Xander sore itu menyibukkan diri dengan membakar daun-daun kering di halaman belakang. Ia menatap kobaran api yang menari-nari dengan indah, sesuatu hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Pria itu menghidupkan sebatang cigarettes dan menikmati dalam kesendirian.
Sore ini langit tampak cerah, warna birunya sama dengan lautan yang ia kunjungi pagi tadi. Ia membuka kancing seragamnya dan bertelanjang setengah dada. Tubuhnya tinggi menjulang hampir mengenai dahan pohon jambu air yang mulai berbunga."Tuan Xander, apa saya boleh masuk? Saya membawakan Anda makanan, Tuan."Xander menoleh ke arah pintu saat mendengar ada suara seorang wanita dari arah depan. Ia berpikir sejenak. Tiba-tiba saja, terlintas satu nama di dalam kepalanya—Dara. Pria itu segera menghilangkan bayangan gadis itu, karena suaranya sangat berbeda dengan suara gadis yang ia nilai sebagai sumber masalah."Masuklah, pintu tidak dikunci!" Xander berkata dengan suara yang sedikitXander menahan kaki ayu, miliknya kini mulai berekasi dan tegang di dalam celana yang ia pakai."Bagaimana caranya kau melayaniku?" Ayu tersenyum nakal, ia semakin berani, perlahan ia mengubah posisinya dan duduk di pangkuan Xander, lengan kanannya dengan tidak tahu malu mulai menggerayangi dada bidang pria itu, Xander terpejam mendapat perlakuan Ayu. Saat Xander membuka mata, ia melihat tangan kiri ayu sibuk membuka satu persatu kancing kebayanya. Pria itu tersenyum sinis. Detik berikutnya, tubuh Ayu terhempas ke ubin yang keras dan dingin.Mata dan mulut ayu membulat sempuran, ia terkejut atas perlakuan kasar Xander. Sakit di bagian punggungnya, mengalahkan rasa sakit di dadanya. Kini ia bisa melihat pria itu berdiri dengan tubuh yang tinggi menjulang. Rahang Xander mengeras sehingga terdengar suara gemeretak dari gigi yang saling beradu. Mata pria itu memerah, anatara menahan marah dan menahan birahi yang datang tanpa permisi.
Wilhelmus van Nassouweben ik, van Duitsen bloedden vaderland getrouwe.blijf ik tot in den doet Een Prinse van Oranjeben ik, vrij onverveerd,den Koning van Hispanjeheb ikPara prajurit berbaris rapi seraya memberi penghormatan kepada bendera yang tengah berkibar di ujung tiang. Mereka berdiri tegap, seberkas semangat terlihat di wajah-wajah orang-orang bermata terang itu. Mereka semua melantunkan setiap kata dengan penuh penghayatan. Menyanyi dengan rasa yang membuncah di dada. Penuh kebanggaan dan juga kerinduan.Pagi ini di hari Senin pada awal bulan, prajurit-prajurit melakukan apel pagi sebelum memulai tugas dan pekerjaan mereka. Seragam yang mereka kenakan sama rata, yang membedakan adalah tanda kepangkatan. Tidak peduli matahari yang mulai meninggi, mereka tetap berada di posisi itu entah sudah berapa detik, menit, mungkin jam.Xander sesekali melirik ke arah Dara dan Bara yang berdiri di luar pagar. Tidak biasanya k
Pria itu memunggungi pemuda yang bertugas menerima tamu. Ia berdiri seraya memperhatikan nuansa hotel yang ingin ia tinggali selama satu bulan penuh. Suasana saat itu begitu tenang, beberapa tamu asal negara asing terlihat sedang menikmati kopi serta kudapan mereka.Sebuah lampu keristal dengan kemerlap kuning menggantung di tengah-tengah ruangan. Beberapa lukisan besar terpajang di dinding-dinding hotel, beberapa ornamen mahal yang ia tahu berasal dari luar negeri—seolah menambah kesan mewah hotel ini. Pemiliknya pastilah memiliki selera yang tinggi—pikir pria berjas rapi itu.Hati Roanna berdegup kencang saat mendapati seorang pria dengan postur tubuh yang ia kenal. Pegawainya sibuk menghitung lembaran uang yang tamu itu berikan."Jadi, ada yang hendak menyewa sebuah kamar untuk waktu satu bulan?" Suara Roanna membuat kedua pria itu menoleh kepadanya. Wanita itu dan sang tamu sama-sama terkejut atas pertemuan yang sama sekali tidak terduga itu.
