Aku mengangkat selimut yang menutupi badan. Di sebelah, ada Mas Bayu yang masih terlelap dengan tangan memeluk leherku. Ternyata dia masih memelukku sampai pagi. Astaga, aku jadi senyum-senyum sendiri.
Satu kecupan lembut kudaratkan di bibirnya sebelum bangkit. Andai setiap pagi aku dapat melihat wajahnya yang damai seperti ini, pasti tidak akan ada yang namanya si Citra yang kesepian. Selama ini setiap bangun hanya bisa melihat gorden yang tertutup. Hal yang membosankan.
Sengaja gorden tidak aku buka, barangkali Mas Bayu masih mengantuk. Aku langsung membersihkan tubuhku. Tanda bekas ciuman Mas Bayu masih membekas di sekitar leher. Gawat! Kalau nanti pergi harus menggunakan baju turtleneck, nih. Bisa kelihatan orang lain kalau tidak menggunakannya.
Setelah rapi, aku langsung keluar dari kamar. Hal-hal yang harus dilakukan hari ini; cuci pakaian Mas Bayu, buat sarapan untuk Mas Bayu, membangunkan Mas Bayu, mungkin aku ingin keluar dan jalan-jalan dengan Mas Bayu. Semoga hari ini indah, tidak ada yang mengganggu kami. Kalau sampai ada yang mengganggu, aku harap orang itu akan sial sepanjang tahun ini.
Pertama, aku harus membersihkan pakaian Mas Bayu. Semalaman saja sudah cukup banyak yang dia bawa pulang. Beruntung dia tidak membawa semua pakaian selama di apartemen. Bisa pegal tanganku, pasti banyak yang dia bawa pulang. Untungnya lagi, Mas Bayu memilih untuk laundry pakaiannya selama di sana.
Aku masukkan satu per satu pakaiannya. Sambil menunggu mesin berhenti, aku harus membuat sarapan untuk Mas Bayu. Dia pasti sudah jarang sarapan ketika tinggal di apartemen. Maklum saja, dia tidak bisa memasak, paling-paling makan di kantin kantornya. Itu pun kalau sudah buka. Kalau belum, mungkin dia hanya meminum segelas susu.
Habisnya, dia memang tidak bisa memasak. Bukan tidak pintar memasak, tetapi tidak bisa memasak. Bayangkan saja, dia tidak bisa menggoreng telur. Padahal banyak orang yang bisa menggoreng telur dari usia muda. Waktu itu dia pernah mencoba untuk membuat telur ketika aku sakit. Hasilnya, dia memasukkan gula pasir, bukannya garam, dan rasanya sungguh mengerikan. Sudah begitu, gosong pula telurnya.
Beruntung dia bukan saudaraku. Kalau sampai dia menjadi kakakku, bisa habis dia kena marah ibu setiap hari. Pasti bisanya hanya membuat ibu kesal karena menyusahkan. Hei, kenapa aku jadi membicarakan hal yang buruk tentang Mas Bayu?
Aku menghalau pikiran itu dan berjalan ke arah kulkas. Tidak ada sayur, tidak ada daging, dan tidak ada bawang juga. Sepertinya hari ini aku harus berbelanja kebutuhan rumah. Kebetulan Mas Bayu juga sedang di rumah. Nanti aku bisa memintanya untuk menemaniku, sekaligus jalan-jalan, sepertinya seru.
Lantas, aku harus masak apa sekarang? Apa harus membuat telur ceplok? Yah, kasihan sekali suamiku. Tidak boleh, aku harus membuat masakan yang enak untuk Mas Bayu, setidaknya jangan telur ceplok.
Aku berusaha mencari akal. Ketika berbalik, ada roti tawar yang masih terbungkus rapi di atas meja makan, belum dibuka. Ide cemerlang langsung muncul di kepala, pagi ini aku akan membuat roti isi yang dipanggang. Pasti enak, Mas Bayu pasti suka. Selama ini dia belum pernah mencoba roti panggang buatanku.
Langsung saja aku siapkan semua bahan yang diperlukan. Kemudian, aku letakkan isiannya di atas roti yang sudah dioleskan mentega, lalu aku tutup dengan roti lagi. Satu per satu roti itu aku letakkan di atas wajan yang sudah dioleskan mentega.
Wangi roti yang dipanggang mulai tercium. Pelan-pelan aku intip bagian bawahnya, takut gosong. Sudah lama juga aku tidak makan roti isi, jadi ingin mencobanya juga nanti.
