"Kamu berlarilah ke arah sana. Itu jalan yang paling dekat dengan perkampungan. Jangan berhenti sebelum melihat temaram lampu-lampu. Kamu mengerti?"
Remaja laki-laki itu mengangguk. "Aku mengerti. Tapi aku harus tahu apa yang akan kamu lakukan?""Aku akan mengecoh para penculik itu sehingga mereka akan mencarimu ke arah yang berlawanan dengan arah pergimu.""Tapi bagaimana kalau mereka justru menemukanmu?""Aku akan berusaha agar itu tidak terjadi."Remaja laki-laki itu menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak bisa melakukannya. Ini sama saja dengan sengaja aku mencelakakan kamu. Padahal bukan kamu incaran mereka, tapi aku.""Kalau kamu ingin selamat, ikuti perintahku." Remaja perempuan itu melepaskan sebuah gelang berbahan biji palem dari pergelangan tangannya dan menggenggamkannya ke tangan remaja laki-laki tersebut. "Bawa ini bersamamu. Selama kamu masih memegang gelang ini, maka aku baik-baik saja dan tidak terjadi apa pun padaku. Jadi kamu jangan khawatir."Dalam kegelapan malam, Remaja laki-laki itu menatap lekat wajah remaja perempuan di depannya. Dia menandai wajah Remaja perempuan itu dengan seksama agar tidak pernah bisa lupa. "Baiklah. Aku akan menjaga gelang ini dengan baik agar kamu selamat sampai di rumah." Dia lalu membuka jaket yang membalut tubuh bidangnya. "Pakai jaket ini agar kamu tidak kedinginan. Kembalikan jaket ini kepadaku saat kita bertemu lagi nanti."Remaja perempuan itu mengangguk. "Iya." Lalu dia segera memakai jaket remaja laki-laki itu. Dia yang semula merasa dingin, seketika merasakan tubuhnya hangat. Aroma parfum khas anak laki-laki menguar dari jaket yang kini melekat di tubuhnya. Aroma yang menenangkan. "Dalam hitungan ketiga, berlarilah. Para penculik tadi pasti sudah dekat dengan kita. Satu... dua... tiga!"Remaja laki-laki itu pun berlari sekuat tenaga ke arah yang diperintahkan remaja perempuan tadi. Dia tidak menoleh lagi. Dia juga tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan remaja perempuan itu sekarang. Dia hanya berharap remaja perempuan itu selamat. Dan dia berjanji, setelah dirinya selamat juga, dia akan mencari remaja perempuan tadi untuk membalas budi. Entah dengan hadiah atau pernikahan.***Lima belas tahun kemudian di sebuah rumah sakit swasta yang megah."Ya Tuhan, kamu bisa kerja tidak ya?! Lihatlah, lantainya masih licin! Ini membahayakan orang-orang yang menginjak lantai ini! Terutama lansia dan anak kecil! Sebagai seorang petugas kebersihan, yang diperlukan bukanlah wajah yang cantik tapi kerjanya nol! Yang dibutuhkan oleh seorang petugas kebersihan adalah kerja yang benar! Giat! Dan... tidak pamer kecantikan!"Petugas kebersihan yang bernama Kahyangan hanya tertunduk mendengar makian demi makian Mentari, salah satu dokter di rumah sakit ini dan mempunyai jabatan. Dia tidak mengerti kenapa hasil kerjanya selalu salah di mata Mentari. Dia juga tidak paham kenapa Mentari selalu menuduhkan pamer kecantikan. Padahal dia pergi bekerja tanpa memakai kosmetik yang berlebihan. Hanya pelembab, suncreen, lipgloss, dan bedak bayi. Sementara orang lain, jauh lebih tebal. Memakai foundation, bedak padat, lipstik, eye shadow, maskara, dan lainnya. Tak terkecuali dengan