Sepertinya aku membutuhkan hiburan lagi hari ini. Memikirkan kejadian kemarin sore ternyata membuat kepalaku sakit.
Setelah mengunci pintu mobil, aku langsung berjalan ke arah pintu utama rumah besar ini. Senyumku merekah ketika melihat taman yang dulu sering aku rawat. Untung masih terawat tanamannya, aku akan memberi perhitungan pada Rio kalau sampai dia tidak merawatnya.
“Rioooo!” pekikku setelah membuka pintu. Tidak ada orang di lantai ini. Sepertinya Rio masih di kamar, masih jam tujuh juga. Pasti dia masih tertidur, pemalas!
Aku langsung berjalan sambil membawa rantang berisikan sarapan untuknya. Sudah lama aku tidak melihat Rio, rindu banget rasanya. Pasti dia terkejut melihatku yang datang tiba-tiba.
Sampai di depan pintu kamar, aku mengetuknya berkali-kali. Tidak terbuka juga, pasti Rio masih tertidur pulas. Aku terus mengetuknya dengan keras, berharap pemiliknya keluar. Dia paling tidak bisa kalau pintunya diketuk terlalu keras, pasti akan marah.
Benar saja, pintunya langsung terbuka dan menampilkan wajah Rio yang sangar. Dia melayangkan tangannya tepat ke wajahku. Seketika mataku membulat dengan mulut terbuka.
“Astaga! Gue hampir mukul lo, Kak!” Rio menyandarkan tubuhnya di pintu, dia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Ih! Jahat banget, sih, sama gue!” sahutku sambil memukul lengannya yang kekar. “Gue masih jadi kakak lo, tahu!”
Dia menatapku dengan lesu, sepertinya masih mengantuk. “Gue kirain maling. Lagian lo kenapa asal masuk, sih? Bukannya pencet bel di bawah?”
Aku langsung menoyor wajahnya. Kemudian berjalan masuk ke kamarnya dan mengambil bangku untuk duduk. “Lo yang tolol! Kenapa pintu depan nggak dikunci? Lo pikir gue bisa masuk karena dobrak pintu? Mana mungkin!”
Rio menatapku tidak percaya. Dia menelan salivanya sebelum tertawa hambar. “Emangnya nggak dikunci? Seinget gue, semalam udah gue kunci, Kak.”
Terus, dia pikir rumah ini ada hantu yang bisa membuka kunci pintu? Sepertinya dia mengigau semalam. “Nggak peduli udah dikunci atau belum! Intinya pagi ini pintunya nggak dikunci,” sahutku dengan nada tinggi.
Tenang, itu memang cara kami berbicara, sedikit berteriak. Bukannya kami marah atau bertengkar, tetapi agar lebih terasa saja hawa-hawa perdebatan.
“Hari ini ada kelas, nggak?” Aku meletakkan rantang di atas meja belajar Rio. “Gue buatin lo sarapan. Hari ini makan sarapan dari gue, ya?”
Rio berjalan ke kasur, kemudian meringkuk lagi di balik selimut. Segera aku sibak selimutnya. “Ayo, banguuun! Gue udah di rumah, nih. Masih aja lo ngambek.”
“Sono pergi! Gue mau tidur, nih!” sahut Rio sambil menarik selimutnya. Aku tahan, dia menatap wajahku. “Hari ini kosong, Kak. Gue mau tidur sampai sore!”
Ide cemerlang langsung muncul di benakku. Kalau di film yang aku tonton, akan ada lampu yang menyala di atas kepala. Segera aku goyangkan tubuhnya sampai dia bangun.
“Sumpah, lo orang ternyebelin, Kak! Kenapa, sih?” Rio merubah posisinya jadi duduk. “Suami lo ke mana? Tumben ngebolehin lo ke sini tanpa dia.”
Aku sudah membuka mulut, tetapi Rio menyelanya. “Atau jangan-jangan dia di bawah, ya? Aduh, lo bawa orang jutek itu kesini? “
Bola mataku berputar setelah dia megucapkan kata jutek. “Dia lagi kerja di kantornya, lah. Masa hari kerja begini dia main. Gue sendirian ke sini.”
