"Dewi, kamu?"
"Hhmm, saya mau ambil kunci toko, Bang."
Meski sekuat tenaga kusembunyikan, tapi getaran suaraku tetap terdengar, aku memang berusaha menyembunyikan kemarahan dan juga sedih yang mencabik-cabik perasaanku saat ini.
"Wik, tadi kamu?"
"Lolita sudah bertunangan dengan Erwin, Bang, dan akad pernikahannya bulan depan, Bang Faisal tunggu saja surat undangannya."
Wajah, Bang Faisal memerah, lalu dia saling pandang dengan papanya, karena takut lepas kendali lebih baik aku segera pergi dari rumah itu, aku melupakan soal kunci toko karena saat ini yang terpenting adalah pergi dan mencari tempat untuk menenangkan diri.
"Dewi, tunggu, Abang bisa jelasin soal pembicaraan tadi, Abang cuman bercanda tadi."
Aku tidak perduli dengan penjelasan Bang Faisal, aku terus melangkahkan kakiku menjauh sebab aku gak mau ketahuan karena air mataku sudah jatuh bercucuran membasahi pipi.
Pantang bagiku dipandang lemah oleh orang lain, makanya aku tak mau ada siapa pun melihat air mata ini menetes, aku hanya ingin mereka melihat si Dewi yang kusam ini adalah gadis yang kuat.
Namun, nyatanya aku gagal menghentikan tangisan, sial! Aku harus mencari tempat untuk mengheningkan pikiran dan menumpahkan kemarahan juga kesedihan ini.
Setelah yakin Bang Faisal tidak mengikuti, aku pelankan langkah kakiku yang sudah terasa lemas dan terasa tak mampu lagi aku ayunkan.
Aku menyusuri trotoar jalan, udara pagi beserta polusi kendaraan menemaniku kini, deru mesin kendaraan seakan tidak mau kalah menemani langkah gontai kakiku ini.
Kaki ini melangkah tak tentu arah, aku tak terlalu memusingkan ke mana aku akan pergi sebab memang tak ada tujuan pasti, aku hanya ingin berjalan di keramaian supaya pikiranku terbias, mencair, dan bebas.
Aktivitas ini ternyata efektif berhasil membuatku merasa lebih tenang, sepertinya aku sudah bisa kembali ke tempat kerja, walaupun sakit hati dengan ucapan Bang Faisal anaknya Bu Susi, aku tak mungkin untuk mundur dari pekerjaan.
Kalau aku mundur dari sana lantas aku mau kerja di mana lagi? Aku gak mau jadi pengangguran terus makin dihina-hina sama Lolita dan mama, memang sih ayah selalu memberikan uang jajan untukku, tapi tidak akan cukuplah untuk rencana menabungku, jika tidak menabung bagaimana aku bisa berobat dan merawat kulitku yang cacat ini.
Aku kembali ke toko untuk bekerja, aku berusaha bersikap biasa saat bertemu Bu Susi begitu pun saat bertemu Bang Faisal, tak boleh ada yang tahu dengan kejadian yang menyakitkan tadi.
Selesai kerja aku memutuskan untuk cepat-cepat pulang, aku takut Bang Faisal datang dan minta untuk bicara, kurasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, semua sudah jelas bahwa kebaikannya selama ini palsu, sikap manisnya selama ini hanya sebagai batu loncatan demi mencari perhatian Lolita.
Untunglah Bang Faisal tidak ada, jadi aku gak perlu lari-lari untuk menghindarinya, sebelum pulang aku mampir dulu di warung makan nasi campur, bukannya mau nongkrong sembarangan hanya saja takut jika di rumah masih belum dikasih jatah makan karena mama masih marah.
Selesai makan aku segera melangkahkan kakiku untuk pulang, setelah sampai tidak ada seorang pun di rumah.
"Ke mana mereka? Tak biasanya mama gak di rumah," gumamku dalam hati.
