Namaku adalah Kaira. Seorang mahasiswa akuntansi yang mati tertabrak saat hari ulang tahunku. Setidaknya itu adalah satu-satunya yang dapat kuingat tentang kehidupan masa laluku.
"Irish! Ke marilah, sarapan sudah siap!" panggil seseorang dari lantai satu.
"Baik Ibu!" jawabku.
Aku pun turun dari kasur dan beranjak pergi dari kamar. Benar, sekarang namaku adalah Irish, gadis kecil berumur 10 tahun yang berasal dari keluarga biasa. Jujur aku masih belum bisa menerimanya. Kenyataan bahwa aku sudah meninggal dan merasuki tubuh gadis ini.
Namun, aku juga tidak bisa menyangkal perasaan senang, sedih, sakit yang selama seminggu ini kurasakan. Juga waktu yang berjalan semestinya, tidak seperti di mimpi. Aku mengerti jika aku mati saat itu, yang tidak kumengerti adalah aku yang memasuki tubuh gadis ini. Mungkin ini hanya opiniku, tapi aku berpikir Irish asli mungkin telah meninggal dan aku menggantikannya, itu sebabnya aku tak dapat keluar dari tubuh ini.
"Tapi kenapa harus aku?" dumelku yang dapat terdengar oleh orangtua Irish.
"Apa ada masalah sayang?" tanya Clea. Dia adalah ibunya Irish.
"Ah, tidak. Aku hanya berpikir ini pertama kalinya Ayah pulang setelah sekian lama," ucapku sembari tersenyum manis.
"Benar juga, sudah hampir sebulan sejak Ayah pergi meninggalkan kalian. Irish, apa kau berlaku baik pada Ibu saat Ayah pergi?" tanya Egor padaku.
"Tentu saja Ayah!" ucapku dan mendapat sebuah elusan di kepalaku.
Ugh... Aku tidak tau berpura-pura manis dan polos sangat melelahkan. Bagaimana sebenarnya anak-anak mempertahankan kepolosan mereka?
"Omong-omong, bagaimana dengan pekerjaanmu di istana? Apa sangat berat?" tanya Egor.
Aku menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak, aku tidak keberatan."
"Sayang, kau tau kami masih mampu untuk membiayaimu. Kenapa kau bersikeras ingin bekerja?" tanya Clea.
Aku terdiam sejenak. Jujur saja aku tidak tau. Aku hanya bisa mengetahui ingatan Irish dari 2 bulan yang lalu. Bagaimana Irish begitu kebingungan dan hanya mengetahui bahwa mereka berdua adalah orang tua Irish. Selebihnya hanyalah rasa canggung dan khawatir.
"Aku hanya tidak ingin membuat kalian kerepotan," ucapku refleks.
Duh, alasan macam apa itu? Sudah sewajarnya seorang anak dimanja dan nafkahi oleh orangtuanya. Apa ini karena kebiasaanku di masa lalu yang seorang yatim-piatu? Kalau seperti ini mereka pasti akan curiga.
Aku melirik ke arah mereka. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh saat melihat wajah mereka yang khawatir. Duh, pasti mereka mencurigaiku, kan? Aku harus mengubah topik pembicaraannya!
"O-oh iya, apa saja yang Ayah lakukan saat ke kota seberang?" tanyaku.
"Irish..." Clea memanggilku dengan lemah, "Apa kau tidak ingat kalau Ayahmu seorang pedagang? Ayahmu sering sekali pergi keluar kota untuk menjual dagangannya."
Akh, benar juga! Sial, kenapa ingatan Irish sungguh tidak berguna sih?
"Ahaha, benar juga. Kurasa aku masih setengah tidur," ucapku. Aku pun segera berdiri dari duduk dan keluar dari ruang makan sembari mengatakan sesuatu. "Sudah jam segini, aku akan pergi bersiap-siap dulu, Ayah, Ibu."
