Hari ini adalah ulang tahunku. Satu-satunya hari di mana aku merasa senang telah dilahirkan di dunia. Hanya untuk mendengar kata-kata darinya yang menganggapku berharga.
Aku meremas setangkai bunga mawar yang ia beri, sementara gadis di sebelahnya ia beri sebuah buket bunga besar. Senyuman gadis itu mengembang, ia segera mengecup pemuda di depannya.
"Aku menyukainya, terima kasih."
Aku terdiam. Dadaku terasa nyeri, air mataku nyaris tak tertahankan jika bukan karena pemuda itu yang memanggilku.
"Kaira, apa ada masalah?" tanyanya dengan tatapan yang masih saja terlihat dingin.
Aku tersenyum dan menggeleng singkat. Tanpa mengatakan apapun aku segera berbalik dan pergi dari sana. Tak ada suara panggilan yang menyerukan namaku, maupun suara langkah yang mengejarku. Sungguh, tampaknya akulah yang selama ini tinggal dalam mimpi.
Aku terduduk di halte, menunggu datangnya transportasi umum yang biasanya kunaiki. Padahal aku tau saat matahari mulai tenggelam bis tidak lagi singgah di halte itu.
Namaku Kaira, seorang gadis yang baru saja menginjak umur 20 tahun. Aku seorang mahasiswa akuntansi dari universitas yang lumayan terkenal. Aku yang merupakan seorang yatim-piatu tanpa sanak saudara itu memilih untuk meninggalkan panti saat umurku 15 tahun dan mulai mencari pekerjaan untuk biaya hidup. Beruntungnya aku cukup pintar dan mendapat kesempatan untuk menerima beasiswa.
Aku bukanlah anak yang periang. Sejak mengetahui bahwa aku hidup seorang diri di dunia ini, setiap harinya aku menangis dan memohon pada dewa untuk segera menyusul orangtuaku yang tak pernah kukenal. Lalu di saat aku terpuruk, pemuda itu datang dengan senyumannya. Berkata bahwa ia akan memperlihatkan warna dunia padaku.
"Pembohong..." lirihku. Air mataku tak tertahankan lagi. Aku mengusap kasar pipiku yang basah sembari menyebutkan kata 'pembohong' berulang kali.
Warna dunia apanya?! Sejak awal hanya terdapat warna abu-abu di dalam duniaku.
Aku kembali mengusap air mataku. Tanpa sadar mataku tertuju pada anak kecil yang tengah menyebrang tanpa pengawasan orangtua. Anak itu tersenyum sumringah sembari berlarian kecil. Di sisi lain terdapat mobil yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi.
Aku tersentak. Entah keberanian dari mana, tubuhku bergerak dengan sendirinya. Aku menghempas tas yang berada di pangkuanku dan berlari untuk mendorong anak tersebut. Mataku membola saat melihat mobil tersebut berada tepat di depan kami. Segera kupeluk anak itu, menggantikannya untuk diterjang oleh mobil.
Brak! Tubuhku melayang ke udara dan kembali terbanting ke aspal. Aku membuka mataku dengan perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah cairan merah yang tampaknya berasal dari tubuhku. Aku pun melirik dan melihat anak yang berada di pelukanku terlihat menangis saat di evakuasi oleh orang-orang.
Syukurlah, tampaknya ia hanya mendapat luka ringan karena kupeluk. Aku tersenyum tipis, tapi kepalaku terasa berdenyut. Suara orang-orang yang ribut membuatku kesal. Beberapa orang menyuruhku untuk tetap sadar dan beberapa dari mereka tampaknya berusaha mencari pertolongan.
Tubuhku terasa kaku, pandanganku mengabur. Kulihat samar-samar pemuda yang sebelumnya kutemui tengah panik dan memasang wajah sedih. Aneh, ini pertama kalinya aku melihatnya begitu panik. Ternyata cukup menyenangkan.
Aku menutup mataku perlahan, tak menghiraukan panggilan yang keluar dari pemuda itu. Hal terakhir yang dapat kudengar adalah suara sirine ambulan yang mendekat.
•••
"Ris... Irish!" teriak seseorang yang menyadarkanku.
Hah! Aku membuka lebar-lebar mataku, segera memposisikan tubuhku untuk duduk. Aku menoleh pada seorang wanita tua yang sedang berkacak pinggang sembari menatapku kesal.
