali memunculkan pemberitahuan di layarnya. Walaupun tebakanku meleset kalau si Leon akan menghubungi lagi, ternyata dia malah mengirim pesan ke Mas Bayu. Aku dapat membaca isi pesan itu.
Leon:
Kenapa tidak angkat teleponku? Aku sudah di apartemen. Kamu ke mana, Mas?
Apartemen? Apa maksud Leon menanyakan kabar Mas Bayu? Memangnya kalau rekan bisnis harus berbicara di apartemen? Sepertinya tidak mungkin. Pasti mereka akan memilih kantor atau tempat lain daripada apartemen. Kemudian, mengapa dia juga memanggil suamiku dengan sebutan itu?
Aku jadi penasaran. Apakah Mas Bayu memang dipanggil seperti itu di kantor? Sepertinya tidak, waktu aku datang ke kantor, masih banyak yang memanggil dengan sebutan “bapak”.
Jadi, Leon itu siapa? Apartemen mana yang dia maksud? Kalau apartemen yang dia maksud adalah apartemen Mas Bayu, apa itu artinya Leon tinggal di apartemen bersama Mas Bayu? Mengapa Mas Bayu tidak pernah cerita?
Mas Bayu masuk sambil membawa susu di tangannya, beruntung aku sudah di posisi awal. Dia meletakkan susu di nakas sebelahku. Ingin sekali rasanya bertanya tentang Leon. Namun, aku takut kalau Mas Bayu marah.
“Diminum sekarang mumpung masih hangat, Sayang. Nanti langsung tidur kalau udah habis,” kata Mas Bayu. Aku langsung berkedip. Pasti dari tadi aku kelihatan melamun. Mudah-mudahan saja Mas Bayu tidak menyadarinya.
“Makasih, Mas.” Aku langsung menyeruput susu yang Mas Bayu buat perlahan-lahan. Pikiranku masih bertanya-tanya tentang Leon dan Mas Bayu. Habisnya, isi pesan dari Leon tidak seperti rekan yang lain.
Lebih hebatnya, dia bilang sudah di apartemen. Aku saja yang istrinya belum pernah datang ke apartemen, mengapa teman bisnisnya sudah pernah? Benar-benar aneh!
“Mas?” panggilku sedikit berbisik. Sepertinya Mas Bayu sudah tertidur. “Mas?” Aku sedikit mengguncang tubuhnya.
Mas Bayu membuka kelopak matanya. Dia menoleh ke arahku. “Dalem, Sayang.” Mas Bayu mengangkat tubuhnya kemudian duduk di depanku. “Ada apa?”
Tatapan matanya tidak pernah berubah. Selalu tenang dan menenangkan hati. Tanganku beralih mengelus wajahnya. Rasanya seperti lama sekali aku tidak menatapnya dari dekat dan sekarang seperti aku sedang balas dendam. Wajahku tersenyum.
“Aku kangen sama kamu,” sahutku pelan.
Mas bayu menarik gelas yang kupegang, dia meletakkannya di atas nakas. Kemudian tangannya menarik lembut kepalaku agar berbaring di atas dadanya. “Minta maaf, ya? Mas belum bisa jadi suami yang baik buat kamu.”
Aku menoleh menatap wajahnya. Mas Bayu ikut tersenyum, lalu mengecup keningku. “Mas, kenapa aku nggak tinggal di apartemen aja, sih? Aku, kan, pengin ngurusin Mas Bayu di apartemen juga.”
Mas Bayu belum menjawab pertanyaanku. Dia memainkan rambutku yang terurai di dadanya. Sedikit kulihat wajahnya, tidak lagi tersenyum. “Mas Bayu?”
“Ooh.” Mas Bayu tergagap. “Kamu di rumah aja, Dek. Kalau di sana nanti kamu suntuk. Di rumah, kan, bisa ngeliat tanaman, siram tanaman, beda sama di apartemen.”
“Ya, kalau di rumah boleh pergi, sih, aku seneng," protesku.
