Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Pandanganku berangsur pulih. Kulihat kanan dan kiri, bau obat menyeruak memasuki indera penciumanku. Tampaknya ini bukan kamar Irish yang kuingat.
Aku pun berdiri dengan berpegangan dengan sisi kasur. Berjalan pelan untuk keluar. Setelah keluar aku ingat ini adalah ruang kesehatan di istana. Ini tidak terlalu jauh dengan gerbang keluar. Syukurlah, karena nampaknya matahari hampir terbenam. Aku harus pulang agar orangtua Irish tidak khawatir.
"Tunggu."
Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dapat kulihat pemuda yang sebelumnya ada di perpustakaan kini tengah berjalan mendekatiku. Apa ia seorang tamu istana? Kenapa ia masih di sini di jam segini?
"Apa maumu?" tanyaku sinis. Pemuda itu tersentak dan menghentikan langkahnya. Tampaknya ia benar-benar anak manja yang tidak pernah ditolak permintaannya.
"Kau, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.
Aku terdiam sejenak tak mengerti sampai ia menunjuk kepalanya sendiri sebagai isyarat. Aku pun ikut memegang kepalaku yang berbalut perban. Ah, kalau tidak salah kepala kami sedikit berbenturan karena aku berusaha menangkapnya.
"Kau tampak sehat. Syukurlah," ucapku dan langsung berbalik.
"Tunggu! Aku belum selesai!"
"Jadi?" tanyaku singkat.
Pemuda itu terdiam sejenak dengan wajah yang seperti terpojok. "Kau tidak tau tata krama kekaisaran, ya? Bagaimana bisa kau bersikap tidak sopan seperti itu padaku?!"
Aku menghela napasku. "Benar. Aku tidak tau sama sekali mengenai tata krama orang-orang tinggi seperti kalian. Aku hanya seorang rakyat jelata yang rendahan yang harus bekerja untuk mendapatkan uang, kami tidak mempunyai waktu untuk belajar seperti kalian."
"Aku, aku tidak bermaksud..." Pemuda itu menundukkan kepalanya.
Kurasa sudah cukup sampai situ saja. Tidak ada untungnya bermasalah dengan bangsawan dan kurasa dia sudah mengerti apa yang coba kukatakan. Aku pun berbalik dan segera pergi dari sana.
Sementara itu pemuda tersebut terdiam sembari menatap bahu kecilku yang perlahan menghilang.
"Yang Mulia Pangeran, Anda tidak diperbolehkan untuk keluar kamar karena belum sembuh. Saya mohon kembali ke kamar," ujar seorang pelayan yang akhirnya menemukan pemuda tersebut.
"Berisik sekali," ketus pemuda tersebut.
"To-tolong kembali, Yang Mulia."
"Aku mengerti. Berhenti merengek dan tunjukkan jalannya."
"Ba-baik!" ucap pelayan tersebut. Ia berjalan dahulu di samping pemuda tersebut untuk menunjukkan jalan. Tentu saja pemuda tersebut tau arah kamarnya sendiri karena ia adalah anak dari pemilik istana. Namun itu adalah hal wajar untuknya memerintah pelayan.
***
Di sisi lain aku tengah berlari sebelum para penjaga gerbang istana melakukan pergantian shift. Aku melambaikan tanganku pada kedua penjaga yang tampaknya mau berganti shift.
"Paman!"
"Oh, Irish. Tumben sekali melihatmu pulang sore sekali, apa para pelayan mengganggumu lagi?" tanya salah satu dari mereka.
"Tidak, mereka sangat baik. Aku hanya lupa waktu saja."
Persetan dengan itu. Apanya yang baik? Kalau bukan karena para pelayan itu, aku tidak akan berakhir di ruang kesehatan!
"Anak ini sungguh pintar. Dia mencari pekerjaan untuk meringankan beban orangtuanya sendiri," ucap kesatria penjaga pada rekannya yang tampaknya belum mengenalku.
"Benarkah? Itu pasti sangat susah untukmu. Kau sudah bekerja keras," ucap rekannya sembari membukakan pintu gerbang yang lebih kecil.