"Aku menyuruhmu untuk membersihkan taman! Kenapa kau malah tertidur di sini?!" teriak wanita tersebut.
Aku terdiam heran. Apa dia sedang berbicara denganku? Tapi mengapa ia memanggilku Irish? Seingatku namaku adalah Kaira. Ia memakai pakaian pelayan kuno, apa ia sedang cosplay atau sejenisnya?
"Kenapa kau malah diam saja?! Cepat bersihkan taman ini sampai bersih! Mengerti!" perintahnya.
Karena tak paham, aku pun hanya mengangguk sebagai jawaban. Setidaknya itu akan membuatnya berhenti berteriak untuk sementara, kan? Pelayan wanita itu pun berbalik sembari berdumel.
"Cih, dasar tidak berguna."
Aku tak mengindahkan apa yang ia katakan. Aku lebih memilih untuk berpikir tentang apa yang terjadi. Semua kenangan yang kupunya seperti terhisap dan perlahan menghilang begitu saja. Ugh... Aku menyentuh kepalaku yang berdenyut.
Eh? Aku mengulurkan tanganku ke depan dan membolak-balikkan keduanya sembari beberapa kali berkedip. Tanganku, tanganku mengecil?!
"A-apa yang terjadi?" tanyaku seorang diri.
Aku pun berdiri dari dudukku dan hendak melangkah, sayangnya keseimbanganku hilang dan aku pun terjatuh. Aku terdiam sejenak sembari menatap tanah. Hah, ini tak masuk akal! Batinku menjerit. Aku buru-buru bangun dan berlari untuk mencari sesuatu yang dapat merefleksikan diriku.
Setelah beberapa saat aku mencarinya, akhirnya aku menemukan sebuah kolam air mancur. Aku pun mendekat dan menjinjit. Aku menatap mata biru jernih yang terpantul di air. Baju yang sudah kusam dan rambut yang sedikit acak-acakan, juga wajah manis layaknya anak-anak yang polos.
"Ini aku?" tanyaku, "ini tidak masuk akal! Aku masuk ke tubuh anak kecil?! Apa yang sebenarnya terjadi?"
Di tengah kebingunganku itu, aku mendengar sebuah suara yang mendekat. Refleks aku berlari dan bersembunyi di balik pohon besar di dekat sana. Samar-samar aku mendengar suara orang tengah berbincang.
"Bagaimana Yang Mulia? Jika Anda berkenan untuk mengunjungi kediaman Ione, kami akan melayani Anda seperti di istana," ucap sebuah suara. Sayangnya tidak terdengar jawaban dari lawan bicaranya.
"Ya-Yang Mulia tenang saja, kediaman Ione cukup besar dan bersih, kami tidak akan mengecewakan Anda."
Sekali lagi tak terdengar jawaban apapun, tapi aku bisa mendengar sebuah langkah kaki seseorang yang mendekat. Aku terdiam, kakiku kurapatkan agar tidak terlihat, napasku tertahan saking takutnya.
"Yang Mulia Pangeran!" panggil gadis itu dengan kencang karena tak mendapat jawaban.
Pemuda yang berada di depannya menengok dengan memasang wajah kesal. "Kau berani meninggikan suaramu padaku?"
"Ma-maafkan saya, Pangeran. Saya tidak bermaksud kurang ajar, tapi—" Gadis itu menundukkan kepalanya ketakutan, ia sadar telah bersikap lancang.
"Cukup. Kau menjengkengkal, kalau bukan karena Baginda yang memintaku untuk menemanimu, aku sudah berada di kamarku sekarang."
Gadis itu terdiam, ia masih menundukkan kepalanya. Sementara pemuda di depannya berbalik dan meninggalkan dirinya. Karena tidak ingin ditinggal, gadis itu pun mengejarnya pergi. Huft... Akhirnya aku dapat menghela napas lega. Tapi apa-apaan itu tadi? Pangeran? Baginda? Apa aku memasuki tubuh gadis kecil di kerajaan Inggris?
Tidak, tidak. Jelas-jelas ini pertama kalinya aku mendengar bahasa mereka dan anehnya aku mengerti apa yang mereka bicarakan. Apa karena tubuh anak inilah yang memproses bahasanya dimengerti olehku?
