Sudah tiga hari sejak perdebatanku dengan Mas Bayu. Masing-masing dari kami tidak ada yang mengirim pesan. Aku masih segan untuk menanyakan kabarnya. Kalau dia, aku tidak tahu alasannya.
Sejujurnya, aku jadi menyesal karena bertengkar dengan Mas Bayu. Dia benar-benar hilang kabar sejak hari itu. Kalau tahu dia akan semarah ini, mungkin aku tidak akan menyangkal omongannya.
Namun, sebenarnya kenapa dia harus marah? Aku hanya menanyakan tentang perempuan yang berbicara dengannya di mal. Kalau memang itu tidak benar, seharusnya dia bisa membuktikan omongannya. Dia hanya bilang aku mengigau dan tidak melihat siapa-siapa di dekatnya. Alasan yang klasik.
Sekarang aku sedang menunggu kedatangan Kiki, temanku saat di SMA. Kami sudah berjanji untuk menghabiskan sore hari di daerah Bundaran HI. Sudah lama aku tidak melihat keramaian. Semua itu gara-gara Mas Bayu yang awalnya bersikap manis dan setia. Sayangnya, sekarang dia sudah mulai membuatku tidak percaya dengan sikapnya.
Suara ponsel menyadarkanku. Segera aku lihat pemberitahuan. Ternyata pesan dari Kiki.
Kiki:
Gue udah di stasiun MRT HI, lo di mana?
Aku celingak-celinguk mencari keberadaannya dia. Aku juga sudah di tempat itu, tetapi aku tidak melihatnya. Setelah tidak melihat keberadaannya, aku memutuskan untuk berjalan ke arah pintu luar. Mungkin saja dia sudah di sana.
"Patah leher lo kalau nengok terus!"
Aku menengok ke belakang. Ternyata Kiki yang menegurku. Sejak kapan dia mengikutiku? Pantas saja tidak ketemu, ternyata dia di belakangku.
"Dari kapan lo di belakang gue?" tanyaku.
Aku langsung mengaitkan tangannya dan berjalan. Ternyata dia masih saja bondol, padahal sudah aku katakan untuk memanjangkan rambutnya. Sudah seperti pria saja kalau dia membuat rambutnya terlihat pendek.
"Lo udah izin sama suami?" kata Kiki.
Mendengar kata suami, rasanya aku ingin muntah. Hal yang terbayang pertama adalah wajah Mas Bayu, sedangkan aku tidak ingin melihatnya sekarang. Mataku memutar. "Jangan ngomongin suami, deh."
Dia tertawa puas, seperti sudah lama saja tidak menertawakan diriku. “Asli, suami lo ada masalah hidup apaan, sih? Masa tega banget ngebiarin istrinya sendirian di rumah segede itu?”
“Nggak tahu, deh. Kerasukan setan kantornya kali,” sahutku.
Setelah keluar dari area MRT, keramaian kota langsung menyambut kami berdua. Sungguh, suasana seperti ini yang membuatku nyaman, bukan di rumah sendirian.
"Lo nggak izin hari ini?" tanya Kiki. Sepertinya pertanyaan dari dia harus kujawab. Bisa ribet urusannya kalau tidak dijawab.
"Gue nggak izin sama dia hari ini. Baru pertama kali, nih, gue pergi nggak izin suami," sahutku sambil berjalan mendahuluinya.
"Parah, lo. Ketahuan bisa kena marah pasti. Gue ingetin, ya, si Bayu itu orangnya serem kalau udah marah," sahut Kiki.
Aku langsung terkikih. "Minggu kemarin kita berantem, Ki."
Kiki menahan tanganku dan membuat kami berhadapan. "Kenapa bisa berantem, Cit?"
Aku mengendikkan bahu. "Ya, begitu, deh."
Dia menghentikan taksi yang lewat di dekat kami. Kemudian, dia mendorong tubuhku untuk masuk terlebih dahulu. Aku langsung tersenyum. "Mau ke mana?"
"Seharusnya kita nggak di sini, Cit! Kalau lo mau cerita, seharusnya di tempat lain yang lebih sepi aja!" sahutnya. "Bang, anterin kami ke Kokas!"
Dia menyodorkan beberapa botol cokelat yang aku suka pastinya. “Buat bagusin mood lo yang berantakan.”
“Terima kasih, Kiki. Sayang banget sama Kikiiii,” ucapku manja. Biasa, menghibur hati yang sudah membuatku gembira. Pasti sebentar lagi dia akan marah.