Berbicara soal mengintip, aku jadi teringat Mas Bayu yang memainkan ponselnya diam-diam semalam. Untuk apa dia bersembunyi dariku saat bermain ponsel? Apa dia menyembunyikan sesuatu dariku? Kalau memang dia menyembunyikan sesuatu, hal apa yang dia sembunyikan?
Sebenarnya aku penasaran dengan ketikan itu. Habisnya dia mengetik terlalu panjang. Bukannya aku penasaran dengan isi pesannya, tetapi dengan siapa dia berbalas pesan? Membalas pesanku saja hanya beberapa kata, tidak sampai satu kalimat. Wajar saja kalau aku merasa iri, dia suamiku, mengapa perlakuannya berbeda?
Akhirnya aku memutuskan untuk mengintip dengan sebelah mata. Sialnya, aku tidak bisa mengintip dari posisi ini. Mas Bayu memainkan ponselnya dekat wajah, sedangkan aku tertidur di atas dadanya. Jangankan mengintip, aku saja hanya bisa melihat cahaya dari radiasi ponsel milik Mas Bayu.
Jadinya, hanya bisa menerka satu hal, apa Mas Bayu membalas pesan dari Leon? Hanya itu tebakanku. Soalnya tidak ada pesan lain yang masuk, atau panggilan lain. Aku, kan, bisa mendengar pemberitahuan ponsel atau dering ponselnya jika ada yang mengirim pesan atau meneleponnya.
Sudahlah, aku harus berpikir positif. Bisa jadi Mas Bayu sedang mengetik hal yang harus dia lakukan di kantor. Lagi pula, untuk apa aku cemburu dengan seorang pria? Leon itu pria, bukan? Jelas sekali itu nama untuk pria, kecuali kalau nama asli dia Leona, tetapi disimpan Leon oleh Mas bayu.
Semakin aku mencoba untuk berpikir positif, muncul juga pertanyaan aneh dari otakku. Kenapa Leon memanggil suamiku begitu? Maksudku, mereka berdua, kan, laki-laki, kenapa harus pakai aku-kamu? Apa gaya berbicara pria masa kini berubah? Sepertinya tidak, aku saja masih pakai bahasa gaul dengan Rio. Satu hal lagi, kalau rekan kerja, biasanya bahasa yang digunakan sedikit formal. Itu tidak formal sama sekali, justru lebih mirip bahasa santai.
Sedang asyik menerka, tiba-tiba ada dua buah lengan kekar yang memeluk pinggangku dengan posesif. Itu Mas Bayu, aku dapat mendengar gumanan suaranya. Dia meletakkan kepalanya di pundakku. Bibirnya terus mengecup permukaan wajah sampai rambutku.
“Kamu bangun dari jam berapa?” tanya Mas Bayu dengan suara berat. Terdengar lebih jantan kalau suara dia seperti ini. “Kenapa jam segini udah masak?”
Mas Bayu ini bagimana, sih? Aku, kan, sedang memasak. Aku masih tidak masalah, karena belum membalik rotinya. Namun, ketika roti mulai matang, aku, kan, butuh kebebasan untuk membaliknya.
“Sekarang udah jam tujuh, Mas. Emangnya mau mulai aktivitas jam berapa?” Aku melepaskan kaitan tangan Mas Bayu. Namun, dia tetap menahannya. “Mas, aku lagi masak. Nanti bisa gosong kalau kamu gangguin aku terus.”
Mas Bayu terus mengecup seluruh wajahku bagian kiri. “Biarin, aku mau main lagi pagi ini.”
Tangannya mulai masuk ke dalam kaus yang aku kenakan. Dia memilin-milin putingku sambil mengecup ceruk leherku. Mas Bayu sungguh hebat dalam memancing birahi. Namun, aku tidak boleh melakukannya sekarang.
Aku berontak dengan mendorong badannya ke belakang. Kemudian mataku membulat menatapnya. “Mas, jangan sekarang. Aku lagi buat sarapan.”
Mas Bayu berdecak. Dia pasti kecewa karena gagal bermain pagi ini. Biarkan saja, memangnya dia mau makan roti gosong? Kalau mau, aku tidak masalah. Namun, aku yang bermasalah karena makan roti pahit.
“Terus kapan?” protesnya. Dia menarik bangku, aku dapat mendengarnya. “Buruan, aku udah tegang.”