Aku pun berlari masuk ke dalam kamar dan menutupnya rapat-rapat. Aku membantingkan diriku di atas kasur dan memaki diriku sendiri. Aku tak kuasa saat melihat wajah kedua orangtua Irish yang mengkhawatirkan anaknya.
Bagaimana jika suatu saat mereka tau bahwa anak mereka sudah mati dan yang saat ini merasuki tubuh anaknya adalah gadis yang 10 tahun lebih tua?
Apa yang akan mereka pikirkan saat itu? Apa mereka akan menyumpahiku karena mengambil posisi Irish yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dari mereka?
Aku terdiam. Sesaat aku merasakan sesak di dada. Aku terlalu memikirkan mengenai orangtuanya, tapi aku tidak memikirkan perasaan Irish sendiri. Irish yang mungkin sudah mati. Apa yang akan ia pikirkan saat melihat seseorang berpura-pura menjadi dirinya dan mendapatkan semua kasih sayang yang seharusnya menjadi miliknya?
"Maaf, Irish..." lirihku.
Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuatku menoleh. Aku pun berdiri dan membuka pintu kamar. Kedua orangtua Irish sudah berdiri sembari tersenyum melihatku.
"Irish, Ayah punya hadiah untukmu."
"Hadiah?" tanyaku yang tak mengerti.
Mereka berdua saling bertukar pandang dan tersenyum. Lalu mereka mengambil sebuah gaun dan memperlihatkannya padaku. Mataku berbinar saat melihat betapa cantiknya gaun biru tersebut.
"Bagaimana jika kau memakainya dulu? Ibu akan membantumu."
"E-eh, aku?"
Clea mendorongku dan dirinya masuk ke dalam kamar sementara Egor tetap di luar. Mereka benar-benar tak membiarkanku mengatakan apapun. Beberapa menit pun berlalu, aku keluar sembari menggunakan gaun tersebut. Egor menatapku dengan mata berbinar.
"Apa ini terlihat aneh?" tanyaku.
Keduanya tersenyum dan menyuruhku untuk bercermin. Aku terdiam sejenak melihat pantulan diriku di kaca. Rambut silver yang sedikit bergelombang, mata biru seperti berlian, juga wajah manis dan cantik ini.
Terkadang aku merasa Irish terlalu cantik untuk sekedar menjadi rakyat biasa.
"Apa kau menyukainya, Sayang?" tanya Clea dengan lembut sembari menyentuh pundakku.
Aku tersenyum dan memutar badanku ke arah mereka. Kupeluk keduanya dengan tangan kecil ini.
"Terima kasih, Ayah, Ibu!" seruku.
"Anak kami sungguh manja," ucap Clea sembari mengelus rambutku.
Maaf, Irish. Aku tak tau apa penyebabmu mati dan penyebab diriku merasukimu. Juga maafkan aku yang telah mengambil semua milikmu. Karena itu, aku akan hidup dan menjaga semuanya untukmu.