Mentari."Maaf, kalau hasil kerja saya dokter nilai kurang baik. Akan saya perbaiki lagi." Kahyangan hanya bisa mengalah dan tidak berani untuk protes."Kamu selalu menanggapinya begitu! Tapi hasilnya mana?! Mana?! Kerjamu tetap saja tidak benar! Lantai masih terlihat kotor dan terasa licin!" Mentari mengacungkan telunjuk ke wajah Kahyangan yang selalu membuatnya iri karena begitu mulus dan cantik dengan hidung serta bibir yang mungil. "Ingat ya! Aku punya batas kesabaran! Kalau tidak ada perubahan juga, dalam waktu dekat, kamu akan aku pecat!"Kahyangan kian tertunduk. Tak berani menatap mata Mentari yang menyala oleh kemarahan. Walaupun dia tidak tahu salahnya dimana, dia merasa menyesal karena hasil kerjanya tidak pernah mampu memuaskan dokter yang satu ini.Mentari mengibaskan rambutnya yang panjang sebahu dengan mata melirik sinis pada Kahyangan. Sebenarnya dia tidak pernah puas memarahi dan memaki Kahyangan karena yang diinginkannya adalah tak ada wanita yang lebih cantik darinya di rumah sakit ini. Sedangkan kehadiran Kahyangan membuat kecantikannya tak begitu berpengaruh. Sebagian besar warga rumah sakit mengakui Kahyangan sebagai wanita yang paling cantik di rumah sakit ini meskipun hanya seorang petugas kebersihan.Merasa capek memarahi, Mentari akhirnya memutuskan untuk menyudahi. Lagian, pekerjaannya sendiri pun sudah menunggu. "Ayo kerja lagi! Ingat apa yang aku katakan! Kerja yang benar! Sekali lagi, yang benar! Ingat lagi juga aku tidak segan-segan untuk memecat kamu kalau kamu tidak bisa berubah!"Kahyangan mengangguk. "Baik, dok." Lalu dia kembali bekerja. Kali ini dia berusaha untuk membuat lantai menjadi super bersih seperti baru lagi. Karena mungkin itu yang diinginkan dokter satu ini.Mentari menyeringai melihat Kahyangan sebelum akhirnya berbalik dan melenggang pergi dengan keangkuhan. Dia tidak berniat untuk berkeliling memperhatikan kerja petugas kebersihan yang lain karena sasarannya memang hanya Kahyangan saja.Sementara itu, seorang gadis yang lebih muda dari Kahyangan dan memakai jas dokter, mendekati Kahyangan. "Apalagi sih yang membuat dia memarahi kakak?"Kahyangan menoleh sekilas pada gadis yang bernama Purnama itu, lalu kembali bekerja. "Sudahlah. Bekerja saja sana. Nanti kamu dimarahi Dokter Mentari juga karena mengobrol dengan kakak di jam kerja."Kahyangan dan Purnama memang sama-sama bekerja di rumah sakit ini. Tapi berbeda pekerjaan. Purnama bekerja sebagai dokter di sini, sementara Kahyangan hanya sebagai petugas kebersihan. Biar begitu, Kahyangan tidak pernah merasa iri pada Purnama, karena berkat kerja kerasnya adiknya itu bisa seperti sekarang ini. Kahyangan bahkan rela melepaskan cita-citanya menjadi seorang dokter demi menjadikan Purnama Dokter. Dan Kahyangan lega bisa mewujudkan pesan kedua orangtuanya untuk menjadikan Purnama orang sukses."Aku tidak takut. Kalau dia memarahiku tanpa alasan yang pas, ya aku lawan," jawab Purnama dengan air muka jujur."Mengobrol di jam kerja adalah alasan untuknya memarahimu."Bibir Purnama langsung manyun. "Ah, kakak. Bisa saja membuatku tertohok.""Makanya, kembali kerja sana. Jangan cari perkara. Kita berdua butuh pekerjaan ini kan?"Purnama menipiskan bibir. "Iya iya. Ini aku mau