Dia menganggukkan kepala. "Lo udah izin? Nanti dia dateng ngamuk-ngamuk, kan, nggak lucu."
"Nggak perlu izin. Sekarang dia udah kasih gue izin ke mana pun," sahutku.
"Gue masak nasi goreng, nih, buat lo!” kataku sambil memberikan rantang pada Rio.
Wajah Rio langsung ceria setelah memegang rantang. Dia membukanya perlahan-lahan, kepulan asap masih terlihat. “Jadi laper. Gue ambil sendok dulu, deh.” Dia berjalan ke arah pintu. “Lo mau makan juga?”
“Ambilin aja!” sahutku.
Rio pergi meninggalkanku sendirian di kamarnya. Ada sedikit penyesalan ketika melihat wajah Rio tadi. Aku yakin dia juga kesepian di rumah. Hatiku berdesir, mengingat Rio yang sedang sakit dan aku tidak bisa menemaninya di rumah. Semua itu karena pria brengsek yang statusnya masih menjadi suamiku.
Astaga, aku jadi kesal lagi mengingat dia. Seharusnya aku tinggal di sini saja untuk beberapa hari. Lagi pula, dia juga tidak akan peduli. Dia sudah menemukan perempuan baru yang lebih baik dariku.
Rio kembali dengan dua sendok di tangannya. “Berhenti di sana!” perintahku. Dia langsung berhenti di depan pintu kamar mandi di kamarnya. “Gosok gigi dulu!”
Dengan sedikit penyesalan, akhirnya dia masuk ke kamar mandi. Masa bodoh kalau dia semakin marah, jorok kalau sarapan dengan keadaan giginya belum dibersihkan. Sambil menunggu, aku menyiapkan rantang khusus untuknya dan memisahkan bagianku. Untung aku membawa rantang kosong, jadi bisa digunakan.
“Gue lupa bawa kerupuk, Yo. Makan seadanya aja, ya?” ucapku setelah Rio keluar. Dia sudah selesai, rambut depannya masih sedikit basah. Aku yakin dia sekaligus membersihkan wajahnya. “Kalau gitu, kan, enak dilihat.”
"Nggak masalah, yang penting hari ini gue sarapan!" kata dia. “Lo dateng ke sini aja gue udah seneng, Kak.” Dia berjalan ke arahku. Rio berjalan di belakangku, lalu tiba-tiba dia mengecup pipiku.
“IIIH!” pekikku sambil mengusap bekas ciumannya. “Jijik!”
Wajahnya bersungut. “Tahu, deh, yang udah punya suami. Dulu, mah, kalau gue cium nggak pernah, tuh, nolak.”
Tidak mungkin aku risih dengannya. Jelas saja hanya untuk menggoda Rio. Aku tidak pernah marah jika dia mencium pipiku. Maklum saja, kebiasaan dari kecil yang masih melekat. Walaupun banyak yang mengira kami berpacaran lantaran tidak mengetahui latar belakang kami. Jelas saja, usia kami hanya terpaut tiga tahun.
“Enak nasi gorengnya! Lo jadi pinter masak, ya?” kata Rio.
Kurang ajar, bisa-bisanya dia memujiku sampai ke langit kemudian dia jatuhkan sampai ke bumi. “Kalau mau muji itu yang ikhlas, jangan pakai kata-kata ngejatuhin segala,” sindirku.
Dia tertawa di tempatnya. Aku perhatikan, dia semakin tidak terurus saja. Rambutnya sudah panjang dan mulai tumbuh kumis yang tidak bagus untuk diihat. “Hari ini kita ke barbershop.”
Rio sukses terbelalak. “Gue mau manjangin rambut gue, Kak.”
“Nggak ada! Lo harus potong rambut sesuai gaya yang dulu gue anjurin!” sahutku sedikit lebih tinggi suaranya. “Kalau begitu, lo kelihatan lebih ganteng, Yo.”
“Emangnya gue nggak ganteng kalau begini?” Rio menyisir rambut dengan tangannya sendiri. Aku jadi ingin tertawa melihatnya yang berlagak seperti cowok keren di luar sana.