Karena rumah sepi dan aku juga mau mandi, jadi aku kunci saja pintunya lagi, lalu aku bergegas pergi mandi.
Selesai mandi terdengar suara ketukan pintu, "Itu pasti mereka pikirku."
Dengan hanya berbalut handuk aku sedikit berlari untuk membukakan pintu.
Namun, betapa kagetnya ketika pintu aku buka ternyata yang datang adalah Erwin tunangan adikku.
Aku merasa tidak enak karena hanya mengenakan handuk mandi, aku mencoba menutup kembali pintunya tapi Erwin menahan dengan lengannya.
"Lolita ada di rumah gak? Mama dan papamu ada gak?" Cecar Erwin sembari mengedarkan pandangannya ke dalam rumah.
"Mereka lagi keluar, kembalilah nanti" Ucapku dan kembali berusaha menutup pintu.
Namun, lagi-lagi Erwin menahan pintu lalu dia memegang tanganku, dia merangsek masuk kemudian menutup pintunya.
"Lepaskan tanganku, mau apa kamu?" Suaraku bergetar saking takutnya.
"Aku bisa kasih berapa pun yang kamu mau asalkan kita!"
"Jangan kurang ajar!! Aku bukan pelacu ..."
Belum selesai aku berbicara, Erwin mendekap bibirku dengan tangannya, dia berusaha melepas handuk yang aku kenakan tapi dengan sekuat tenaga aku pertahankan.
Dia menyeretku ke sofa lalu mulai menindihku, tapi tindakannya berhenti ketika tiba-tiba terdengar teriakan.
"Apa-apa kalian!"
Seketika Erwin melepasku lalu dengan cepat dia membela diri.
"Dewi yang merayuku, aku datang untuk menemuimu, Sayang, tapi karena di rumah sedang sepi Dewi terus mendesakku, aku sudah bilang tidak mau berkhianat tapi dia terus memaksaku," ucap Erwin memfitnahku.
Mendengar itu Lolita menjadi gelap mata, dia menjambak rambutku lalu menarik dengan sekuat tenaganya, tak sampai di situ dia mulai menampar pipiku beberapa kali hingga kepalaku terasa pusing.
"Kurang ajar kamu!, dasar jalang! Dia itu calon suamiku!, dasar pelac**!" Teriaknya kencang.
"Ada apa ini?" Tanya mama yang baru datang dari luar bersama ayah.
Erwin dengan cepat melemparkan kebohongannya, hingga mama pun juga menjadi gelap mata dan mulai menamparku tanpa memedulikan penjelasan dariku.
"Kamu tega ya! Erwin itu calon iparmu! Dasar gak tahu diri!" Sekali lagi mama menamparku sembari berteriak.
"Dia bohong, Ma, Dewi yang mau diperkosa sama Erwin," ucapku sembari merintih kesakitan.
"Heh mana mungkin Mas Erwin mau memperkosa cewek burik seperti lu! Yang ada lu itu kegatelan karena gak laku-laku!"
Ucap Lolita lagi, lalu dia kembali menampar pipiku hingga setetes darah mulai keluar dari sela bibirku.
"Demi Tuhan, aku tidak bohong, Na, Ta." Tangisanku membuat suara yang keluar terdengar parau.
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan, wanita jalang sepertimu gak pantes!" Serang Lolita lagi.
Entah bagaimana perasaan Erwin melihat orang yang difitnahnya disiksa, pasti dia sedang tersenyum puas di dalam hatinya, ternyata calon suami adikku bajingan, adikku pasti akan sengsara jika menjadi istrinya, tapi tidak mungkin rasanya untuk menggagalkannya, buktinya saat ini saja tidak ada yang percaya penjelasanku.
"Lolita sudah! Kasihan Dewi! Bagaimanapun dia itu kakakmu." Ayah akhirnya bereaksi setelah sedari awal dia hanya berdiam diri.
Ayah menarik Lolita hingga penyiksaan ini berakhir, sepertinya ayah juga termakan fitnah yang dibuat Erwin meskipun ayah tidak serta-merta ikut menamparku.