Aku terdiam sejenak. Aku pun kembali berlari menuju tempatku pertama kali terbangun di dunia ini. Aku menidurkan diriku di atas dedaunan yang ada, lalu menutup mataku dan berharap agar tertidur.
Aku takut. Ini bukanlah duniaku. Aku yakin ini hanyalah mimpi karena aku terlalu lelah sepulang kuliah. Ini tidaklah nyata dan aku harus bangun dari tidur ini. Kumohon.
Di luar ekspektasi, ternyata tubuh kecil ini juga kelelahan. Tidak mengherankan karena saat aku melihat tubuh ini seperti akan hancur jika aku menggenggamnya dengan erat. Perlahan aku mulai merasakan kenyamanan pada tubuhku dan aku pun akhirnya tertidur.
Namaku adalah Kaira. Seorang mahasiswa akuntansi yang mati tertabrak saat hari ulang tahunku. Setidaknya itu adalah satu-satunya yang dapat kuingat tentang kehidupan masa laluku."Irish! Ke marilah, sarapan sudah siap!" panggil seseorang dari lantai satu."Baik Ibu!" jawabku.Aku pun turun dari kasur dan beranjak pergi dari kamar. Benar, sekarang namaku adalah Irish, gadis kecil berumur 10 tahun yang berasal dari keluarga biasa. Jujur aku masih belum bisa menerimanya. Kenyataan bahwa aku sudah meninggal dan merasuki tubuh gadis ini. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal perasaan senang, sedih, sakit yang selama seminggu ini kurasakan. Juga waktu yang berjalan semestinya, tidak seperti di mimpi. Aku mengerti jika aku mati saat itu, yang tidak kumengerti adalah aku yang memasuki tubuh gadis ini. Mungkin ini hanya opiniku, tapi aku berpikir Irish asli mungkin telah meninggal dan aku menggantikannya, itu sebabnya aku tak dapat keluar dari tubuh ini."Tapi kenapa harus aku?" dumelku yang
Aku meregangkan tubuhku. Hari ini aku sudah selesai dengan tugasku membersihkan taman. Saat pertama kali masuk ke tubuh ini, aku masih tidak percaya dan mengira ini mimpi. Aku masih ingat saat dimarahi oleh pelayan tua itu karena tidak tau apa yang harus dikerjakan. Namun sekarang aku sudah mahir dan ingat apa yang harus kukerjakan selanjutnya.Setelah membersihkan taman, seharusnya aku pergi ke dapur untuk membantu mencuci piring."Hei, pembantu kecil di sana!" panggil seseorang.Aku menoleh ke belakang dan menemukan beberapa pelayan tengah membawa buku di atas kereta kecil yang mereka dorong. Mau tak mau aku pun menghampirinya."Iya?""Apa kau sudah selesai dengan tugas membersihkan taman?" tanya salah satu dari mereka."Iya, sudah kukerjakan." "Bagus. Kalau begitu bantu kami untuk membawa ini ke perpustakaan istana.""Maaf? Tapi aku hanya seorang pembantu. Mana mungkin aku diperbolehkan masuk ke perpustakaan istana."Oh ayolah. Bahkan hanya pelayan yang dipilih saja yang boleh mas
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Pandanganku berangsur pulih. Kulihat kanan dan kiri, bau obat menyeruak memasuki indera penciumanku. Tampaknya ini bukan kamar Irish yang kuingat. Aku pun berdiri dengan berpegangan dengan sisi kasur. Berjalan pelan untuk keluar. Setelah keluar aku ingat ini adalah ruang kesehatan di istana. Ini tidak terlalu jauh dengan gerbang keluar. Syukurlah, karena nampaknya matahari hampir terbenam. Aku harus pulang agar orangtua Irish tidak khawatir."Tunggu."Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dapat kulihat pemuda yang sebelumnya ada di perpustakaan kini tengah berjalan mendekatiku. Apa ia seorang tamu istana? Kenapa ia masih di sini di jam segini?"Apa maumu?" tanyaku sinis. Pemuda itu tersentak dan menghentikan langkahnya. Tampaknya ia benar-benar anak manja yang tidak pernah ditolak permintaannya."Kau, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.Aku terdiam sejenak tak mengerti sampai ia menunjuk kepalanya sendiri sebagai isyarat. Aku pun ikut memegang k
