Pintu toilet terbuka, Mas Bayu langsung keluar. “Dek!” pekik Mas Bayu dari depan pintu toilet. Dia berlari ke arahku dengan wajah cemasnya.
Aku tidak peduli. Kejadian hari ini masih membekas di benakku. Bayangkan saja, dia menyeretku dengan paksa, tidak peduli tatapan orang yang iba melihatku. Kemudian, dia juga membentakku seakan-akan dia paling benar, padahal sudah jelas dia berkilah. Aku mendengar suara perempuan tadi, tidak mungkin aku salah mendengarnya. Seharusnya aku tunggu sampai mereka berdua keluar, jadi aku bisa memergoki.
Setelah itu, dia tidak berbicara kepadaku, tetapi langsung melenggang pergi ke lantai atas. Aku perhatikan dari bawah, dia masuk ke kamar. Kenapa dia? Sakit perut? Rasakan itu!
Aku jadi penasaran dengannya. Segera aku susul dia ke kamar. Sesampainya, Mas Bayu sudah membuka kaus yang ia pakai dan hendak menggantinya dengan kemeja.
“Setan apa yang ngerasukin kamu, sih? Ngapain malam-malam pakai kemeja?” Ucapanku langsung dibalas gelengan Mas Bayu. Dia melanjutkan aktivitasnya dengan mengganti celana pendek dengan celana bahan hitam. “Astaga! Kamu mau ke mana?”
“Aku harus ke kantor, Dek. Ada keadaan mendesak,” sahut Mas Bayu.
Tanganku mengepal dengan mata yang mulai membulat. Sumpah, apakah tidak cukup dia membuatku kecewa hari ini? Sampai sekarang masih saja ada kejadian yang dia lakukan sampai aku kecewa lagi?
“Kamu beneran harus ke kantor malam ini?” tanyaku dengan nada rendah. Mas Bayu terus merapikan pakaiannya di depan cermin. “Or you want to meet that woman?”
Dia langsung menatapku dan menghentikan pergerakannya. “Apa maksud kamu ngomong begitu?”
Aku mengendikkan bahu, seolah mengatakan tidak tahu. Mas Bayu justru berjalan ke arahku dengan mata yang membulat. Dia juga mengeraskan rahangnya. Aku sengaja membalas tatapan itu tidak kalah nyalang. Dia pikir aku takut padanya?
“Aku kerja untuk menafkahi kehidupan kita. Kenapa kamu malah ngomong kayak gitu!” Dia membentakku.
“Kalau kamu emang nggak mau ketemu sama perempuan tadi, kenapa kamu harus marah?” tanyaku yang dijawab dengan matanya yang menyipit. Dia pikir aku takut dengan gertakannya? Tidak sama sekali, karena aku merasa benar kali ini.
“Kamu masih pikir aku selingkuh?” tanya Mas Bayu dengan nada rendahnya.
Tidak aku jawab. Pandangan kualihkan ke nakas. Malam ini rasanya aku kesal banget. Coba saja ada Rio, pasti aku akan memukul lengannya. Tidak mungkin aku memukul Mas Bayu, bisa dikategorikan kekerasan dalam rumah tangga.
“Jawab aku!” desak Mas Bayu.
Aku melipat tangan di dada. “Kamu tinggal jawab pertanyaanku. Siapa perempuan itu?"
“Citra!”
“APA?!”
Aku kembali menatapnya. Kami berdua sama-sama marah. Namun, aku marah karena diselingkuhi, sedangkan dia marah karena tidak berhasil berkilah dariku.
“Aku udah jelasin semuanya sama kamu, Cit! Aku udah bilang kalau nggak ada perempuan di sana. Aku lagi nunggu lift” Mas Bayu mengencangkan kepalan tangannya.
Aku menantangnya dengan seringai. “Jadi, telingaku yang sudah rusak?”