"Ayah jangan terlalu baik padanya, jelas-jelas dia salah! Biar aku siksa dia biar cacat sekalian!" Lolita berontak dari tarikan ayah.
"Sudahlah, Sayang, semua orang juga pernah khilaf, toh Dewi akan tetap jadi iparku jadi lupakan saja kejadian tadi." Ucap Erwin penuh dengan pencitraan.
Ayah menyuruhku masuk kamar dan mengenakan pakaian karena melihat handuk yang membelit tubuhku hampir lepas karena tangan ini terasa sudah tidak sanggup lagi menahannya supaya tidak terjatuh.
Saat aku melangkahkan kakiku ke dalam kamar, air mata tak henti-hentinya menetes dan ketika kudengar Lolita dan mama sepakat berkata kepada ayah, bahwa mulai detik ini mereka tidak mau melihatku lagi di rumah ini, semakin berderai air mataku mendengarnya.
Sesampainya di kamar aku segera mengenakan pakaian, kubiarkan sakit hati dan sakit fisik ini bersatu seiring dengan tangisan yang tidak sanggup aku hentikan.
Mengingat ultimatum mama dan Lolita, aku memutuskan akan keluar dari rumah ini, entah ke mana yang penting aku pergi dari rumah surga yang terasa neraka bagiku.
Aku mulai bersiap memasukkan beberapa pakaian dan benda-benda penting yang aku punya, tidak lupa aku memecahkan si panda celenganku satu-satunya, harusnya belum saatnya kupecahkan tapi apa boleh buat, aku akan pergi pasti perlu uang untuk biaya hidup dan menyewa kos atau kontrakan.
Selesai berkemas aku memilih mengurung diri di kamar, di luar masih terdengar suara Erwin dan juga suara mama dan adikku yang nyaring menyerukan pengusiranku, sayup-sayup terdengar suara ayah yang mencoba menenangkan situasi. Untuk memudarkan suara-suara itu, aku mengambil ponsel dan headset lalu memutar lagu kesukaanku, aku juga melihat-lihat iklan penyewaan kos atau kontrakan di sosial media berharap menemukan yang sesuai, karena keputusanku sudah bulat untuk pergi dari rumah. Di sela-sela pencarian, mataku tertuju pada sebuah iklan produk perawatan kulit dan juga terbuka lowongan untuk menjadi reseller dengan modal awal satu juta rupiah, kubaca nama produknya Beauty Skincare, aku terus menelusuri iklan tersebut, dan setelah paham sepenuhnya aku memutuskan untuk mengirim pesan kepada cs nya untuk mendaftar sebagai reseller. Dalam benakku, ini mungkin kesemp
Hari sudah beranjak sore, aku sudah selesai membuat rekening bank dan sekalian menabung semua uangku, toh nanti kalau perlu tinggal tarik di ATM, di rumah kontrakan Nek Surti kami juga sudah selesai membuat adonan kue, nanti malam baru akan dikukus oleh Nek Surti. Malamnya aku menghubungi kembali CS dari Beauty Skincare, aku meminta arahan soal pembayaran dan karena belum ada kontrakan pasti, aku memberikan alamat kontrakan Nek Surti untuk pengiriman barangnya, akhirnya semua sudah beres untuk hari ini, jadi aku memutuskan untuk tidur karena Nek Surti menyuruhku tidur saja dan tidak diizinkan membantu lagi. *** Pagi sudah menjelang aku berangkat untuk bekerja, aku berusaha bersikap biasa dengan harapan fitnah yang menimpaku belum tersebar luas, aku tidak ingin orang lain tahu kepedihan hati ini, biarlah aku sendiri yang merasakannya. Awalnya semua berjalan baik-baik saja, tapi suasana berubah saat jam makan siang, seperti biasa a