"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."Aku tidak bisa tidur karena kata-katanya. Ia mengenal Irish, sementara aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apa ia dari ingatan Irish sebelum aku menempati tubuh ini 2 bulan yang lalu? Terlebih dia memanggil Irish dengan julukan gadis dengan takdir."Aku tak paham.""Apa yang kau tidak pahami, sayang?" tanya Clea."Ah, Ibu! Bukan apa-apa!" ucapku sembari tersenyum."Ibu jadi sedih, akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam." Clea menangkup pipinya sembari memasang wajah sedihnya."Ti-tidak Ibu! Aku hanya berpikir anak-anak seumuranku ada yang sangat pintar," ucapku asal."Anakku, apa kau ingin belajar bahasa kekaisaran?" tanya Clea.Aku tersenyum tipis. Oh, apa ia baru saja mengatakan Irish tidak pernah belajar bahasa kekaisaran sebelumnya? Lalu kenapa kemarin aku dapat membaca tulisan kekaisaran?"Tidak. Aku cukup senang dengan yang sekarang. Aku akan pergi bekerja, sampai jumpa lagi, Ibu.""Hati-hati di jalan, sayang."Aku m
"Hei, kau yang di sana!" teriak pemuda itu pada pelayan tua. Wanita pelayan tua itu pun buru-buru menghampiri pemuda. Sementara itu, aku pelan-pelan merangkak meninggalkan tempat itu agar tidak ketahuan. Langkahku terhenti saat mendengar kata sapaan pelayan itu pada pemuda tadi. "Saya menghadap permata kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." "Apa? Pangeran?" cicitku tak percaya. Jika dia adalah Pangeran, maka dia adalah laki-laki terhormat di bawah Kaisar? Sial, aku dalam masalah besar! "Oh, ternyata kau mengenaliku," ucapnya dengan nada tinggi agar terdengar olehku. "Tentu saja Yang Mulia. Siapa yang tidak mengenali Yang Mulia Leander de Emerald, satu-satunya Pangeran di kekaisaran Emerald ini? Dengan wajah tampan dan otak yang cemerlang. Siapa pun akan langsung mengenali dan memuja Anda!" seru pelayan tua itu. "Benarkah? Tapi kurasa kau harus dihukum karena berbohong," ucap pemuda itu yang membuatku tersentak "Maksud Anda?" "Nyatanya masih ada orang yang tak mengenaliku." Pemuda
Aku membuka mataku dengan perlahan. Aku melirik ke sekitarku. Buku yang tersusun rapi di rak buku, aroma segar yang terasa familiar. Aku menatap buku cerita bergambar yang kupegang. "Kenapa berhenti? Apa yang terjadi setelah itu?" tanya seseorang. Aku pun menoleh pada seorang anak laki-laki yang duduk bersebelahan denganku. "Rey?" "Apa kau melamun lagi, Kaira? Kau akan dimarahi Ibuku, jika terus begitu." Apa yang terjadi? Kenapa Rey, sahabatku sejak kecil ada di sini? Terlebih saat ini dia masih kecil. Bukankah kami berdua sudah masuk ke universitas yang sama sekarang? "Kenapa kau terdiam lagi? Aku akan panggilkan Ibuku!" ucap Rey. Aku segera menahan tangannya untuk tidak pergi. Kuperlihatkan senyumku agar tidak membuatnya khawatir. "Duduklah, aku belum selesai membacakan ceritanya," ucapku. Aku pun membaca kisah yang berada di dalam buku yang kupegang. "Saat itu Tuan Putri pun sedih saat mendengar semua perkataan dari Pangeran. Ia berlari menuju kamarnya yang ada di istana. S