kerja lagi." Tapi bukannya meninggalkan tempat itu, dia justru mendekatkan wajahnya ke telinga Kahyangan. "Kakak sudah dengan kabar terbaru belum?""Belum," jawab Kahyangan tanpa menoleh dan tanpa berhenti bekerja."Katanya Pak Dewa akan diganti dengan anak semata wayangnya.""Oh, yang katanya tunangan Dokte Mentari?""Ya. Tepat.""Terus urusan dengan kita apa?""Kakak akan makin tertindas. Yang memimpin masih jaraknya aja dia memarahi kakak terus apalagi jika yang memimpin calon suaminya?"Kahyangan menghentikan pekerjaannya sebentar. Dia menegakkan punggung. Lalu melirik Purnama. "Jangan menduga apa yang belum terjadi. Saat ini yang harus kita lakukan adalah bekerja dengan baik dan sepenuh hati. Itu saja. Tuhan tidak pernah tidur. Setiap kebaikan dan ketulusan pasti akan mendapatkan balasan yang indah."***"Silahkan masuk, tuan muda."Seorang pria tampan dan berpakaian rapi, melangkah masuk ke dalam mobil mewah yang khusus menjemputnya. Dia duduk di kursi belakang dengan menyilang kaki sebelum akhirnya mobil itu bergerak meninggalkan bandara.Langit nama pria tampan itu. Dia kemudian mengarahkan pandang keluar jendela menatap keramaian ibukota yang tidak pernah ada habisnya. Pemandangan yang akan dia lihat untuk hari-harinya ke depan karena sejak detik ini, dia tidak akan tinggal di luar negeri lagi. Orangtuanya sudah menyiapkan sebuah rumah sakit untuk dia pimpin.Ini adalah hal yang selama ini sudah dia tunggu-tunggu. Tinggal di negeri sendiri tanpa harus kembali lagi ke luar negeri dengan alasan pendidikan. Bukan dia tidak betah di negeri orang. Bukan. Tapi tinggal di luar negeri membuat tujuan penting hidupnya menjadi terabaikan selama kurang lebih 15 tahun. Meskipun dia sudah membayar orang-orang untuk melakukannya, tetap saja dia tidak puas. Dan nyatanya, orang-orang yang dibayarnya itu tidak pernah mampu menemukan gadis yang selama ini dicarinya. Seorang gadis cantik pemberani yang mempunyai jiwa penolong yang sangat mengagumkan.Langit mengalihkan pandang dari keramaian di luar mobil ke pergelangan tangannya. Dia menatap lekat sebuah gelang yang terbuat dari butiran biji tanaman Palem yang terpasang di sana. Hatinya berkata. 'Aku akan mencarimu sendiri kali ini. Aku pasti akan menemukanmu.'Bersambung."Selamat datang kembali, sayang. Mama sangat merindukanmu." Senja, mama Langit, memberi pelukan hangat pada putra semata wayangnya yang baru tiba. Selama ini putranya tersebut mengenyam pendidikan dan bekerja di luar negeri.Langit membalas pelukan Senja dengan pelukan yang sama karena dia juga merindukan wanita ini. "Aku juga merindukan mama."Senja mengurai pelukannya. Dalam jarak yang masih sangat dekat, dia tengadah dan menangkupkan kedua tangannya di bagian kanan dan kiri wajah Langit. "Kamu pasti letih dan mengalami jet lag. Pergilah ke kamarmu. Para pelayan akan membawakan makanan dan minuman ke sana."Langit mengangguk. "Baik, ma." Langit baru melangkah beberapa langkah ketika Senja berkata. "Apakah mama harus mengabari Mentari tentang kedatanganmu, sayang?"Langit tersenyum samar. "Terserah mama saja.""Oke. Mama akan mengabarinya sekarang. Soalnya dia berpesan untuk memberitahu tentang kedatanganmu padanya."Langit kembali tersenyum samar. "Ya, ma."Langit pun melangkahkan
