Aku meregangkan tubuhku. Hari ini aku sudah selesai dengan tugasku membersihkan taman. Saat pertama kali masuk ke tubuh ini, aku masih tidak percaya dan mengira ini mimpi. Aku masih ingat saat dimarahi oleh pelayan tua itu karena tidak tau apa yang harus dikerjakan. Namun sekarang aku sudah mahir dan ingat apa yang harus kukerjakan selanjutnya.
Setelah membersihkan taman, seharusnya aku pergi ke dapur untuk membantu mencuci piring.
"Hei, pembantu kecil di sana!" panggil seseorang.
Aku menoleh ke belakang dan menemukan beberapa pelayan tengah membawa buku di atas kereta kecil yang mereka dorong. Mau tak mau aku pun menghampirinya.
"Iya?"
"Apa kau sudah selesai dengan tugas membersihkan taman?" tanya salah satu dari mereka.
"Iya, sudah kukerjakan."
"Bagus. Kalau begitu bantu kami untuk membawa ini ke perpustakaan istana."
"Maaf? Tapi aku hanya seorang pembantu. Mana mungkin aku diperbolehkan masuk ke perpustakaan istana."
Oh ayolah. Bahkan hanya pelayan yang dipilih saja yang boleh masuk ke perpustakaan istana, tapi kalian menyuruhku yang hanya pembantu ini masuk ke sana? Ada perbedaan jauh antara pelayan istana dan seorang pembantu. Pembantu lebih seperti pekerja lepas atau freelancer jika di jaman modern.
"Perpustakaan istana tidak mempunyai penjaga, kau tidak tau?" ucap mereka.
"Benarkah?"
"Benar, tapi perpustakaan istana memiliki sihir penghancur bagi mereka yang mengancam nyawa keluarga Kaisar atau bangsawan," lanjut mereka dengan santai.
"Apa?!" jeritku.
"Kau tak keberatan, kan?"
"Kami akan meninggalkan buku ini. Langsung kau susun saja menurut list yang ada di sini."
"Tu-tunggu, aku tidak bilang-" ucapanku terpotong saat mereka memberiku tumpukan buku.
"Kalau begitu kami serahkan padamu, ya? Kami harus mengejar toko kue yang baru buka."
Aku melongo melihat kepergian mereka yang begitu cepat. Sial, aku dikerjai! Aku melirik tumpukan buku di atas kereta dan di tanganku. Aku menghela napas dan menaruh buku yang di tanganku ke atas kereta. Aku memutuskan untuk cepat menyelesaikannya.
Karena taman istana dan perpustakaan berada di istana Kaisar, kupikir tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai. Ternyata aku salah. Istana Kaisar hampir sama dengan jarak aku pulang pergi kuliah di kehidupanku sebelumnya, padahal rumahku cukup dekat dengan universitas. Terlebih dengan kaki kecil ini, rasanya aku akan mati karena dehidrasi.
"Aku sampai."
Aku berlutut di depan perpustakaan. Aku benci ini. Kembalikan aku ke jamanku. Aku rindu dengan transportasi umum yang membuatku sampai lebih cepat walau harus mencium bau ketiak lelaki tua!
"Sudahlah, tidak ada gunanya."
Aku menghela napasku dan segera menyingkirkan pikiranku. Aku pun membuka pintu perpustakaan yang seperti gerbang itu. Wajahku seketika berseri melihat luasnya tempat itu.
"Wajar untuk istana negara seperti ini bukan? Apa di sini juga ada semacam novel atau sejenisnya?" ucapku asal.
Aku mulai merapikan buku-buku dan menyusunnya di rak mengikuti list yang diberikan para pelayan. Sesekali aku membaca isi buku tersebut. Aneh sekali karena aku mengerti tulisan yang belum pernah kulihat ini. Akan wajar jika Irish seorang bangsawan, tapi Irish hanya seorang anak dari rakyat biasa.
Tidak mungkin baginya untuk mengetahui tulisan ini kecuali belajar. Apa orangtuanya pernah mengajarinya tulisan? Aku terdiam dan berpikir. Seketika itu aku seperti tersengat listrik.