Mas Bayu terkikih, dia mencium puncak kepalaku. “Tidur, yuk! Udah malem.”
Aku mengangkat selimut yang menutupi badan. Di sebelah, ada Mas Bayu yang masih terlelap dengan tangan memeluk leherku. Ternyata dia masih memelukku sampai pagi. Astaga, aku jadi senyum-senyum sendiri.Satu kecupan lembut kudaratkan di bibirnya sebelum bangkit. Andai setiap pagi aku dapat melihat wajahnya yang damai seperti ini, pasti tidak akan ada yang namanya si Citra yang kesepian. Selama ini setiap bangun hanya bisa melihat gorden yang tertutup. Hal yang membosankan.
Mungkin hari ini akan menjadi hari paling tidak jelas bagiku. Kalau orang lain mengatakan hari terindah atau hari terburuk, aku tidak keduanya. Tidak indah-indah banget, tidak buruk-buruk juga.Memang, sih, Mas Bayu sudah bilang kalau mereka tinggal bersama di sebuah unit apartemen. Namun, entah kenapa, aku tetap saja merasakan ada hal aneh dari pria bernama Leon. Mungkin hanya firasat yang tidak harus dipikirkan, tetapi bagaimana cara aku melupakannya?Setelah perdebatan kecil di rumah, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan di daerah Blok M. Aku yang memilih barang untuk dibeli, sementara Mas Bayu dengan wajah tidak senangnya yang mendorong troli. Banyak banget barang yang aku beli; dua karung beras berukuran kecil, tiga botol minyak goreng, beberapa makanan siap saji, sabun cuci baju dan piring, beberapa kaleng minuman soda, dan banyak makan ringan.Sampai depan kasir, kami berdua bingung bagaimana caranya memasukkan belanjaan ke dalam mobil.
Pintu toilet terbuka, Mas Bayu langsung keluar. “Dek!” pekik Mas Bayu dari depan pintu toilet. Dia berlari ke arahku dengan wajah cemasnya.Aku tidak peduli. Kejadian hari ini masih membekas di benakku. Bayangkan saja, dia menyeretku dengan paksa, tidak peduli tatapan orang yang iba melihatku. Kemudian, dia juga membentakku seakan-akan dia paling benar, padahal sudah jelas dia berkilah. Aku mendengar suara perempuan tadi, tidak mungkin aku salah mendengarnya. Seharusnya aku tunggu sampai mereka berdua keluar, jadi aku bisa memergoki.Setelah itu, dia tidak berbicara kepadaku, tetapi langsung melenggang pergi ke lantai atas. Aku perhatikan dari bawah, dia masuk ke kamar. Kenapa dia? Sakit perut? Rasakan itu!Aku jadi penasaran dengannya. Segera aku susul dia ke kamar. Sesampainya, Mas Bayu sudah membuka kaus yang ia pakai dan hendak menggantinya dengan kemeja.“Setan apa yang ngerasukin kamu, sih? Ngapain malam-malam pakai kemeja?” Ucapanku langsung diba
Sudah tiga hari sejak perdebatanku dengan Mas Bayu. Masing-masing dari kami tidak ada yang mengirim pesan. Aku masih segan untuk menanyakan kabarnya. Kalau dia, aku tidak tahu alasannya.Sejujurnya, aku jadi menyesal karena bertengkar dengan Mas Bayu. Dia benar-benar hilang kabar sejak hari itu. Kalau tahu dia akan semarah ini, mungkin aku tidak akan menyangkal omongannya.Namun, sebenarnya kenapa dia harus marah? Aku hanya menanyakan tentang perempuan yang berbicara dengannya di mal. Kalau memang itu tidak benar, seharusnya dia bisa membuktikan omongannya. Dia hanya bilang aku mengigau dan tidak melihat siapa-siapa di dekatnya. Alasan yang klasik.Sekarang aku sedang menunggu kedatangan Kiki, temanku saat di SMA. Kami sudah berjanji untuk menghabiskan sore hari di daerah Bundaran HI. Sudah lama aku tidak melihat keramaian. Semua itu gara-gara Mas Bayu yang awalnya bersikap manis dan setia. Sayangnya, sekarang dia sudah mulai membuatku tidak percaya dengan sikap