"Terima kasih, Paman semua!" ucapku sembari melambaikan tangan pada keduanya.
Aku senang setidaknya para kesatria tampak menghargaiku walau aku hanya seorang pembantu. Terlebih mereka sangat mudah diajak bicara, jadi aku banyak tau mengenai Irish dari mereka tanpa perlu bertanya.
Aku pun kembali berjalan melewati jalanan yang sering kulewati, hanya saja sekarang mulai sepi karena hari mulai gelap. Aku terus berjalan, terkadang aku menyapa beberapa orang yang mengenal Irish. Tampaknya Irish cukup populer di sini.
Aku menatap lurus ke depan. Hanya ada jalanan dan beberapa orang yang masih beraktivitas. Seketika aku merasakan ada yang aneh. Ada kabut hitam di depanku yang melaju dengan cepat. Kabut hitam itu melewatiku dengan hembusan angin yang begitu kencang.
Aku pun menoleh ke belakang dan melihat seorang anak tengah menyebrang jalan. Tanpa pikir panjang, kaki dan tanganku bergerak dengan sendirinya. Berlari dan memeluk anak itu agar tidak tertabrak.
"Irish, apa yang kau lakukan?" tanya seseorang.
Aku pun membuka mataku perlahan dan melirik ke sekelilingku. Jelas-jelas aku melihat kereta kuda tengah melaju dengan kencang. "Ah, maaf. Kulihat ia mau jatuh, jadi aku berusaha membantu."
"Begitu ya, anak ini memang tidak hati-hati. Terima kasih, Irish."
"Ibu, aku tidak terjatuh!" seru anak itu.
"Sudahlah, ayo cepat masuk ke rumah!"
Aku terdiam di tempatku. Rasanya detak jantungku masih tidak karuan. Sakit, rasa sakit saat tertabrak mobil, perasaan yakin pada diriku bahwa aku akan mati saat itu. Apa aku benar-benar sudah merelakan kematianku sendiri?
Aku memegang dadaku, kuremas pakaian lusuh yang kukenakan. Napasku terasa sesak mengingat kejadian itu. Tiba-tiba saja seseorang menyentuh pundakku dan memberikan energi aneh berwarna emas.
"Tak apa. Bernapas lah dengan pelan," bisiknya di samping telingaku.
Aku mengikuti arahannya. Sekitar 5 menit akhirnya aku dapat tenang. Aku pun membalikkan tubuhku dan melihat seorang pemuda berpakaian serba putih.
"Terima kasih, Tuan."
"Bukan masalah. Aku hanya menjalankan tugasku."
"Tugas?" tanyaku kebingungan. Apa ia semacam organisasi peduli lingkungan atau sejenisnya?
Pemuda itu tersenyum ke arahku yang membuat hatiku berdesir. Dia cukup tampan walau umurnya terlihat masih muda. Aku menatapnya yang menatap ke arah istana. Setelah dilihat-lihat, matanya berwarna emas seperti pemuda yang berada di istana itu.
"Kalau begitu, sampai jumpa lagi," ucapnya begitu saja.
"Eh, tunggu! Setidaknya, namamu!" teriakku sembari berusaha meraihnya. Sayangnya tubuhnya perlahan hilang menjadi butiran emas. Apa ini sihir?
"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."
Aku terdiam tak percaya. Ini pertama kalinya aku melihat sesuatu seperti sihir atau apapun itu. Walau diriku yang masuk ke tubuh ini sudah tidak wajar jika dibilang hanya kebetulan. Namun semuanya adalah hal baru bagiku. Terlebih pemuda tadi nampaknya mengetahui Irish.
"Ini menyebalkan."