Dia menghela napasnya dengan kasar. “Terserah kamu. Aku nggak peduli pendapatmu. Malam ini, aku harus ke kantor karena murni urusan kantor! Kalau kamu masih berpikir aku selingkuh, silakan. Aku nggak melarang.”
Aku berjalan meninggalkan Mas Bayu. Kakiku tanpa sadar berjalan ke arah pintu dan menguncinya dari dalam. Kemudian, kunci pintu itu aku bawa ke dalam genggaman. “Silakan pergi! Aku mau tidur.”
Seharusnya aku biarkan saja dia pergi. Malas juga kalau harus berhadapan dengan pembohong. Namun, aku justru mengunci pintu dari dalam dan menggenggam kunci itu.
“Citra, gimana caranya aku pergi kalau pintu dikunci?” Mas Bayu berjalan dan berdiri di dekatku. Masa bodoh dengan perkataannya, aku tidak ingin memberikan kunci kamar padanya.
Mas Bayu beralih duduk di samping kasur agar wajah kami berhadapan. Sial, baru aku ingin berbalik, dia sudah menahannya. Terpaksa mata kami saling menatap sekarang. Kasihan sekali Mas Bayu, matanya sendu ketika aku tatap.
“Tolong, Dek. Jangan begini sama aku, ya? Aku minta maaf sama kamu, tolong jangan marah kayak gini.” Mas Bayu mendekatkan wajahnya ke arahku. “Aku memang harus pergi ke kantor. Kamu harus percaya sama aku.”
Kalau dia sudah berbicara dengan lembut, aku paling malas mendengarnya. Bukannya jijik, tetapi aku jadi cepat menurut. Pokoknya aku tidak akan menuruti keinginan Mas Bayu malam ini. “Kamu boleh pergi asalkan dengan satu syarat!”
Matanya berbinar seketika. “Apa syaratnya?”
“Aku boleh pergi ke mana pun tanpa pengawasan kamu.” Aku bangkit dan duduk menghadapnya.
Mas Bayu berdiri. “Nggak bisa, Dek.”
“Kenapa nggak bisa?” tanyaku dengan satu sisi bibir yang kunaikkan.
“Aku nggak bisa ngebiarin kamu di luar sana sendirian, Dek. Kalau nanti terjadi apa-apa, aku juga yang salah nanti.”
Alasan itu lagi yang dia berikan. Aku jadi curiga, jangan-jangan dia menyembunyikan aku di rumah agar tidak ada yang menguntitnya nanti. Kalau begitu, dia akan bebas berselingkuh di luar sana.
“Pergi aja! Aku males lihat muka kamu,” ucapku sambil melempar kunci kamar ke arah pintu. Suara benturan kunci dengan pintu membuat aku sadar kalau itu tindakan yang salah. Tidak masalah, dari tadi juga aku benar tidak ada yang peduli. “Sana pergi!”
“Aku nggak bisa pergi kalau kamu terus ngambek begini!”
Tidak mau aku sedih, tetapi tidak mau menuruti keinginanku juga. Maunya apa, sih, dia? Kalau bukan suami, sudah kucabik wajahnya sampai puas. “Nggak jelas!”
Mas Bayu menghela napasnya. Dia duduk di sampingku, kemudian wajahnya kembali dia dekatkan ke arah bahuku. Satu kecupan lembut dia daratkan di pipiku. “Aku harus apa biar kamu nggak ngambek?”
Dia benar-benar sudah gila. Segera aku dorong tubuh Mas Bayu agar menjauh. “Seharusnya aku yang ngomong gitu. Aku harus apa biar kamu ngizinin kemauan aku kali ini?” jawabku dengan nada yang semakin sinis. “Selama ini aku udah cukup nurut sama kamu. Tapi kamu nggak pernah bisa nurutin kemauan aku yang satu itu!”
“Aku takut kalau kamu kenapa-kenapa di luar sana, Dek,” sahutnya.
“Memangnya apa yang Mas Bayu harapkan kalau aku di luar sana?” balasku sambil membalikkan tubuh. “Mas Bayu berharap aku ugal-ugalan di luar sana sampai membahayakan nyawa, begitu?”
