"Aku merindukanmu!" ucap Maxwell.Xander memutar bola matanya malas, dan dengan kesal ia melepas pelukan Maxwell. Pria berwajah dingin itu memandang Maxwell dengan tajam."Sungguh, jika kita sedang ada di rumah. Aku akan memberikanmu hukuman karena telah berani memberi perintah untuk membawa barang-barang ini!"Maxwell tersenyum bodoh, ia tidak memperdulikan perkataan tajam Xander. "Ayolah, kau tidak rindu denganku, Kakak?" Xander berdiri tegap seraya memasukkan tangannya ke saku celana di sisi kiri dan kanan. Ia memandangi Maxwell yang notabene adik tirinya dari atas sampai bawah. Pria yang ada di hadapannya ini usianya hanya tertaut empat tahun. Jika Xander berusia dua puluh sembilan, maka Ell—begitu ia memanggilnya, saat ini berusia dua puluh lima.Mereka adalah saudara tiri. Ayah mereka tuan Veergerk Abraham Van Dijck. Menikahi tiga wanita, istri pertamanya bernama Helene—adalah ibu dari Xander, yang telah meninggalkan pria itu saat berusia lima tahun kepada pembantunya—Aminah, y
Xander sore itu menyibukkan diri dengan membakar daun-daun kering di halaman belakang. Ia menatap kobaran api yang menari-nari dengan indah, sesuatu hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Pria itu menghidupkan sebatang cigarettes dan menikmati dalam kesendirian. Sore ini langit tampak cerah, warna birunya sama dengan lautan yang ia kunjungi pagi tadi. Ia membuka kancing seragamnya dan bertelanjang setengah dada. Tubuhnya tinggi menjulang hampir mengenai dahan pohon jambu air yang mulai berbunga. "Tuan Xander, apa saya boleh masuk? Saya membawakan Anda makanan, Tuan."Xander menoleh ke arah pintu saat mendengar ada suara seorang wanita dari arah depan. Ia berpikir sejenak. Tiba-tiba saja, terlintas satu nama di dalam kepalanya—Dara. Pria itu segera menghilangkan bayangan gadis itu, karena suaranya sangat berbeda dengan suara gadis yang ia nilai sebagai sumber masalah."Masuklah, pintu tidak dikunci!" Xander berkata dengan suara yang sedikit
Xander menahan kaki ayu, miliknya kini mulai berekasi dan tegang di dalam celana yang ia pakai."Bagaimana caranya kau melayaniku?" Ayu tersenyum nakal, ia semakin berani, perlahan ia mengubah posisinya dan duduk di pangkuan Xander, lengan kanannya dengan tidak tahu malu mulai menggerayangi dada bidang pria itu, Xander terpejam mendapat perlakuan Ayu. Saat Xander membuka mata, ia melihat tangan kiri ayu sibuk membuka satu persatu kancing kebayanya. Pria itu tersenyum sinis. Detik berikutnya, tubuh Ayu terhempas ke ubin yang keras dan dingin.Mata dan mulut ayu membulat sempuran, ia terkejut atas perlakuan kasar Xander. Sakit di bagian punggungnya, mengalahkan rasa sakit di dadanya. Kini ia bisa melihat pria itu berdiri dengan tubuh yang tinggi menjulang. Rahang Xander mengeras sehingga terdengar suara gemeretak dari gigi yang saling beradu. Mata pria itu memerah, anatara menahan marah dan menahan birahi yang datang tanpa permisi.