"Ugh... Sakit," rintihku sembari memegangi kepala.
Apa itu tadi. Aku tak dapat mengingat apapun sebelum 2 bulan yang lalu, seperti ada yang menghalangiku. Kurasa itu wajar, mungkin tubuh ini hanya membutuhkan jiwa yang cocok untuknya. Itu adalah bentuk pertahanan diri. Juga, mungkin aku tidak memasuki tubuh ini seminggu yang lalu, tapi 2 bulan yang lalu saat aku mulai menyadari keberadaan Irish.
"Ini sangat membingungkan," gumamku.
"Apa yang kau bingungkan?"
Aku tersentak dan menoleh untuk memastikan siapa yang berbicara. Wajah tampan nan rupawan, rambut dan mata berwarna emas, jelas sekali dia adalah seorang bangsawan.
"Ah, maafkan saya Tuan."
Aku segera menyusun buku terakhir di rak dan berniat pergi. Tidak ada bagusnya berurusan dengan para bangsawan yang angkuh.
"Kau tidak diajarkan tata krama, ya? Siapa yang menyuruhmu pergi?" tanyanya.
Aku menghentikan langkahku dan berbalik lagi ke arahnya. Saat ini ia tengah berada di atas tangga kayu untuk menjangkau rak teratas. Mungkin karena rak buku di istana lumayan tinggi dan pemuda itu tampaknya masih berumur belasan tahun.
"Siapa kau? Apa kau tau perpustakaan istana tidak boleh dimasuki oleh sembarangan orang?"
"Saya minta maaf, saya hanya membantu para pelayan."
Pemuda itu melihatku dari ujung rambut hingga kaki. Ia mendecih dan memalingkan wajahnya. "Tak kusangka penjagaan di istana semakin buruk. Mereka sekarang membiarkan budak masuk ke sini."
"Maaf?"
Aku mengerutkan keningku. Budak katanya? Budak adalah orang yang kehilangan identitasnya dan tidak diakui oleh negara. Entah karena negeri si budak telah hancur atau ia yang memang tidak punya identitas. Bahkan untuk rakyat jelata sendiri, budak adalah orang rendahan.
"Bukankah aku benar? Pakaian dan wajah jelekmu itu. Sudah cukup untuk mengatakan kau rendahan."
"Begitu, ya?" Aku terdiam, tanganku mengepal kuat. Jadi seperti ini perasaan Irish setiap harinya? Dicaci maki dan direndahkan.
"Lantas kenapa jika aku seorang budak?"
"Apa?" Pemuda itu terlihat kebingungan dengan sikapku.
"Hanya karena kau seorang bangsawan, kau pikir dirimu hebat? Dasar menyebalkan." Aku menatapnya sinis dan berbalik tak peduli.
"Hei! Apa kau tau siapa aku?! Beraninya mengatakan aku menyebalkan!" teriak pemuda itu.
Ya, ya, terserah. Kuyakin dia adalah tuan muda dari keluarga bangsawan yang sangat manja hingga tidak tau kepahitan hidup itu seperti apa. Aku ini lebih tua darimu tau!
"Hei! Tu-tunggu!"
Huft... Aku menoleh untuk melihat apa yang ingin ia tunjukkan kali ini karena ia sangat berisik. Betapa terkejutnya aku saat melihat ia tampak kehilangan pijakan di anak tangga.
"Hei kau, awas!" jeritku. Aku berlari dan merentangkan tanganku. Sial, tubuh ini terlalu kecil. Setidaknya, setidaknya biarkan aku melindungi kepalanya!