“Nggak gitu juga, Dek,” ucap Mas Bayu. Dia memegang pundakku agar kami saling bertatapan. “Aku tahu kalau kamu nggak akan seperti itu.”
“Kalau udah tahu kenapa harus larang aku keluar rumah, sih? Kamu takut aku selingkuh, begitu?” Kali ini aku benar-benar marah. Pokoknya aku harus mendapatkan izin untuk bebas, setidaknya bisa membuang kebosanan karena suamiku yang sangat sibuk.
“Nggak gitu juga, Sayang. Sekarang kamu mau apa kalau keluar?” tanya Mas Bayu.
“Apa aja, dong. Aku masih punya adik yang bisa aku datengin, aku masih punya teman yang bisa aku ajak main ke mana aja.” Dia tidak membalas ucapanku. “Atau kamu takut aku ketemu selingkuhan kamu?”
"Citra, aku nggak selingkuh!" Mas Bayu bangkit dan mengambil tasnya. Dia menatapku sekilas sebelum mengambil kunci. Setelah itu dia menatapku dengan datar sambil membuka kunci pintu.
“Selalu begitu!”
Mas Bayu menatapku dengan sinis. “Selalu bagaimana? Kamu nggak pernah ngerti kemauan aku!” sahut Mas Bayu dengan nada tinggi.
Kenapa jadi dia yang marah? Harusnya aku yang marah!
“Karena alasan yang kamu kasih itu semuanya nggak masuk akal! Alasan bodoh.”
Dia tidak menjawab ucapanku. Tatapan matanya langsung tajam setelah aku berbicara.
Aku kembali duduk dan menatapnya dengan geram. "Kamu buat aku di rumah, setelah itu kamu bisa bebas ketemu perempuan itu."
Mas Bayu jalan mendekat ke arahku. "Citra, aku ingetin sekali lagi. Aku masih suami kamu! Jangan pernah membantah omongan suami!"
"Suami apa yang selingkuh dari istrinya?" sahutku diakhiri dengan seringai di wajah. "Aku penasaran sama perempuan selingkuhan kamu. Apakah dia terlalu cantik sampai kamu bisa melupakan aku?"
"Citra, aku tidak selingkuh!" Dia menunjuk wajahku. "Jangan pancing kemarahanku!"
"Kalau maling teriak maling, penjara bisa penuh. Bayu, aku bukan perempuan yang bisa kamu bodoh-bodohi seperti ini. Malam ini kamu mau ketemu perempuan itu lagi, kan?"
Mas Bayu berjalan ke arah pintu. Dia menatapku sebelum membuka pintu. Setelah itu, dia keluar dan meninggalkanku di kamar sendirian.
Aku tidak percaya kalau suami yang selama ini aku banggakan karena setia, akhirnya selingkuh juga. Untuk apa dia membuatku jatuh cinta kalau akhirnya dia akan meninggalkanku?
Tidak, aku tidak boleh terus bersikap seperti ini. Aku harus membuktikannya sendiri. Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau Mas Bayu selingkuh. Jangan sampai semua hal yang aku bicarakan tadi tidak benar.