"Faisal percaya dengan Dewi, Ma, Pa, kita bisa lihat kan bagaimana Dewi dalam kesehariannya, kita bisa menilai dari sana kebenaran yang sesungguhnya."Mendengar pembelaan Bang Faisal, rasa kesalku padanya berangsur pudar, ternyata sisi baiknya memang murni, dia mampu menyimpulkan dengan jernih sebuah permasalahan."Saya juga percaya sama kamu Dewi. Tapi, ini soal sorotan masyarakat terhadap gosip yang beredar, kejam sekali fitnah yang kamu Terima dan juga menyeret nama kami."Bu Susi menghela napasnya lalu kembali melanjutkan."Dengan berat hati saya minta kamu istirahat dulu ya, Dewi, nanti kalau masalahnya sudah mereda, kamu bisa kembali lagi bekerja. Dan ini gaji kamu bulan ini saya bayar penuh, lalu ini pesangon untuk kamu, saya benar-benar minta maaf ya, Dewi, sebenarnya ini keputusan yang berat buat saya."Aku menatap 2 amplop putih yang bar
Beberapa hari sudah berlalu, aku masih fokus mempromosikan produk yang aku jual di sosial media, tapi belum juga ada yang membeli, meskipun produk yang aku jual khasiatnya ternyata sangat bagus, buktinya dalam 3 hari saja aku memakainya terlihat sudah lumayan ada perubahan, dari sejak awal pemakaian aku selalu memposting gambar diriku sendiri di sosial media dan tentunya tanpa edit, perubahannya sungguh signifikan hingga membuatku yakin jika suatu saat nanti aku akan menjadi wanita yang cantik.Di tengah kesibukanku promosi, akhirnya aku memutuskan untuk membuka warung di ruko yang telah dikontrak ayahku.Di sana aku menjual berbagai jenis jus, es, kopi, mie instan, dan camilan lainnya, kebetulan lokasinya sangat strategis, di pinggir jalan raya dan ada proyek pembangunan hotel hanya sekitar 200 meter dari sana, jadi aku berharap nantinya para buruh akan berbelanja di warungku, dan hari ini adalah hari pertamaku berju
Pria itu melangkahkan kakinya ke arah toilet untuk mengganti baju, sedangkan Dewi mulai menata dagangan dan kursi karena hujan sudah mulai reda, tinggal menunggu pria itu keluar dan pulang, dia juga akan pulang. Namun tiba-tiba kilatan petir menerangi langit malam itu, lalu disertai suara gemuruh guntur yang membuat Dewi sangat terkejut memegangi dadanya, belum hilang rasa kagetnya tiba-tiba lampu juga seketika padam. "Aduh kok mati lampu segala sih" Dewi panik karena mendadak gelap lalu meraba-raba mencari korek api yang selalu disimpan di atas meja kasirnya. Ckleekkk,.. Braakkk,.. Terdengar suara pintu toilet yang dibuka paksa dan terdengar panggilan panik pria yang sedang di toilet. "Mbaakkk,..." "Sebentar mas, lampunya padam saya cari korek api dulu untuk hidupin lilin" Jawab Dewi yang masih meraba-raba mencari korek apinya. Pria itu berjalan keluar dari toilet sembari meraba-raba. Ia pun menabrak galon air yang membuat Dewi te