“Nggak usah berlebihan! Jijik gue dengernya,” kata Kiki. Benar saja, dia langsung marah. “Jadi, gimana bisa berantem?”
"Gue curiga kalau Bayu selingkuh."
"What?" Kiki berteriak tepat di samping telingaku.
"Jangan kenceng-kenceng, bisa budek kuping gue!" kataku sambil menutup telinga kiri.
"Lo bercanda, kan?" tanya dia memastikan.
Aku tersennyum, kemudian menggeleng. "Sayangnya itu beneran. Gue denger sendiri ketika Bayu ngobrol sama perempuan lain. Sayangnya ketika gue mau pergokin, perempuan itu udah hilang, Ki."
"Lo denger di mana? Siapa tahu lo salah denger, Cit."
"Kiki, kuping gue masih sehat. Bayu ngomong kalau hari libur harus nemuin gue, biar nggak ketahuan katanya," jelasku.
Kiki menggeleng tidak percaya. "Terus, mereka ngomong apa selain itu?"
Aku tersenyum lebar. "Perempuan itu bilang kalau mereka akan menikah."
"Gila! Serius, nih?" kata Kiki.
"Lo pikir gue lagi ngedongeng?"
"Lebih baik lo jangan buruk sangka dulu sama dia, deh. Takutnya itu cuma dugaan lo doang. Di mal, kan, banyak orang. Mungkin aja itu suara perempuan lain, Cit."
Aku langsung tertawa setelah mendengar Kiki berbicara. "Kita berantem, karena dia bohong sama gue, Ki. Gue udah tanya ke dia soal perempuan itu, tapi tetep aja dia nggak mau ngaku."
Kiki memegang pundakku. "Cit, lo salah sangka mungkin. Setahu gue, si Bayu orangnya setia. Dia nggak pernah selingkuh dari pacarnya waktu kita SMA."
Itu waktu SMA, bisa jadi sekarang sifatnya berubah. Siapa yang bisa menjamin kalau sifat orang tidak berubah?
"Waktu itu ada yang WA dia, namanya Leon. Awalnya gue nggak peduli, tapi ketikan dia itu aneh, Ki. Dia manggil suami gue Mas Bayu, terus pakai aku-kamu. Kita aja pakai gue-lo," sahutku.
Kiki tertawa lepas setelah mendengar penjelasanku. Tidak ada yang aneh, kenapa dia tertawa?
"Dari nama aja udah ketahuan kalau dia itu cowok. Lo masih cemburu sama cowok?"
"Tapi ketikannya aneh, Ki. Gue tanya sama lo, kalau WA sama atasan itu pakai aku-kamu?"
Kiki menghentikan tawanya. Dia tidak bisa menyangkalku kali ini. "Pakai bahasa formal pastinya."
"Gue tanya lagi, kenapa suami gue dipanggil mas? Dia kan pemilik perusahaan, kenapa nggak dipanggil bapak?" tanyaku lagi.
"Benar juga, ya," kata Kiki.
"Parahnya, gue sempet denger kalau dia ngejadwalin untuk tidur sama gue di akhir pekan aja."
Kiki membelalakkan matanya. Dia sampai tidak bisa berkata-kata.
"Gue denger semua omongan dia, Ki. Menurut lo, apa dia nggak selingkuh?"
"Tapi itu cowok, Cit."
Aku menggeser badan menghadapnya. "Gue curiga kalau dia pakai nama cowok untuk nyembunyiin identitas selingkuhannya. Dia takut banget waktu gue hampir angkat telepon si Leon."
Aku mengalihkan pandangan ke arah ponsel. Aku harus memastikan kalau tidak ada pesan dari satpam di rumah. Berharap ada pesan dari satpam, ponselku justru dikirim pesan oleh Mas Bayu. Ada beberapa panggilan tidak terjawab juga dari dia. Astaga, banyak banget. Ada apa dengan Mas Bayu? Apa dia ingin marah padaku karena aku tidak menghubunginya juga? Dia juga tidak menghubungiku, untuk apa dia marah?
My Hubby:
Kamu boleh pergi, biar otak kamu seger. Nggak mikirin aku selingkuh melulu.
Sial, masih saja dia berkilah ketika beberapa bukti sudah kupegang. Sepertinya Mas Bayu harus diperiksa kesehatan jiwanya. Lagi pula, sebelum dia mengizinkan aku pergi, aku sudah pergi dengan Kiki hari ini.