Rasakan! Suruh siapa jauh dari istri? Jadi tersiksa sendiri, kan? Kalau saja dia balik ke rumah atau setidaknya mengizinkan aku tinggal di apartemen, pasti tidak akan begini kejadiannya. Setiap dia ingin bermain, aku pasti akan melayaninya. Jangankan ketika dia mau, setiap malam pun akan aku turuti. Sayang, Mas Bayu terus saja melarangku.
Kuletakkan roti panggang yang sudah matang di atas piring. Kemudian aku tuang susu ke dalam gelas. Setelah itu, aku menatap Mas Bayu sambil tersenyum jahil. Aku gigit bibir bawah sambil mengedipkan sebelah mata.
“Nakal! Kamu harus dihukum hari ini!” Mas Bayu langsung bangkit dan memegang wajahku. Bibirnya dengan cepat melumat bibirku. Tanganku mulai menjambak rambut Mas Bayu.
Tidak! Sadar Citra! Buru-buru aku dorong badan dia agar menjauh. Raut kekesalan langsung dia tunjukkan. Rasakan pembalasanku! Hari ini tidak ada jatah untuknya, aku ingin pergi ke mana pun asal tidak di rumah.
“Kenapa lagi, sih? Apa lagi sekarang?” Mas Bayu mengerutkan dahinya. “Tadi katanya lagi masak. Sekarang udah selesai masak, malah nggak mau juga. Kamu nggak mau main sama aku lagi?”
Sembarangan saja kalau berbicara. Pastinya aku masih mau main, apalagi dia selalu membuatku klimaks berkali-kali. Tidak untuk hari ini, aku memiliki prioritas yang lain.
Aku tersenyum meremehkannya. Setelah itu aku berjalan ke arah kursi dan mendaratkan bokongku. “Makan dulu! Mainnya nanti aja, ya? Aku mau belanja hari ini, Mas. Banyak yang udah habis di kulkas.”
“Aduuuh,” rengek Mas Bayu. Dia berjalan ke arahku. “Sayang, ayo sekarang aja. Aku udah terlanjur tegang. Kamu nggak kasihan sama aku?” Mas Bayu menggenggam tanganku seolah memohon.
Aku menggeleng. “Antar aku belanja dulu, baru kita main.”
Mas Bayu memberungutkan wajahnya. Aku tertawa melihat dia yang sedang melahap roti sambil memanyunkan bibir. Sudah besar, masih saja manja.
“Mas, nanti sekalian beli kertas gambar, ya?”
Mas bayu asyik mengunyah makanannya sambil mengalihkan pandangan. Dia masih belum menjawab omonganku. Sepertinya dia sedang marah, atau bisa jadi ingin bermain-main denganku. “Oke, kalau nggak mau—”
“Iya, nanti kita beli. Kamu mau beli banyak juga nggak apa-apa,” sela Mas Bayu.
Sudah kuduga, dia pasti sedang mengancamku saja. Mas Bayu tidak mungkin menolak permintaanku yang satu itu. Dia pasti paham kalau aku membutuhkan kertas gambar untuk mengisi kekosongan di rumah.
Begitu seharusnya suami, membahagiakan istrinya. Namun, pagi ini malah aku yang sudah menjadi istri tidak baik karena menolak permintaan suami. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga Mas Bayu. Pasti dia sudah terlalu tegang, aku malah menolaknya. Biarlah, kalau dilanjutkan, bisa saja kami kelelahan dan akhirnya tidak jadi belanja.
“Kamu udah mandi?” tanya Mas Bayu. Aku jawab dengan anggukan kepala. “Kamu kapan mandinya?”
“Langsung mandi tadi habis bangun tidur. Emangnya Mas Bayu! Baru gosok gigi aja, kan?” Alisku naik-turun menggodanya. “Sana mandi! Ajak aku jalan-jalan dulu hari ini!”
Mas Bayu membelalakkan matanya. Rotinya dia letakkan lagi di atas piring. Wajahnya sudah memelas dengan alis yang bertaut. “Ih, nanti pulangnya lama kalau begitu. Kapan mainnya?” protes Mas Bayu.
“Ya, terus aku kapan keluarnya kalau nggak hari ini? Kamu, kan, besok udah kerja, Mas.”
Mas Bayu memutar bola matanya. Dia meninggalkan aku sendirian di dapur dengan cucian piring. Bagus, aku tidak perlu repot membujuknya untuk pergi. Biasanya Mas Bayu susah kalau diajak pergi. Pasti ada saja alasan yang dia berikan.