"Apa kamu sudah siap untuk menggantikan papa memimpin rumah sakit kita?" tanya Dewa pada putra semata wayangnya, Langit. Saat ini mereka sedang menikmati makan malam di meja makan rumah mereka yang megah dan mewah. Dewa memang kaya raya. Dia tidak hanya mempunyai rumah sakit tapi juga memiliki beberapa bisnis lain yang membuat uang dalam jumlah besar terus datang menambah kekayaannya.Langit tak punya pilihan selain mengangguk. "Iya, pa. Aku siap.""Bagus. Kalau begitu, besok pagi ikut papa ke rumah sakit."Langit mengangguk lagi. Perintah papanya seperti tidak bisa dia tolak. Langit memang anak yang sangat patuh. "Baik, pa.""Apa tidak bisa ditunda besok lusa, pa?" Senja urun suara dengan wajah prihatin. "Langit baru sampai tadi kemarin sore, lho. Mungkin dia masih capek dan ingin istirahat dengan berdiam diri di rumah untuk sehari lagi saja."Dewa menoleh pada Senja yang duduk di sebelahnya. "Langit sudah beristirahat dari satu setengah hari. Itu cukup untuknya. Laki-laki itu, tidak
Tepat saat Kahyangan sampai di samping Langit, pria itu melangkahkan kakinya lagi diikuti yang lainnya. Jadi dia tidak melihat wajah petugas kebersihan itu. Begitu pun sebaliknya. Dan yang masih tinggal di tempat hanyalah Mentari. "Pokoknya kamu harus bersihkan lantai itu sampai bersih sebersih-bersihnya. Jangan meninggalkan noda sedikit pun," ucap Mentari dengan suara tegas. Kahyangan mengangguk. "Baik, dok." Barulah setelah itu Mentari mengejar Langit dan yang lainnya. Setelah agak jauh, tiga staf berdiri membelakangi Kahyangan dengan pandangan mengarah ke arah perginya orang-orang itu tadi. "Itu ya calon pimpinan kita yang baru?" "Sepertinya iya." "Waw, tampan sekali. Kalau begini, aku bakal semangat berangkat kerja." "Percuma. Sudah tunangan orang." "Tidak masalah. Selama pernikahan belum terjadi, hati masih bisa berpaling." "Pelakor dong? Mau cari gara-gara sama Dokter Mentari?" Wanita itu menggendikan bahu. "Entahlah." Lalu tiga staf itu pergi dari sana dan kembali ke
Rahang Mentari mengencang saat mendapati Langit justru terdiam usai mendapatkan pertanyaan barusan, seolah mengucapkan kata 'tidak' adalah sesuatu yang berat dan mengingkari hatinya. "Kenapa kamu diam Langit? Kenapa kamu seperti kesulitan untuk menjawab bahwa kamu tidak menyukainya? Apakah pertemuan tadi sudah memercikan rasa suka?"Langit menoleh pada Mentari. "Aku tidak ingin membahas ini lagi. Kamu terlalu membesar-besarkan masalah yang sebenarnya kecil. Sampai-sampai menginterogasi aku seakan kamu baru saja melihat aku selingkuh. Tolong hentikan pembicaraan ini dan kembalilah bekerja."Mata Mentari melebar dan mulut membuka begitu mendengar jawaban Langit yang tidak menjawab pertanyaannya tapi justru malah mengusirnya. "Ka-kamu mengusirku? Kita belum selesai bicara.""Sudah aku bilang aku tidak mau membicarakan ini lagi Tari," sahut Langit. "Sudah aku bilang ini masalah sepele yang tidak perlu jadi panjang. Kalau begini, aku jadi pusing. Aku pusing melihatmu marah-marah begitu. J
