Acara yang dikhususkan untuk perpisahan Kolonel Devivere dihadiri oleh beberapa petinggi KNIL, beberapa orang yang memegang jabatan penting di pabrik gula, dan tamu khusus yang baru saja bekerja sama dengan mereka—yaitu Maxwell dan rombongannya.
Du belas set meja dengan enam puluh kursi—ditata sedemikian rupa. Lilin-lilin dinyalakan tepat di tengah meja bundar yang sudah dilapisi kain penutup. Beberapa alat makan ditata sesuai table manners.Satu grup kecil orkestra pengiring makan malam, terlihat sedang memeriksa alat musik mereka. Bunyi biola yang digesek, Saxophone yang ditutup, dan drum yang dipukul, Mengiringi tugas para pelayan mengerjakan tugasnya."Apa semuanya sudah siap?" tanya seorang yang bertugas mengatur pesta. Ia adalah seorang wanita Belanda bernama Maria."Semua sudah siap, Madame. Semua makanan sudah di pindah kemari, apa harus saya hidangkan sekarang juga?" Tangan Sidja sibuk menata masakan di atas piring keramik agar terlihatXander malam itu sama sekali tidak bisa tidur dengan pulas. Berkali-kali ia mengubah posisi tidurnya—terkadang miring ke kiri, dan beberapa menit kemudian ia memiringkan badannya ke kanan. Tak lama kemudian ia tidur terlentang, mata biru keabu-abuannya memperhatikan atap kamar tanpa berkedip.Xander merasa tidak tenang sama sekali. Entah apa yang tengah terjadi, ia memiliki firasat yang buruk. Cahaya lilin berpendar lemah tertiup angin yang masuk melalui celah lubang angin. Pria itu bangkit dari posisinya saat mendengar suara dari beberapa pasang kaki yang kian mendekat.Pria itu mengintip dari celah jendelanya. Di luar sana, delapan orang prajurit lengkap dengan senjata di tangan, masuk ke dalam pekarangan kecil rumah dinas Xander. Ia segera memakai kemejanya dengan cepat, sejurus kemudian Xander mengambil sebuah tongkat kayu yang diam-diam ia simpan.Tanpa permisi dan izin. Seorang prajurit menendang beberapa kali pintu rumah Xander dengan kasar hingga t
Semua gadis dikumpulkan di luar rumah. Xander dan Sidja diikat tali tambang dengan sangat kuat, keduanya berlutut di tanah. Di kanan dan kiri mereka, dua orang prajurit berdiri seraya menodongkan moncong senapan. Begitu pun dengan Ayu. Bedanya, gadis itu berdiri bebas dan diawasi oleh seorang prajurit.Para gadis mulai berbisik-bisik, mencoba menerka-nerka apa yang tengah terjadi. Termasuk Diah yang menatap iba pada Sidja, hatinya bagai dicubit. Ingin menolong tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa orang prajurit menyisir setiap kamar para pekerja, tidak ada satu pun yang luput dari pemeriksaan. Semua barang kini sudah berserakan di lantai. Setiap isi lemari mereka keluarkan isinya. Barang-barang yang terbuat dari kaca dan tanah liat pecah berkeping-keping. Rumah itu terlihat bak diguncang gempa yang dahsyat.Seorang prajurit berlari ke luar, di tangannya ada sebuah botol kaca berukuran lima ruas jari. Ia berikan kepada atasannya—mayor Andrea.
Maxwell mengerjapkan matanya beberapa kali, ia berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam pupilnya. Semua yang ia lihat serba putih. Tembok, gorden, dan beberapa furniture seperti nakas serta ranjang. Sesuatu mengganjal punggung tangannya, saat pria itu meraba, ternyata ada sebuah jarum dan selang infus yang menancap ke dalam kulitnya.Ia memegang perutnya yang masih terasa tidak nyaman. Tubuhnya lemas, tetapi tidak separah semalam. Kepalanya masih berdenyut pusing. Bibir yang biasanya merona kemeraha—kini terlihat memucat, kering, dan pecah-pecah karena dehidrasi cukup parah.Ia bisa menaksir kalau saat ini dirinya tengah dalam perawatan. Bau obat dan desinfektan sangat tercium melalui hidung mancungnya. Saat ia menengok kanan dan kiri, terdapat beberapa pasien yang tengah terlelap. "Syukurlah, Anda sudah sadar, Tuan," sapa seorang perawat berambut pirang dan tubuhnya yang tinggi dan agak padat berisi. Saat Maxwell membaca name tag di seragam suste