Setelah bersih, aku kembali ke kamar untuk mengganti pakaian. Tepat setelah pintu kamar aku tutup, ponsel Mas Bayu berdering kembali dan memunculkan nama Leon di layar. Si Leon ini siapa, sih? Kenapa dia senang menghubungi Mas Bayu?
Tetap saja tidak aku angkat, karena malas mencampuri urusan Mas Bayu. Biar nanti dia saja yang mengangkatnya. Agar kalau ada urusan yang mendadak, Mas Bayu yang akan menanganinya. Namun, lama-lama aku mulai penasaran juga dengan si Leon. Dia ini siapa, ya?
Aku kembali melihat layar ponsel Mas Bayu di atas nakas. Ada beberapa pesan dari Leon, dan semuanya menanyakan kapan Mas Bayu ke apartemen. Tunggu, jadi, si Leon ini menunggu Mas Bayu ke apartemen? Apa maksud dari pertanyaan dia, ya? Aku penasaran, apa selama ini Mas Bayu tinggal bersama Leon di apartemen? Lalu, Leon itu siapa? Teman? Kenapa Mas Bayu tidak pernah cerita?
Baru saja aku hendak membuka isi pesan itu, tetapi Mas Bayu sudah keluar dari kamar mandi dengan pinggang yang dibalut handuk. Nikmatnya melihat tubuh indah suami yang masih basah. Ditambah perutnya yang kotak-kotak sedikit basah. Padahal aku sudah sering melihatnya, bahkan menyentuhnya. Namun, kalau habis mandi begini, Mas Bayu terlihat lebih menggairahkan.
Segera aku urungkan niat tadi dan berbalik menatap Mas Bayu. “Ada telepon dari Leon. Dia juga kirim pesan—”
“Kamu angkat?” sanggah Mas Bayu dengan cepat. Dia berjalan ke arahku dan mengambil ponselnya. Kemudian, dia menatapku dengan mata yang membulat. “Kamu angkat, nggak?”
Aneh. Kenapa Mas Bayu terkejut? Siapa Leon sebenarnya?
“Mana berani aku angkat telepon kamu. Takutnya rekan bisnis, nanti jadi repot urusannya kalau aku lancang,” sahutku. Mas Bayu menghela napasnya seakan-akan merasa lega.
“Kenapa, Mas?” tanyaku dengan dahi mengernyit.
Mas Bayu tergagap. “Nggak ada apa-apa.” Dia langsung mengganti pakaiannya.
Aku mencoba mengabaikan tentang Leon. Namun, kenapa pertanyaan ini muncul? Kenapa Mas Bayu tetap santai saat temannya menghubungi? Bukan hanya pagi ini, bahkan Leon sudah menghubunginya sejak semalam.
“Kamu nggak coba telepon Leon? Kayaknya semalam dia juga telepon kamu, tapi aku lupa bilang.”
Mas Bayu menegang di tempatnya. Aneh sekali Mas Bayu, terlihat mencurigakan. “Kamu kenapa sih, Mas? Dari tadi aneh banget. Aku jadi curiga.”
“Oh. Curiga apa?” sahut Mas Bayu. “Ini mau aku telepon. Sebentar, ya, Sayang.”
Mas Bayu keluar kamar. Aku mulai penasaran dengan omongan mereka. Mengapa harus di luar? Apakah ini karena urusan bisnis? Kenapa dia jadi mencurigakan seperti ini, sih? Aku tidak percaya, sebaiknya aku dengar saja langsung.
Setelah berganti pakaian, aku mulai berjalan ke arah pintu. Niatnya ingin menguping dari kamar. Sayangnya kamar ini kedap suara, aku jadi tidak bisa mendengar omongan Mas Bayu. Aku sedikit membuka pintu, setidaknya bias terdengar suara mereka.
“Bisa nggak kamu teleponnya nanti aja ketika saya lagi nggak sama istri saya?” kata Mas Bayu. Dia berdiri membelakangiku.
Mas Bayu terdengar seperti orang yang marah.
“Iya, nanti saya ke apartemen. Sekarang jangan telepon saya dulu, ngerti?”
Kenapa dia jadi marah? Memangnya tidak bisa dibicarakan baik-baik? Aku jadi semakin penasaran, apa alasan Mas Bayu marah pada Leon?