"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."Aku tidak bisa tidur karena kata-katanya. Ia mengenal Irish, sementara aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apa ia dari ingatan Irish sebelum aku menempati tubuh ini 2 bulan yang lalu? Terlebih dia memanggil Irish dengan julukan gadis dengan takdir."Aku tak paham.""Apa yang kau tidak pahami, sayang?" tanya Clea."Ah, Ibu! Bukan apa-apa!" ucapku sembari tersenyum."Ibu jadi sedih, akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam." Clea menangkup pipinya sembari memasang wajah sedihnya."Ti-tidak Ibu! Aku hanya berpikir anak-anak seumuranku ada yang sangat pintar," ucapku asal."Anakku, apa kau ingin belajar bahasa kekaisaran?" tanya Clea.Aku tersenyum tipis. Oh, apa ia baru saja mengatakan Irish tidak pernah belajar bahasa kekaisaran sebelumnya? Lalu kenapa kemarin aku dapat membaca tulisan kekaisaran?"Tidak. Aku cukup senang dengan yang sekarang. Aku akan pergi bekerja, sampai jumpa lagi, Ibu.""Hati-hati di jalan, sayang."Aku m
"Hei, kau yang di sana!" teriak pemuda itu pada pelayan tua. Wanita pelayan tua itu pun buru-buru menghampiri pemuda. Sementara itu, aku pelan-pelan merangkak meninggalkan tempat itu agar tidak ketahuan. Langkahku terhenti saat mendengar kata sapaan pelayan itu pada pemuda tadi. "Saya menghadap permata kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." "Apa? Pangeran?" cicitku tak percaya. Jika dia adalah Pangeran, maka dia adalah laki-laki terhormat di bawah Kaisar? Sial, aku dalam masalah besar! "Oh, ternyata kau mengenaliku," ucapnya dengan nada tinggi agar terdengar olehku. "Tentu saja Yang Mulia. Siapa yang tidak mengenali Yang Mulia Leander de Emerald, satu-satunya Pangeran di kekaisaran Emerald ini? Dengan wajah tampan dan otak yang cemerlang. Siapa pun akan langsung mengenali dan memuja Anda!" seru pelayan tua itu. "Benarkah? Tapi kurasa kau harus dihukum karena berbohong," ucap pemuda itu yang membuatku tersentak "Maksud Anda?" "Nyatanya masih ada orang yang tak mengenaliku." Pemuda
Aku membuka mataku dengan perlahan. Aku melirik ke sekitarku. Buku yang tersusun rapi di rak buku, aroma segar yang terasa familiar. Aku menatap buku cerita bergambar yang kupegang. "Kenapa berhenti? Apa yang terjadi setelah itu?" tanya seseorang. Aku pun menoleh pada seorang anak laki-laki yang duduk bersebelahan denganku. "Rey?" "Apa kau melamun lagi, Kaira? Kau akan dimarahi Ibuku, jika terus begitu." Apa yang terjadi? Kenapa Rey, sahabatku sejak kecil ada di sini? Terlebih saat ini dia masih kecil. Bukankah kami berdua sudah masuk ke universitas yang sama sekarang? "Kenapa kau terdiam lagi? Aku akan panggilkan Ibuku!" ucap Rey. Aku segera menahan tangannya untuk tidak pergi. Kuperlihatkan senyumku agar tidak membuatnya khawatir. "Duduklah, aku belum selesai membacakan ceritanya," ucapku. Aku pun membaca kisah yang berada di dalam buku yang kupegang. "Saat itu Tuan Putri pun sedih saat mendengar semua perkataan dari Pangeran. Ia berlari menuju kamarnya yang ada di istana. S