Bukannya aku tidak mematuhi perintah suami. Aku hanya takut akan terkena serangan psikis jika harus menahan diri di rumah. Memangnya kalau aku sendirian, aku bisa mendapatkan kesenangan? Selama ini aku menderita, beruntung aku masih percaya dengan Mas Bayu. Namun, kali ini aku sudah tidak percaya dengannya.
"Cit! Itu bukannya mobil suami lo?"
Baru saja dia mengirim pesan, sudah ditemukan saja mobilnya. Sepertinya dia tidak tahu kalau aku keluar tanpa pengetahuan dia.
"Ikutin, Pak!" kataku. "Dia mau ke mana, ya?"
Kiki menggeleng, dia kembali melihat mobil di depan kami. "Lo tahu apartemen dia, Cit?"
Kalau aku tahu, aku tidak mungkin cemburu dengan Leon. "Di daerah Jakarta."
"Itu juga gue tahu, Citra! Maksud gue, letaknya lo tahu?"
Aku berdecih sebal. "Kalau tahu, nggak mungkin gue curiga sama si Leon yang tinggal bareng sama dia, Ki!"
"Si Leon ini tinggal sama Bayu? Maksudnya gimana, Cit?"
Sudah aku bilang, mereka berselingkuh. Kiki masih tidak percaya dari tadi. Ketika aku berkata kalau mereka tinggal berdua, dia langsung kaget. "Makanya gue percaya kalau mereka berdua selingkuh."
"Gila banget!" ucap Kiki. Dia menatapku lagi. "Kalau bener, berarti mereka berdua udah selingkuh selama berapa bulan?"
"Lo hitung aja, berapa lama dia ninggalin gue sendirian di rumah?" timpalku.
Dia melihat obrolan pesan kami. Kemudian dia memekik tertahan. "Lama banget, dua bulan lebih!"
"Lo pikirin, deh, apa yang mereka lakukan selama dua bulan?" tanyaku.
Kiki tersenyum masam, kemudian mengelus bahuku. "Sabar, ya?"
"Gue sendirian di rumah, dia malah asyik berduaan sama selingkuhannya," sahutku. "Gue juga goblok nurutin kemauan dia!"
Kami terus mengikuti mobil Mas Bayu. Dia berhenti di depan mini market.
"Apa mereka selingkuh sampai ke tahap bersetubuh?" tanya Kiki. "Terus, dia selingkuh karena apa? Lo nggak buat dia seneng mungkin?"
Itu pertanyaan yang belum bisa aku jawab. Kalau memang dia selingkuh karena keahlianku di atas ranjang, sepertinya tidak mungkin. Dia sendiri yang bilang kalau aku hebat. Untuk pertanyaan pertama, aku masih menerka-nerka. "Mudah-mudahan hanya satu apartemen, Ki."
"Satu ruangan aja bisa bersetubuh, apa lagi satu apartemen," sahut Kiki.
Tidak perlu dia jelaskan, aku sudah berpikir sejauh itu. Kalau sampai dia berbuat itu dengan perempuan lain, aku akan segera meminta cerai dengannya.
"Kalau sampai bener, gue mau cerai aja, Ki!"
"Astaga!" pekik Kiki. "Nyebut, Cit! Nanti dikabulin Tuhan, nyesek nanti!"
Tidak peduli. Aku tidak ingin diduakan. Daripada aku harus hidup dengan perempuan lain, lebih baik aku pisah dengannya.
Seorang perempuan berpakaian serba putih keluar dari mini market. Dia menggunakan masker penutup mulut dan kaca mata. Sial, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia masuk ke dalam mobil Mas Bayu.
"Itu dia, Cit?"
Bisa jangan tanya padaku terlebih dahulu? Aku juga tidak tahu. Lagi pula, aku baru pertama kali melihatnya. Kalau memang itu selingkuhan Mas Bayu, sepertinya wajar saja kalau dia berpaling. Dilihat dari penampilannya, dia memang lebih menarik.
Sial, aku jadi sedih melihat ini semua. Rasanya aku ingin pulang saja sekarang. Tanpa sadar, air mataku mengalir melihatnya.
"Citra?"