Aku meregangkan tubuhku. Hari ini aku sudah selesai dengan tugasku membersihkan taman. Saat pertama kali masuk ke tubuh ini, aku masih tidak percaya dan mengira ini mimpi. Aku masih ingat saat dimarahi oleh pelayan tua itu karena tidak tau apa yang harus dikerjakan. Namun sekarang aku sudah mahir dan ingat apa yang harus kukerjakan selanjutnya.Setelah membersihkan taman, seharusnya aku pergi ke dapur untuk membantu mencuci piring."Hei, pembantu kecil di sana!" panggil seseorang.Aku menoleh ke belakang dan menemukan beberapa pelayan tengah membawa buku di atas kereta kecil yang mereka dorong. Mau tak mau aku pun menghampirinya."Iya?""Apa kau sudah selesai dengan tugas membersihkan taman?" tanya salah satu dari mereka."Iya, sudah kukerjakan." "Bagus. Kalau begitu bantu kami untuk membawa ini ke perpustakaan istana.""Maaf? Tapi aku hanya seorang pembantu. Mana mungkin aku diperbolehkan masuk ke perpustakaan istana."Oh ayolah. Bahkan hanya pelayan yang dipilih saja yang boleh mas
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Pandanganku berangsur pulih. Kulihat kanan dan kiri, bau obat menyeruak memasuki indera penciumanku. Tampaknya ini bukan kamar Irish yang kuingat. Aku pun berdiri dengan berpegangan dengan sisi kasur. Berjalan pelan untuk keluar. Setelah keluar aku ingat ini adalah ruang kesehatan di istana. Ini tidak terlalu jauh dengan gerbang keluar. Syukurlah, karena nampaknya matahari hampir terbenam. Aku harus pulang agar orangtua Irish tidak khawatir."Tunggu."Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dapat kulihat pemuda yang sebelumnya ada di perpustakaan kini tengah berjalan mendekatiku. Apa ia seorang tamu istana? Kenapa ia masih di sini di jam segini?"Apa maumu?" tanyaku sinis. Pemuda itu tersentak dan menghentikan langkahnya. Tampaknya ia benar-benar anak manja yang tidak pernah ditolak permintaannya."Kau, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.Aku terdiam sejenak tak mengerti sampai ia menunjuk kepalanya sendiri sebagai isyarat. Aku pun ikut memegang k
"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."Aku tidak bisa tidur karena kata-katanya. Ia mengenal Irish, sementara aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apa ia dari ingatan Irish sebelum aku menempati tubuh ini 2 bulan yang lalu? Terlebih dia memanggil Irish dengan julukan gadis dengan takdir."Aku tak paham.""Apa yang kau tidak pahami, sayang?" tanya Clea."Ah, Ibu! Bukan apa-apa!" ucapku sembari tersenyum."Ibu jadi sedih, akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam." Clea menangkup pipinya sembari memasang wajah sedihnya."Ti-tidak Ibu! Aku hanya berpikir anak-anak seumuranku ada yang sangat pintar," ucapku asal."Anakku, apa kau ingin belajar bahasa kekaisaran?" tanya Clea.Aku tersenyum tipis. Oh, apa ia baru saja mengatakan Irish tidak pernah belajar bahasa kekaisaran sebelumnya? Lalu kenapa kemarin aku dapat membaca tulisan kekaisaran?"Tidak. Aku cukup senang dengan yang sekarang. Aku akan pergi bekerja, sampai jumpa lagi, Ibu.""Hati-hati di jalan, sayang."Aku m