"Apa kemarin seorang dari dapur yang bernama Ayu mengantarkan Anda jatah makanan?" tanya Dara yang sedang berhadapan langsung dengan Xander.Sebelum menjawab pertanyaan Dara, Xander meminta Bara yang masih ada di antara mereka, untuk segera pergi terlebih dahulu. Bara terlihat enggan, tetapi ia tidak bisa membantah. Pemuda itu penasaran dengan pembicaraan mereka berdua, apalagi ia bisa bertemu lagi dengan Dara setelah beberapa hari. "Untuk apa kau menanyakan hal itu?" tanya Xander. Ia menautkan kedua lengannya di belakang pinggang, ditatapnya Dara dengan penasaran. Mengapa gadis itu tampak kesal pagi ini."Apa yang terjadi saat itu?" tanya Dara lagi."Maksudnya? Bicaralah yang jelas!" Xander yang mengingat kejadian kemarin sore, masih merasa kesal. Ditambah Dara yang tidak ada angin dan hujan, membahas hal itu lagi."Saat mba Ayu kembali, keadaannya tampak kacau. Ia mendapat luka bakar dan tidak berhenti menangis."Xander benar-
Acara yang dikhususkan untuk perpisahan Kolonel Devivere dihadiri oleh beberapa petinggi KNIL, beberapa orang yang memegang jabatan penting di pabrik gula, dan tamu khusus yang baru saja bekerja sama dengan mereka—yaitu Maxwell dan rombongannya.Du belas set meja dengan enam puluh kursi—ditata sedemikian rupa. Lilin-lilin dinyalakan tepat di tengah meja bundar yang sudah dilapisi kain penutup. Beberapa alat makan ditata sesuai table manners.Satu grup kecil orkestra pengiring makan malam, terlihat sedang memeriksa alat musik mereka. Bunyi biola yang digesek, Saxophone yang ditutup, dan drum yang dipukul, Mengiringi tugas para pelayan mengerjakan tugasnya. "Apa semuanya sudah siap?" tanya seorang yang bertugas mengatur pesta. Ia adalah seorang wanita Belanda bernama Maria."Semua sudah siap, Madame. Semua makanan sudah di pindah kemari, apa harus saya hidangkan sekarang juga?" Tangan Sidja sibuk menata masakan di atas piring keramik agar terlihat
Xander malam itu sama sekali tidak bisa tidur dengan pulas. Berkali-kali ia mengubah posisi tidurnya—terkadang miring ke kiri, dan beberapa menit kemudian ia memiringkan badannya ke kanan. Tak lama kemudian ia tidur terlentang, mata biru keabu-abuannya memperhatikan atap kamar tanpa berkedip.Xander merasa tidak tenang sama sekali. Entah apa yang tengah terjadi, ia memiliki firasat yang buruk. Cahaya lilin berpendar lemah tertiup angin yang masuk melalui celah lubang angin. Pria itu bangkit dari posisinya saat mendengar suara dari beberapa pasang kaki yang kian mendekat.Pria itu mengintip dari celah jendelanya. Di luar sana, delapan orang prajurit lengkap dengan senjata di tangan, masuk ke dalam pekarangan kecil rumah dinas Xander. Ia segera memakai kemejanya dengan cepat, sejurus kemudian Xander mengambil sebuah tongkat kayu yang diam-diam ia simpan.Tanpa permisi dan izin. Seorang prajurit menendang beberapa kali pintu rumah Xander dengan kasar hingga t
Semua gadis dikumpulkan di luar rumah. Xander dan Sidja diikat tali tambang dengan sangat kuat, keduanya berlutut di tanah. Di kanan dan kiri mereka, dua orang prajurit berdiri seraya menodongkan moncong senapan. Begitu pun dengan Ayu. Bedanya, gadis itu berdiri bebas dan diawasi oleh seorang prajurit.Para gadis mulai berbisik-bisik, mencoba menerka-nerka apa yang tengah terjadi. Termasuk Diah yang menatap iba pada Sidja, hatinya bagai dicubit. Ingin menolong tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa orang prajurit menyisir setiap kamar para pekerja, tidak ada satu pun yang luput dari pemeriksaan. Semua barang kini sudah berserakan di lantai. Setiap isi lemari mereka keluarkan isinya. Barang-barang yang terbuat dari kaca dan tanah liat pecah berkeping-keping. Rumah itu terlihat bak diguncang gempa yang dahsyat.Seorang prajurit berlari ke luar, di tangannya ada sebuah botol kaca berukuran lima ruas jari. Ia berikan kepada atasannya—mayor Andrea.