"Atlas de Emerald," ucap Sherly. "Siapa dia?" tanyaku yang tak tau. Tiba-tiba saja wajah Sherly menjadi panik dan segera menutup mulutku dengan rapat. Ia menoleh kanan-kirinya, memastikan tidak ada orang di sekitar. Aku yang kebingungan itu akhirnya dilepaskan saat ia memastikan tidak ada yang menguping. "Fuah!" Aku mengambil napasku yang tertahan karena Sherly menutup mulutku. "Ada apa denganmu?!" "Sst!" Sherly mengangkat jari telunjuknya di depan bibir untuk menyuruhku diam. "Kan kau sendiri yang bertanya mengenai kekaisaran! Atlas de Emerald adalah Kaisar saat ini!" Aku segera menutup mulutku sendiri dan segera menoleh untuk memastikan tidak ada yang menguping. Syukurlah, jika ada yang mendengar aku tidak mengetahui siapa Kaisar saat ini mungkin aku akan benar-benar dihukum. "Jadi, bagaimana bisa Baginda Kaisar sekarang menjabat?" tanyaku. Sherly terlihat diam untuk berpikir sejenak. "Tentu saja Baginda adalah Kaisar yang bijaksana. Dia dapat menyatukan negara-negara lain de
"Hah?" Aku menatap mata Leander yang tersenyum padaku. Ia menarik tanganku untuk ikut pergi bersamanya. Aku sempat terdiam, tapi langsung tersadar saat melihat beberapa pelayan menatap kami. "Yang Mulia, tunggu! Kita akan ke mana?" tanyaku. "Kau diam saja. Pokoknya mulai hari ini kau harus menemaniku sebagai pelayan pribadi!" ucap Leander tanpa beban. "Apa?" Apa yang baru saja ia katakan? Aku yang seorang pembantu biasa menjadi pelayan pribadi? Posisi seperti itu hanya bisa didapatkan jika ia memiliki keahlian atau Tuannya yang memilihnya sendiri. Namun atas dasar apa dia memilihku? Tidak mungkin hanya karena kesalahan waktu itu. "Eh, tunggu!" Aku tersentak saat menyadari sesuatu. "Setidaknya lepaskan tangan saya dulu!" Leander menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah tanganku yang dipegangnya. Ia segera melepaskan tanganku dan bertingkah sangat aneh. Dia pasti malu karena sudah memegang tangan rakyat jelata. Aku melirik wajahnya diam-diam. Aku terkejut dengan wajahnya ya
Aku mengedipkan mataku sembari menelisik pada judul-judul buku di depanku. "Huh?" Aku yakin kemarin aku menaruhnya di sini. Tidak, dari awal buku itu sudah ada di sini, di rak dan deretan ini. Ke mana perginya buku novel itu?"Apa para pelayan sudah mengganti bukunya? Atau Leander yang membuangnya?" tanyaku yang kebingungan. Novel 'The shooting star', novel yang pernah kubaca di kehidupanku sebelumnya tiba-tiba muncul dan menghilang lagi. Aku yakin itu bukanlah suatu kebetulan biasa. Di dunia ini terdapat sihir yang di luar nalar, akan lebih aneh jika aku tidak percaya buku itu tidak menghilang."Apa yang kau cari?" tanya lelaki itu, Count Celesta."Ah, tuan... Bukan apa-apa," ucapku lesu. Aku pun mengambil salah satu buku di sana secara random dan membawanya ke meja tempat membaca.Lelaki itu terdiam sembari menatapku diam. Mungkin ia bingung bagaimana bisa aku bersikap biasa saja di hadapannya yang seorang bangsawan. Yah, apapun itu. Aku sedang dalam mood jelek karena kehilangan bu
Aku melirik kanan dan kiriku sembari menyapu taman. Menunggu kedatangan Leander yang biasanya muncul tiba-tiba. Sudah beberapa sejak hari itu, aku belum bertemu lagi dengannya. Aku ingin bertanya pada para pelayan, tapi akan sangat aneh untuk seorang pembantu menanyakan hal itu terus-terusan. "Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Sherly. Tangannya ia lipat di depan dada sembari memandangku dengan aneh. Kalau dari luar terlihat ia sedang memarahiku, tapi sebenarnya ia sedang menegurku. "Bibi, tak bisakah kau berucap dengan manis sedikit padaku? Kenapa kau terus-terusan berbicara dengan dingin?" ucapku sembari memajukan bibirku beberapa senti. "Aku sudah bersikap cukup baik di sini." "Benarkah? Aku tidak pernah melihat seseorang menjilat ludahnya sendiri," ucapku ceplos. "Lihatlah itu, walau sudah kubaik-baiki pun kau terus bersikap kurang ajar." Sherly berucap sembari menggelengkan kepalanya mengingat tingkahku. "Ei~ Bibi, kurasa kau harus mulai memakai kacamata," sindirku. Kami s
