Honeymoon di Bali telah berakhir. Edgar dan Indira kembali ke Jakarta dengan hati berbunga-bunga, masih dalam suasana romantis setelah puas bercengkrama dan bermesraan. Masa honeymoonnya memang sangat singkat, tapi setidaknya mereka telah menciptakan banyak kenangan indah bersama. Pagi ini, Edgar dan Indira harus kembali menjalani rutinitas masing-masing. Ujian Tengah Semester resmi dimulai hari ini, sehingga Indira menyempatkan diri untuk bangun lebih awal agar bisa membaca materi sekali lagi. Perempuan itu memang cukup ambisius kalau menyangkut nilai, sehingga harus berjuang agar hasil yang didapatkan sesuai dengan ekspektasinya. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi Indira sudah duduk di balkon sambil memegang sebuah buku yang penuh berisi catatan selama mengikuti perkuliahan. Sesekali Indira menoleh ke belakang untuk menatap Edgar yang sedang terlelap di atas ranjang. Laki-laki itu bertelanjang dada, selimut menutupi tubuhnya sampai sebatas pinggang. Tanpa sadar, sudut bibir I
“Indira! Habis nikah kok jadi tambah cantik, sih?” “By the way, pesta resepsinya keren banget, loh. Sayang yang diundang cuma Kiran.”“Iya. Kita cuma bisa lihat foto-foto resepsi dari postingannya Kiran.”“Kenapa nggak ngundang anak-anak seangkatan sih, Ndi? Udah hampir empat tahun loh kita kuliah bareng.” Indira mengerjapkan mata, benar-benar bingung karena semua orang mendadak baik kepadanya. Padahal, selama ini eksistensi Indira di dalam kelas selalu diabaikan. Orang-orang hanya menganggap Indira sebagai gadis yatim piatu yang serba kekurangan dan suka berburu beasiswa. Oleh sebab itu, mereka juga tak pernah mengajak Indira hang out ke mall, kemah ke Puncak, atau berlibur ke pantai ketika masuk musim liburan. Indira malah tak suka dengan perubahan sikap teman-teman sekelasnya. Lebih baik tetap diabaikan seperti biasanya, sehingga Indira tak perlu berbasa-basi atau menunjukkan senyum palsu di bibirnya. “Maaf, ya. Acaranya mendadak, jadi nggak sempat ngundang banyak orang,” jelas
Ujian Tengah Semester telah berakhir. Hanya perlu menunggu nilai-nilainya keluar, biasanya beberapa dosen akan mengadakan perbaikan untuk para mahasiswa yang nilainya masih di bawah angka tujuhpuluh. Indira cukup percaya diri kalau nilai-nilainya akan bagus. Ia rajin mencatat, selalu belajar sampai tengah malam, dan banyak membaca jurnal untuk menambah wawasan. Faktanya, IPK yang tertera di dalam transkrip nilai memang nyaris sempurna. Indira termasuk mahasiswi berprestasi, bahkan pernah memenangkan sebuah kompetisi menulis essay. Malam ini India bisa sedikit bersantai, tak perlu lagi berkutat dengan materi ujian. Daripada tak melakukan apa-apa, Indira memutuskan untuk menyusun kerangka proposal. Ia harus segera mengumpulkan judul dan ringkasan penelitian, agar nantinya pihak program studi bisa memilihkan dosen pembimbing. Indira ingin cepat-cepat lulus dan mendapatkan ijazah, oleh sebab itu ia tak bisa membuang-buang waktu. Lebih baik mulai mengerjakan proposal dari sekarang, aga
“Pak, hari ini saya sudah mengajukan surat resign. Kemungkinan sebentar lagi HRD akan mengadakan open recruitment untuk posisi sekretaris,” kata Mila sambil menyodorkan sebuah laporan untuk ditandatangani oleh Edgar. “Kenapa tiba-tiba mau resign? Ada masalah?” tanya Edgar sambil menggoreskan bolpoin di atas kertas. “Bulan depan saya menikah, Pak. Habis itu mau tinggal di Bandung.” “Oh, akhirnya dilamar juga?”Mila langsung mendengus kesal. Edgar tertawa, kemudian menutup dokumen yang telah ditandatangani. Tentu saja Edgar ikut bahagia saat mendengar berita pernikahan Mila. Tapi, di sisi lain, Edgar juga bingung karena nantinya harus menyesuaikan diri dengan sekretaris yang baru. “Jujur, sebenarnya saya malas kalau harus beradaptasi sama sekretaris yang baru. Maksudnya, kamu udah tahu segala hal tentang saya, ngerti gimana cara kerja saya. Agak repot kalau harus menjelaskan semuanya ke sekretaris baru, belum tentu juga cocok diajak kerjasama,” kata Edgar. “Apa? Malas beradaptasi