“Saya sudah bilang, jadwal saya di apartemen sama kamu itu senin sampai jumat. Selebihnya saya harus sama istri saya!”
Apa maksudnya membicarakan jadwal? Apa itu jadwal Mas Bayu tidur? Jawabannya tadi mengarah ke hari Mas Bayu di apartemen dan di rumah. Namun, kenapa dia bilang jadwal tidur bersama Leon?
“Saya peringatkan sekali lagi, jangan hubungi saya!”
Akhirnya Mas Bayu menutup panggilan itu. Aku segera berjalan menghampirinya. Wajahnya kaget ketika melihatku yang tepat berada di belakangnya.
“Apa maksudnya jadwal tadi?” tanyaku penasaran.
Mas Bayu menggaruk tengkuk kepalanya. Benar, ini aneh sekali. “Jelasin sama aku, kenapa kamu bilang jadwal sama Leon dan bilang selebihnya jadwal sama aku?”
Dia berusaha memegang pundakku, tetapi sudah kutepis terlebih dahulu. “Nggak usah pegang-pegang! Jawab dulu pertanyaanku, baru kamu boleh sentuh aku!”
“Dek, Aku akan jelasin semuanya. Sekarang tenang dulu, oke?”
Mungkin hari ini akan menjadi hari paling tidak jelas bagiku. Kalau orang lain mengatakan hari terindah atau hari terburuk, aku tidak keduanya. Tidak indah-indah banget, tidak buruk-buruk juga.Memang, sih, Mas Bayu sudah bilang kalau mereka tinggal bersama di sebuah unit apartemen. Namun, entah kenapa, aku tetap saja merasakan ada hal aneh dari pria bernama Leon. Mungkin hanya firasat yang tidak harus dipikirkan, tetapi bagaimana cara aku melupakannya?Setelah perdebatan kecil di rumah, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan di daerah Blok M. Aku yang memilih barang untuk dibeli, sementara Mas Bayu dengan wajah tidak senangnya yang mendorong troli. Banyak banget barang yang aku beli; dua karung beras berukuran kecil, tiga botol minyak goreng, beberapa makanan siap saji, sabun cuci baju dan piring, beberapa kaleng minuman soda, dan banyak makan ringan.Sampai depan kasir, kami berdua bingung bagaimana caranya memasukkan belanjaan ke dalam mobil.
Pintu toilet terbuka, Mas Bayu langsung keluar. “Dek!” pekik Mas Bayu dari depan pintu toilet. Dia berlari ke arahku dengan wajah cemasnya.Aku tidak peduli. Kejadian hari ini masih membekas di benakku. Bayangkan saja, dia menyeretku dengan paksa, tidak peduli tatapan orang yang iba melihatku. Kemudian, dia juga membentakku seakan-akan dia paling benar, padahal sudah jelas dia berkilah. Aku mendengar suara perempuan tadi, tidak mungkin aku salah mendengarnya. Seharusnya aku tunggu sampai mereka berdua keluar, jadi aku bisa memergoki.Setelah itu, dia tidak berbicara kepadaku, tetapi langsung melenggang pergi ke lantai atas. Aku perhatikan dari bawah, dia masuk ke kamar. Kenapa dia? Sakit perut? Rasakan itu!Aku jadi penasaran dengannya. Segera aku susul dia ke kamar. Sesampainya, Mas Bayu sudah membuka kaus yang ia pakai dan hendak menggantinya dengan kemeja.“Setan apa yang ngerasukin kamu, sih? Ngapain malam-malam pakai kemeja?” Ucapanku langsung diba
Sudah tiga hari sejak perdebatanku dengan Mas Bayu. Masing-masing dari kami tidak ada yang mengirim pesan. Aku masih segan untuk menanyakan kabarnya. Kalau dia, aku tidak tahu alasannya.Sejujurnya, aku jadi menyesal karena bertengkar dengan Mas Bayu. Dia benar-benar hilang kabar sejak hari itu. Kalau tahu dia akan semarah ini, mungkin aku tidak akan menyangkal omongannya.Namun, sebenarnya kenapa dia harus marah? Aku hanya menanyakan tentang perempuan yang berbicara dengannya di mal. Kalau memang itu tidak benar, seharusnya dia bisa membuktikan omongannya. Dia hanya bilang aku mengigau dan tidak melihat siapa-siapa di dekatnya. Alasan yang klasik.Sekarang aku sedang menunggu kedatangan Kiki, temanku saat di SMA. Kami sudah berjanji untuk menghabiskan sore hari di daerah Bundaran HI. Sudah lama aku tidak melihat keramaian. Semua itu gara-gara Mas Bayu yang awalnya bersikap manis dan setia. Sayangnya, sekarang dia sudah mulai membuatku tidak percaya dengan sikap