"Atlas de Emerald," ucap Sherly. "Siapa dia?" tanyaku yang tak tau. Tiba-tiba saja wajah Sherly menjadi panik dan segera menutup mulutku dengan rapat. Ia menoleh kanan-kirinya, memastikan tidak ada orang di sekitar. Aku yang kebingungan itu akhirnya dilepaskan saat ia memastikan tidak ada yang menguping. "Fuah!" Aku mengambil napasku yang tertahan karena Sherly menutup mulutku. "Ada apa denganmu?!" "Sst!" Sherly mengangkat jari telunjuknya di depan bibir untuk menyuruhku diam. "Kan kau sendiri yang bertanya mengenai kekaisaran! Atlas de Emerald adalah Kaisar saat ini!" Aku segera menutup mulutku sendiri dan segera menoleh untuk memastikan tidak ada yang menguping. Syukurlah, jika ada yang mendengar aku tidak mengetahui siapa Kaisar saat ini mungkin aku akan benar-benar dihukum. "Jadi, bagaimana bisa Baginda Kaisar sekarang menjabat?" tanyaku. Sherly terlihat diam untuk berpikir sejenak. "Tentu saja Baginda adalah Kaisar yang bijaksana. Dia dapat menyatukan negara-negara lain de
"Hah?" Aku menatap mata Leander yang tersenyum padaku. Ia menarik tanganku untuk ikut pergi bersamanya. Aku sempat terdiam, tapi langsung tersadar saat melihat beberapa pelayan menatap kami. "Yang Mulia, tunggu! Kita akan ke mana?" tanyaku. "Kau diam saja. Pokoknya mulai hari ini kau harus menemaniku sebagai pelayan pribadi!" ucap Leander tanpa beban. "Apa?" Apa yang baru saja ia katakan? Aku yang seorang pembantu biasa menjadi pelayan pribadi? Posisi seperti itu hanya bisa didapatkan jika ia memiliki keahlian atau Tuannya yang memilihnya sendiri. Namun atas dasar apa dia memilihku? Tidak mungkin hanya karena kesalahan waktu itu. "Eh, tunggu!" Aku tersentak saat menyadari sesuatu. "Setidaknya lepaskan tangan saya dulu!" Leander menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah tanganku yang dipegangnya. Ia segera melepaskan tanganku dan bertingkah sangat aneh. Dia pasti malu karena sudah memegang tangan rakyat jelata. Aku melirik wajahnya diam-diam. Aku terkejut dengan wajahnya ya
"Rubah kecil, ada apa denganmu?!" tanya Leander dengan nada khawatir setelah melihatku ketakutan. Aku menoleh padanya, terdiam sejenak, lalu tersenyum paksa. "Bukan apa-apa, aku hanya penasaran dengan buku ini. Apa buku ini sudah lama di perpustakaan istana?" tanyaku hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Buku?" Leander menaik-turunkan alisnya, ia pun mendekat dan melihat pada judul buku yang kupegang. Ia melipat tangannya dan memiringkan kepalanya seakan berpikir. "Perpustakaan di ibukota ada dua, di istana dan di pusat ibukota. Buku di istana lebih banyak menyimpan arsip mengenai sejarah dan beberapa buku pengetahuan yang sudah lama akan diganti atau dipindahkan ke perpustakaan kota. Tampaknya aku harus menghukum para pelayan karena ini." Leander menghela napasnya karena tau ia harus berurusan dengan hal menyebalkan lagi. "Tunggu, ini kan hanya hal kecil. Kalau kau tidak suka, berikan saja buku ini padaku," ucapku sembari memeluk buku itu. Leander terdiam menatapku. "Ruba
Aku melirik kanan dan kiriku sembari menyapu taman. Menunggu kedatangan Leander yang biasanya muncul tiba-tiba. Sudah beberapa sejak hari itu, aku belum bertemu lagi dengannya. Aku ingin bertanya pada para pelayan, tapi akan sangat aneh untuk seorang pembantu menanyakan hal itu terus-terusan. "Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Sherly. Tangannya ia lipat di depan dada sembari memandangku dengan aneh. Kalau dari luar terlihat ia sedang memarahiku, tapi sebenarnya ia sedang menegurku. "Bibi, tak bisakah kau berucap dengan manis sedikit padaku? Kenapa kau terus-terusan berbicara dengan dingin?" ucapku sembari memajukan bibirku beberapa senti. "Aku sudah bersikap cukup baik di sini." "Benarkah? Aku tidak pernah melihat seseorang menjilat ludahnya sendiri," ucapku ceplos. "Lihatlah itu, walau sudah kubaik-baiki pun kau terus bersikap kurang ajar." Sherly berucap sembari menggelengkan kepalanya mengingat tingkahku. "Ei~ Bibi, kurasa kau harus mulai memakai kacamata," sindirku. Kami s