"Karena petugas kebersihan itu tidak mungkin dengan sengaja menumpahkan minyak di sana, pa. Untuk apa dia melakukan itu?" jawab Langit dengan nada yang terkontrol. Dia selalu menghormati kedua orangtuanya."Kata Mentari petugas kebersihan itu sengaja ingin menjebakmu. Papa rasa itu perkiraan yang masuk akal.""Itu tidak masuk akal, pa," sahut Langit. Mentari terbakar oleh rasa cemburunya yang tidak bisa dikendalikan."Pandangan Dewa menyipit. "Bagaimana kamu bisa berkara seperti itu?""Kalau petugas kebersihan itu ingin menjebakku, bagaimana caranya dia bisa tahu kalau aku yang akan lewat? Apakah dia punya kemampuan super yang pandangannya dapat menembus berlapis-lapis dinding?"Dewa membisu merenungi penjelasan Langit."Tidak mungkin kan, pa? Itulah yang ada dalam pikiranku. Agar masalah ini tidak jadi berlarut-larut dan menjadi salah sangka, aku meminta bagian operator untuk mengecek rekaman cctv di sana agar kita tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Nanti operator itu akan men
Langit memperhatikan rekaman cctv yang dikirimkan oleh operator ke ponselnya. Di sana tampak jelas ada orang dapur yang membawa keranjang yang berisi minyak-minyak dalam kemasan plastik. Karena keranjang itu diisi terlalu penuh, satu minyak kemasan jatuh tepat di lantai di dekat anak tangga terakhir. Tapi petugas dapur hanya mengambil plastik bungkus minyak yang jatuh itu dan memasukkannya ke kotak sampah. Namun, cairan minyaknya sendiri dibiarkan tetap tergenang di sana tanpa dibersihkan.Beberapa detik kemudian, muncul Kahyangan yang membawa alat kebersihan di tempat itu. Gadis itu sendiri nyaris kepeleset karena menginjak genangan minyak tersebut. Untungnya tangan gadis itu sigap memegang pegangan tangga sehingga tidak jatuh. Selanjutnya, baru saja Kahyangan mengeluarkan kaki dari genangan minyak itu dan belum sempat membersihkannya, muncul dirinya dari atas. Akhirnya peristiwa itu pun terjadi. Dimana dirinya yang nyaris kepeleset dipeluk oleh Kahyangan sehingga tidak jadi jatuh.L
"Bapak memanggil saya?" tanya Purnama langsung. Pandangan Langit menyipit. Dia mencoba mengingat--ingat siapa saja hari ini yang dia minta untuk menghadap. Selain Mentari adalah adiknya Kahyangan. "Adiknya... Kahyangan ya?" tanyanya kemudian. Purnama mengangguk. "Iya, pak." Wajah Langit langsung sumringah meskipun itu hanya adiknya Kahyangan dan bukan Kahyangan itu sendiri. Dia kemudian berdiri dari duduknya sembari menunjuk sofa. "Kalau begitu silahkan duduk." Purnama kembali mengangguk. "Terima kasih, pak." Dengan langkah perlahan, Purnama meninggalkan pintu dan melangkah ke arah sofa. Saat dia melewati Mentari, dia sedikit membungkukkan badan tanda hormat pada wanita itu sembari sedikit memberikan senyuman. Tapi Mentari tidak membalas senyumnya itu. Wanita itu justru melihatnya seperti seorang musuh. Karena sudah mengenal watak Mentari, itu tidak membuatnya aneh. Kalau Mentari bukan atasannya dan calon istri pimpinan rumah sakit, tentu sudah dia pelototi. Inilah beda dirinya