Sepertinya aku membutuhkan hiburan lagi hari ini. Memikirkan kejadian kemarin sore ternyata membuat kepalaku sakit.Setelah mengunci pintu mobil, aku langsung berjalan ke arah pintu utama rumah besar ini. Senyumku merekah ketika melihat taman yang dulu sering aku rawat. Untung masih terawat tanamannya, aku akan memberi perhitungan pada Rio kalau sampai dia tidak merawatnya.“Rioooo!” pekikku setelah membuka pintu. Tidak ada orang di lantai ini. Sepertinya Rio masih di kamar, masih jam tujuh juga. Pasti dia masih tertidur, pemalas!Aku langsung berjalan sambil membawa rantang berisikan sarapan untuknya. Sudah lama aku tidak melihat Rio, rindu banget rasanya. Pasti dia terkejut melihatku yang datang tiba-tiba.Sampai di depan pintu kamar, aku mengetuknya berkali-kali. Tidak terbuka juga, pasti Rio masih tertidur pulas. Aku terus mengetuknya dengan keras, berharap pemiliknya keluar. Dia paling tidak bisa kalau pintunya diketuk terlalu keras, past
Kepalaku rasanya mau pecah. Semua hal yang aku pikirkan susah-susah ternyata tidak sesuai.Aku pikir perempuan tadi ingin menemui Mas Bayu. Ternyata, dia justru mengarah ke Bogor. Kami ikuti terus, ternyata dia berhenti di kafe dan bertemu teman-temannya.Kami sebentar lagi akan sampai di rumahku. Malam ini Rio bilang akan menginap. Bingung juga kenapa dia baru mau menginap sekarang. Padahal aku sudah lama kesepian. Tadi aku juga sempat marah padanya, dia bilang kalau masih malas dengan sikap suamiku yang jutek.Sejujurnya, Mas Bayu memang orang yang pendiam dan tidak banyak omong. Pertemuan pertama kami juga hampir membuatku menolak perjodohan. Beruntung Kiki membuatku sadar kalau hati seseorang mudah berubah.Mas Bayu memang tidak pendiam, dia bahkan romantis. Sayangnya, keromantisan itu seolah hilang dari nama dia sekarang. Semua hal yang dia lakukan hanyalah kedok untuk menyembunyikan perbuatan bejatnya.Lihat saja, aku akan membuktikan kalau M
Memang benar kata orang, kalau kita melakukan hal yang benar-benar ingin kita lakukan, rasanya sungguh luar biasa. Sejak awal aku memang ingin pergi ke kafe rooptop. Terwujud sudah keinginan itu berkat keberanian diri.Aku ditemani Kiki hari ini. Tentu saja dengan perdebatan kecil sebelum pergi. Dia bilang takut ketahuan Mas Bayu kalau aku pergi tanpa memberinya kabar. Itu tidak akan mungkin. Aku tahu Mas Bayu tidak akan pulang malam ini.Tadi pagi Mas Bayu bilang akan pulang larut lantaran semalam dia pulang lebih awal. Jadi, aku yakin dia tidak akan pulang ke rumah hari ini.Kami sudah di dalam lift. Tadi Kiki sudah memesan meja untuk kami berdua. Katanya kalau tidak dipesan, bisa dapat di tengah ruangan, bukannya di pinggir agar bisa melihat pemandangan. Tidak seru, karena sulit untuk melihat Jakarta dari ketinggian lantai 25. Aku juga jadi tidak bisa foto dengan latar langit tanpa bangunan.Dentingan lift sudah terdengar, pintu terbuka dan menamp
Baru pertama kali aku menemukan orang yang ingin bunuh diri di depan mata. Selama ini hanya pernah mendengarnya saja. Ternyata benar, orang seperti itu menakutkan. Untung aku bersama Kiki, kalau sendirian mungkin hanya bisa berteriak meminta pertolongan sementara orang itu sudah lompat lebih dulu.Kami masih menenangkan perempuan itu. Dari tadi dia asyik memandang meja tanpa ada niat untuk berbicara. Aku dan Kiki saling melempar tatapan, kemudian mengedikkan bahu.“Rumahnya di mana, Mba?” Aku memulai pembicaraan. Bisa gawat kalau sepi begini, aku jadi semakin serba salah. Padahal steak yang tadi dipesan sudah datang.“Mba udah makan? Kalau belum, kami pesenin makan,” kata Kiki.Perempuan itu menggeleng. Tatapan matanya kosong. Aku jadi semakin takut kalau dia masih memikirkan bunuh diri.Aku mulai memotong daging tenderloin, kemudian memakannya perlahan-lahan. Kiki terkikih di tempatnya, pasti dia mengira aku kelaparan lantaran tidak bisa menah