Mereka pulang ke sebuah rumah kontrakan yang bisa dibilang sederhana, lalu Dewi membuka pintu rumah tersebut. Malam ini mereka menikah secara mendadak, tentu tidak ada persiapan apapun termasuk hiasan rumah, jadi semuanya nampak biasa tanpa ada yang spesial di dalam rumah kontrakannya.“Silahkan masuk mas” ucap Dewi lesu.Pria itu berjalan masuk, pandangannya memutar memperhatikan seluruh ruang tamu, disana dilihatnya ruang tamu yang sederhana namun rapi.“Silahkan duduk mas” Dewi mempersilahkan suaminya untuk duduk, sementara dia mengambilkan segelas air putih.Melihat Dewi datang dengan membawa segelas air putih, pria asing yang kini menjadi suami Dewi itu pun bersuara.“Sini ikut duduk” ucapnya nampak sedikit gugup.Dalam keraguan, Dewi duduk di sebelah suaminya tersebut dan berjarak hanya beberapa sentimeter saja, suami
Mentari pagi belum menampakkan sinarnya dan suara tetesan air hujan membuat Dewi enggan untuk menarik selimutnya, namun dia teringat dengan kejadian semalam hingga dia memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurnya.“Pernikahan itu bukan mimpi kan” gumamnya dalam hati, lalu dia melangkahkan kakinya untuk mengintip kamar disebelahnya.“Ternyata bukan mimpi” gumamnya lagi.Dia melihat Zaki masih meringkuk di atas kardus yang dijadikan alas tidurnya, dengan begitu dia yakin dirinya saat ini memang sudah memiliki suami.Dan bukan suami yang biasa, namun suami yang tampan malahan sangat tampan, seperti sebuah bencana bercampur rezeki, Dewi tidak pernah bermimpi akan menikah dengan lelaki yang sangat sempurna seperti Zaki, postur idaman, wajah tampan, sopan dan yang terpenting baik hati, memang baru dikenalnya satu malam. Namun setidaknya itulah yang dirasakannya dalam waktu yang ses
Di sebuah rumah besar,.Mobil berjenis Xpander masuk kepelataran yang sangat luas, Seorang pemuda dengan sigapnya membukakan pintu mobil tuan mudanya.“Selamat pagi tuan muda Ghozali, anda semalaman tidak pulang tidak seperti biasanya” Sapa Joni namun mengandung unsur bertanya juga.“Tidak usah bertanya Jon, aku harus bergegas mengganti pakaianku” ucap pria itu sembari melangkahkan kakinya memasuki rumah dengan diikuti pak Tarno kepala pelayan di rumahnya.Beberapa pelayan yang dilewatinya pun langsung membungkuk, memberi hormat kepada sang Presiden Direktur Zaki Al Ghozali.Pria itu masih fokus menyusuri anak tangga berlapis karpet merah di atasnya. Sembari mendengarkan ocehan Joni perihal jadwal meetingnya hari ini.Sampai di lantai teratas, salah seorang pelayan membukakan dua daun pintu besar tepat sebelum tuan mudanya mendekati.
Di sebuah rumah besar,.Mobil berjenis Xpander masuk kepelataran yang sangat luas, Seorang pemuda dengan sigapnya membukakan pintu mobil tuan mudanya.“Selamat pagi tuan muda Ghozali, anda semalaman tidak pulang tidak seperti biasanya” Sapa Joni namun mengandung unsur bertanya juga.“Tidak usah bertanya Jon, aku harus bergegas mengganti pakaianku” ucap pria itu sembari melangkahkan kakinya memasuki rumah dengan diikuti pak Tarno kepala pelayan di rumahnya.Beberapa pelayan yang dilewatinya pun langsung membungkuk, memberi hormat kepada sang Presiden Direktur Zaki Al Ghozali.Pria itu masih fokus menyusuri anak tangga berlapis karpet merah di atasnya. Sembari mendengarkan ocehan Joni perihal jadwal meetingnya hari ini.Sampai di lantai teratas, salah seorang pelayan membukakan dua daun pintu besar tepat sebelum tuan mudanya mendekati.