Aku mengedipkan mataku sembari menelisik pada judul-judul buku di depanku. "Huh?" Aku yakin kemarin aku menaruhnya di sini. Tidak, dari awal buku itu sudah ada di sini, di rak dan deretan ini. Ke mana perginya buku novel itu?"Apa para pelayan sudah mengganti bukunya? Atau Leander yang membuangnya?" tanyaku yang kebingungan. Novel 'The shooting star', novel yang pernah kubaca di kehidupanku sebelumnya tiba-tiba muncul dan menghilang lagi. Aku yakin itu bukanlah suatu kebetulan biasa. Di dunia ini terdapat sihir yang di luar nalar, akan lebih aneh jika aku tidak percaya buku itu tidak menghilang."Apa yang kau cari?" tanya lelaki itu, Count Celesta."Ah, tuan... Bukan apa-apa," ucapku lesu. Aku pun mengambil salah satu buku di sana secara random dan membawanya ke meja tempat membaca.Lelaki itu terdiam sembari menatapku diam. Mungkin ia bingung bagaimana bisa aku bersikap biasa saja di hadapannya yang seorang bangsawan. Yah, apapun itu. Aku sedang dalam mood jelek karena kehilangan bu
Aku mengedipkan mataku sembari menelisik pada judul-judul buku di depanku. "Huh?" Aku yakin kemarin aku menaruhnya di sini. Tidak, dari awal buku itu sudah ada di sini, di rak dan deretan ini. Ke mana perginya buku novel itu?"Apa para pelayan sudah mengganti bukunya? Atau Leander yang membuangnya?" tanyaku yang kebingungan. Novel 'The shooting star', novel yang pernah kubaca di kehidupanku sebelumnya tiba-tiba muncul dan menghilang lagi. Aku yakin itu bukanlah suatu kebetulan biasa. Di dunia ini terdapat sihir yang di luar nalar, akan lebih aneh jika aku tidak percaya buku itu tidak menghilang."Apa yang kau cari?" tanya lelaki itu, Count Celesta."Ah, tuan... Bukan apa-apa," ucapku lesu. Aku pun mengambil salah satu buku di sana secara random dan membawanya ke meja tempat membaca.Lelaki itu terdiam sembari menatapku diam. Mungkin ia bingung bagaimana bisa aku bersikap biasa saja di hadapannya yang seorang bangsawan. Yah, apapun itu. Aku sedang dalam mood jelek karena kehilangan bu
Aku melirik kanan dan kiriku sembari menyapu taman. Menunggu kedatangan Leander yang biasanya muncul tiba-tiba. Sudah beberapa sejak hari itu, aku belum bertemu lagi dengannya. Aku ingin bertanya pada para pelayan, tapi akan sangat aneh untuk seorang pembantu menanyakan hal itu terus-terusan. "Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Sherly. Tangannya ia lipat di depan dada sembari memandangku dengan aneh. Kalau dari luar terlihat ia sedang memarahiku, tapi sebenarnya ia sedang menegurku. "Bibi, tak bisakah kau berucap dengan manis sedikit padaku? Kenapa kau terus-terusan berbicara dengan dingin?" ucapku sembari memajukan bibirku beberapa senti. "Aku sudah bersikap cukup baik di sini." "Benarkah? Aku tidak pernah melihat seseorang menjilat ludahnya sendiri," ucapku ceplos. "Lihatlah itu, walau sudah kubaik-baiki pun kau terus bersikap kurang ajar." Sherly berucap sembari menggelengkan kepalanya mengingat tingkahku. "Ei~ Bibi, kurasa kau harus mulai memakai kacamata," sindirku. Kami s