Aku menoleh, mendapati Kiki dengan wajah sendunya. Aku langsung tersenyum dan menyeka air mata itu. Saat ini, aku tidak boleh lemah. Masih ada waktu untuk membuktikan kalau aku bukanlah wanita bodoh.
"Lo nggak apa-apa?" tanya dia.
Aku mengangguk samar. Kemudian, aku kembali menatap mobilnya. Mas Bayu mulai menjalankan mobilnya. Aku tidak sanggup melihat kenyataan kalau Mas Bayu selingkuh.
"Ikutin terus, Pak!"
Saat ini aku hanya ingin melihat di mana letak apartemen dia. Mulai hari ini, tidak ada lagi Citra yang baik pada suami. Aku muak dengan semua tingkahnya yang manis. Kalau saja aku tahu semua ini lebih awal ....
Astaga, air mataku kembali mengalir. Hatiku berdenyut-denyut membayangkan mereka berdua yang sedang tertawa di dalam mobil. Mungkin, mereka bertemu dan saling bercumbu juga.
Aku mengalihkan pandangan ke arah luar, berharap ada sebuah lelucon yang bisa membuat tertawa.
"Brengsek!" desisku.
Sepertinya aku membutuhkan hiburan lagi hari ini. Memikirkan kejadian kemarin sore ternyata membuat kepalaku sakit.Setelah mengunci pintu mobil, aku langsung berjalan ke arah pintu utama rumah besar ini. Senyumku merekah ketika melihat taman yang dulu sering aku rawat. Untung masih terawat tanamannya, aku akan memberi perhitungan pada Rio kalau sampai dia tidak merawatnya.“Rioooo!” pekikku setelah membuka pintu. Tidak ada orang di lantai ini. Sepertinya Rio masih di kamar, masih jam tujuh juga. Pasti dia masih tertidur, pemalas!Aku langsung berjalan sambil membawa rantang berisikan sarapan untuknya. Sudah lama aku tidak melihat Rio, rindu banget rasanya. Pasti dia terkejut melihatku yang datang tiba-tiba.Sampai di depan pintu kamar, aku mengetuknya berkali-kali. Tidak terbuka juga, pasti Rio masih tertidur pulas. Aku terus mengetuknya dengan keras, berharap pemiliknya keluar. Dia paling tidak bisa kalau pintunya diketuk terlalu keras, past
Kepalaku rasanya mau pecah. Semua hal yang aku pikirkan susah-susah ternyata tidak sesuai.Aku pikir perempuan tadi ingin menemui Mas Bayu. Ternyata, dia justru mengarah ke Bogor. Kami ikuti terus, ternyata dia berhenti di kafe dan bertemu teman-temannya.Kami sebentar lagi akan sampai di rumahku. Malam ini Rio bilang akan menginap. Bingung juga kenapa dia baru mau menginap sekarang. Padahal aku sudah lama kesepian. Tadi aku juga sempat marah padanya, dia bilang kalau masih malas dengan sikap suamiku yang jutek.Sejujurnya, Mas Bayu memang orang yang pendiam dan tidak banyak omong. Pertemuan pertama kami juga hampir membuatku menolak perjodohan. Beruntung Kiki membuatku sadar kalau hati seseorang mudah berubah.Mas Bayu memang tidak pendiam, dia bahkan romantis. Sayangnya, keromantisan itu seolah hilang dari nama dia sekarang. Semua hal yang dia lakukan hanyalah kedok untuk menyembunyikan perbuatan bejatnya.Lihat saja, aku akan membuktikan kalau M
Memang benar kata orang, kalau kita melakukan hal yang benar-benar ingin kita lakukan, rasanya sungguh luar biasa. Sejak awal aku memang ingin pergi ke kafe rooptop. Terwujud sudah keinginan itu berkat keberanian diri.Aku ditemani Kiki hari ini. Tentu saja dengan perdebatan kecil sebelum pergi. Dia bilang takut ketahuan Mas Bayu kalau aku pergi tanpa memberinya kabar. Itu tidak akan mungkin. Aku tahu Mas Bayu tidak akan pulang malam ini.Tadi pagi Mas Bayu bilang akan pulang larut lantaran semalam dia pulang lebih awal. Jadi, aku yakin dia tidak akan pulang ke rumah hari ini.Kami sudah di dalam lift. Tadi Kiki sudah memesan meja untuk kami berdua. Katanya kalau tidak dipesan, bisa dapat di tengah ruangan, bukannya di pinggir agar bisa melihat pemandangan. Tidak seru, karena sulit untuk melihat Jakarta dari ketinggian lantai 25. Aku juga jadi tidak bisa foto dengan latar langit tanpa bangunan.Dentingan lift sudah terdengar, pintu terbuka dan menamp