Sudah tiga hari sejak perdebatanku dengan Mas Bayu. Masing-masing dari kami tidak ada yang mengirim pesan. Aku masih segan untuk menanyakan kabarnya. Kalau dia, aku tidak tahu alasannya.Sejujurnya, aku jadi menyesal karena bertengkar dengan Mas Bayu. Dia benar-benar hilang kabar sejak hari itu. Kalau tahu dia akan semarah ini, mungkin aku tidak akan menyangkal omongannya.Namun, sebenarnya kenapa dia harus marah? Aku hanya menanyakan tentang perempuan yang berbicara dengannya di mal. Kalau memang itu tidak benar, seharusnya dia bisa membuktikan omongannya. Dia hanya bilang aku mengigau dan tidak melihat siapa-siapa di dekatnya. Alasan yang klasik.Sekarang aku sedang menunggu kedatangan Kiki, temanku saat di SMA. Kami sudah berjanji untuk menghabiskan sore hari di daerah Bundaran HI. Sudah lama aku tidak melihat keramaian. Semua itu gara-gara Mas Bayu yang awalnya bersikap manis dan setia. Sayangnya, sekarang dia sudah mulai membuatku tidak percaya dengan sikap
Sepertinya aku membutuhkan hiburan lagi hari ini. Memikirkan kejadian kemarin sore ternyata membuat kepalaku sakit.Setelah mengunci pintu mobil, aku langsung berjalan ke arah pintu utama rumah besar ini. Senyumku merekah ketika melihat taman yang dulu sering aku rawat. Untung masih terawat tanamannya, aku akan memberi perhitungan pada Rio kalau sampai dia tidak merawatnya.“Rioooo!” pekikku setelah membuka pintu. Tidak ada orang di lantai ini. Sepertinya Rio masih di kamar, masih jam tujuh juga. Pasti dia masih tertidur, pemalas!Aku langsung berjalan sambil membawa rantang berisikan sarapan untuknya. Sudah lama aku tidak melihat Rio, rindu banget rasanya. Pasti dia terkejut melihatku yang datang tiba-tiba.Sampai di depan pintu kamar, aku mengetuknya berkali-kali. Tidak terbuka juga, pasti Rio masih tertidur pulas. Aku terus mengetuknya dengan keras, berharap pemiliknya keluar. Dia paling tidak bisa kalau pintunya diketuk terlalu keras, past
Kepalaku rasanya mau pecah. Semua hal yang aku pikirkan susah-susah ternyata tidak sesuai.Aku pikir perempuan tadi ingin menemui Mas Bayu. Ternyata, dia justru mengarah ke Bogor. Kami ikuti terus, ternyata dia berhenti di kafe dan bertemu teman-temannya.Kami sebentar lagi akan sampai di rumahku. Malam ini Rio bilang akan menginap. Bingung juga kenapa dia baru mau menginap sekarang. Padahal aku sudah lama kesepian. Tadi aku juga sempat marah padanya, dia bilang kalau masih malas dengan sikap suamiku yang jutek.Sejujurnya, Mas Bayu memang orang yang pendiam dan tidak banyak omong. Pertemuan pertama kami juga hampir membuatku menolak perjodohan. Beruntung Kiki membuatku sadar kalau hati seseorang mudah berubah.Mas Bayu memang tidak pendiam, dia bahkan romantis. Sayangnya, keromantisan itu seolah hilang dari nama dia sekarang. Semua hal yang dia lakukan hanyalah kedok untuk menyembunyikan perbuatan bejatnya.Lihat saja, aku akan membuktikan kalau M
Memang benar kata orang, kalau kita melakukan hal yang benar-benar ingin kita lakukan, rasanya sungguh luar biasa. Sejak awal aku memang ingin pergi ke kafe rooptop. Terwujud sudah keinginan itu berkat keberanian diri.Aku ditemani Kiki hari ini. Tentu saja dengan perdebatan kecil sebelum pergi. Dia bilang takut ketahuan Mas Bayu kalau aku pergi tanpa memberinya kabar. Itu tidak akan mungkin. Aku tahu Mas Bayu tidak akan pulang malam ini.Tadi pagi Mas Bayu bilang akan pulang larut lantaran semalam dia pulang lebih awal. Jadi, aku yakin dia tidak akan pulang ke rumah hari ini.Kami sudah di dalam lift. Tadi Kiki sudah memesan meja untuk kami berdua. Katanya kalau tidak dipesan, bisa dapat di tengah ruangan, bukannya di pinggir agar bisa melihat pemandangan. Tidak seru, karena sulit untuk melihat Jakarta dari ketinggian lantai 25. Aku juga jadi tidak bisa foto dengan latar langit tanpa bangunan.Dentingan lift sudah terdengar, pintu terbuka dan menamp