Sepertinya aku membutuhkan hiburan lagi hari ini. Memikirkan kejadian kemarin sore ternyata membuat kepalaku sakit.Setelah mengunci pintu mobil, aku langsung berjalan ke arah pintu utama rumah besar ini. Senyumku merekah ketika melihat taman yang dulu sering aku rawat. Untung masih terawat tanamannya, aku akan memberi perhitungan pada Rio kalau sampai dia tidak merawatnya.“Rioooo!” pekikku setelah membuka pintu. Tidak ada orang di lantai ini. Sepertinya Rio masih di kamar, masih jam tujuh juga. Pasti dia masih tertidur, pemalas!Aku langsung berjalan sambil membawa rantang berisikan sarapan untuknya. Sudah lama aku tidak melihat Rio, rindu banget rasanya. Pasti dia terkejut melihatku yang datang tiba-tiba.Sampai di depan pintu kamar, aku mengetuknya berkali-kali. Tidak terbuka juga, pasti Rio masih tertidur pulas. Aku terus mengetuknya dengan keras, berharap pemiliknya keluar. Dia paling tidak bisa kalau pintunya diketuk terlalu keras, past
Kepalaku rasanya mau pecah. Semua hal yang aku pikirkan susah-susah ternyata tidak sesuai.Aku pikir perempuan tadi ingin menemui Mas Bayu. Ternyata, dia justru mengarah ke Bogor. Kami ikuti terus, ternyata dia berhenti di kafe dan bertemu teman-temannya.Kami sebentar lagi akan sampai di rumahku. Malam ini Rio bilang akan menginap. Bingung juga kenapa dia baru mau menginap sekarang. Padahal aku sudah lama kesepian. Tadi aku juga sempat marah padanya, dia bilang kalau masih malas dengan sikap suamiku yang jutek.Sejujurnya, Mas Bayu memang orang yang pendiam dan tidak banyak omong. Pertemuan pertama kami juga hampir membuatku menolak perjodohan. Beruntung Kiki membuatku sadar kalau hati seseorang mudah berubah.Mas Bayu memang tidak pendiam, dia bahkan romantis. Sayangnya, keromantisan itu seolah hilang dari nama dia sekarang. Semua hal yang dia lakukan hanyalah kedok untuk menyembunyikan perbuatan bejatnya.Lihat saja, aku akan membuktikan kalau M
Memang benar kata orang, kalau kita melakukan hal yang benar-benar ingin kita lakukan, rasanya sungguh luar biasa. Sejak awal aku memang ingin pergi ke kafe rooptop. Terwujud sudah keinginan itu berkat keberanian diri.Aku ditemani Kiki hari ini. Tentu saja dengan perdebatan kecil sebelum pergi. Dia bilang takut ketahuan Mas Bayu kalau aku pergi tanpa memberinya kabar. Itu tidak akan mungkin. Aku tahu Mas Bayu tidak akan pulang malam ini.Tadi pagi Mas Bayu bilang akan pulang larut lantaran semalam dia pulang lebih awal. Jadi, aku yakin dia tidak akan pulang ke rumah hari ini.Kami sudah di dalam lift. Tadi Kiki sudah memesan meja untuk kami berdua. Katanya kalau tidak dipesan, bisa dapat di tengah ruangan, bukannya di pinggir agar bisa melihat pemandangan. Tidak seru, karena sulit untuk melihat Jakarta dari ketinggian lantai 25. Aku juga jadi tidak bisa foto dengan latar langit tanpa bangunan.Dentingan lift sudah terdengar, pintu terbuka dan menamp