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Pandanganku berangsur pulih. Kulihat kanan dan kiri, bau obat menyeruak memasuki indera penciumanku. Tampaknya ini bukan kamar Irish yang kuingat. Aku pun berdiri dengan berpegangan dengan sisi kasur. Berjalan pelan untuk keluar. Setelah keluar aku ingat ini adalah ruang kesehatan di istana. Ini tidak terlalu jauh dengan gerbang keluar. Syukurlah, karena nampaknya matahari hampir terbenam. Aku harus pulang agar orangtua Irish tidak khawatir."Tunggu."Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dapat kulihat pemuda yang sebelumnya ada di perpustakaan kini tengah berjalan mendekatiku. Apa ia seorang tamu istana? Kenapa ia masih di sini di jam segini?"Apa maumu?" tanyaku sinis. Pemuda itu tersentak dan menghentikan langkahnya. Tampaknya ia benar-benar anak manja yang tidak pernah ditolak permintaannya."Kau, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.Aku terdiam sejenak tak mengerti sampai ia menunjuk kepalanya sendiri sebagai isyarat. Aku pun ikut memegang k
"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."Aku tidak bisa tidur karena kata-katanya. Ia mengenal Irish, sementara aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apa ia dari ingatan Irish sebelum aku menempati tubuh ini 2 bulan yang lalu? Terlebih dia memanggil Irish dengan julukan gadis dengan takdir."Aku tak paham.""Apa yang kau tidak pahami, sayang?" tanya Clea."Ah, Ibu! Bukan apa-apa!" ucapku sembari tersenyum."Ibu jadi sedih, akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam." Clea menangkup pipinya sembari memasang wajah sedihnya."Ti-tidak Ibu! Aku hanya berpikir anak-anak seumuranku ada yang sangat pintar," ucapku asal."Anakku, apa kau ingin belajar bahasa kekaisaran?" tanya Clea.Aku tersenyum tipis. Oh, apa ia baru saja mengatakan Irish tidak pernah belajar bahasa kekaisaran sebelumnya? Lalu kenapa kemarin aku dapat membaca tulisan kekaisaran?"Tidak. Aku cukup senang dengan yang sekarang. Aku akan pergi bekerja, sampai jumpa lagi, Ibu.""Hati-hati di jalan, sayang."Aku m
"Hei, kau yang di sana!" teriak pemuda itu pada pelayan tua. Wanita pelayan tua itu pun buru-buru menghampiri pemuda. Sementara itu, aku pelan-pelan merangkak meninggalkan tempat itu agar tidak ketahuan. Langkahku terhenti saat mendengar kata sapaan pelayan itu pada pemuda tadi. "Saya menghadap permata kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." "Apa? Pangeran?" cicitku tak percaya. Jika dia adalah Pangeran, maka dia adalah laki-laki terhormat di bawah Kaisar? Sial, aku dalam masalah besar! "Oh, ternyata kau mengenaliku," ucapnya dengan nada tinggi agar terdengar olehku. "Tentu saja Yang Mulia. Siapa yang tidak mengenali Yang Mulia Leander de Emerald, satu-satunya Pangeran di kekaisaran Emerald ini? Dengan wajah tampan dan otak yang cemerlang. Siapa pun akan langsung mengenali dan memuja Anda!" seru pelayan tua itu. "Benarkah? Tapi kurasa kau harus dihukum karena berbohong," ucap pemuda itu yang membuatku tersentak "Maksud Anda?" "Nyatanya masih ada orang yang tak mengenaliku." Pemuda