Baru pertama kali aku menemukan orang yang ingin bunuh diri di depan mata. Selama ini hanya pernah mendengarnya saja. Ternyata benar, orang seperti itu menakutkan. Untung aku bersama Kiki, kalau sendirian mungkin hanya bisa berteriak meminta pertolongan sementara orang itu sudah lompat lebih dulu.Kami masih menenangkan perempuan itu. Dari tadi dia asyik memandang meja tanpa ada niat untuk berbicara. Aku dan Kiki saling melempar tatapan, kemudian mengedikkan bahu.“Rumahnya di mana, Mba?” Aku memulai pembicaraan. Bisa gawat kalau sepi begini, aku jadi semakin serba salah. Padahal steak yang tadi dipesan sudah datang.“Mba udah makan? Kalau belum, kami pesenin makan,” kata Kiki.Perempuan itu menggeleng. Tatapan matanya kosong. Aku jadi semakin takut kalau dia masih memikirkan bunuh diri.Aku mulai memotong daging tenderloin, kemudian memakannya perlahan-lahan. Kiki terkikih di tempatnya, pasti dia mengira aku kelaparan lantaran tidak bisa menah
"Makanya gue nolak, Ki! Belum kenal deket, udah minta numpang tidur di rumah gue."Kami berdua tidak habis pikir dengan Luna. Dia sudah ingin menumpang di rumahku karena takut pikiran bunuh diri datang kembali. Padahal, kami baru saja mengenalnya. Tentu saja aku menolaknya."Lagian, kalau dia emang udah mutusin untuk nggak bunuh diri, harus konsisten, dong. Ngapain dia pake alesan takut ide gila itu muncul lagi?" sahut Kiki dengan wajah memberungut.Sekarang kami sudah di depan gerbang rumahku."Nggak ngerti, deh. Masalahnya gue cuma sendirian di rumah. Bukan pikiran buruk, tapi jaga-jaga aja, sih," timpalku.Kiki mengangguk. "Paham, kok." Aku tersenyum karena dia paham maksudku. Dia mengarahkan pandangan ke area parkiran dengan mata membelalak. "Itu mobil Bayu?"Aku menoleh. Ya, itu mobil Mas Bayu. "Iya, Ki.""Lo mending buruan masuk, Cit! Takut si Bayu marah, nih!" kata Kiki.Aku mengangguk menanggapinya. Setelah pamit,
"Terserah! Kamu mau pulang setiap hari atau nggak pulang sekali pun itu bukan urusanku!"Aku pikir dia sudah jera karena pertengkaran semalam, rupanya dia masih terus meminta maaf pada agar sikapku berubah. Tidak mungkin terjadi, aku sudah mengetahui kebusukan yang selama ini dia perbuat."Citra, aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Itu semua murni aku yang kelelahan dan nggak dengerin semua ucapan kamu, Dek," jawab Mas Bayu.Tidak mau pusing memikirkan Mas Bayu, aku beralih mengambil tas selempang di kursi belakang mobil. Hari ini aku akan menemui Kiki. Dia sudah berjanji untuk membantuku menghilangkan rasa kesal pada Mas Bayu. "Apa aku harus mendeklarasikan kata maaf itu?""Cit, Mas Bayu salah apa sampai kamu begini ke Mas?" tanya Mas Bayu.Geram sekali mendengar jawaban itu. Dia pura-pura tidak tahu, lupa, atau memang sengaja berbohong? Rasanya ingin sekali melempar semua bukti yang aku lihat ke wajahnya. "Cukup! Nggak ada yan