Baru pertama kali aku menemukan orang yang ingin bunuh diri di depan mata. Selama ini hanya pernah mendengarnya saja. Ternyata benar, orang seperti itu menakutkan. Untung aku bersama Kiki, kalau sendirian mungkin hanya bisa berteriak meminta pertolongan sementara orang itu sudah lompat lebih dulu.Kami masih menenangkan perempuan itu. Dari tadi dia asyik memandang meja tanpa ada niat untuk berbicara. Aku dan Kiki saling melempar tatapan, kemudian mengedikkan bahu.“Rumahnya di mana, Mba?” Aku memulai pembicaraan. Bisa gawat kalau sepi begini, aku jadi semakin serba salah. Padahal steak yang tadi dipesan sudah datang.“Mba udah makan? Kalau belum, kami pesenin makan,” kata Kiki.Perempuan itu menggeleng. Tatapan matanya kosong. Aku jadi semakin takut kalau dia masih memikirkan bunuh diri.Aku mulai memotong daging tenderloin, kemudian memakannya perlahan-lahan. Kiki terkikih di tempatnya, pasti dia mengira aku kelaparan lantaran tidak bisa menah
"Makanya gue nolak, Ki! Belum kenal deket, udah minta numpang tidur di rumah gue."Kami berdua tidak habis pikir dengan Luna. Dia sudah ingin menumpang di rumahku karena takut pikiran bunuh diri datang kembali. Padahal, kami baru saja mengenalnya. Tentu saja aku menolaknya."Lagian, kalau dia emang udah mutusin untuk nggak bunuh diri, harus konsisten, dong. Ngapain dia pake alesan takut ide gila itu muncul lagi?" sahut Kiki dengan wajah memberungut.Sekarang kami sudah di depan gerbang rumahku."Nggak ngerti, deh. Masalahnya gue cuma sendirian di rumah. Bukan pikiran buruk, tapi jaga-jaga aja, sih," timpalku.Kiki mengangguk. "Paham, kok." Aku tersenyum karena dia paham maksudku. Dia mengarahkan pandangan ke area parkiran dengan mata membelalak. "Itu mobil Bayu?"Aku menoleh. Ya, itu mobil Mas Bayu. "Iya, Ki.""Lo mending buruan masuk, Cit! Takut si Bayu marah, nih!" kata Kiki.Aku mengangguk menanggapinya. Setelah pamit,
"Terserah! Kamu mau pulang setiap hari atau nggak pulang sekali pun itu bukan urusanku!"Aku pikir dia sudah jera karena pertengkaran semalam, rupanya dia masih terus meminta maaf pada agar sikapku berubah. Tidak mungkin terjadi, aku sudah mengetahui kebusukan yang selama ini dia perbuat."Citra, aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Itu semua murni aku yang kelelahan dan nggak dengerin semua ucapan kamu, Dek," jawab Mas Bayu.Tidak mau pusing memikirkan Mas Bayu, aku beralih mengambil tas selempang di kursi belakang mobil. Hari ini aku akan menemui Kiki. Dia sudah berjanji untuk membantuku menghilangkan rasa kesal pada Mas Bayu. "Apa aku harus mendeklarasikan kata maaf itu?""Cit, Mas Bayu salah apa sampai kamu begini ke Mas?" tanya Mas Bayu.Geram sekali mendengar jawaban itu. Dia pura-pura tidak tahu, lupa, atau memang sengaja berbohong? Rasanya ingin sekali melempar semua bukti yang aku lihat ke wajahnya. "Cukup! Nggak ada yan
"Cit, kayaknya emang lagi ada masalah di kantor Bayu."Aku menatap Kiki penuh selidik. "Seriously?""Ini cuma pikiran gue doang, sih. Mau denger?" tanya Kiki."Ngomong aja, Ki."Kiki menghela napasnya. "Waktu itu Bayu sempet bilang kalau beberapa divisi di kantornya ada yang korupsi, kan?"Sepertinya aku lupa. "Mungkin, tapi apa hubungannya?""Ya, bisa aja dia butuh pengaman, Cit. Jadi, semua orang yang dateng dan mencurigakan akan diperlakukan seperti kita tadi.”Masuk akal, memang tadi kami agak sedikit mencurigakan lantaran langsung menanyakan keberadaan Mas Bayu. Namun, memangnya dia tidak bisa membedakan yang mana orang bodoh yang tidak mengerti urusan kantor dengan orang yang pintar dalam urusan kantor?“Gue mau ke apartemen Mas Bayu, Ki.”Kiki membelalakkan matanya. Dia sempat menepuk lenganku dengan keras. Mungkin dia tidak percaya. “Kenapa?” tanyaku heran.“Lo yakin, Cit?”Sudah seharusny