"Makanya gue nolak, Ki! Belum kenal deket, udah minta numpang tidur di rumah gue."Kami berdua tidak habis pikir dengan Luna. Dia sudah ingin menumpang di rumahku karena takut pikiran bunuh diri datang kembali. Padahal, kami baru saja mengenalnya. Tentu saja aku menolaknya."Lagian, kalau dia emang udah mutusin untuk nggak bunuh diri, harus konsisten, dong. Ngapain dia pake alesan takut ide gila itu muncul lagi?" sahut Kiki dengan wajah memberungut.Sekarang kami sudah di depan gerbang rumahku."Nggak ngerti, deh. Masalahnya gue cuma sendirian di rumah. Bukan pikiran buruk, tapi jaga-jaga aja, sih," timpalku.Kiki mengangguk. "Paham, kok." Aku tersenyum karena dia paham maksudku. Dia mengarahkan pandangan ke area parkiran dengan mata membelalak. "Itu mobil Bayu?"Aku menoleh. Ya, itu mobil Mas Bayu. "Iya, Ki.""Lo mending buruan masuk, Cit! Takut si Bayu marah, nih!" kata Kiki.Aku mengangguk menanggapinya. Setelah pamit,
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna."Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti."Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!""Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?""Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Seharusnya aku senang mendengar pernyataan Leon. Namun, entah kenapa hatiku justru makin sakit.Sekarang, pria di hadapanku sudah membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang masih belum bisa aku artikan.Kemarahan? Sepertinya iya, dia sangat marah kepadaku. Kebencian? Pastinya, dia mungkin sudah benci kepadaku."Perusahaan itu milik Luna dan keluarganya, itu perusahaan yang menyediakan pembunuh bayaran, penjaga, dan apa pun yang berkaitan dengan penjagaan seseorang. Lu tahu artinya? Itu artinya Luna bisa kapan aja nyerang lu atau Bayu, Cit!""Kenapa harus gue? Sebelumnya bahkan gue nggak kenal sama Luna, Yon!""Karena lu istrinya Bayu! Lu nggak tahu kalau Luna itu nggak terima Bayu nikah sama lu. Dia benci pernikahan itu, makanya dia bisa mengancam Bayu sesuka hatinya!""Mengancam? Maksudnya?""Bayu ngelindungin selama ini!"Air mataku sukses mengalir ke pipi. Aku alihkan pandangan dari wajahnya. Takut, malu, sed
"Mungkin emang benar kalau dulu Mas Bayu cinta sama aku, Li. Benar kalau dulu Mas Bayu ngejar-ngejar aku. Nggak hanya kamu yang bilang, Mama dan temanku juga bilang begitu.""Tapi anehnya Mba, Mas Bayu masih bisa pacaran walau hatinya tetap ke Mba Citra," kata Loli.Aku jadi teringat kata-kata Kiki."Bayu itu playboy, Cit! Kalau lo mau masuk ke dunia dia, hati-hati aja. Apa lagi dunianya bukan pacaran lagi, udah ke nikah.""Jadi, dia pacaran karena cinta atau pacaran karena apa?" tanyaku."Mas Bayu pacaran karena dia mencari pelarian. Aku udah bilang kalau itu salah, tetapi Mas Bayu tetap Mas Bayu, orang paling keras kepala yang aku tahu."Aku pikir hanya aku sendirian saja yang menganggap Mas Bayu keras kepala."Tapi itu dulu, Li. Mungkin dulu, tetapi sekarang mungkin sudah berubah perasaannya. Setelah dia mengetahui sifat Mba, sikap Mba, perlakuan, dan keburukan Mba, dia bisa aja berubah, kan?"Loli mengerucutkan bibirnya. "Ent
