Rasanya menyenangkan ketika menginjakkan kaki di lapangan golf lagi setelah sekian lama. Edgar dapat memandang hamparan rumput yang hijau, merasakan semilir angin yang berembus, serta menikmati obrolan ringan yang mengalir. Detik itu, Edgar menyadari bahwa mencurahkan seluruh waktu untuk Indira tidak serta-merta membuat rumah tangga mereka menjadi sehat. Mereka sama-sama membutuhkan sedikit ruang dan waktu untuk melakukan hal-hal yang disukai. Edgar bermain golf atau tenis, sedangkan Indira pergi ke perpustakaan atau mencari jajanan di pinggir jalan. Mereka tak harus selalu bersama, sesekali perlu menyepi agar bisa lebih mencintai diri sendiri. Dengan cara itulah mereka bisa tetap menjaga kewarasan, sehingga kehidupan pernikahan terasa lebih sehat. Setelah bermain golf, Edgar menyempatkan waktu untuk mampir ke sebuah toko kue. Membeli brownies dan cheesecake untuk sang istri yang sudah menunggu di rumah. Edgar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, melewati jalanan yang cu
Pagi ini Indira merasa tak enak badan. Sejak bangun tidur pada pukul setengah enam, rasanya sulit sekali untuk beranjak dari ranjang. Tubuhnya lemas, seolah tak ada tenaga yang tersisa. Padahal, suhu tubuhnya normal, tak ada gejala demam. Indira menghela napas, kemudian mengubah posisi tidurnya yang kurang nyaman. Edgar membuka kedua matanya secara perlahan, menyadari kalau sejak tadi istrinya bergerak dengan gelisah. Edgar mengusap wajahnya, kemudian menatap Indira yang sedang berbaring dengan posisi memunggunginya. “Indira? Are you okay?” tanya Edgar sambil menyentuh bahu Indira dengan lembut. Indira mengusap kedua matanya yang terasa sedikit berat, kemudian menoleh ke belakang. “Saya nggak apa-apa, Mas. Cuma nggak enak badan aja.” Edgar lekas mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian menempelkan telapak tangannya di kening Indira. Tidak terasa panas. “Perlu ke rumah sakit?” tanya Edgar dengan ekspresi cemasnya. Indira menggeleng pelan, “nggak perlu, Mas. Saya baik-baik aja
Indira memang sudah membeli dua buah testpack, tapi masih terlalu takut untuk memakainya. Alhasil, testpack masih tersimpan dengan rapi di dalam tas. Pikiran Indira terasa penuh, sejak tadi sibuk memikirkan skenario-skenario yang mungkin terjadi. Kalau boleh jujur, sebenarnya Indira belum ingin memiliki momongan. Usianya baru duapuluh satu tahun, seharusnya ia masih dalam fase menikmati masa muda dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Tak pernah sekali pun Indira membayangkan kalau dirinya akan menjadi seorang ibu di usia yang terbilang cukup muda. Saat Edgar baru saja tiba di rumah, ia menjumpai sang istri yang sedang duduk di ruang makan dengan wajah murungnya. Tentu saja Edgar bingung bukan main, karena tadi pagi Indira masih bisa tersenyum dan terlihat ceria meskipun sempat mual-mual. “Indira? Are you okay?” tanya Edgar. Lamunan Indira seketika buyar. “Oh, baru pulang?” tanya Indira, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Mm-hmm…” jawab Edgar sambil meletakkan tas kerjanya
Hamil di usia duapuluh satu tahun adalah hal yang tak pernah dibayangkan oleh Indira. Ketika melihat dua garis merah di atas tespack, tentu saja Indira terkejut dan bingung. Alih-alih tersenyum bahagia, ia justru menangis sesegukan. Entahlah, perasaannya menjadi lebih emosional. Di titik itu, Indira masih berharap kalau hasil yang tertera di atas testpack tidaklah akurat. Tapi, ketika datang ke klinik kandungan dan bertemu dengan dokter obgyn, harapan Indira seketika hancur berkeping-keping. Ia memang sedang berbadan dua, kandungannya masuk minggu ke empat. Mual-mual yang dialaminya merupakan efek dari trimester pertama kehamilan, sebab tubuhnya sedang beradaptasi dengan kehadiran janin kecil di dalam rahim. Yeah, hamil memang bukan sebuah kesalahan, apalagi Indira sudah resmi menikah dengan Edgar sejak beberapa bulan silam. Hanya saja, saat ini status Indira adalah mahasiswi, sebentar lagi akan sibuk mengurus skripsi. Orang-orang yang sedang mengerjakan tugas akhir rawan mengalami