"Ge-gelang anda bagus," ucap Purnama kemudian. Dia sangat penasaran dengan jawaban Langit. Langit melirik gelangnya sekilas sebelum tersenyum dan memokuskan pandangan ke jalanan. "Gelang ini pemberian seseorang di masa lalu. Tepatnya lima belas tahun lalu." Purnama menelan saliva mendengar jawaban Langit. Jawaban yang seolah memberitahu bahwa pria itu memang remaja laki-laki yang pernah ditolong Kahyangan.'Oh, Tuhan.... Apakah Pak Langit memang remaja laki-laki itu? Kalau memang demikian berarti Kak Kahyangan telah bertemu dengan orang yang sedang dicarinya. Artinya, ini adalah saatnya Kak Kahyangan mengembalikan jaket coklat itu?' batin Purnama. 'Tapi tunggu! Kak Kahyangan masih menyimpan jaket coklat itu dan Pak Langit masih memakai gelang itu. Apakah salah jika aku menduga kalau mereka berdua sebenarnya saling berharap untuk bertemu kembali? Atau bisa jadi saling merindukan?'"Kok termenung?" tanya Langit karena Purnama mendadak terdiam. "Kamu tau dengan gelang yang kupakai ini
Senja sedang menikmati sarapan bersama Lili ketika ponselnya berdenting tanda sebuah pesan masuk. Senja mengambil benda pipih itu dan melihat layarnya tanpa berpikir yang baru saja masuk adalah sebuah pesan yang penting. Tapi begitu melihat notifikasinya dan mengetahui itu adalah pesan dari Langit, dia pun menaruh garpunya dan memilih untuk memegang ponselnya dengan kedua tangannya. Dengan pandangan yang sangat fokus, dia membaca pesan itu.‘Ma, saat menulis pesan ini, aku tidak lagi berada di kota ini melainkan di luar kota. Aku pergi karena tak sanggup lagi menjalani kerumitan hidupku di kota itu. Jadi, pimpinlah rumah sakit oleh mama.’Senja menelan saliva membaca sepenggal pesan Langit itu. Dia menduga sang putra sudah membuat keputusan yang besar. Senja pun kian fokus membaca pesan dari Langit.‘Tapi aku pergi tidak sendiri. Aku pergi dengan membawa Kahyangan. Lebih tepatnya aku menculik Kahyangan karena aku membawanya secara paksa. Aku melakukan ini karena aku tahu dia mencintai
Tak ada jawaban apalagi seseorang yang membukakan pintu untuknya. Yang kahyangan dapati hanyalah sebuah keheningan yang sama sebelum dia berteriak minta dibukakan pintu. Kahyangan pun memutuskan untuk kembali balkon. Dia memperhatikan sekitarnya. Sejauh dia memandang, dia hanya melihat hamparan tanaman teh. Dengan keadaannya yang seperti itu, jika dirinya berhasil kabur dari rumah ini, kemana dia harus melangkahkan kaki? Lagian, lantai dua tempatnya sekarang berada cukup tinggi dari tanah. Kalau dia nekad melompat, dipastikan kakinya akan patah. Atau... bisa jadi dia kehilangan nyawa.Kahyangan lemas menyadari hal itu. Dia sangat tidak menyangka kalau Langit, seorang yang berpendidikan dan seorang lulusan universitas luar negeri biasa melakukan perbuatan bodoh seperti ini. Ini adalah sebuah kriminal. Langit bisa dipenjara.Klak.Suara pintu yang terbuat mengejutkan Kahyangan. Wanita itu pun menoleh dan mendapati Langit masuk dengan baki berisi makanan. Tapi belum sempat Kahyangan me
Kahyangan dan Langit sudah berada di dalam mobil. Langit yang mengemudi dan Kahyangan duduk di kursi sebelah kursi pengemudi. Mobil berjalan tanpa arah tujuan. Yang penting bisa berbicara dengan Kahyangan."Jadi apa yang ingin anda bicarakan denganku untuk yang terakhir ini?" tanya Kahyangan karena sedari tadi Langit belum juga berbicara. Padahal mobil sudah meninggalkan rumah sakit sejak 5 menit yang lalu.Langit menghela nafas berat mendengar pertanyaan Kahyangan. "Sebelum aku mengatakan apa yang ingin aku katakan kepadamu, aku mau kamu menjawab dulu pertanyaanku. Tapi tolong jawab dengan jujur. Apakah kamu tidak pernah mencintaiku? Sekali lagi tolong jawab dengan jujur."Kahyangan menggigit bibir bawahnya mendengar pertanyaan itu. Apakah dia harus menjawab jujur pertanyaan itu seperti permintaan Langit?"Aku adalah orang yang tidak memperdulikan perasaanku sejak kedua orangtuaku meninggal. Yang penting amanah ibuku untuk menjadikan Purnama orang yang sukses menjadi kenyataan.""Dan