“Bukan nggak ganteng, tapi sedikit turun kadar gantengnya lantaran lo kayak cowok yang nggak peduli sama keadaan wajah! Lihat, kumis lo udah mirip lele, tahu? Adanya di pinggiran doang!”
Kami berdua tertawa setelah Rio berkaca. Dia memilin kumisnya seperti pria tua yang sedang menggoda perempuan. Astaga, aksinya sukses membuatku senang pagi ini. Coba dari dulu aku bisa keluar rumah, pasti hal seperti ini sudah biasa terjadi.
“Hari ini temenin gue, ya?"
"Ke mana?" tanya dia dengan keadaan mulut penuh nasi.
"Gue mau ke apartemen si Bayu," sahutku.
Dia menganggukkan kepalanya. Lahap sekali dia makan, seperti orang yang tidak pernah makan saja. "Pelan-pelan, dong! Nanti keselek."
Rio bergumam sambil mengunyah. Setelah tertelan, dia menatapku. “Terus gue potong rambutnya kapan?”
“Potong rambut dulu baru ke apartemen.”
Aku beralih menatap ruangan yang penuh dengan kenangan. Andai saja aku bisa lebih tegas, mungkin Rio tidak perlu sendirian untuk waktu yang lama. Selama ini aku dikurung agar tidak bisa menemukan bukti kalau suamiku selingkuh.
Sebenarnya, aku masih tidak yakin kalau Mas Bayu selingkuh. Buktinya dia masih mau kembali ke rumah. Kalau memang dia selingkuh, untuk apa dia melakukan semua itu? Seharusnya dia bisa tidak peduli denganku. Dia masih berpikir tentang diriku, walaupun sedikit.
Sial, aku jadi semakin kesal mengingat kelakuan pria brengsek itu.
“Ini nasi gue pindah ke rantang lo, ya?” tanyaku setelah kembali menatap rantang.
Rio memandangku sambil tersenyum. “Bukan nasinya pindah, rantangnya yang gue tuker!”
Kalau bukan adik, mungkin sudah aku acak-acak wajahnya. Sabar, Citra, dia adik yang sudah lama aku telantarkan akibat penikahan. Akhirnya aku hanya bisa menarik napas panjang sambil mengelus dada.
Setelah itu, aku ketik beberapa kata untuk pesan Mas Bayu. Mudah-mudahan saja dia mengizinkan. Tempat rekomendasi dari Kiki pasti keren, aku tidak sabar untuk berfoto di sana. Dengan latar langit senja, pasti akan terlihat lebih keren.
“Maafin gue, ya?” kataku sambil menyuap nasi ke dalam mulut.
Rio menatapku kebingungan. Dia meletakkan rantangnya lalu meminum air yang aku bawa sebelum menjawab. “Maaf? Emang lo salah apaan?”
Dia pura-pura tidak tahu atau pura-pura bodoh? Sudah jelas kesalahanku menelantarkan dia, masih saja dia bertanya. “Gue minta maaf karena jarang kasih perhatian buat lo. Padahal seharusnya gue yang gantiin ibu buat ngurusin lo. Gara-gara pernikahan itu, gue jadi sulit buat ngurusin lo. Bahkan gue nggak bisa dateng ke sini hanya buat lihat keadaan lo.”
Rio manggut-manggut sambil memajukan bibirnya. Sialan, dia justru menganggap ucapanku candaan. “Gue udah gede, Kak. Selama gue masih bisa jalan dan tangan bisa gerak, lo nggak usah khawatir. Sekarang lo harus fokus ngurusin suami lo! Lagian kepergian ibu dan ayah nggak harus lo tanggung sendirian.”
***
"Selama ini lo nggak tahu apartemen suami lo?" kata Rio.
Kami sedang berjalan menuju meja resepsionis. Pertanyaan dia hanya aku jawab dengan gumaman. Dari tadi aku terus celingak-celinguk memastikan keadaan. Mudah-mudahan saja Mas Bayu tidak ada di sini. Kalau ada, bisa gawat. Semua rencanaku untuk memergokinya akan sia-sia.