Maxwell mengerjapkan matanya beberapa kali, ia berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam pupilnya. Semua yang ia lihat serba putih. Tembok, gorden, dan beberapa furniture seperti nakas serta ranjang. Sesuatu mengganjal punggung tangannya, saat pria itu meraba, ternyata ada sebuah jarum dan selang infus yang menancap ke dalam kulitnya.Ia memegang perutnya yang masih terasa tidak nyaman. Tubuhnya lemas, tetapi tidak separah semalam. Kepalanya masih berdenyut pusing. Bibir yang biasanya merona kemeraha—kini terlihat memucat, kering, dan pecah-pecah karena dehidrasi cukup parah.Ia bisa menaksir kalau saat ini dirinya tengah dalam perawatan. Bau obat dan desinfektan sangat tercium melalui hidung mancungnya. Saat ia menengok kanan dan kiri, terdapat beberapa pasien yang tengah terlelap. "Syukurlah, Anda sudah sadar, Tuan," sapa seorang perawat berambut pirang dan tubuhnya yang tinggi dan agak padat berisi. Saat Maxwell membaca name tag di seragam suste
Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,
"Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se
Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad
Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel
POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu
"Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t
"Kenapa betah ada di dalam telaga duka kalau kau bisa bahagia, Dara? Kau harus membuka lembaran baru. Aku bisa menjadi penghapus untuk menghilangkan guratan luka di hatimu. Aku bisa menjadi pena untuk menulis kisah bahagiamu. Tapi percuma, kau selalu terlalu lama menutup bukumu hingga berdebu."Kata-kata yang diucapkan Bara bagai embun yang menyejukkan hati Dara yang selama ini kering."Kau harus mulai melangkah. Bebaskan dirimu, kau harusnya bersyukur dengan kehidupan baru yang kau miliki. Di luar sana, banyak orang yang tak seberuntung dirimu."Sekali lagi, apa yang dikatakan Bara adalah kebenaran. Untuk apa terus bersedih dan terpuruk, mengurung diri dalam penjara luka yang tercipta oleh kenangan buruk. Selama tujuh bulan setelah kepergian Xander, Bara acapkali memberikan perhatian lebih untuk gadis cantik itu.Membantu membuka hati dan menata hidupnya kembali.Bara dan Xander bagai panorama yang memiliki keindahannya sendiri. Jika Xander seperti lautan—yang lewat tatapan matanya m
Dara membuang pandangan ke luar jendela mobil yang dikendarai Maxwell. Menatap orang-orang yang berlalu-lalang, memperhatikan deretan toko-toko dan tiang jalanan, mengamati kebun-kebun yang mereka lewati. Hatinya berkecamuk setelah melepas kepergian Xander satu jam yang lalu. Dara tidak melepaskan matanya pada sosok pria berperawakan tinggi besar itu saat melewati papan titian. Ia memandang dari kejuahan, melihat Xander yang berdiri di tepi geladak sambil melambaikan tangan. Mata mereka saling bertemu, sama-sama bertatapan dengan lekat meski terhalang jarak. Saat terdengar peluit panjang, asap tebal berwarna hitam mengepul dari cerobong asap kapal SS Statendam III, dan kapal itu pun mulai berlayar. Membawa sosok Xander menjauh dari pandangan mata. Ada sesuatu yang hilang di hati Dara, tapi ia enggan untuk mengakuinya. Percuma, karena gadis itu pesimis mereka akan berjumpa lagi. Maxwell memperhatikan dari kaca spion mobil, ia dan perawat Rosie hanya saling pandang. Membiarkan Dara m
Hari-hari berlalu dengan cepat. Secepat angin menggugurkan dedaunan kering, atau secepat anak panah yang melesat setelah dilepas dari busurnya. Kehidupan orang-orang di pabrik gula bisa dibilang berjalan normal, termasuk kehidupan Dara dan Xander setelah runtutan perjalan mereka yang penuh dengan cerita luka.Hari ini, Dara berdiri di pantai berpasir putih. Langit tampak lebih biru daripada yang pernah diingat gadis itu satu tahun yang lalu, saat ia baru tiba di Paramaribo. Bentangan air hijau pucat dan biru tidak terbatas, kesunyian di sini membuatnya aman dan puas. "Dia akan berangkat satu jam lagi," ucap perawata Rosie yang datang dengan membawa dua buah kepala muda di kedua tangannya. Dara menoleh pada Rosie, wanita itu berpakaian bebas—kemeja putih dengan rok lebar biru sepanjang lutut, melepas seragam putih-putih yang ia kenakan setiap hari saat bertugas. Dara menerima satu buah kelapa muda yang airnya terasa manis."Mereka sedang mengurus berkas-berkas keberangkatannya," tamb