"Cit, kayaknya emang lagi ada masalah di kantor Bayu."Aku menatap Kiki penuh selidik. "Seriously?""Ini cuma pikiran gue doang, sih. Mau denger?" tanya Kiki."Ngomong aja, Ki."Kiki menghela napasnya. "Waktu itu Bayu sempet bilang kalau beberapa divisi di kantornya ada yang korupsi, kan?"Sepertinya aku lupa. "Mungkin, tapi apa hubungannya?""Ya, bisa aja dia butuh pengaman, Cit. Jadi, semua orang yang dateng dan mencurigakan akan diperlakukan seperti kita tadi.”Masuk akal, memang tadi kami agak sedikit mencurigakan lantaran langsung menanyakan keberadaan Mas Bayu. Namun, memangnya dia tidak bisa membedakan yang mana orang bodoh yang tidak mengerti urusan kantor dengan orang yang pintar dalam urusan kantor?“Gue mau ke apartemen Mas Bayu, Ki.”Kiki membelalakkan matanya. Dia sempat menepuk lenganku dengan keras. Mungkin dia tidak percaya. “Kenapa?” tanyaku heran.“Lo yakin, Cit?”Sudah seharusny
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna."Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti."Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!""Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?""Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Seharusnya aku senang mendengar pernyataan Leon. Namun, entah kenapa hatiku justru makin sakit.Sekarang, pria di hadapanku sudah membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang masih belum bisa aku artikan.Kemarahan? Sepertinya iya, dia sangat marah kepadaku. Kebencian? Pastinya, dia mungkin sudah benci kepadaku."Perusahaan itu milik Luna dan keluarganya, itu perusahaan yang menyediakan pembunuh bayaran, penjaga, dan apa pun yang berkaitan dengan penjagaan seseorang. Lu tahu artinya? Itu artinya Luna bisa kapan aja nyerang lu atau Bayu, Cit!""Kenapa harus gue? Sebelumnya bahkan gue nggak kenal sama Luna, Yon!""Karena lu istrinya Bayu! Lu nggak tahu kalau Luna itu nggak terima Bayu nikah sama lu. Dia benci pernikahan itu, makanya dia bisa mengancam Bayu sesuka hatinya!""Mengancam? Maksudnya?""Bayu ngelindungin selama ini!"Air mataku sukses mengalir ke pipi. Aku alihkan pandangan dari wajahnya. Takut, malu, sed
"Mungkin emang benar kalau dulu Mas Bayu cinta sama aku, Li. Benar kalau dulu Mas Bayu ngejar-ngejar aku. Nggak hanya kamu yang bilang, Mama dan temanku juga bilang begitu.""Tapi anehnya Mba, Mas Bayu masih bisa pacaran walau hatinya tetap ke Mba Citra," kata Loli.Aku jadi teringat kata-kata Kiki."Bayu itu playboy, Cit! Kalau lo mau masuk ke dunia dia, hati-hati aja. Apa lagi dunianya bukan pacaran lagi, udah ke nikah.""Jadi, dia pacaran karena cinta atau pacaran karena apa?" tanyaku."Mas Bayu pacaran karena dia mencari pelarian. Aku udah bilang kalau itu salah, tetapi Mas Bayu tetap Mas Bayu, orang paling keras kepala yang aku tahu."Aku pikir hanya aku sendirian saja yang menganggap Mas Bayu keras kepala."Tapi itu dulu, Li. Mungkin dulu, tetapi sekarang mungkin sudah berubah perasaannya. Setelah dia mengetahui sifat Mba, sikap Mba, perlakuan, dan keburukan Mba, dia bisa aja berubah, kan?"Loli mengerucutkan bibirnya. "Ent