"Terus, lo nggak pernah jengukin dia di apartemen?"
"Kalau gue nggak tahu, gimana cara gue jenguk dia?" timpalku. Rio terdiam.
Setelah sampai di meja resepsionis, aku langsung menampilkan senyuman yang bisa membuat semua orang percaya kalau aku sedang bahagia. "Saya mau tanya, apakah ada unit apartemen atas nama Bayu Adji Sasongko?"
Petugas itu tersenyum. "Sebentar, saya cek terlebih dahulu."
Rio menyenggol tubuhku. "Lo tahu di sini dari mana?"
Malas sekali menjawab pertanyaan Rio. Jawabannya pasti akan mengingatkanku tentang kejadian kemarin. Aku mendengkus dan menatapnya. "Kemarin gue sama Kiki ngikutin dia."
"Ngikutin? Ngapain lo ikutin dia?" tanya Rio. Aku yakin dia semakin penasaran dengan jawabanku.
"Karena gue penasaran, siapa perempuan yang masuk ke dalam mobil dia," sahutku.
Rio sukses terbelalak.
"Ada, Mba. Unit nomor 248, letaknya di lantai 24."
"Terima kasih."
Aku menarik lengan Rio yang masih terkejut ke arah lift. Tidak peduli apa yang dia pikirkan, aku hanya ingin melihat keadaan di lantai itu. Sekarang masih siang, pasti Mas Bayu tidak ada di apartemen. Syukur-syukur aku bisa melihat perempuan kemarin keluar dari unit apartemen Mas Bayu.
"Kak, apa maksud lo tadi?" tanya Rio setelah masuk ke dalam lift.
Aku tersenyum menatapnya. "Dia bawa perempuan lain ke apartemennya, Yo."
"Sialan!" pekiknya.
Aku menenangkan dirinya yang tersulut emosi. Wajar saja, Rio pasti tidak suka kalau aku diselingkuhi. "Tenang, bisa jadi itu rekan bisnis."
"Rekan bisnis nggak akan diundang ke apartemen, Kak!" kilahnya.
"Itu yang gue pikirin dari kemarin!" sahutku. "Mungkin lebih dari rekan bisnis."
Rio langsung memasang wajah kesal. "Gue tahu lo cemburu, jangan bercanda! Jadi, gimana sekarang?"
Pintu lift terbuka. Aku berjalan terlebih dahulu. "Lihat nanti aja."
Mataku mengedar mencari pintu dengan nomor 248. Setelah berjalan menyusuri lorong, ternyata itu unit paling ujung. Tidak mungkin aku mengetuknya sekarang, terlalu berbahaya.
Aku menarik lengan Rio untuk menjauh dari depan pintu. Kami berjalan ke arah lift lagi. Tadinya aku ingin menekan tombol lift, tetapi aku melihat ruangan kecil di ujung lain.
"Itu tangga darurat, Yo?" tanyaku.
Rio berjalan mendahului untuk memastikan. "Ruangan OB kayaknya."
Aku langsung berjalan ke arah sana. Sepertinya lorong kecil ini lumayan. "Bagus, deh."
"Bagus gimana?" tanya Rio.
Ketika aku menoleh, pintu unit apartemen Mas Bayu sepertinya terbuka. Aku menarik Rio agar bersembunyi di lorong kecil yang mengarah ke ruangan office boy.
"Kenapa?" tanya Rio agak tertahan.
Aku menyuruhnya agar tidak berisik. Sekarang aku harus mengikuti mereka.
"Aku ke sana sekarang, ya?"
Apa itu suara perempuan yang tadi? Aku tidak mungkin melihatnya, bisa ketahuan.
Dentingan lift langsung membuatku sadar kalau sebentar lagi perempuan itu akan pergi. Beberapa saat kemudian, aku berlari untuk menekan tombo lift untuk turun.
"Kita nggak lihat wajah dia, Kak!"
"Percuma, tadi dia pakai masker sama kaca mata lagi, Yo. Sama seperti kemarin," sahutku.
"Brengsek! Kayaknya dia nggak mau ketahuan, deh."