Wilhelmus van Nassouweben ik, van Duitsen bloedden vaderland getrouwe.blijf ik tot in den doet Een Prinse van Oranjeben ik, vrij onverveerd,den Koning van Hispanjeheb ikPara prajurit berbaris rapi seraya memberi penghormatan kepada bendera yang tengah berkibar di ujung tiang. Mereka berdiri tegap, seberkas semangat terlihat di wajah-wajah orang-orang bermata terang itu. Mereka semua melantunkan setiap kata dengan penuh penghayatan. Menyanyi dengan rasa yang membuncah di dada. Penuh kebanggaan dan juga kerinduan.Pagi ini di hari Senin pada awal bulan, prajurit-prajurit melakukan apel pagi sebelum memulai tugas dan pekerjaan mereka. Seragam yang mereka kenakan sama rata, yang membedakan adalah tanda kepangkatan. Tidak peduli matahari yang mulai meninggi, mereka tetap berada di posisi itu entah sudah berapa detik, menit, mungkin jam.Xander sesekali melirik ke arah Dara dan Bara yang berdiri di luar pagar. Tidak biasanya k
Pria itu memunggungi pemuda yang bertugas menerima tamu. Ia berdiri seraya memperhatikan nuansa hotel yang ingin ia tinggali selama satu bulan penuh. Suasana saat itu begitu tenang, beberapa tamu asal negara asing terlihat sedang menikmati kopi serta kudapan mereka.Sebuah lampu keristal dengan kemerlap kuning menggantung di tengah-tengah ruangan. Beberapa lukisan besar terpajang di dinding-dinding hotel, beberapa ornamen mahal yang ia tahu berasal dari luar negeri—seolah menambah kesan mewah hotel ini. Pemiliknya pastilah memiliki selera yang tinggi—pikir pria berjas rapi itu.Hati Roanna berdegup kencang saat mendapati seorang pria dengan postur tubuh yang ia kenal. Pegawainya sibuk menghitung lembaran uang yang tamu itu berikan."Jadi, ada yang hendak menyewa sebuah kamar untuk waktu satu bulan?" Suara Roanna membuat kedua pria itu menoleh kepadanya. Wanita itu dan sang tamu sama-sama terkejut atas pertemuan yang sama sekali tidak terduga itu.
"Apa kemarin seorang dari dapur yang bernama Ayu mengantarkan Anda jatah makanan?" tanya Dara yang sedang berhadapan langsung dengan Xander.Sebelum menjawab pertanyaan Dara, Xander meminta Bara yang masih ada di antara mereka, untuk segera pergi terlebih dahulu. Bara terlihat enggan, tetapi ia tidak bisa membantah. Pemuda itu penasaran dengan pembicaraan mereka berdua, apalagi ia bisa bertemu lagi dengan Dara setelah beberapa hari. "Untuk apa kau menanyakan hal itu?" tanya Xander. Ia menautkan kedua lengannya di belakang pinggang, ditatapnya Dara dengan penasaran. Mengapa gadis itu tampak kesal pagi ini."Apa yang terjadi saat itu?" tanya Dara lagi."Maksudnya? Bicaralah yang jelas!" Xander yang mengingat kejadian kemarin sore, masih merasa kesal. Ditambah Dara yang tidak ada angin dan hujan, membahas hal itu lagi."Saat mba Ayu kembali, keadaannya tampak kacau. Ia mendapat luka bakar dan tidak berhenti menangis."Xander benar-
Acara yang dikhususkan untuk perpisahan Kolonel Devivere dihadiri oleh beberapa petinggi KNIL, beberapa orang yang memegang jabatan penting di pabrik gula, dan tamu khusus yang baru saja bekerja sama dengan mereka—yaitu Maxwell dan rombongannya.Du belas set meja dengan enam puluh kursi—ditata sedemikian rupa. Lilin-lilin dinyalakan tepat di tengah meja bundar yang sudah dilapisi kain penutup. Beberapa alat makan ditata sesuai table manners.Satu grup kecil orkestra pengiring makan malam, terlihat sedang memeriksa alat musik mereka. Bunyi biola yang digesek, Saxophone yang ditutup, dan drum yang dipukul, Mengiringi tugas para pelayan mengerjakan tugasnya. "Apa semuanya sudah siap?" tanya seorang yang bertugas mengatur pesta. Ia adalah seorang wanita Belanda bernama Maria."Semua sudah siap, Madame. Semua makanan sudah di pindah kemari, apa harus saya hidangkan sekarang juga?" Tangan Sidja sibuk menata masakan di atas piring keramik agar terlihat
Xander malam itu sama sekali tidak bisa tidur dengan pulas. Berkali-kali ia mengubah posisi tidurnya—terkadang miring ke kiri, dan beberapa menit kemudian ia memiringkan badannya ke kanan. Tak lama kemudian ia tidur terlentang, mata biru keabu-abuannya memperhatikan atap kamar tanpa berkedip.Xander merasa tidak tenang sama sekali. Entah apa yang tengah terjadi, ia memiliki firasat yang buruk. Cahaya lilin berpendar lemah tertiup angin yang masuk melalui celah lubang angin. Pria itu bangkit dari posisinya saat mendengar suara dari beberapa pasang kaki yang kian mendekat.Pria itu mengintip dari celah jendelanya. Di luar sana, delapan orang prajurit lengkap dengan senjata di tangan, masuk ke dalam pekarangan kecil rumah dinas Xander. Ia segera memakai kemejanya dengan cepat, sejurus kemudian Xander mengambil sebuah tongkat kayu yang diam-diam ia simpan.Tanpa permisi dan izin. Seorang prajurit menendang beberapa kali pintu rumah Xander dengan kasar hingga t