Baru pertama kali aku menemukan orang yang ingin bunuh diri di depan mata. Selama ini hanya pernah mendengarnya saja. Ternyata benar, orang seperti itu menakutkan. Untung aku bersama Kiki, kalau sendirian mungkin hanya bisa berteriak meminta pertolongan sementara orang itu sudah lompat lebih dulu.Kami masih menenangkan perempuan itu. Dari tadi dia asyik memandang meja tanpa ada niat untuk berbicara. Aku dan Kiki saling melempar tatapan, kemudian mengedikkan bahu.“Rumahnya di mana, Mba?” Aku memulai pembicaraan. Bisa gawat kalau sepi begini, aku jadi semakin serba salah. Padahal steak yang tadi dipesan sudah datang.“Mba udah makan? Kalau belum, kami pesenin makan,” kata Kiki.Perempuan itu menggeleng. Tatapan matanya kosong. Aku jadi semakin takut kalau dia masih memikirkan bunuh diri.Aku mulai memotong daging tenderloin, kemudian memakannya perlahan-lahan. Kiki terkikih di tempatnya, pasti dia mengira aku kelaparan lantaran tidak bisa menah
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna."Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti."Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!""Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?""Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Seharusnya aku senang mendengar pernyataan Leon. Namun, entah kenapa hatiku justru makin sakit.Sekarang, pria di hadapanku sudah membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang masih belum bisa aku artikan.Kemarahan? Sepertinya iya, dia sangat marah kepadaku. Kebencian? Pastinya, dia mungkin sudah benci kepadaku."Perusahaan itu milik Luna dan keluarganya, itu perusahaan yang menyediakan pembunuh bayaran, penjaga, dan apa pun yang berkaitan dengan penjagaan seseorang. Lu tahu artinya? Itu artinya Luna bisa kapan aja nyerang lu atau Bayu, Cit!""Kenapa harus gue? Sebelumnya bahkan gue nggak kenal sama Luna, Yon!""Karena lu istrinya Bayu! Lu nggak tahu kalau Luna itu nggak terima Bayu nikah sama lu. Dia benci pernikahan itu, makanya dia bisa mengancam Bayu sesuka hatinya!""Mengancam? Maksudnya?""Bayu ngelindungin selama ini!"Air mataku sukses mengalir ke pipi. Aku alihkan pandangan dari wajahnya. Takut, malu, sed
"Mungkin emang benar kalau dulu Mas Bayu cinta sama aku, Li. Benar kalau dulu Mas Bayu ngejar-ngejar aku. Nggak hanya kamu yang bilang, Mama dan temanku juga bilang begitu.""Tapi anehnya Mba, Mas Bayu masih bisa pacaran walau hatinya tetap ke Mba Citra," kata Loli.Aku jadi teringat kata-kata Kiki."Bayu itu playboy, Cit! Kalau lo mau masuk ke dunia dia, hati-hati aja. Apa lagi dunianya bukan pacaran lagi, udah ke nikah.""Jadi, dia pacaran karena cinta atau pacaran karena apa?" tanyaku."Mas Bayu pacaran karena dia mencari pelarian. Aku udah bilang kalau itu salah, tetapi Mas Bayu tetap Mas Bayu, orang paling keras kepala yang aku tahu."Aku pikir hanya aku sendirian saja yang menganggap Mas Bayu keras kepala."Tapi itu dulu, Li. Mungkin dulu, tetapi sekarang mungkin sudah berubah perasaannya. Setelah dia mengetahui sifat Mba, sikap Mba, perlakuan, dan keburukan Mba, dia bisa aja berubah, kan?"Loli mengerucutkan bibirnya. "Ent
"Sudah bangun?" tanya Aris. Aku sedang mengusap-ngusap dahi Mas Bayu yang berkeringat. Matanya masih tertutup, dengan napas yang sudah mulai teratur. "Belum, Ris. Dia masih mau tidur kayaknya." "Tadi Aris nggak sengaja ngeliat Bayu di dekat rumah kamu, Cit." Aku menoleh ke belakang. Sejak kapan Danu datang? Setahu aku tadi hanya ada aku, Rio, dan Aris di depan kamar rawat Mas Bayu. "Kamu jemput Aris, Nu?" tanyaku pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Terima kasih, Ris." "Dia ada masalah apa sama Pak Wijaya, Cit?" kata Aris. Dia menunjukkan tayangan di ponselnya. "Tolong menyingkir! Saya lagi nggak bisa berbicara dengan Anda, Pak." Tayangan yang direkam dari dalam mobil. Suara Mas Bayu terdengar kecil, jaraknya terlalu jauh. "Saya ajukan beberapa penawaran. Saya tidak masalah jika kamu menginginkan hak paten perusahaan itu, tapi tolong berikan beberapa persen saham untuk saya." Aku tidak t