"Rubah kecil, ada apa denganmu?!" tanya Leander dengan nada khawatir setelah melihatku ketakutan. Aku menoleh padanya, terdiam sejenak, lalu tersenyum paksa. "Bukan apa-apa, aku hanya penasaran dengan buku ini. Apa buku ini sudah lama di perpustakaan istana?" tanyaku hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Buku?" Leander menaik-turunkan alisnya, ia pun mendekat dan melihat pada judul buku yang kupegang. Ia melipat tangannya dan memiringkan kepalanya seakan berpikir. "Perpustakaan di ibukota ada dua, di istana dan di pusat ibukota. Buku di istana lebih banyak menyimpan arsip mengenai sejarah dan beberapa buku pengetahuan yang sudah lama akan diganti atau dipindahkan ke perpustakaan kota. Tampaknya aku harus menghukum para pelayan karena ini." Leander menghela napasnya karena tau ia harus berurusan dengan hal menyebalkan lagi. "Tunggu, ini kan hanya hal kecil. Kalau kau tidak suka, berikan saja buku ini padaku," ucapku sembari memeluk buku itu. Leander terdiam menatapku. "Ruba
"Hah?" Aku menatap mata Leander yang tersenyum padaku. Ia menarik tanganku untuk ikut pergi bersamanya. Aku sempat terdiam, tapi langsung tersadar saat melihat beberapa pelayan menatap kami. "Yang Mulia, tunggu! Kita akan ke mana?" tanyaku. "Kau diam saja. Pokoknya mulai hari ini kau harus menemaniku sebagai pelayan pribadi!" ucap Leander tanpa beban. "Apa?" Apa yang baru saja ia katakan? Aku yang seorang pembantu biasa menjadi pelayan pribadi? Posisi seperti itu hanya bisa didapatkan jika ia memiliki keahlian atau Tuannya yang memilihnya sendiri. Namun atas dasar apa dia memilihku? Tidak mungkin hanya karena kesalahan waktu itu. "Eh, tunggu!" Aku tersentak saat menyadari sesuatu. "Setidaknya lepaskan tangan saya dulu!" Leander menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah tanganku yang dipegangnya. Ia segera melepaskan tanganku dan bertingkah sangat aneh. Dia pasti malu karena sudah memegang tangan rakyat jelata. Aku melirik wajahnya diam-diam. Aku terkejut dengan wajahnya ya
"Atlas de Emerald," ucap Sherly. "Siapa dia?" tanyaku yang tak tau. Tiba-tiba saja wajah Sherly menjadi panik dan segera menutup mulutku dengan rapat. Ia menoleh kanan-kirinya, memastikan tidak ada orang di sekitar. Aku yang kebingungan itu akhirnya dilepaskan saat ia memastikan tidak ada yang menguping. "Fuah!" Aku mengambil napasku yang tertahan karena Sherly menutup mulutku. "Ada apa denganmu?!" "Sst!" Sherly mengangkat jari telunjuknya di depan bibir untuk menyuruhku diam. "Kan kau sendiri yang bertanya mengenai kekaisaran! Atlas de Emerald adalah Kaisar saat ini!" Aku segera menutup mulutku sendiri dan segera menoleh untuk memastikan tidak ada yang menguping. Syukurlah, jika ada yang mendengar aku tidak mengetahui siapa Kaisar saat ini mungkin aku akan benar-benar dihukum. "Jadi, bagaimana bisa Baginda Kaisar sekarang menjabat?" tanyaku. Sherly terlihat diam untuk berpikir sejenak. "Tentu saja Baginda adalah Kaisar yang bijaksana. Dia dapat menyatukan negara-negara lain de
Aku membuka mataku dengan perlahan. Aku melirik ke sekitarku. Buku yang tersusun rapi di rak buku, aroma segar yang terasa familiar. Aku menatap buku cerita bergambar yang kupegang. "Kenapa berhenti? Apa yang terjadi setelah itu?" tanya seseorang. Aku pun menoleh pada seorang anak laki-laki yang duduk bersebelahan denganku. "Rey?" "Apa kau melamun lagi, Kaira? Kau akan dimarahi Ibuku, jika terus begitu." Apa yang terjadi? Kenapa Rey, sahabatku sejak kecil ada di sini? Terlebih saat ini dia masih kecil. Bukankah kami berdua sudah masuk ke universitas yang sama sekarang? "Kenapa kau terdiam lagi? Aku akan panggilkan Ibuku!" ucap Rey. Aku segera menahan tangannya untuk tidak pergi. Kuperlihatkan senyumku agar tidak membuatnya khawatir. "Duduklah, aku belum selesai membacakan ceritanya," ucapku. Aku pun membaca kisah yang berada di dalam buku yang kupegang. "Saat itu Tuan Putri pun sedih saat mendengar semua perkataan dari Pangeran. Ia berlari menuju kamarnya yang ada di istana. S