"Rubah kecil, ada apa denganmu?!" tanya Leander dengan nada khawatir setelah melihatku ketakutan. Aku menoleh padanya, terdiam sejenak, lalu tersenyum paksa. "Bukan apa-apa, aku hanya penasaran dengan buku ini. Apa buku ini sudah lama di perpustakaan istana?" tanyaku hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Buku?" Leander menaik-turunkan alisnya, ia pun mendekat dan melihat pada judul buku yang kupegang. Ia melipat tangannya dan memiringkan kepalanya seakan berpikir. "Perpustakaan di ibukota ada dua, di istana dan di pusat ibukota. Buku di istana lebih banyak menyimpan arsip mengenai sejarah dan beberapa buku pengetahuan yang sudah lama akan diganti atau dipindahkan ke perpustakaan kota. Tampaknya aku harus menghukum para pelayan karena ini." Leander menghela napasnya karena tau ia harus berurusan dengan hal menyebalkan lagi. "Tunggu, ini kan hanya hal kecil. Kalau kau tidak suka, berikan saja buku ini padaku," ucapku sembari memeluk buku itu. Leander terdiam menatapku. "Ruba
"Hah?" Aku menatap mata Leander yang tersenyum padaku. Ia menarik tanganku untuk ikut pergi bersamanya. Aku sempat terdiam, tapi langsung tersadar saat melihat beberapa pelayan menatap kami. "Yang Mulia, tunggu! Kita akan ke mana?" tanyaku. "Kau diam saja. Pokoknya mulai hari ini kau harus menemaniku sebagai pelayan pribadi!" ucap Leander tanpa beban. "Apa?" Apa yang baru saja ia katakan? Aku yang seorang pembantu biasa menjadi pelayan pribadi? Posisi seperti itu hanya bisa didapatkan jika ia memiliki keahlian atau Tuannya yang memilihnya sendiri. Namun atas dasar apa dia memilihku? Tidak mungkin hanya karena kesalahan waktu itu. "Eh, tunggu!" Aku tersentak saat menyadari sesuatu. "Setidaknya lepaskan tangan saya dulu!" Leander menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah tanganku yang dipegangnya. Ia segera melepaskan tanganku dan bertingkah sangat aneh. Dia pasti malu karena sudah memegang tangan rakyat jelata. Aku melirik wajahnya diam-diam. Aku terkejut dengan wajahnya ya
"Atlas de Emerald," ucap Sherly. "Siapa dia?" tanyaku yang tak tau. Tiba-tiba saja wajah Sherly menjadi panik dan segera menutup mulutku dengan rapat. Ia menoleh kanan-kirinya, memastikan tidak ada orang di sekitar. Aku yang kebingungan itu akhirnya dilepaskan saat ia memastikan tidak ada yang menguping. "Fuah!" Aku mengambil napasku yang tertahan karena Sherly menutup mulutku. "Ada apa denganmu?!" "Sst!" Sherly mengangkat jari telunjuknya di depan bibir untuk menyuruhku diam. "Kan kau sendiri yang bertanya mengenai kekaisaran! Atlas de Emerald adalah Kaisar saat ini!" Aku segera menutup mulutku sendiri dan segera menoleh untuk memastikan tidak ada yang menguping. Syukurlah, jika ada yang mendengar aku tidak mengetahui siapa Kaisar saat ini mungkin aku akan benar-benar dihukum. "Jadi, bagaimana bisa Baginda Kaisar sekarang menjabat?" tanyaku. Sherly terlihat diam untuk berpikir sejenak. "Tentu saja Baginda adalah Kaisar yang bijaksana. Dia dapat menyatukan negara-negara lain de
Aku membuka mataku dengan perlahan. Aku melirik ke sekitarku. Buku yang tersusun rapi di rak buku, aroma segar yang terasa familiar. Aku menatap buku cerita bergambar yang kupegang. "Kenapa berhenti? Apa yang terjadi setelah itu?" tanya seseorang. Aku pun menoleh pada seorang anak laki-laki yang duduk bersebelahan denganku. "Rey?" "Apa kau melamun lagi, Kaira? Kau akan dimarahi Ibuku, jika terus begitu." Apa yang terjadi? Kenapa Rey, sahabatku sejak kecil ada di sini? Terlebih saat ini dia masih kecil. Bukankah kami berdua sudah masuk ke universitas yang sama sekarang? "Kenapa kau terdiam lagi? Aku akan panggilkan Ibuku!" ucap Rey. Aku segera menahan tangannya untuk tidak pergi. Kuperlihatkan senyumku agar tidak membuatnya khawatir. "Duduklah, aku belum selesai membacakan ceritanya," ucapku. Aku pun membaca kisah yang berada di dalam buku yang kupegang. "Saat itu Tuan Putri pun sedih saat mendengar semua perkataan dari Pangeran. Ia berlari menuju kamarnya yang ada di istana. S