Mentari pagi belum menampakkan sinarnya dan suara tetesan air hujan membuat Dewi enggan untuk menarik selimutnya, namun dia teringat dengan kejadian semalam hingga dia memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurnya.“Pernikahan itu bukan mimpi kan” gumamnya dalam hati, lalu dia melangkahkan kakinya untuk mengintip kamar disebelahnya.“Ternyata bukan mimpi” gumamnya lagi.Dia melihat Zaki masih meringkuk di atas kardus yang dijadikan alas tidurnya, dengan begitu dia yakin dirinya saat ini memang sudah memiliki suami.Dan bukan suami yang biasa, namun suami yang tampan malahan sangat tampan, seperti sebuah bencana bercampur rezeki, Dewi tidak pernah bermimpi akan menikah dengan lelaki yang sangat sempurna seperti Zaki, postur idaman, wajah tampan, sopan dan yang terpenting baik hati, memang baru dikenalnya satu malam. Namun setidaknya itulah yang dirasakannya dalam waktu yang ses
Mereka pulang ke sebuah rumah kontrakan yang bisa dibilang sederhana, lalu Dewi membuka pintu rumah tersebut. Malam ini mereka menikah secara mendadak, tentu tidak ada persiapan apapun termasuk hiasan rumah, jadi semuanya nampak biasa tanpa ada yang spesial di dalam rumah kontrakannya.“Silahkan masuk mas” ucap Dewi lesu.Pria itu berjalan masuk, pandangannya memutar memperhatikan seluruh ruang tamu, disana dilihatnya ruang tamu yang sederhana namun rapi.“Silahkan duduk mas” Dewi mempersilahkan suaminya untuk duduk, sementara dia mengambilkan segelas air putih.Melihat Dewi datang dengan membawa segelas air putih, pria asing yang kini menjadi suami Dewi itu pun bersuara.“Sini ikut duduk” ucapnya nampak sedikit gugup.Dalam keraguan, Dewi duduk di sebelah suaminya tersebut dan berjarak hanya beberapa sentimeter saja, suami
Pria itu melangkahkan kakinya ke arah toilet untuk mengganti baju, sedangkan Dewi mulai menata dagangan dan kursi karena hujan sudah mulai reda, tinggal menunggu pria itu keluar dan pulang, dia juga akan pulang. Namun tiba-tiba kilatan petir menerangi langit malam itu, lalu disertai suara gemuruh guntur yang membuat Dewi sangat terkejut memegangi dadanya, belum hilang rasa kagetnya tiba-tiba lampu juga seketika padam. "Aduh kok mati lampu segala sih" Dewi panik karena mendadak gelap lalu meraba-raba mencari korek api yang selalu disimpan di atas meja kasirnya. Ckleekkk,.. Braakkk,.. Terdengar suara pintu toilet yang dibuka paksa dan terdengar panggilan panik pria yang sedang di toilet. "Mbaakkk,..." "Sebentar mas, lampunya padam saya cari korek api dulu untuk hidupin lilin" Jawab Dewi yang masih meraba-raba mencari korek apinya. Pria itu berjalan keluar dari toilet sembari meraba-raba. Ia pun menabrak galon air yang membuat Dewi te
Beberapa hari sudah berlalu, aku masih fokus mempromosikan produk yang aku jual di sosial media, tapi belum juga ada yang membeli, meskipun produk yang aku jual khasiatnya ternyata sangat bagus, buktinya dalam 3 hari saja aku memakainya terlihat sudah lumayan ada perubahan, dari sejak awal pemakaian aku selalu memposting gambar diriku sendiri di sosial media dan tentunya tanpa edit, perubahannya sungguh signifikan hingga membuatku yakin jika suatu saat nanti aku akan menjadi wanita yang cantik.Di tengah kesibukanku promosi, akhirnya aku memutuskan untuk membuka warung di ruko yang telah dikontrak ayahku.Di sana aku menjual berbagai jenis jus, es, kopi, mie instan, dan camilan lainnya, kebetulan lokasinya sangat strategis, di pinggir jalan raya dan ada proyek pembangunan hotel hanya sekitar 200 meter dari sana, jadi aku berharap nantinya para buruh akan berbelanja di warungku, dan hari ini adalah hari pertamaku berju