Aku membuka mataku dengan perlahan. Aku melirik ke sekitarku. Buku yang tersusun rapi di rak buku, aroma segar yang terasa familiar. Aku menatap buku cerita bergambar yang kupegang. "Kenapa berhenti? Apa yang terjadi setelah itu?" tanya seseorang. Aku pun menoleh pada seorang anak laki-laki yang duduk bersebelahan denganku. "Rey?" "Apa kau melamun lagi, Kaira? Kau akan dimarahi Ibuku, jika terus begitu." Apa yang terjadi? Kenapa Rey, sahabatku sejak kecil ada di sini? Terlebih saat ini dia masih kecil. Bukankah kami berdua sudah masuk ke universitas yang sama sekarang? "Kenapa kau terdiam lagi? Aku akan panggilkan Ibuku!" ucap Rey. Aku segera menahan tangannya untuk tidak pergi. Kuperlihatkan senyumku agar tidak membuatnya khawatir. "Duduklah, aku belum selesai membacakan ceritanya," ucapku. Aku pun membaca kisah yang berada di dalam buku yang kupegang. "Saat itu Tuan Putri pun sedih saat mendengar semua perkataan dari Pangeran. Ia berlari menuju kamarnya yang ada di istana. S
"Atlas de Emerald," ucap Sherly. "Siapa dia?" tanyaku yang tak tau. Tiba-tiba saja wajah Sherly menjadi panik dan segera menutup mulutku dengan rapat. Ia menoleh kanan-kirinya, memastikan tidak ada orang di sekitar. Aku yang kebingungan itu akhirnya dilepaskan saat ia memastikan tidak ada yang menguping. "Fuah!" Aku mengambil napasku yang tertahan karena Sherly menutup mulutku. "Ada apa denganmu?!" "Sst!" Sherly mengangkat jari telunjuknya di depan bibir untuk menyuruhku diam. "Kan kau sendiri yang bertanya mengenai kekaisaran! Atlas de Emerald adalah Kaisar saat ini!" Aku segera menutup mulutku sendiri dan segera menoleh untuk memastikan tidak ada yang menguping. Syukurlah, jika ada yang mendengar aku tidak mengetahui siapa Kaisar saat ini mungkin aku akan benar-benar dihukum. "Jadi, bagaimana bisa Baginda Kaisar sekarang menjabat?" tanyaku. Sherly terlihat diam untuk berpikir sejenak. "Tentu saja Baginda adalah Kaisar yang bijaksana. Dia dapat menyatukan negara-negara lain de
"Hah?" Aku menatap mata Leander yang tersenyum padaku. Ia menarik tanganku untuk ikut pergi bersamanya. Aku sempat terdiam, tapi langsung tersadar saat melihat beberapa pelayan menatap kami. "Yang Mulia, tunggu! Kita akan ke mana?" tanyaku. "Kau diam saja. Pokoknya mulai hari ini kau harus menemaniku sebagai pelayan pribadi!" ucap Leander tanpa beban. "Apa?" Apa yang baru saja ia katakan? Aku yang seorang pembantu biasa menjadi pelayan pribadi? Posisi seperti itu hanya bisa didapatkan jika ia memiliki keahlian atau Tuannya yang memilihnya sendiri. Namun atas dasar apa dia memilihku? Tidak mungkin hanya karena kesalahan waktu itu. "Eh, tunggu!" Aku tersentak saat menyadari sesuatu. "Setidaknya lepaskan tangan saya dulu!" Leander menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah tanganku yang dipegangnya. Ia segera melepaskan tanganku dan bertingkah sangat aneh. Dia pasti malu karena sudah memegang tangan rakyat jelata. Aku melirik wajahnya diam-diam. Aku terkejut dengan wajahnya ya
"Rubah kecil, ada apa denganmu?!" tanya Leander dengan nada khawatir setelah melihatku ketakutan. Aku menoleh padanya, terdiam sejenak, lalu tersenyum paksa. "Bukan apa-apa, aku hanya penasaran dengan buku ini. Apa buku ini sudah lama di perpustakaan istana?" tanyaku hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Buku?" Leander menaik-turunkan alisnya, ia pun mendekat dan melihat pada judul buku yang kupegang. Ia melipat tangannya dan memiringkan kepalanya seakan berpikir. "Perpustakaan di ibukota ada dua, di istana dan di pusat ibukota. Buku di istana lebih banyak menyimpan arsip mengenai sejarah dan beberapa buku pengetahuan yang sudah lama akan diganti atau dipindahkan ke perpustakaan kota. Tampaknya aku harus menghukum para pelayan karena ini." Leander menghela napasnya karena tau ia harus berurusan dengan hal menyebalkan lagi. "Tunggu, ini kan hanya hal kecil. Kalau kau tidak suka, berikan saja buku ini padaku," ucapku sembari memeluk buku itu. Leander terdiam menatapku. "Ruba