"Sudah bangun?" tanya Aris. Aku sedang mengusap-ngusap dahi Mas Bayu yang berkeringat. Matanya masih tertutup, dengan napas yang sudah mulai teratur. "Belum, Ris. Dia masih mau tidur kayaknya." "Tadi Aris nggak sengaja ngeliat Bayu di dekat rumah kamu, Cit." Aku menoleh ke belakang. Sejak kapan Danu datang? Setahu aku tadi hanya ada aku, Rio, dan Aris di depan kamar rawat Mas Bayu. "Kamu jemput Aris, Nu?" tanyaku pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Terima kasih, Ris." "Dia ada masalah apa sama Pak Wijaya, Cit?" kata Aris. Dia menunjukkan tayangan di ponselnya. "Tolong menyingkir! Saya lagi nggak bisa berbicara dengan Anda, Pak." Tayangan yang direkam dari dalam mobil. Suara Mas Bayu terdengar kecil, jaraknya terlalu jauh. "Saya ajukan beberapa penawaran. Saya tidak masalah jika kamu menginginkan hak paten perusahaan itu, tapi tolong berikan beberapa persen saham untuk saya." Aku tidak t
"Cari Bayu, Kak? Kenapa dia?" tanya Leon.Aku memberikan berkas itu kepada Rio. Dia membacanya perlahan-lahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Ini berkas untuk lu?"Aku menganggukkan kepala. "Awalnya gue pikir itu berkas cerai kami, tetapi setelah Leon telepon dan gue lihat, ternyata itu bukan sama sekali.""Terus maksudnya dia apa mengambil alih perusahaan ini?" tanya Rio lebih lanjut."Itu ternyata perusahaan punya Luna, atau mungkin milik keluarganya. Kalau dilihat-lihat, perempuan itu seperti nggak punya pekerjaan. Dia bebas berkeliaran ke mana pun setiap hari. Jadi, gue pikir itu milik keluarga.""Maksudnya? Luna itu siapa, Kak?" Rio semakin bingung dengan penjelasanku."Luna itu perempuan selingkuhan Mas Bayu. Dia perempuan yang udah ngerebut Mas Bayu dari gue, Yo. Dia juga perempuan yang hampir menghancurkan hidup gue waktu itu."Rio tidak menjawab ucapanku lagi. Dia mulai mengerti sepertinya. "Oke, kita mau
Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu percaya pada Mas Bayu. Aku tidak perlu mengatakan kalau aku masih mencintainya di depan Mama sampai dia mendengarnya. Hal itu membuatnya semakin besar kepala. Dia bertindak kalau aku berada atas segala kuasanya. Kemudian, dia akan melempar aku lagi ke dalam jurang kesakitan. "Dek!" Aku menoleh, Mas Bayu sedang berlari ke sini. Aku abaikan teriakan dia, aku alihkan tatapan ke jalanan yang sedang ramai. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bayu setelah sampai di halte. "Nggak usah macem-macem! Ayo aku anter!" Mas Bayu menggenggam pergelangan tanganku. Namun, aku berusaha melepaskannya. Tetap saja, tenaga dia lebih besar. "Lepasin aku, Mas!" pintaku sambil berusaha melepaskannya. "Nggak, aku mau kamu pulang sama aku! Jangan pulang sendirian!" kata Mas Bayu. Dia mulai menarik tanganku agar bisa dia bisa memeluk tubuhku. Dia usapkan tangannya agar aku tenang. Namun, yang t
“Obrolan kita nggak lagi rahasia sekarang.” Mama menunjuk pintu, ada bayangan di celah bawah pintu. “Buka pintunya sana!” Aku menuruti keinginan Mama untuk membuka pintu. Perlahan-lahan aku tarik pintu agar terbuka. Kemudian, terpampanglah tubuh pria yang sedang berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menyeka air mata yang masih membekas. Lalu, aku buka pintu lebar-lebar dan mundur beberapa langkah. “Bayu?” Mama memanggilnya. Mas Bayu membalikkan badannya. Dia juga mengusap wajah dengan lengannya. Kemudian, dia menatapku lekat. Basah, bulu matanya basah. Aku bisa melihat jelas bulu mata dan alisnya yang basah. Apa Mas Bayu juga menangis? Apa dia mendengar semua ceritaku tadi? “Menguping itu nggak baik. Apa yang kamu lakukan di sana?” kata Mama. Mas Bayu tidak mengalihkan pandangannya dariku. Masih sama, dia menatapku seolah kami sudah lama tidak berjumpa. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan nada suara yang serak. “Kenap