"Cari Bayu, Kak? Kenapa dia?" tanya Leon.Aku memberikan berkas itu kepada Rio. Dia membacanya perlahan-lahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Ini berkas untuk lu?"Aku menganggukkan kepala. "Awalnya gue pikir itu berkas cerai kami, tetapi setelah Leon telepon dan gue lihat, ternyata itu bukan sama sekali.""Terus maksudnya dia apa mengambil alih perusahaan ini?" tanya Rio lebih lanjut."Itu ternyata perusahaan punya Luna, atau mungkin milik keluarganya. Kalau dilihat-lihat, perempuan itu seperti nggak punya pekerjaan. Dia bebas berkeliaran ke mana pun setiap hari. Jadi, gue pikir itu milik keluarga.""Maksudnya? Luna itu siapa, Kak?" Rio semakin bingung dengan penjelasanku."Luna itu perempuan selingkuhan Mas Bayu. Dia perempuan yang udah ngerebut Mas Bayu dari gue, Yo. Dia juga perempuan yang hampir menghancurkan hidup gue waktu itu."Rio tidak menjawab ucapanku lagi. Dia mulai mengerti sepertinya. "Oke, kita mau
Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu percaya pada Mas Bayu. Aku tidak perlu mengatakan kalau aku masih mencintainya di depan Mama sampai dia mendengarnya. Hal itu membuatnya semakin besar kepala. Dia bertindak kalau aku berada atas segala kuasanya. Kemudian, dia akan melempar aku lagi ke dalam jurang kesakitan. "Dek!" Aku menoleh, Mas Bayu sedang berlari ke sini. Aku abaikan teriakan dia, aku alihkan tatapan ke jalanan yang sedang ramai. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bayu setelah sampai di halte. "Nggak usah macem-macem! Ayo aku anter!" Mas Bayu menggenggam pergelangan tanganku. Namun, aku berusaha melepaskannya. Tetap saja, tenaga dia lebih besar. "Lepasin aku, Mas!" pintaku sambil berusaha melepaskannya. "Nggak, aku mau kamu pulang sama aku! Jangan pulang sendirian!" kata Mas Bayu. Dia mulai menarik tanganku agar bisa dia bisa memeluk tubuhku. Dia usapkan tangannya agar aku tenang. Namun, yang t
“Obrolan kita nggak lagi rahasia sekarang.” Mama menunjuk pintu, ada bayangan di celah bawah pintu. “Buka pintunya sana!” Aku menuruti keinginan Mama untuk membuka pintu. Perlahan-lahan aku tarik pintu agar terbuka. Kemudian, terpampanglah tubuh pria yang sedang berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menyeka air mata yang masih membekas. Lalu, aku buka pintu lebar-lebar dan mundur beberapa langkah. “Bayu?” Mama memanggilnya. Mas Bayu membalikkan badannya. Dia juga mengusap wajah dengan lengannya. Kemudian, dia menatapku lekat. Basah, bulu matanya basah. Aku bisa melihat jelas bulu mata dan alisnya yang basah. Apa Mas Bayu juga menangis? Apa dia mendengar semua ceritaku tadi? “Menguping itu nggak baik. Apa yang kamu lakukan di sana?” kata Mama. Mas Bayu tidak mengalihkan pandangannya dariku. Masih sama, dia menatapku seolah kami sudah lama tidak berjumpa. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan nada suara yang serak. “Kenap