"Hei, kau yang di sana!" teriak pemuda itu pada pelayan tua. Wanita pelayan tua itu pun buru-buru menghampiri pemuda. Sementara itu, aku pelan-pelan merangkak meninggalkan tempat itu agar tidak ketahuan. Langkahku terhenti saat mendengar kata sapaan pelayan itu pada pemuda tadi. "Saya menghadap permata kekaisaran, Yang Mulia Pangeran." "Apa? Pangeran?" cicitku tak percaya. Jika dia adalah Pangeran, maka dia adalah laki-laki terhormat di bawah Kaisar? Sial, aku dalam masalah besar! "Oh, ternyata kau mengenaliku," ucapnya dengan nada tinggi agar terdengar olehku. "Tentu saja Yang Mulia. Siapa yang tidak mengenali Yang Mulia Leander de Emerald, satu-satunya Pangeran di kekaisaran Emerald ini? Dengan wajah tampan dan otak yang cemerlang. Siapa pun akan langsung mengenali dan memuja Anda!" seru pelayan tua itu. "Benarkah? Tapi kurasa kau harus dihukum karena berbohong," ucap pemuda itu yang membuatku tersentak "Maksud Anda?" "Nyatanya masih ada orang yang tak mengenaliku." Pemuda
"Kita akan bertemu lagi, Nona Irish. Gadis dengan takdir."Aku tidak bisa tidur karena kata-katanya. Ia mengenal Irish, sementara aku tak dapat mengingatnya sama sekali. Apa ia dari ingatan Irish sebelum aku menempati tubuh ini 2 bulan yang lalu? Terlebih dia memanggil Irish dengan julukan gadis dengan takdir."Aku tak paham.""Apa yang kau tidak pahami, sayang?" tanya Clea."Ah, Ibu! Bukan apa-apa!" ucapku sembari tersenyum."Ibu jadi sedih, akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam." Clea menangkup pipinya sembari memasang wajah sedihnya."Ti-tidak Ibu! Aku hanya berpikir anak-anak seumuranku ada yang sangat pintar," ucapku asal."Anakku, apa kau ingin belajar bahasa kekaisaran?" tanya Clea.Aku tersenyum tipis. Oh, apa ia baru saja mengatakan Irish tidak pernah belajar bahasa kekaisaran sebelumnya? Lalu kenapa kemarin aku dapat membaca tulisan kekaisaran?"Tidak. Aku cukup senang dengan yang sekarang. Aku akan pergi bekerja, sampai jumpa lagi, Ibu.""Hati-hati di jalan, sayang."Aku m
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Pandanganku berangsur pulih. Kulihat kanan dan kiri, bau obat menyeruak memasuki indera penciumanku. Tampaknya ini bukan kamar Irish yang kuingat. Aku pun berdiri dengan berpegangan dengan sisi kasur. Berjalan pelan untuk keluar. Setelah keluar aku ingat ini adalah ruang kesehatan di istana. Ini tidak terlalu jauh dengan gerbang keluar. Syukurlah, karena nampaknya matahari hampir terbenam. Aku harus pulang agar orangtua Irish tidak khawatir."Tunggu."Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Dapat kulihat pemuda yang sebelumnya ada di perpustakaan kini tengah berjalan mendekatiku. Apa ia seorang tamu istana? Kenapa ia masih di sini di jam segini?"Apa maumu?" tanyaku sinis. Pemuda itu tersentak dan menghentikan langkahnya. Tampaknya ia benar-benar anak manja yang tidak pernah ditolak permintaannya."Kau, kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.Aku terdiam sejenak tak mengerti sampai ia menunjuk kepalanya sendiri sebagai isyarat. Aku pun ikut memegang k