Kepalaku rasanya mau pecah. Semua hal yang aku pikirkan susah-susah ternyata tidak sesuai.Aku pikir perempuan tadi ingin menemui Mas Bayu. Ternyata, dia justru mengarah ke Bogor. Kami ikuti terus, ternyata dia berhenti di kafe dan bertemu teman-temannya.Kami sebentar lagi akan sampai di rumahku. Malam ini Rio bilang akan menginap. Bingung juga kenapa dia baru mau menginap sekarang. Padahal aku sudah lama kesepian. Tadi aku juga sempat marah padanya, dia bilang kalau masih malas dengan sikap suamiku yang jutek.Sejujurnya, Mas Bayu memang orang yang pendiam dan tidak banyak omong. Pertemuan pertama kami juga hampir membuatku menolak perjodohan. Beruntung Kiki membuatku sadar kalau hati seseorang mudah berubah.Mas Bayu memang tidak pendiam, dia bahkan romantis. Sayangnya, keromantisan itu seolah hilang dari nama dia sekarang. Semua hal yang dia lakukan hanyalah kedok untuk menyembunyikan perbuatan bejatnya.Lihat saja, aku akan membuktikan kalau M
Memang benar kata orang, kalau kita melakukan hal yang benar-benar ingin kita lakukan, rasanya sungguh luar biasa. Sejak awal aku memang ingin pergi ke kafe rooptop. Terwujud sudah keinginan itu berkat keberanian diri.Aku ditemani Kiki hari ini. Tentu saja dengan perdebatan kecil sebelum pergi. Dia bilang takut ketahuan Mas Bayu kalau aku pergi tanpa memberinya kabar. Itu tidak akan mungkin. Aku tahu Mas Bayu tidak akan pulang malam ini.Tadi pagi Mas Bayu bilang akan pulang larut lantaran semalam dia pulang lebih awal. Jadi, aku yakin dia tidak akan pulang ke rumah hari ini.Kami sudah di dalam lift. Tadi Kiki sudah memesan meja untuk kami berdua. Katanya kalau tidak dipesan, bisa dapat di tengah ruangan, bukannya di pinggir agar bisa melihat pemandangan. Tidak seru, karena sulit untuk melihat Jakarta dari ketinggian lantai 25. Aku juga jadi tidak bisa foto dengan latar langit tanpa bangunan.Dentingan lift sudah terdengar, pintu terbuka dan menamp
Baru pertama kali aku menemukan orang yang ingin bunuh diri di depan mata. Selama ini hanya pernah mendengarnya saja. Ternyata benar, orang seperti itu menakutkan. Untung aku bersama Kiki, kalau sendirian mungkin hanya bisa berteriak meminta pertolongan sementara orang itu sudah lompat lebih dulu.Kami masih menenangkan perempuan itu. Dari tadi dia asyik memandang meja tanpa ada niat untuk berbicara. Aku dan Kiki saling melempar tatapan, kemudian mengedikkan bahu.“Rumahnya di mana, Mba?” Aku memulai pembicaraan. Bisa gawat kalau sepi begini, aku jadi semakin serba salah. Padahal steak yang tadi dipesan sudah datang.“Mba udah makan? Kalau belum, kami pesenin makan,” kata Kiki.Perempuan itu menggeleng. Tatapan matanya kosong. Aku jadi semakin takut kalau dia masih memikirkan bunuh diri.Aku mulai memotong daging tenderloin, kemudian memakannya perlahan-lahan. Kiki terkikih di tempatnya, pasti dia mengira aku kelaparan lantaran tidak bisa menah
"Makanya gue nolak, Ki! Belum kenal deket, udah minta numpang tidur di rumah gue."Kami berdua tidak habis pikir dengan Luna. Dia sudah ingin menumpang di rumahku karena takut pikiran bunuh diri datang kembali. Padahal, kami baru saja mengenalnya. Tentu saja aku menolaknya."Lagian, kalau dia emang udah mutusin untuk nggak bunuh diri, harus konsisten, dong. Ngapain dia pake alesan takut ide gila itu muncul lagi?" sahut Kiki dengan wajah memberungut.Sekarang kami sudah di depan gerbang rumahku."Nggak ngerti, deh. Masalahnya gue cuma sendirian di rumah. Bukan pikiran buruk, tapi jaga-jaga aja, sih," timpalku.Kiki mengangguk. "Paham, kok." Aku tersenyum karena dia paham maksudku. Dia mengarahkan pandangan ke area parkiran dengan mata membelalak. "Itu mobil Bayu?"Aku menoleh. Ya, itu mobil Mas Bayu. "Iya, Ki.""Lo mending buruan masuk, Cit! Takut si Bayu marah, nih!" kata Kiki.Aku mengangguk menanggapinya. Setelah pamit,