Malam ini, aku sudah menantapkan pikiran untuk menyelidiki semua kebohongan Mas Bayu. Nanti aku akan ke apartemen dan memergokinya. Mudah-mudahan saja tidak ada gangguan.Tadinya aku ingin mengajak Kiki. Namun, sepertinya akan terlalu larut. Dia tidak mungkin pulang malam karena aku, pasti melelahkan. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi sendirian."Kamu di mana, Cit?" Mas Bayu meneleponku. Dia menghubungi berkali-kali akhir ini. Pasti dia takut kalau aku datang menemuinya di apartemen."Di rumah," sahutku. Padahal aku sudah ada di parkiran apartemen."Boleh video call? Aku cuma mau mastiin aja, Dek."Sudah kuduga dia akan meminta panggilan video. Aku menghela napas kasar, semoga dia mendengarnya. "Nggak boleh!"Mas Bayu terdengar merungut di sana. Pasti dia kecewa, biarkan saja dia. Kalau aku turuti, nanti akan gagal rencananya."Kalau gitu, boleh kasih foto kamu sekarang aja?" tanya Mas Bayu.Aku tersenyum senang di dalam
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna."Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti."Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!""Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?""Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Seharusnya aku senang mendengar pernyataan Leon. Namun, entah kenapa hatiku justru makin sakit.Sekarang, pria di hadapanku sudah membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang masih belum bisa aku artikan.Kemarahan? Sepertinya iya, dia sangat marah kepadaku. Kebencian? Pastinya, dia mungkin sudah benci kepadaku."Perusahaan itu milik Luna dan keluarganya, itu perusahaan yang menyediakan pembunuh bayaran, penjaga, dan apa pun yang berkaitan dengan penjagaan seseorang. Lu tahu artinya? Itu artinya Luna bisa kapan aja nyerang lu atau Bayu, Cit!""Kenapa harus gue? Sebelumnya bahkan gue nggak kenal sama Luna, Yon!""Karena lu istrinya Bayu! Lu nggak tahu kalau Luna itu nggak terima Bayu nikah sama lu. Dia benci pernikahan itu, makanya dia bisa mengancam Bayu sesuka hatinya!""Mengancam? Maksudnya?""Bayu ngelindungin selama ini!"Air mataku sukses mengalir ke pipi. Aku alihkan pandangan dari wajahnya. Takut, malu, sed
"Mungkin emang benar kalau dulu Mas Bayu cinta sama aku, Li. Benar kalau dulu Mas Bayu ngejar-ngejar aku. Nggak hanya kamu yang bilang, Mama dan temanku juga bilang begitu.""Tapi anehnya Mba, Mas Bayu masih bisa pacaran walau hatinya tetap ke Mba Citra," kata Loli.Aku jadi teringat kata-kata Kiki."Bayu itu playboy, Cit! Kalau lo mau masuk ke dunia dia, hati-hati aja. Apa lagi dunianya bukan pacaran lagi, udah ke nikah.""Jadi, dia pacaran karena cinta atau pacaran karena apa?" tanyaku."Mas Bayu pacaran karena dia mencari pelarian. Aku udah bilang kalau itu salah, tetapi Mas Bayu tetap Mas Bayu, orang paling keras kepala yang aku tahu."Aku pikir hanya aku sendirian saja yang menganggap Mas Bayu keras kepala."Tapi itu dulu, Li. Mungkin dulu, tetapi sekarang mungkin sudah berubah perasaannya. Setelah dia mengetahui sifat Mba, sikap Mba, perlakuan, dan keburukan Mba, dia bisa aja berubah, kan?"Loli mengerucutkan bibirnya. "Ent