"Sudah bangun?" tanya Aris. Aku sedang mengusap-ngusap dahi Mas Bayu yang berkeringat. Matanya masih tertutup, dengan napas yang sudah mulai teratur. "Belum, Ris. Dia masih mau tidur kayaknya." "Tadi Aris nggak sengaja ngeliat Bayu di dekat rumah kamu, Cit." Aku menoleh ke belakang. Sejak kapan Danu datang? Setahu aku tadi hanya ada aku, Rio, dan Aris di depan kamar rawat Mas Bayu. "Kamu jemput Aris, Nu?" tanyaku pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Terima kasih, Ris." "Dia ada masalah apa sama Pak Wijaya, Cit?" kata Aris. Dia menunjukkan tayangan di ponselnya. "Tolong menyingkir! Saya lagi nggak bisa berbicara dengan Anda, Pak." Tayangan yang direkam dari dalam mobil. Suara Mas Bayu terdengar kecil, jaraknya terlalu jauh. "Saya ajukan beberapa penawaran. Saya tidak masalah jika kamu menginginkan hak paten perusahaan itu, tapi tolong berikan beberapa persen saham untuk saya." Aku tidak t
"Cari Bayu, Kak? Kenapa dia?" tanya Leon.Aku memberikan berkas itu kepada Rio. Dia membacanya perlahan-lahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Ini berkas untuk lu?"Aku menganggukkan kepala. "Awalnya gue pikir itu berkas cerai kami, tetapi setelah Leon telepon dan gue lihat, ternyata itu bukan sama sekali.""Terus maksudnya dia apa mengambil alih perusahaan ini?" tanya Rio lebih lanjut."Itu ternyata perusahaan punya Luna, atau mungkin milik keluarganya. Kalau dilihat-lihat, perempuan itu seperti nggak punya pekerjaan. Dia bebas berkeliaran ke mana pun setiap hari. Jadi, gue pikir itu milik keluarga.""Maksudnya? Luna itu siapa, Kak?" Rio semakin bingung dengan penjelasanku."Luna itu perempuan selingkuhan Mas Bayu. Dia perempuan yang udah ngerebut Mas Bayu dari gue, Yo. Dia juga perempuan yang hampir menghancurkan hidup gue waktu itu."Rio tidak menjawab ucapanku lagi. Dia mulai mengerti sepertinya. "Oke, kita mau
Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu percaya pada Mas Bayu. Aku tidak perlu mengatakan kalau aku masih mencintainya di depan Mama sampai dia mendengarnya. Hal itu membuatnya semakin besar kepala. Dia bertindak kalau aku berada atas segala kuasanya. Kemudian, dia akan melempar aku lagi ke dalam jurang kesakitan. "Dek!" Aku menoleh, Mas Bayu sedang berlari ke sini. Aku abaikan teriakan dia, aku alihkan tatapan ke jalanan yang sedang ramai. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bayu setelah sampai di halte. "Nggak usah macem-macem! Ayo aku anter!" Mas Bayu menggenggam pergelangan tanganku. Namun, aku berusaha melepaskannya. Tetap saja, tenaga dia lebih besar. "Lepasin aku, Mas!" pintaku sambil berusaha melepaskannya. "Nggak, aku mau kamu pulang sama aku! Jangan pulang sendirian!" kata Mas Bayu. Dia mulai menarik tanganku agar bisa dia bisa memeluk tubuhku. Dia usapkan tangannya agar aku tenang. Namun, yang t
“Obrolan kita nggak lagi rahasia sekarang.” Mama menunjuk pintu, ada bayangan di celah bawah pintu. “Buka pintunya sana!” Aku menuruti keinginan Mama untuk membuka pintu. Perlahan-lahan aku tarik pintu agar terbuka. Kemudian, terpampanglah tubuh pria yang sedang berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menyeka air mata yang masih membekas. Lalu, aku buka pintu lebar-lebar dan mundur beberapa langkah. “Bayu?” Mama memanggilnya. Mas Bayu membalikkan badannya. Dia juga mengusap wajah dengan lengannya. Kemudian, dia menatapku lekat. Basah, bulu matanya basah. Aku bisa melihat jelas bulu mata dan alisnya yang basah. Apa Mas Bayu juga menangis? Apa dia mendengar semua ceritaku tadi? “Menguping itu nggak baik. Apa yang kamu lakukan di sana?” kata Mama. Mas Bayu tidak mengalihkan pandangannya dariku. Masih sama, dia menatapku seolah kami sudah lama tidak berjumpa. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan nada suara yang serak. “Kenap