Xander melihat Maxwell datang ke tempat itu dengan dipapah oleh seorang penjaga. Kedua mata adiknya memicing dan tatapannya begitu dingin saat melihat dirinya diperlakukan dengan kasar. Alis dan dahinya mengerut, bibirnya mengencang, rahangnya tegang, dan hidung yang kembang kempis. Kedua tangan Maxwell mengepal sempurna.Jarang sekali Xander melihat Maxwell menunjukkan dengan sangat kentara kemarahannya. Orang yang biasanya menunjukkan sikap ramah, kini semuanya menguap bagai embun yang terkena sinar mentari. Xander menggeleng, memberi isyarat agar adiknya tenang."Mangapa kalian melakukan hal ini pada mereka?" tanya Maxwell seraya menatap satu persatu orang yang ada di dalam penjara.Mereka yang ditanya Maxwell saling pandang. Merasa heran, karena bagi mereka ini sudah biasa dilakukan."Kami melakukan semua ini agar mereka mengakui kejahatannya, Tuan Maxwell," jawab mayor Andrea."Kejahatan yang mana yang kalian maksud?" tanya Maxwell d
Usaha pencarian Dara akhirnya dilakukan sore itu juga, mereka tidak ingin membuang waktu karena menganggap gadis itu sebagai saksi penting. Sambil menunggu persiapan matang, Rosie dan Maxwell mengobati luka-luka di wajah Xander. Pria itu tidak bisa menolak, adiknya yang keras kepala itu terus saja memaksa agar dirinya dirawat lebih dahulu."Kakak, kali ini aku tidak akan melarangmu. Asalkan kau mengajakku dalam pencarian!" Maxwell sudah berulang kali mengatakan itu. Rosie yang tengah memberi obat merah pada Sidja, sampai heran melihat sikap yang ditunjukkan oleh pria itu. Maxwell sangat bersikeras untuk ikut bersama Xander dan yang lainnya. Sedangkan kakaknya sedari tadi hanya diam, saat rengekan Maxwell berlebihan, Xander langsung melemparkan tatapan tajam sehingga membuat adiknya diam."Kali ini aku akan ikut denganmu, meski kau melarangku!" tegas Maxwell yang tidak ingin ditolak."Mengapa kau keras kepala, Ell. Ini adalah situasi serius, kita
Tubuh Dara dibanting dengan kasar di atas rerumputan hijau yang basah oleh embun. Ia merasakan ngilu di sekujur tubuhnya. Keempat pria itu berdiri mengelilinginya, seringai jahat muncul di masing-masing wajah pelaku. Mereka menatap Dara dengan pandangan liar dan bernafsu."Lihat dia, wajahnya begitu cantik. Kulitnya mulus sekali, tubuhnya juga bagus. Aku ingin menjadi orang yang pertama kali menjamahnya!" ucap seorang pria berkulit putih. Dara mencoba menelisik wajah orang itu, tampak begitu tidak asing di matanya. Tetapi ia tidak mampu mengingat, tubuhnya terlalu lemah, perutnya terasa lapar, dan tenaganya sudah terkuras. Gadis itu mencoba mundur dengan bertumpu pada sikut dan tumitnya."Kumohon, jangan lakukan itu ...," ucapnya lirih."Ha ha ha ha ... mana mungkin kami bisa diam saja melihat bidadari turun dari langit. Nona, sebaiknya kau turuti saja keinginan kami. Kami akan main dengan lembut!" ucap pria yang paling tinggi.Dara meng
Xander dan yang lain terus menelusuri hutan. Mereka terkendala karena anjing yang diandalkan untuk mencari jejak Dara, menemukan kesulitan akibat aroma tanah dan tumbuhan yang begitu pekat, sehingga menyamarkan indra penciuman hewan-hewan tersebut.Matahari mulai condong ke arah barat. Semakin masuk ke dalam hutan, udara semakin dingin, banyak pakis hutan yang memiliki daun nan lebar dan aneka jamur. Tanah yang mereka injak terkadang terasa licin karena ditumbuhi lumut. Jarak pandang mereka semakin terbatas karena kabut tipis yang mulai turun dari pegunungan. Tiga kali mereka berputar-putar dan harus kembali ke rute yang sama. Sesekali, di antara mereka, ada yang jatuh ke dalam kubangan air sehingga kaki mereka basah sampai ke lutut.Samar-samar, dari balik kabut itu, terlihat asap dari kayu yang dibakar. "Aku melihat ada bekas kayu bakar, seperti ada seseorang di sana!" Bara yang jaraknya lebih dekat pada sumber api, berteriak keras."
"Brengsek, akan kubunuh kau!"Fons menengok ke belakang, belum sempat ia mengenali orang yang tiba-tiba mengumpat, tiba-tiba saja rahangnya menjadi sakit dan dan tubuhnya tersungkur ke tanah. Lelaki itu merasakan darah mengucur dari lubang hidungnya, lalu ia mengusap cairan kental tersebut.Xander tidak memberikan kesempatan bagi Fons untuk melawan. Saat melihat pria itu tergeletak, tangannya dengan cepat menarik tubuh Fons hingga terhuyung ke depan. Bagian tubuh Xander yang lain tidak ingin diam, kakinya terangkat dan ia ayunkan dengan sekuat tenaga untuk menendang dagu Fons—hingga terjungkal ke belakang."Orang sepertimu tidak pantas untuk hidup!" "Brengsek!" Fons kembali meludah, tapi gusinya terus mengeluarkan darah. Dua gigi serinya tanggal atas dan bawah, lidahnya merasakan seperti mengecap besi berkarat—alih-alih bibir Dara yang terasa manis seperti buah arbei masak."Siapa yang menyuruhmu untuk melakukan ini, ha?" Lenga