"Hei, kau yang di sana!" teriak pemuda itu pada pelayan tua. Wanita pelayan tua itu pun buru-buru menghampiri pemuda. Sementara itu, aku pelan-pelan merangkak meninggalkan tempat itu agar tidak ketahuan. Langkahku terhenti saat mendengar kata sapaan pelayan itu pada pemuda tadi. "Saya menghadap permata kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." "Apa? Pangeran?" cicitku tak percaya. Jika dia adalah Pangeran, maka dia adalah laki-laki terhormat di bawah Kaisar? Sial, aku dalam masalah besar! "Oh, ternyata kau mengenaliku," ucapnya dengan nada tinggi agar terdengar olehku. "Tentu saja Yang Mulia. Siapa yang tidak mengenali Yang Mulia Leander de Emerald, satu-satunya Pangeran di kekaisaran Emerald ini? Dengan wajah tampan dan otak yang cemerlang. Siapa pun akan langsung mengenali dan memuja Anda!" seru pelayan tua itu. "Benarkah? Tapi kurasa kau harus dihukum karena berbohong," ucap pemuda itu yang membuatku tersentak "Maksud Anda?" "Nyatanya masih ada orang yang tak mengenaliku." Pemuda
Aku membuka mataku dengan perlahan. Aku melirik ke sekitarku. Buku yang tersusun rapi di rak buku, aroma segar yang terasa familiar. Aku menatap buku cerita bergambar yang kupegang. "Kenapa berhenti? Apa yang terjadi setelah itu?" tanya seseorang. Aku pun menoleh pada seorang anak laki-laki yang duduk bersebelahan denganku. "Rey?" "Apa kau melamun lagi, Kaira? Kau akan dimarahi Ibuku, jika terus begitu." Apa yang terjadi? Kenapa Rey, sahabatku sejak kecil ada di sini? Terlebih saat ini dia masih kecil. Bukankah kami berdua sudah masuk ke universitas yang sama sekarang? "Kenapa kau terdiam lagi? Aku akan panggilkan Ibuku!" ucap Rey. Aku segera menahan tangannya untuk tidak pergi. Kuperlihatkan senyumku agar tidak membuatnya khawatir. "Duduklah, aku belum selesai membacakan ceritanya," ucapku. Aku pun membaca kisah yang berada di dalam buku yang kupegang. "Saat itu Tuan Putri pun sedih saat mendengar semua perkataan dari Pangeran. Ia berlari menuju kamarnya yang ada di istana. S
"Atlas de Emerald," ucap Sherly. "Siapa dia?" tanyaku yang tak tau. Tiba-tiba saja wajah Sherly menjadi panik dan segera menutup mulutku dengan rapat. Ia menoleh kanan-kirinya, memastikan tidak ada orang di sekitar. Aku yang kebingungan itu akhirnya dilepaskan saat ia memastikan tidak ada yang menguping. "Fuah!" Aku mengambil napasku yang tertahan karena Sherly menutup mulutku. "Ada apa denganmu?!" "Sst!" Sherly mengangkat jari telunjuknya di depan bibir untuk menyuruhku diam. "Kan kau sendiri yang bertanya mengenai kekaisaran! Atlas de Emerald adalah Kaisar saat ini!" Aku segera menutup mulutku sendiri dan segera menoleh untuk memastikan tidak ada yang menguping. Syukurlah, jika ada yang mendengar aku tidak mengetahui siapa Kaisar saat ini mungkin aku akan benar-benar dihukum. "Jadi, bagaimana bisa Baginda Kaisar sekarang menjabat?" tanyaku. Sherly terlihat diam untuk berpikir sejenak. "Tentu saja Baginda adalah Kaisar yang bijaksana. Dia dapat menyatukan negara-negara lain de
"Hah?" Aku menatap mata Leander yang tersenyum padaku. Ia menarik tanganku untuk ikut pergi bersamanya. Aku sempat terdiam, tapi langsung tersadar saat melihat beberapa pelayan menatap kami. "Yang Mulia, tunggu! Kita akan ke mana?" tanyaku. "Kau diam saja. Pokoknya mulai hari ini kau harus menemaniku sebagai pelayan pribadi!" ucap Leander tanpa beban. "Apa?" Apa yang baru saja ia katakan? Aku yang seorang pembantu biasa menjadi pelayan pribadi? Posisi seperti itu hanya bisa didapatkan jika ia memiliki keahlian atau Tuannya yang memilihnya sendiri. Namun atas dasar apa dia memilihku? Tidak mungkin hanya karena kesalahan waktu itu. "Eh, tunggu!" Aku tersentak saat menyadari sesuatu. "Setidaknya lepaskan tangan saya dulu!" Leander menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah tanganku yang dipegangnya. Ia segera melepaskan tanganku dan bertingkah sangat aneh. Dia pasti malu karena sudah memegang tangan rakyat jelata. Aku melirik wajahnya diam-diam. Aku terkejut dengan wajahnya ya