"Terserah! Kamu mau pulang setiap hari atau nggak pulang sekali pun itu bukan urusanku!"Aku pikir dia sudah jera karena pertengkaran semalam, rupanya dia masih terus meminta maaf pada agar sikapku berubah. Tidak mungkin terjadi, aku sudah mengetahui kebusukan yang selama ini dia perbuat."Citra, aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Itu semua murni aku yang kelelahan dan nggak dengerin semua ucapan kamu, Dek," jawab Mas Bayu.Tidak mau pusing memikirkan Mas Bayu, aku beralih mengambil tas selempang di kursi belakang mobil. Hari ini aku akan menemui Kiki. Dia sudah berjanji untuk membantuku menghilangkan rasa kesal pada Mas Bayu. "Apa aku harus mendeklarasikan kata maaf itu?""Cit, Mas Bayu salah apa sampai kamu begini ke Mas?" tanya Mas Bayu.Geram sekali mendengar jawaban itu. Dia pura-pura tidak tahu, lupa, atau memang sengaja berbohong? Rasanya ingin sekali melempar semua bukti yang aku lihat ke wajahnya. "Cukup! Nggak ada yan
"Cit, kayaknya emang lagi ada masalah di kantor Bayu."Aku menatap Kiki penuh selidik. "Seriously?""Ini cuma pikiran gue doang, sih. Mau denger?" tanya Kiki."Ngomong aja, Ki."Kiki menghela napasnya. "Waktu itu Bayu sempet bilang kalau beberapa divisi di kantornya ada yang korupsi, kan?"Sepertinya aku lupa. "Mungkin, tapi apa hubungannya?""Ya, bisa aja dia butuh pengaman, Cit. Jadi, semua orang yang dateng dan mencurigakan akan diperlakukan seperti kita tadi.”Masuk akal, memang tadi kami agak sedikit mencurigakan lantaran langsung menanyakan keberadaan Mas Bayu. Namun, memangnya dia tidak bisa membedakan yang mana orang bodoh yang tidak mengerti urusan kantor dengan orang yang pintar dalam urusan kantor?“Gue mau ke apartemen Mas Bayu, Ki.”Kiki membelalakkan matanya. Dia sempat menepuk lenganku dengan keras. Mungkin dia tidak percaya. “Kenapa?” tanyaku heran.“Lo yakin, Cit?”Sudah seharusny
Malam ini, aku sudah menantapkan pikiran untuk menyelidiki semua kebohongan Mas Bayu. Nanti aku akan ke apartemen dan memergokinya. Mudah-mudahan saja tidak ada gangguan.Tadinya aku ingin mengajak Kiki. Namun, sepertinya akan terlalu larut. Dia tidak mungkin pulang malam karena aku, pasti melelahkan. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi sendirian."Kamu di mana, Cit?" Mas Bayu meneleponku. Dia menghubungi berkali-kali akhir ini. Pasti dia takut kalau aku datang menemuinya di apartemen."Di rumah," sahutku. Padahal aku sudah ada di parkiran apartemen."Boleh video call? Aku cuma mau mastiin aja, Dek."Sudah kuduga dia akan meminta panggilan video. Aku menghela napas kasar, semoga dia mendengarnya. "Nggak boleh!"Mas Bayu terdengar merungut di sana. Pasti dia kecewa, biarkan saja dia. Kalau aku turuti, nanti akan gagal rencananya."Kalau gitu, boleh kasih foto kamu sekarang aja?" tanya Mas Bayu.Aku tersenyum senang di dalam