[Mas Edgar : Indira, nanti malam temani saya ke resepsi pernikahan][Mas Edgar : saya udah pesan dress, heels, dan hand bag. Harusnya sebentar lagi sampai rumah]Indira baru saja tiba di rumah ketika membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Edgar. Tampaknya rencana mengerjakan proposal skripsi harus dibatalkan, mengingat malam ini Indira harus menemani Edgar menghadiri pesta pernikahan seorang teman lama. Indira menutup ponselnya, kemudian berjalan memasuki rumah lewat pintu samping yang tak terkunci. Di atas sofa ruang tengah, terdapat tiga buah kotak berukuran besar, masing-masing berisi dress, high heels, dan hand bag. Ternyata sudah datang. “Mbak Indira, ini ada kiriman barang,” kata Bi Imah. Indira tersenyum, “iya, Bi. Terima kasih.” “Biar Bibi bantu bawakan ke kamar, ya.” “Nggak perlu, Bi. Ini nggak berat kok, jadi saya bisa bawa sendiri.” Bi Imah mengangguk, kemudian berjalan menuju dapur untuk melanjutkan aktivitas menata isi kulkas. Sementara itu, Indira mengangkat ti
Indira berdiri di depan wastafel, sedang menggosok gigi. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Rumah terasa sepi, hampir semua lampu di dalam rumah sudah dimatikan (kecuali lampu kamar mandi, balkon, dan teras). Indira mencuci sikat gigi yang baru saja dipakai, lalu mengembalikannya ke dalam cangkir keramik yang diletakkan di dekat wastafel. Keran kembali dinyalakan, Indira menggunakan kedua tangannya untuk menampung air yang selanjutnya dipakai untuk membasuh wajah. Setelah menggosok gigi dan membasuh wajah, Indira lekas meninggalkan kamar mandi sambil memegang handuk kecil. Lalu, tatapan Indira tertuju ke arah Edgar yang sudah terlelap di atas ranjang. Laki-laki itu tampaknya baru saja tertidur, tubuhnya sedikit lelah setelah melakukan banyak aktivitas dari pagi sampai malam. Indira tersenyum, perlahan naik ke atas ranjang. Berusaha semampunya untuk tidak menimbulkan suara, agar Edgar tetap tidur dengan tenang tanpa ada gangguan. Besok pagi ada jadwal prese
Rasanya menyenangkan ketika menginjakkan kaki di lapangan golf lagi setelah sekian lama. Edgar dapat memandang hamparan rumput yang hijau, merasakan semilir angin yang berembus, serta menikmati obrolan ringan yang mengalir. Detik itu, Edgar menyadari bahwa mencurahkan seluruh waktu untuk Indira tidak serta-merta membuat rumah tangga mereka menjadi sehat. Mereka sama-sama membutuhkan sedikit ruang dan waktu untuk melakukan hal-hal yang disukai. Edgar bermain golf atau tenis, sedangkan Indira pergi ke perpustakaan atau mencari jajanan di pinggir jalan. Mereka tak harus selalu bersama, sesekali perlu menyepi agar bisa lebih mencintai diri sendiri. Dengan cara itulah mereka bisa tetap menjaga kewarasan, sehingga kehidupan pernikahan terasa lebih sehat. Setelah bermain golf, Edgar menyempatkan waktu untuk mampir ke sebuah toko kue. Membeli brownies dan cheesecake untuk sang istri yang sudah menunggu di rumah. Edgar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, melewati jalanan yang cu
Pagi ini Indira merasa tak enak badan. Sejak bangun tidur pada pukul setengah enam, rasanya sulit sekali untuk beranjak dari ranjang. Tubuhnya lemas, seolah tak ada tenaga yang tersisa. Padahal, suhu tubuhnya normal, tak ada gejala demam. Indira menghela napas, kemudian mengubah posisi tidurnya yang kurang nyaman. Edgar membuka kedua matanya secara perlahan, menyadari kalau sejak tadi istrinya bergerak dengan gelisah. Edgar mengusap wajahnya, kemudian menatap Indira yang sedang berbaring dengan posisi memunggunginya. “Indira? Are you okay?” tanya Edgar sambil menyentuh bahu Indira dengan lembut. Indira mengusap kedua matanya yang terasa sedikit berat, kemudian menoleh ke belakang. “Saya nggak apa-apa, Mas. Cuma nggak enak badan aja.” Edgar lekas mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian menempelkan telapak tangannya di kening Indira. Tidak terasa panas. “Perlu ke rumah sakit?” tanya Edgar dengan ekspresi cemasnya. Indira menggeleng pelan, “nggak perlu, Mas. Saya baik-baik aja