"Rubah kecil, ada apa denganmu?!" tanya Leander dengan nada khawatir setelah melihatku ketakutan. Aku menoleh padanya, terdiam sejenak, lalu tersenyum paksa. "Bukan apa-apa, aku hanya penasaran dengan buku ini. Apa buku ini sudah lama di perpustakaan istana?" tanyaku hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Buku?" Leander menaik-turunkan alisnya, ia pun mendekat dan melihat pada judul buku yang kupegang. Ia melipat tangannya dan memiringkan kepalanya seakan berpikir. "Perpustakaan di ibukota ada dua, di istana dan di pusat ibukota. Buku di istana lebih banyak menyimpan arsip mengenai sejarah dan beberapa buku pengetahuan yang sudah lama akan diganti atau dipindahkan ke perpustakaan kota. Tampaknya aku harus menghukum para pelayan karena ini." Leander menghela napasnya karena tau ia harus berurusan dengan hal menyebalkan lagi. "Tunggu, ini kan hanya hal kecil. Kalau kau tidak suka, berikan saja buku ini padaku," ucapku sembari memeluk buku itu. Leander terdiam menatapku. "Ruba
Aku mengedipkan mataku sembari menelisik pada judul-judul buku di depanku. "Huh?" Aku yakin kemarin aku menaruhnya di sini. Tidak, dari awal buku itu sudah ada di sini, di rak dan deretan ini. Ke mana perginya buku novel itu?"Apa para pelayan sudah mengganti bukunya? Atau Leander yang membuangnya?" tanyaku yang kebingungan. Novel 'The shooting star', novel yang pernah kubaca di kehidupanku sebelumnya tiba-tiba muncul dan menghilang lagi. Aku yakin itu bukanlah suatu kebetulan biasa. Di dunia ini terdapat sihir yang di luar nalar, akan lebih aneh jika aku tidak percaya buku itu tidak menghilang."Apa yang kau cari?" tanya lelaki itu, Count Celesta."Ah, tuan... Bukan apa-apa," ucapku lesu. Aku pun mengambil salah satu buku di sana secara random dan membawanya ke meja tempat membaca.Lelaki itu terdiam sembari menatapku diam. Mungkin ia bingung bagaimana bisa aku bersikap biasa saja di hadapannya yang seorang bangsawan. Yah, apapun itu. Aku sedang dalam mood jelek karena kehilangan bu
Aku melirik kanan dan kiriku sembari menyapu taman. Menunggu kedatangan Leander yang biasanya muncul tiba-tiba. Sudah beberapa sejak hari itu, aku belum bertemu lagi dengannya. Aku ingin bertanya pada para pelayan, tapi akan sangat aneh untuk seorang pembantu menanyakan hal itu terus-terusan. "Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Sherly. Tangannya ia lipat di depan dada sembari memandangku dengan aneh. Kalau dari luar terlihat ia sedang memarahiku, tapi sebenarnya ia sedang menegurku. "Bibi, tak bisakah kau berucap dengan manis sedikit padaku? Kenapa kau terus-terusan berbicara dengan dingin?" ucapku sembari memajukan bibirku beberapa senti. "Aku sudah bersikap cukup baik di sini." "Benarkah? Aku tidak pernah melihat seseorang menjilat ludahnya sendiri," ucapku ceplos. "Lihatlah itu, walau sudah kubaik-baiki pun kau terus bersikap kurang ajar." Sherly berucap sembari menggelengkan kepalanya mengingat tingkahku. "Ei~ Bibi, kurasa kau harus mulai memakai kacamata," sindirku. Kami s