"Hei, kau yang di sana!" teriak pemuda itu pada pelayan tua. Wanita pelayan tua itu pun buru-buru menghampiri pemuda. Sementara itu, aku pelan-pelan merangkak meninggalkan tempat itu agar tidak ketahuan. Langkahku terhenti saat mendengar kata sapaan pelayan itu pada pemuda tadi. "Saya menghadap permata kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." "Apa? Pangeran?" cicitku tak percaya. Jika dia adalah Pangeran, maka dia adalah laki-laki terhormat di bawah Kaisar? Sial, aku dalam masalah besar! "Oh, ternyata kau mengenaliku," ucapnya dengan nada tinggi agar terdengar olehku. "Tentu saja Yang Mulia. Siapa yang tidak mengenali Yang Mulia Leander de Emerald, satu-satunya Pangeran di kekaisaran Emerald ini? Dengan wajah tampan dan otak yang cemerlang. Siapa pun akan langsung mengenali dan memuja Anda!" seru pelayan tua itu. "Benarkah? Tapi kurasa kau harus dihukum karena berbohong," ucap pemuda itu yang membuatku tersentak "Maksud Anda?" "Nyatanya masih ada orang yang tak mengenaliku." Pemuda
"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."Aku tidak bisa tidur karena kata-katanya. Ia mengenal Irish, sementara aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apa ia dari ingatan Irish sebelum aku menempati tubuh ini 2 bulan yang lalu? Terlebih dia memanggil Irish dengan julukan gadis dengan takdir."Aku tak paham.""Apa yang kau tidak pahami, sayang?" tanya Clea."Ah, Ibu! Bukan apa-apa!" ucapku sembari tersenyum."Ibu jadi sedih, akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam." Clea menangkup pipinya sembari memasang wajah sedihnya."Ti-tidak Ibu! Aku hanya berpikir anak-anak seumuranku ada yang sangat pintar," ucapku asal."Anakku, apa kau ingin belajar bahasa kekaisaran?" tanya Clea.Aku tersenyum tipis. Oh, apa ia baru saja mengatakan Irish tidak pernah belajar bahasa kekaisaran sebelumnya? Lalu kenapa kemarin aku dapat membaca tulisan kekaisaran?"Tidak. Aku cukup senang dengan yang sekarang. Aku akan pergi bekerja, sampai jumpa lagi, Ibu.""Hati-hati di jalan, sayang."Aku m
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Pandanganku berangsur pulih. Kulihat kanan dan kiri, bau obat menyeruak memasuki indera penciumanku. Tampaknya ini bukan kamar Irish yang kuingat. Aku pun berdiri dengan berpegangan dengan sisi kasur. Berjalan pelan untuk keluar. Setelah keluar aku ingat ini adalah ruang kesehatan di istana. Ini tidak terlalu jauh dengan gerbang keluar. Syukurlah, karena nampaknya matahari hampir terbenam. Aku harus pulang agar orangtua Irish tidak khawatir."Tunggu."Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dapat kulihat pemuda yang sebelumnya ada di perpustakaan kini tengah berjalan mendekatiku. Apa ia seorang tamu istana? Kenapa ia masih di sini di jam segini?"Apa maumu?" tanyaku sinis. Pemuda itu tersentak dan menghentikan langkahnya. Tampaknya ia benar-benar anak manja yang tidak pernah ditolak permintaannya."Kau, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.Aku terdiam sejenak tak mengerti sampai ia menunjuk kepalanya sendiri sebagai isyarat. Aku pun ikut memegang k