'Pur, kamu sudah tahu kabar terbaru tentang Dokter Mentari belum?' 'Belum. Memang kenapa dengan dia?''Dokter Mentari sekarang sedang terbaring di ruang ICU. Dia kritis.'Mata Purnama yang membaca pesan dari teman yang bekerja di rumah sakit terdahulu itu melebar. Pisang goreng di tangannya yang sudah dia gigit langsung dia taruh ke atas piring. Dia lalu mengetik balasan chat temannya itu. 'Hah? Kritis? Memang dia sakit apa?''Tidak sakit. Dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan menyayat lengannya. Mengerikan bukan?'Purnama menelan saliva. Dia lalu mereguk teh hangatnya. 'Iya, mengerikan sekali. Tapi kenapa dia harus sampai melakukan itu?''Kamu beneran tidak tahu?''Memang tidak tahu.''Lha, kan ada hubungannya dengan kakakmu.'Deg!Hati Purnama langsung bersentak seketika. Kali ini tanpa bertanya lagi pada temannya itu, dia sudah bisa menduga bagaimana Mentari bisa sampai mencoba untuk mengakhiri hidupnya yang kemudian berakhir di rumah sakit. Mentari pasti tidak rela diputus
Kejadian tadi sore membuat Kahyangan cukup merasa syok. Dia sampai tidak sanggup melakukan apa pun. Bahkan sekedar untuk masak. Jadinya, Purnama memilih untuk membeli makanan saja karena sudah terlalu lelah jika harus memasak."Kak! Kita makan malam yuk?" ajak Purnama di balik pintu di bagian luar kamar.Kahyangan yang sedang duduk di atas tempat tidur menatap pintu yang tertutup itu. "Kakak tidak lapar, Pur. Kamu makan sendiri saja.""Tidak nikmat makan sendiri. Kakak sebenarnya kenapa? Ada masalah apa?""Kakak tidak apa-apa. Kakak hanya sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu. Tapi kamu jangan khawatir. Kakak baik-baik saja. Nanti kalau lapar, kakak akan keluar untuk mencari makan.""Baiklah kalau begitu. Tolong jangan menahan lapar ya, kak. Aku tidak mau kakak sakit.""Iya."Hening. Tak ada lagi suara Purnama di depan pintu kamar. Tapi yang kemudian terdengar adalah suara denting ponselnya. Kahyangan pun segera mengambil benda pipih itu dan membaca pesan itu. Ternyata itu ad
"Hanya papaku yang tidak setuju aku menikahi kamu," lanjut Langit sembari terus melangkah mendekati Kahyangan dan Dewa yang masih tidak menyangka dengan kehadiran. "Tapi tidak begitu dengan mamaku. Beliau merestui bahkan sangat setuju aku menikahi kamu."Rahang Dewa mengencang mendengar itu. "Kamu bicara apa?! Sejak kapan mamamu setuju kamu menikah gadis tidak berguna ini?!""Jangan menyebut Kahyangan sebagai gadis tidak berguna, pa! Karena dia lah aku masih ada di dunia ini! Mana rasa terima kasih papa kepadanya sebagai orang yang telah menyelamatkan aku, anak papa yang semata wayang ini?! Kalau pun papa tidak bisa mengucapkan terima kasih, setidaknya papa tidak merendahkannya dan menakut-nakutinya! Lagian, Kahyangan sudah mengikuti mau papa untuk menjauhi aku! Kalau pun aku bisa menemukannya itu bukan karena dia mengingkari janjinya pada papa! Tapi mulai sekarang aku pastikan papa tidak akan bisa lagi memisahkan aku dari dia!""Ya! Lakukan saja apa yang kamu mau, Langit!" sahut Dewa