"Faisal percaya dengan Dewi, Ma, Pa, kita bisa lihat kan bagaimana Dewi dalam kesehariannya, kita bisa menilai dari sana kebenaran yang sesungguhnya."Mendengar pembelaan Bang Faisal, rasa kesalku padanya berangsur pudar, ternyata sisi baiknya memang murni, dia mampu menyimpulkan dengan jernih sebuah permasalahan."Saya juga percaya sama kamu Dewi. Tapi, ini soal sorotan masyarakat terhadap gosip yang beredar, kejam sekali fitnah yang kamu Terima dan juga menyeret nama kami."Bu Susi menghela napasnya lalu kembali melanjutkan."Dengan berat hati saya minta kamu istirahat dulu ya, Dewi, nanti kalau masalahnya sudah mereda, kamu bisa kembali lagi bekerja. Dan ini gaji kamu bulan ini saya bayar penuh, lalu ini pesangon untuk kamu, saya benar-benar minta maaf ya, Dewi, sebenarnya ini keputusan yang berat buat saya."Aku menatap 2 amplop putih yang bar
Hari sudah beranjak sore, aku sudah selesai membuat rekening bank dan sekalian menabung semua uangku, toh nanti kalau perlu tinggal tarik di ATM, di rumah kontrakan Nek Surti kami juga sudah selesai membuat adonan kue, nanti malam baru akan dikukus oleh Nek Surti. Malamnya aku menghubungi kembali CS dari Beauty Skincare, aku meminta arahan soal pembayaran dan karena belum ada kontrakan pasti, aku memberikan alamat kontrakan Nek Surti untuk pengiriman barangnya, akhirnya semua sudah beres untuk hari ini, jadi aku memutuskan untuk tidur karena Nek Surti menyuruhku tidur saja dan tidak diizinkan membantu lagi. *** Pagi sudah menjelang aku berangkat untuk bekerja, aku berusaha bersikap biasa dengan harapan fitnah yang menimpaku belum tersebar luas, aku tidak ingin orang lain tahu kepedihan hati ini, biarlah aku sendiri yang merasakannya. Awalnya semua berjalan baik-baik saja, tapi suasana berubah saat jam makan siang, seperti biasa a
Selesai berkemas aku memilih mengurung diri di kamar, di luar masih terdengar suara Erwin dan juga suara mama dan adikku yang nyaring menyerukan pengusiranku, sayup-sayup terdengar suara ayah yang mencoba menenangkan situasi. Untuk memudarkan suara-suara itu, aku mengambil ponsel dan headset lalu memutar lagu kesukaanku, aku juga melihat-lihat iklan penyewaan kos atau kontrakan di sosial media berharap menemukan yang sesuai, karena keputusanku sudah bulat untuk pergi dari rumah. Di sela-sela pencarian, mataku tertuju pada sebuah iklan produk perawatan kulit dan juga terbuka lowongan untuk menjadi reseller dengan modal awal satu juta rupiah, kubaca nama produknya Beauty Skincare, aku terus menelusuri iklan tersebut, dan setelah paham sepenuhnya aku memutuskan untuk mengirim pesan kepada cs nya untuk mendaftar sebagai reseller. Dalam benakku, ini mungkin kesemp
Sebelum mereka tahu kehadiranku di sini, lebih baik aku bergegas pergi, tapi terlambat sudah karena pintu rumah kini sudah terbuka."Dewi, kamu?""Hhmm, saya mau ambil kunci toko, Bang."Meski sekuat tenaga kusembunyikan, tapi getaran suaraku tetap terdengar, aku memang berusaha menyembunyikan kemarahan dan juga sedih yang mencabik-cabik perasaanku saat ini."Wik, tadi kamu?""Lolita sudah bertunangan dengan Erwin, Bang, dan akad pernikahannya bulan depan, Bang Faisal tunggu saja surat undangannya."Wajah, Bang Faisal memerah, lalu dia saling pandang dengan papanya, karena takut lepas kendali lebih baik aku segera pergi dari rumah itu, aku melupakan soal kunci toko karena saat ini yang terpenting adalah pergi dan mencari tempat untuk menenangkan diri."Dewi, tunggu, Abang bisa jelasin soal pembicaraan tadi, Ab