Aku melirik kanan dan kiriku sembari menyapu taman. Menunggu kedatangan Leander yang biasanya muncul tiba-tiba. Sudah beberapa sejak hari itu, aku belum bertemu lagi dengannya. Aku ingin bertanya pada para pelayan, tapi akan sangat aneh untuk seorang pembantu menanyakan hal itu terus-terusan. "Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Sherly. Tangannya ia lipat di depan dada sembari memandangku dengan aneh. Kalau dari luar terlihat ia sedang memarahiku, tapi sebenarnya ia sedang menegurku. "Bibi, tak bisakah kau berucap dengan manis sedikit padaku? Kenapa kau terus-terusan berbicara dengan dingin?" ucapku sembari memajukan bibirku beberapa senti. "Aku sudah bersikap cukup baik di sini." "Benarkah? Aku tidak pernah melihat seseorang menjilat ludahnya sendiri," ucapku ceplos. "Lihatlah itu, walau sudah kubaik-baiki pun kau terus bersikap kurang ajar." Sherly berucap sembari menggelengkan kepalanya mengingat tingkahku. "Ei~ Bibi, kurasa kau harus mulai memakai kacamata," sindirku. Kami s
Aku mengedipkan mataku sembari menelisik pada judul-judul buku di depanku. "Huh?" Aku yakin kemarin aku menaruhnya di sini. Tidak, dari awal buku itu sudah ada di sini, di rak dan deretan ini. Ke mana perginya buku novel itu?"Apa para pelayan sudah mengganti bukunya? Atau Leander yang membuangnya?" tanyaku yang kebingungan. Novel 'The shooting star', novel yang pernah kubaca di kehidupanku sebelumnya tiba-tiba muncul dan menghilang lagi. Aku yakin itu bukanlah suatu kebetulan biasa. Di dunia ini terdapat sihir yang di luar nalar, akan lebih aneh jika aku tidak percaya buku itu tidak menghilang."Apa yang kau cari?" tanya lelaki itu, Count Celesta."Ah, tuan... Bukan apa-apa," ucapku lesu. Aku pun mengambil salah satu buku di sana secara random dan membawanya ke meja tempat membaca.Lelaki itu terdiam sembari menatapku diam. Mungkin ia bingung bagaimana bisa aku bersikap biasa saja di hadapannya yang seorang bangsawan. Yah, apapun itu. Aku sedang dalam mood jelek karena kehilangan bu
Aku melirik kanan dan kiriku sembari menyapu taman. Menunggu kedatangan Leander yang biasanya muncul tiba-tiba. Sudah beberapa sejak hari itu, aku belum bertemu lagi dengannya. Aku ingin bertanya pada para pelayan, tapi akan sangat aneh untuk seorang pembantu menanyakan hal itu terus-terusan. "Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Sherly. Tangannya ia lipat di depan dada sembari memandangku dengan aneh. Kalau dari luar terlihat ia sedang memarahiku, tapi sebenarnya ia sedang menegurku. "Bibi, tak bisakah kau berucap dengan manis sedikit padaku? Kenapa kau terus-terusan berbicara dengan dingin?" ucapku sembari memajukan bibirku beberapa senti. "Aku sudah bersikap cukup baik di sini." "Benarkah? Aku tidak pernah melihat seseorang menjilat ludahnya sendiri," ucapku ceplos. "Lihatlah itu, walau sudah kubaik-baiki pun kau terus bersikap kurang ajar." Sherly berucap sembari menggelengkan kepalanya mengingat tingkahku. "Ei~ Bibi, kurasa kau harus mulai memakai kacamata," sindirku. Kami s