"Rubah kecil, ada apa denganmu?!" tanya Leander dengan nada khawatir setelah melihatku ketakutan. Aku menoleh padanya, terdiam sejenak, lalu tersenyum paksa. "Bukan apa-apa, aku hanya penasaran dengan buku ini. Apa buku ini sudah lama di perpustakaan istana?" tanyaku hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Buku?" Leander menaik-turunkan alisnya, ia pun mendekat dan melihat pada judul buku yang kupegang. Ia melipat tangannya dan memiringkan kepalanya seakan berpikir. "Perpustakaan di ibukota ada dua, di istana dan di pusat ibukota. Buku di istana lebih banyak menyimpan arsip mengenai sejarah dan beberapa buku pengetahuan yang sudah lama akan diganti atau dipindahkan ke perpustakaan kota. Tampaknya aku harus menghukum para pelayan karena ini." Leander menghela napasnya karena tau ia harus berurusan dengan hal menyebalkan lagi. "Tunggu, ini kan hanya hal kecil. Kalau kau tidak suka, berikan saja buku ini padaku," ucapku sembari memeluk buku itu. Leander terdiam menatapku. "Ruba
"Hah?" Aku menatap mata Leander yang tersenyum padaku. Ia menarik tanganku untuk ikut pergi bersamanya. Aku sempat terdiam, tapi langsung tersadar saat melihat beberapa pelayan menatap kami. "Yang Mulia, tunggu! Kita akan ke mana?" tanyaku. "Kau diam saja. Pokoknya mulai hari ini kau harus menemaniku sebagai pelayan pribadi!" ucap Leander tanpa beban. "Apa?" Apa yang baru saja ia katakan? Aku yang seorang pembantu biasa menjadi pelayan pribadi? Posisi seperti itu hanya bisa didapatkan jika ia memiliki keahlian atau Tuannya yang memilihnya sendiri. Namun atas dasar apa dia memilihku? Tidak mungkin hanya karena kesalahan waktu itu. "Eh, tunggu!" Aku tersentak saat menyadari sesuatu. "Setidaknya lepaskan tangan saya dulu!" Leander menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah tanganku yang dipegangnya. Ia segera melepaskan tanganku dan bertingkah sangat aneh. Dia pasti malu karena sudah memegang tangan rakyat jelata. Aku melirik wajahnya diam-diam. Aku terkejut dengan wajahnya ya
"Atlas de Emerald," ucap Sherly. "Siapa dia?" tanyaku yang tak tau. Tiba-tiba saja wajah Sherly menjadi panik dan segera menutup mulutku dengan rapat. Ia menoleh kanan-kirinya, memastikan tidak ada orang di sekitar. Aku yang kebingungan itu akhirnya dilepaskan saat ia memastikan tidak ada yang menguping. "Fuah!" Aku mengambil napasku yang tertahan karena Sherly menutup mulutku. "Ada apa denganmu?!" "Sst!" Sherly mengangkat jari telunjuknya di depan bibir untuk menyuruhku diam. "Kan kau sendiri yang bertanya mengenai kekaisaran! Atlas de Emerald adalah Kaisar saat ini!" Aku segera menutup mulutku sendiri dan segera menoleh untuk memastikan tidak ada yang menguping. Syukurlah, jika ada yang mendengar aku tidak mengetahui siapa Kaisar saat ini mungkin aku akan benar-benar dihukum. "Jadi, bagaimana bisa Baginda Kaisar sekarang menjabat?" tanyaku. Sherly terlihat diam untuk berpikir sejenak. "Tentu saja Baginda adalah Kaisar yang bijaksana. Dia dapat menyatukan negara-negara lain de
Aku membuka mataku dengan perlahan. Aku melirik ke sekitarku. Buku yang tersusun rapi di rak buku, aroma segar yang terasa familiar. Aku menatap buku cerita bergambar yang kupegang. "Kenapa berhenti? Apa yang terjadi setelah itu?" tanya seseorang. Aku pun menoleh pada seorang anak laki-laki yang duduk bersebelahan denganku. "Rey?" "Apa kau melamun lagi, Kaira? Kau akan dimarahi Ibuku, jika terus begitu." Apa yang terjadi? Kenapa Rey, sahabatku sejak kecil ada di sini? Terlebih saat ini dia masih kecil. Bukankah kami berdua sudah masuk ke universitas yang sama sekarang? "Kenapa kau terdiam lagi? Aku akan panggilkan Ibuku!" ucap Rey. Aku segera menahan tangannya untuk tidak pergi. Kuperlihatkan senyumku agar tidak membuatnya khawatir. "Duduklah, aku belum selesai membacakan ceritanya," ucapku. Aku pun membaca kisah yang berada di dalam buku yang kupegang. "Saat itu Tuan Putri pun sedih saat mendengar semua perkataan dari Pangeran. Ia berlari menuju kamarnya yang ada di istana. S