Hari ini aku tidak ingin memikirkan kejadian kemarin. Yang sudah biarlah berlalu. Percuma juga kalau aku pikirkan, semua tidak akan selesai begitu saja. Aku hanya harus bersabar, itu yang harus dilakukan.Entah kenapa, sejak beberapa kejadian belakangan, Mas Bayu jadi sering pulang ke rumah. Menurutku itu aneh, biasanya dia tidak peduli kepadaku.Seperti semalam, dia pulang walaupun hampir jam sembilan malam. Aku sudah hampir terlelap saat itu. Jadi, aku biarkan saja dia. Tiba-tiba dia tidur di samping dan memeluk tubuhku dari belakang.Mas, aku rindu kemesraan kita dulu. Mengapa sekarang begitu sulit merasakan kemesraan akhir-akhir ini? Setiap kali kamu mencoba untuk melakukan hal yang mesra, bayangan perempuan itu selalu datang di benakku.Aku tahu ini semua salahku. Kalau saja aku tidak pergi membuntuti Mas Bayu hari itu, mungkin tidak akan pernah terbesit kalau ada perempuan lain di hidup Mas Bayu. Namun, kalau aku tidak melakukannya, mungkin
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna."Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti."Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!""Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?""Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Seharusnya aku senang mendengar pernyataan Leon. Namun, entah kenapa hatiku justru makin sakit.Sekarang, pria di hadapanku sudah membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang masih belum bisa aku artikan.Kemarahan? Sepertinya iya, dia sangat marah kepadaku. Kebencian? Pastinya, dia mungkin sudah benci kepadaku."Perusahaan itu milik Luna dan keluarganya, itu perusahaan yang menyediakan pembunuh bayaran, penjaga, dan apa pun yang berkaitan dengan penjagaan seseorang. Lu tahu artinya? Itu artinya Luna bisa kapan aja nyerang lu atau Bayu, Cit!""Kenapa harus gue? Sebelumnya bahkan gue nggak kenal sama Luna, Yon!""Karena lu istrinya Bayu! Lu nggak tahu kalau Luna itu nggak terima Bayu nikah sama lu. Dia benci pernikahan itu, makanya dia bisa mengancam Bayu sesuka hatinya!""Mengancam? Maksudnya?""Bayu ngelindungin selama ini!"Air mataku sukses mengalir ke pipi. Aku alihkan pandangan dari wajahnya. Takut, malu, sed
"Mungkin emang benar kalau dulu Mas Bayu cinta sama aku, Li. Benar kalau dulu Mas Bayu ngejar-ngejar aku. Nggak hanya kamu yang bilang, Mama dan temanku juga bilang begitu.""Tapi anehnya Mba, Mas Bayu masih bisa pacaran walau hatinya tetap ke Mba Citra," kata Loli.Aku jadi teringat kata-kata Kiki."Bayu itu playboy, Cit! Kalau lo mau masuk ke dunia dia, hati-hati aja. Apa lagi dunianya bukan pacaran lagi, udah ke nikah.""Jadi, dia pacaran karena cinta atau pacaran karena apa?" tanyaku."Mas Bayu pacaran karena dia mencari pelarian. Aku udah bilang kalau itu salah, tetapi Mas Bayu tetap Mas Bayu, orang paling keras kepala yang aku tahu."Aku pikir hanya aku sendirian saja yang menganggap Mas Bayu keras kepala."Tapi itu dulu, Li. Mungkin dulu, tetapi sekarang mungkin sudah berubah perasaannya. Setelah dia mengetahui sifat Mba, sikap Mba, perlakuan, dan keburukan Mba, dia bisa aja berubah, kan?"Loli mengerucutkan bibirnya. "Ent