"Rubah kecil, ada apa denganmu?!" tanya Leander dengan nada khawatir setelah melihatku ketakutan. Aku menoleh padanya, terdiam sejenak, lalu tersenyum paksa. "Bukan apa-apa, aku hanya penasaran dengan buku ini. Apa buku ini sudah lama di perpustakaan istana?" tanyaku hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Buku?" Leander menaik-turunkan alisnya, ia pun mendekat dan melihat pada judul buku yang kupegang. Ia melipat tangannya dan memiringkan kepalanya seakan berpikir. "Perpustakaan di ibukota ada dua, di istana dan di pusat ibukota. Buku di istana lebih banyak menyimpan arsip mengenai sejarah dan beberapa buku pengetahuan yang sudah lama akan diganti atau dipindahkan ke perpustakaan kota. Tampaknya aku harus menghukum para pelayan karena ini." Leander menghela napasnya karena tau ia harus berurusan dengan hal menyebalkan lagi. "Tunggu, ini kan hanya hal kecil. Kalau kau tidak suka, berikan saja buku ini padaku," ucapku sembari memeluk buku itu. Leander terdiam menatapku. "Ruba
"Hah?" Aku menatap mata Leander yang tersenyum padaku. Ia menarik tanganku untuk ikut pergi bersamanya. Aku sempat terdiam, tapi langsung tersadar saat melihat beberapa pelayan menatap kami. "Yang Mulia, tunggu! Kita akan ke mana?" tanyaku. "Kau diam saja. Pokoknya mulai hari ini kau harus menemaniku sebagai pelayan pribadi!" ucap Leander tanpa beban. "Apa?" Apa yang baru saja ia katakan? Aku yang seorang pembantu biasa menjadi pelayan pribadi? Posisi seperti itu hanya bisa didapatkan jika ia memiliki keahlian atau Tuannya yang memilihnya sendiri. Namun atas dasar apa dia memilihku? Tidak mungkin hanya karena kesalahan waktu itu. "Eh, tunggu!" Aku tersentak saat menyadari sesuatu. "Setidaknya lepaskan tangan saya dulu!" Leander menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah tanganku yang dipegangnya. Ia segera melepaskan tanganku dan bertingkah sangat aneh. Dia pasti malu karena sudah memegang tangan rakyat jelata. Aku melirik wajahnya diam-diam. Aku terkejut dengan wajahnya ya
"Atlas de Emerald," ucap Sherly. "Siapa dia?" tanyaku yang tak tau. Tiba-tiba saja wajah Sherly menjadi panik dan segera menutup mulutku dengan rapat. Ia menoleh kanan-kirinya, memastikan tidak ada orang di sekitar. Aku yang kebingungan itu akhirnya dilepaskan saat ia memastikan tidak ada yang menguping. "Fuah!" Aku mengambil napasku yang tertahan karena Sherly menutup mulutku. "Ada apa denganmu?!" "Sst!" Sherly mengangkat jari telunjuknya di depan bibir untuk menyuruhku diam. "Kan kau sendiri yang bertanya mengenai kekaisaran! Atlas de Emerald adalah Kaisar saat ini!" Aku segera menutup mulutku sendiri dan segera menoleh untuk memastikan tidak ada yang menguping. Syukurlah, jika ada yang mendengar aku tidak mengetahui siapa Kaisar saat ini mungkin aku akan benar-benar dihukum. "Jadi, bagaimana bisa Baginda Kaisar sekarang menjabat?" tanyaku. Sherly terlihat diam untuk berpikir sejenak. "Tentu saja Baginda adalah Kaisar yang bijaksana. Dia dapat menyatukan negara-negara lain de
Aku membuka mataku dengan perlahan. Aku melirik ke sekitarku. Buku yang tersusun rapi di rak buku, aroma segar yang terasa familiar. Aku menatap buku cerita bergambar yang kupegang. "Kenapa berhenti? Apa yang terjadi setelah itu?" tanya seseorang. Aku pun menoleh pada seorang anak laki-laki yang duduk bersebelahan denganku. "Rey?" "Apa kau melamun lagi, Kaira? Kau akan dimarahi Ibuku, jika terus begitu." Apa yang terjadi? Kenapa Rey, sahabatku sejak kecil ada di sini? Terlebih saat ini dia masih kecil. Bukankah kami berdua sudah masuk ke universitas yang sama sekarang? "Kenapa kau terdiam lagi? Aku akan panggilkan Ibuku!" ucap Rey. Aku segera menahan tangannya untuk tidak pergi. Kuperlihatkan senyumku agar tidak membuatnya khawatir. "Duduklah, aku belum selesai membacakan ceritanya," ucapku. Aku pun membaca kisah yang berada di dalam buku yang kupegang. "Saat itu Tuan Putri pun sedih saat mendengar semua perkataan dari Pangeran. Ia berlari menuju kamarnya yang ada di istana. S