"Hei, kau yang di sana!" teriak pemuda itu pada pelayan tua. Wanita pelayan tua itu pun buru-buru menghampiri pemuda. Sementara itu, aku pelan-pelan merangkak meninggalkan tempat itu agar tidak ketahuan. Langkahku terhenti saat mendengar kata sapaan pelayan itu pada pemuda tadi. "Saya menghadap permata kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." "Apa? Pangeran?" cicitku tak percaya. Jika dia adalah Pangeran, maka dia adalah laki-laki terhormat di bawah Kaisar? Sial, aku dalam masalah besar! "Oh, ternyata kau mengenaliku," ucapnya dengan nada tinggi agar terdengar olehku. "Tentu saja Yang Mulia. Siapa yang tidak mengenali Yang Mulia Leander de Emerald, satu-satunya Pangeran di kekaisaran Emerald ini? Dengan wajah tampan dan otak yang cemerlang. Siapa pun akan langsung mengenali dan memuja Anda!" seru pelayan tua itu. "Benarkah? Tapi kurasa kau harus dihukum karena berbohong," ucap pemuda itu yang membuatku tersentak "Maksud Anda?" "Nyatanya masih ada orang yang tak mengenaliku." Pemuda
"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."Aku tidak bisa tidur karena kata-katanya. Ia mengenal Irish, sementara aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apa ia dari ingatan Irish sebelum aku menempati tubuh ini 2 bulan yang lalu? Terlebih dia memanggil Irish dengan julukan gadis dengan takdir."Aku tak paham.""Apa yang kau tidak pahami, sayang?" tanya Clea."Ah, Ibu! Bukan apa-apa!" ucapku sembari tersenyum."Ibu jadi sedih, akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam." Clea menangkup pipinya sembari memasang wajah sedihnya."Ti-tidak Ibu! Aku hanya berpikir anak-anak seumuranku ada yang sangat pintar," ucapku asal."Anakku, apa kau ingin belajar bahasa kekaisaran?" tanya Clea.Aku tersenyum tipis. Oh, apa ia baru saja mengatakan Irish tidak pernah belajar bahasa kekaisaran sebelumnya? Lalu kenapa kemarin aku dapat membaca tulisan kekaisaran?"Tidak. Aku cukup senang dengan yang sekarang. Aku akan pergi bekerja, sampai jumpa lagi, Ibu.""Hati-hati di jalan, sayang."Aku m
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Pandanganku berangsur pulih. Kulihat kanan dan kiri, bau obat menyeruak memasuki indera penciumanku. Tampaknya ini bukan kamar Irish yang kuingat. Aku pun berdiri dengan berpegangan dengan sisi kasur. Berjalan pelan untuk keluar. Setelah keluar aku ingat ini adalah ruang kesehatan di istana. Ini tidak terlalu jauh dengan gerbang keluar. Syukurlah, karena nampaknya matahari hampir terbenam. Aku harus pulang agar orangtua Irish tidak khawatir."Tunggu."Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dapat kulihat pemuda yang sebelumnya ada di perpustakaan kini tengah berjalan mendekatiku. Apa ia seorang tamu istana? Kenapa ia masih di sini di jam segini?"Apa maumu?" tanyaku sinis. Pemuda itu tersentak dan menghentikan langkahnya. Tampaknya ia benar-benar anak manja yang tidak pernah ditolak permintaannya."Kau, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.Aku terdiam sejenak tak mengerti sampai ia menunjuk kepalanya sendiri sebagai isyarat. Aku pun ikut memegang k