"Sudah bangun?" tanya Aris. Aku sedang mengusap-ngusap dahi Mas Bayu yang berkeringat. Matanya masih tertutup, dengan napas yang sudah mulai teratur. "Belum, Ris. Dia masih mau tidur kayaknya." "Tadi Aris nggak sengaja ngeliat Bayu di dekat rumah kamu, Cit." Aku menoleh ke belakang. Sejak kapan Danu datang? Setahu aku tadi hanya ada aku, Rio, dan Aris di depan kamar rawat Mas Bayu. "Kamu jemput Aris, Nu?" tanyaku pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Terima kasih, Ris." "Dia ada masalah apa sama Pak Wijaya, Cit?" kata Aris. Dia menunjukkan tayangan di ponselnya. "Tolong menyingkir! Saya lagi nggak bisa berbicara dengan Anda, Pak." Tayangan yang direkam dari dalam mobil. Suara Mas Bayu terdengar kecil, jaraknya terlalu jauh. "Saya ajukan beberapa penawaran. Saya tidak masalah jika kamu menginginkan hak paten perusahaan itu, tapi tolong berikan beberapa persen saham untuk saya." Aku tidak t
"Cari Bayu, Kak? Kenapa dia?" tanya Leon.Aku memberikan berkas itu kepada Rio. Dia membacanya perlahan-lahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Ini berkas untuk lu?"Aku menganggukkan kepala. "Awalnya gue pikir itu berkas cerai kami, tetapi setelah Leon telepon dan gue lihat, ternyata itu bukan sama sekali.""Terus maksudnya dia apa mengambil alih perusahaan ini?" tanya Rio lebih lanjut."Itu ternyata perusahaan punya Luna, atau mungkin milik keluarganya. Kalau dilihat-lihat, perempuan itu seperti nggak punya pekerjaan. Dia bebas berkeliaran ke mana pun setiap hari. Jadi, gue pikir itu milik keluarga.""Maksudnya? Luna itu siapa, Kak?" Rio semakin bingung dengan penjelasanku."Luna itu perempuan selingkuhan Mas Bayu. Dia perempuan yang udah ngerebut Mas Bayu dari gue, Yo. Dia juga perempuan yang hampir menghancurkan hidup gue waktu itu."Rio tidak menjawab ucapanku lagi. Dia mulai mengerti sepertinya. "Oke, kita mau
Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu percaya pada Mas Bayu. Aku tidak perlu mengatakan kalau aku masih mencintainya di depan Mama sampai dia mendengarnya. Hal itu membuatnya semakin besar kepala. Dia bertindak kalau aku berada atas segala kuasanya. Kemudian, dia akan melempar aku lagi ke dalam jurang kesakitan. "Dek!" Aku menoleh, Mas Bayu sedang berlari ke sini. Aku abaikan teriakan dia, aku alihkan tatapan ke jalanan yang sedang ramai. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bayu setelah sampai di halte. "Nggak usah macem-macem! Ayo aku anter!" Mas Bayu menggenggam pergelangan tanganku. Namun, aku berusaha melepaskannya. Tetap saja, tenaga dia lebih besar. "Lepasin aku, Mas!" pintaku sambil berusaha melepaskannya. "Nggak, aku mau kamu pulang sama aku! Jangan pulang sendirian!" kata Mas Bayu. Dia mulai menarik tanganku agar bisa dia bisa memeluk tubuhku. Dia usapkan tangannya agar aku tenang. Namun, yang t
“Obrolan kita nggak lagi rahasia sekarang.” Mama menunjuk pintu, ada bayangan di celah bawah pintu. “Buka pintunya sana!” Aku menuruti keinginan Mama untuk membuka pintu. Perlahan-lahan aku tarik pintu agar terbuka. Kemudian, terpampanglah tubuh pria yang sedang berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menyeka air mata yang masih membekas. Lalu, aku buka pintu lebar-lebar dan mundur beberapa langkah. “Bayu?” Mama memanggilnya. Mas Bayu membalikkan badannya. Dia juga mengusap wajah dengan lengannya. Kemudian, dia menatapku lekat. Basah, bulu matanya basah. Aku bisa melihat jelas bulu mata dan alisnya yang basah. Apa Mas Bayu juga menangis? Apa dia mendengar semua ceritaku tadi? “Menguping itu nggak baik. Apa yang kamu lakukan di sana?” kata Mama. Mas Bayu tidak mengalihkan pandangannya dariku. Masih sama, dia menatapku seolah kami sudah lama tidak berjumpa. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan nada suara yang serak. “Kenap