Langit menghela nafas berat saat dirinya sudah berada di pekarangan rumah kediaman Mentari. Rasanya dia tidak ingin masuk ke dalam rumah megah itu. Tapi dia terlanjur menyanggupi permintaan Guruh. Pantang baginya menarik ucapannya karena itu bukan ciri-ciri pria sejati.Setelah merasa mentalnya sudah siap, Langit pun keluar dari dalam mobilnya menuju pintu depan. Lalu dia memencet bel yang ada di dekat pintu sebelum akhirnya pintu itu terbuka. Dari baliknya muncul wanita berumur yang dipanggil bibi."Eh, Nak Langit. Sudah ditunggu sama tuan dan nyonya. Silahkan masuk." Pembantu tua itu membuka pintu lebih lebar.Langit tersenyum samar. "Terima kasih, bi."Baru Langit melangkah dua langkah, Cahaya muncul dari dalam. "Langit?! Syukurlah kamu menepati janji kamu, nak!" Wanita itu mendekat dan kemudian menarik tangan Langit. "Tante antar langsung ke kamar Mentari ya?"Langit mengangguk untuk menjawab pertanyaan Cahaya yang sepertinya tidak bisa dibantah karena kedatangannya memang untuk b
Langit dan Senja duduk berhadapan di bawah pohon jambu air yang sedang berbunga. Satu piring kue dan teh hangat menemani mereka. "Mama sudah memutuskan sesuatu," ucap Senja setelah menyeruput teh hangatnya sedikit. Meskipun sedang berbicara dengan Langit, pandangannya tetap tertuju pada cairan coklat kehijauan di cangkir porselennya. "Apa itu, ma?" tanya Langit penasaran. Kedua indera penglihatnya menatap lekat Senja."Mama akan menggugat cerai papa kamu."Langit terkejut luar biasa mendengar itu. Tapi dia tidak mau menampakkan keterkejutannya. Dia diam menunggu lanjutan kalimat yang akan keluar dari bibir Senja."Sudah cukup lebih dari tiga puluh satu tahun Mama hidup bersama papa kamu itu dan tidak mendapatkan kebahagiaan sama sekali. Yang ada hanya sakit hati karena tidak pernah dihargai sebagai seorang istri. Mama tidak ingin disakiti lagi oleh papa kamu. Mama sudah capek. Mama sudah lelah. Mama ingin bebas sekarang."Hening. Karena tiba-tiba Senja berhenti bicara. Dan Langit te
Kahyangan yang baru masuk ke dalam kamar, langsung mendekati lemari pakaiannya yang sederhana dan kemudian membukanya. Sesaat, dia memperhatikan isi lemari mencari sesuatu di antara pakaian yang terlipat rapi. Matanya melebar begitu menemukan apa yang dicarinya. Yaitu sebuah jaket remaja laki-laki berwarna coklat. Jaket itu pun diambilnya perlahan dari selipan lipatan pakaian yang ada di sana. Kemudian dibawanya ke tepi tempat tidur. Di sanalah Kahyangan duduk sembari memandangi jaket coklat di tangannya. Kedua mata indahnya berkaca-kaca karenanya. Ada sebuah perasaan besar yang kemudian menyusupi hatinya yang kecil. Entah karena apa, tiba-tiba Kahyangan menciumi jaket coklat itu, menghirup aromanya, sebelum akhirnya memeluknya erat. Beginilah perasaan Kahyangan yang sebenarnya yang tidak dapat dia ungkapkan pada Langit dan memilih untuk menyembunyikannya. Bahwa dia juga cinta pada Langit seperti Langit mencintainya. Bahwa dia ingin menerima lamaran Langit dan menjadi istri pria it