Dokter menyarankan agar Indira menjaga pola makannya agar bisa memberikan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan janin. Tapi, jangankan memikirkan soal kandungan gizi, baru memasukkan beberapa sendok makanan ke dalam mulut saja rasa mualnya kembali muncul. Indira memesan semangkuk bakso di kantin kampus, mencampurnya dengan nasi sebagai menu makan siang. Sialnya, aroma daging yang menguar dari bakso malah menghadirkan rasa mual. Alhasil, Indira langsung berlari menuju kamar mandi untuk muntah, baksonya yang masih tersisa banyak dibiarkan begitu saja. Rasanya sangat melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Setelah itu, Indira memutuskan untuk langsung pulang karena nafsu makannya telah menghilang. Perempuan itu berjalan meninggalkan kamar mandi sambil membawa tasnya, pergi menuju tempat parkir khusus mobil di mana Pak Rahmat sudah menunggu. Pak Rahmat merupakan supir yang mulai hari ini bertugas menjemput Indira di kampus. “Langsung pulang, Mbak Indira?” tanya Pak Rahmat. In
Malam ini Indira harus merevisi proposal skripsinya, mengingat besok siang ada jadwal bimbingan. Beberapa bagian perlu diperbaiki, sesuai dengan arahan dosen pembimbing. Sialnya, seluruh energi Indira seolah terkuras habis. Tubuhnya lemas luar biasa, untuk sekadar berpikir dan menggerakkan jemari di atas laptop saja berat bukan main. Sejak setengah jam yang lalu, perempuan itu duduk di atas ranjang sambil memangku laptop. Berkali-kali mencoba memfokuskan pikirannya, mencari beberapa referensi tambahan dan memperbaiki format penulisan. Lalu, tiba-tiba punggungnya pegal karena terlalu lama duduk, kepalanya juga sedikit pusing karena terlalu lama menatap layar laptop. Siapa sangka kalau kehamilan bisa memberikan efek yang luar biasa pada tubuh seorang perempuan? Kenapa Indira seolah kehilangan seluruh kemampuannya untuk berpikir dan beraktivitas? Jujur, Indira tak suka terjebak dalam situasi seperti ini. Ia ingin tetap disiplin dan mandiri meskipun sedang berbadan dua, seperti banyak
Indira berdiri di depan standing mirror, kemudian mengangkat kaus yang membalut tubuhnya. Ia termenung selama beberapa saat, tangannya perlahan bergerak menyentuh perut. Masih rata, belum ada baby bump yang terlihat. Di tengah keheningan yang menyelimuti kamar, ponsel Indira yang tergeletak di atas nakas tiba-tiba bergetar. Ada pesan singkat dari Edgar. [Mas Edgar : siap-siap, Indira. Sore ini kita berangkat ke Bandung, besok siang harus datang ke pesta pernikahannya Mila][Mas Edgar : bawa beberapa baju dan camilan]Oh, Indira baru ingat kalau Mila akan segera menggelar pesta pernikahan. Tentu saja Indira harus datang sambil membawa hadiah dan memberi ucapan selamat. Indira menutup kembali ponselnya, lalu berjalan menuju walk-in closet sambil membawa sebuah koper kecil. Ia memasukkan pakaian dalam, piyama, kaus pendek, overall, dan floral dress berwarna hitam. Setelah memastikan semua keperluannya sudah masuk ke koper, barulah Indira mengambilkan pakaian ganti untuk Edgar. Sebena
Indira keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih setengah basah. Tadi sore ia memang sudah mandi, tapi tubuhnya terasa berkeringat karena menempuh perjalanan selama beberapa jam. Maka, hal pertama yang dilakukan begitu tiba di kamar hotel adalah pergi ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya dengan air. Rasanya segar luar biasa, seluruh keringat dan kotoran luruh dari tubuhnya. “Sini, Sayang,” ucap Edgar yang sedang duduk di atas ranjang. Indira mendekat ke arah ranjang, menuruti permintaan sang suami. Edgar tersenyum, kemudian mengambil handuk kecil yang ada di dalam genggaman Indira. Berinisiatif untuk membantu mengeringkan rambut. “Habis ini mau langsung tidur? Atau mau nonton film sambil cuddle?” tanya Edgar sambil mengusap helaian-helaian rambut Indira dengan handuk. “Ini baru jam setengah delapan,” jawab Indira. Secara tak langsung Indira menyetujui opsi kedua, yaitu menonton film sambil cuddle di atas ranjang. Aktivitas yang sangat menyenangkan, apalagi selama ini m