"Hei, kau yang di sana!" teriak pemuda itu pada pelayan tua. Wanita pelayan tua itu pun buru-buru menghampiri pemuda. Sementara itu, aku pelan-pelan merangkak meninggalkan tempat itu agar tidak ketahuan. Langkahku terhenti saat mendengar kata sapaan pelayan itu pada pemuda tadi. "Saya menghadap permata kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." "Apa? Pangeran?" cicitku tak percaya. Jika dia adalah Pangeran, maka dia adalah laki-laki terhormat di bawah Kaisar? Sial, aku dalam masalah besar! "Oh, ternyata kau mengenaliku," ucapnya dengan nada tinggi agar terdengar olehku. "Tentu saja Yang Mulia. Siapa yang tidak mengenali Yang Mulia Leander de Emerald, satu-satunya Pangeran di kekaisaran Emerald ini? Dengan wajah tampan dan otak yang cemerlang. Siapa pun akan langsung mengenali dan memuja Anda!" seru pelayan tua itu. "Benarkah? Tapi kurasa kau harus dihukum karena berbohong," ucap pemuda itu yang membuatku tersentak "Maksud Anda?" "Nyatanya masih ada orang yang tak mengenaliku." Pemuda
"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."Aku tidak bisa tidur karena kata-katanya. Ia mengenal Irish, sementara aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apa ia dari ingatan Irish sebelum aku menempati tubuh ini 2 bulan yang lalu? Terlebih dia memanggil Irish dengan julukan gadis dengan takdir."Aku tak paham.""Apa yang kau tidak pahami, sayang?" tanya Clea."Ah, Ibu! Bukan apa-apa!" ucapku sembari tersenyum."Ibu jadi sedih, akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam." Clea menangkup pipinya sembari memasang wajah sedihnya."Ti-tidak Ibu! Aku hanya berpikir anak-anak seumuranku ada yang sangat pintar," ucapku asal."Anakku, apa kau ingin belajar bahasa kekaisaran?" tanya Clea.Aku tersenyum tipis. Oh, apa ia baru saja mengatakan Irish tidak pernah belajar bahasa kekaisaran sebelumnya? Lalu kenapa kemarin aku dapat membaca tulisan kekaisaran?"Tidak. Aku cukup senang dengan yang sekarang. Aku akan pergi bekerja, sampai jumpa lagi, Ibu.""Hati-hati di jalan, sayang."Aku m
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Pandanganku berangsur pulih. Kulihat kanan dan kiri, bau obat menyeruak memasuki indera penciumanku. Tampaknya ini bukan kamar Irish yang kuingat. Aku pun berdiri dengan berpegangan dengan sisi kasur. Berjalan pelan untuk keluar. Setelah keluar aku ingat ini adalah ruang kesehatan di istana. Ini tidak terlalu jauh dengan gerbang keluar. Syukurlah, karena nampaknya matahari hampir terbenam. Aku harus pulang agar orangtua Irish tidak khawatir."Tunggu."Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dapat kulihat pemuda yang sebelumnya ada di perpustakaan kini tengah berjalan mendekatiku. Apa ia seorang tamu istana? Kenapa ia masih di sini di jam segini?"Apa maumu?" tanyaku sinis. Pemuda itu tersentak dan menghentikan langkahnya. Tampaknya ia benar-benar anak manja yang tidak pernah ditolak permintaannya."Kau, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.Aku terdiam sejenak tak mengerti sampai ia menunjuk kepalanya sendiri sebagai isyarat. Aku pun ikut memegang k