"Sudah bangun?" tanya Aris. Aku sedang mengusap-ngusap dahi Mas Bayu yang berkeringat. Matanya masih tertutup, dengan napas yang sudah mulai teratur. "Belum, Ris. Dia masih mau tidur kayaknya." "Tadi Aris nggak sengaja ngeliat Bayu di dekat rumah kamu, Cit." Aku menoleh ke belakang. Sejak kapan Danu datang? Setahu aku tadi hanya ada aku, Rio, dan Aris di depan kamar rawat Mas Bayu. "Kamu jemput Aris, Nu?" tanyaku pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Terima kasih, Ris." "Dia ada masalah apa sama Pak Wijaya, Cit?" kata Aris. Dia menunjukkan tayangan di ponselnya. "Tolong menyingkir! Saya lagi nggak bisa berbicara dengan Anda, Pak." Tayangan yang direkam dari dalam mobil. Suara Mas Bayu terdengar kecil, jaraknya terlalu jauh. "Saya ajukan beberapa penawaran. Saya tidak masalah jika kamu menginginkan hak paten perusahaan itu, tapi tolong berikan beberapa persen saham untuk saya." Aku tidak t
"Cari Bayu, Kak? Kenapa dia?" tanya Leon.Aku memberikan berkas itu kepada Rio. Dia membacanya perlahan-lahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Ini berkas untuk lu?"Aku menganggukkan kepala. "Awalnya gue pikir itu berkas cerai kami, tetapi setelah Leon telepon dan gue lihat, ternyata itu bukan sama sekali.""Terus maksudnya dia apa mengambil alih perusahaan ini?" tanya Rio lebih lanjut."Itu ternyata perusahaan punya Luna, atau mungkin milik keluarganya. Kalau dilihat-lihat, perempuan itu seperti nggak punya pekerjaan. Dia bebas berkeliaran ke mana pun setiap hari. Jadi, gue pikir itu milik keluarga.""Maksudnya? Luna itu siapa, Kak?" Rio semakin bingung dengan penjelasanku."Luna itu perempuan selingkuhan Mas Bayu. Dia perempuan yang udah ngerebut Mas Bayu dari gue, Yo. Dia juga perempuan yang hampir menghancurkan hidup gue waktu itu."Rio tidak menjawab ucapanku lagi. Dia mulai mengerti sepertinya. "Oke, kita mau
Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu percaya pada Mas Bayu. Aku tidak perlu mengatakan kalau aku masih mencintainya di depan Mama sampai dia mendengarnya. Hal itu membuatnya semakin besar kepala. Dia bertindak kalau aku berada atas segala kuasanya. Kemudian, dia akan melempar aku lagi ke dalam jurang kesakitan. "Dek!" Aku menoleh, Mas Bayu sedang berlari ke sini. Aku abaikan teriakan dia, aku alihkan tatapan ke jalanan yang sedang ramai. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bayu setelah sampai di halte. "Nggak usah macem-macem! Ayo aku anter!" Mas Bayu menggenggam pergelangan tanganku. Namun, aku berusaha melepaskannya. Tetap saja, tenaga dia lebih besar. "Lepasin aku, Mas!" pintaku sambil berusaha melepaskannya. "Nggak, aku mau kamu pulang sama aku! Jangan pulang sendirian!" kata Mas Bayu. Dia mulai menarik tanganku agar bisa dia bisa memeluk tubuhku. Dia usapkan tangannya agar aku tenang. Namun, yang t
“Obrolan kita nggak lagi rahasia sekarang.” Mama menunjuk pintu, ada bayangan di celah bawah pintu. “Buka pintunya sana!” Aku menuruti keinginan Mama untuk membuka pintu. Perlahan-lahan aku tarik pintu agar terbuka. Kemudian, terpampanglah tubuh pria yang sedang berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menyeka air mata yang masih membekas. Lalu, aku buka pintu lebar-lebar dan mundur beberapa langkah. “Bayu?” Mama memanggilnya. Mas Bayu membalikkan badannya. Dia juga mengusap wajah dengan lengannya. Kemudian, dia menatapku lekat. Basah, bulu matanya basah. Aku bisa melihat jelas bulu mata dan alisnya yang basah. Apa Mas Bayu juga menangis? Apa dia mendengar semua ceritaku tadi? “Menguping itu nggak baik. Apa yang kamu lakukan di sana?” kata Mama. Mas Bayu tidak mengalihkan pandangannya dariku. Masih sama, dia menatapku seolah kami sudah lama tidak berjumpa. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan nada suara yang serak. “Kenap