Untuk menghadiri resepsi pernikahan, Indira mengenakan floral dress berwarna hitam, dipadukan dengan sweater rajut untuk menutupi lengannya. Lalu, kedua kakinya dibungkus dengan sepasang flat shoes berwarna putih. Indira ingin membuat dirinya tampil senyaman mungkin, agar betah berlama-lama di wedding venue. Resepsi dimulai pukul satu siang. Edgar dan Indira meninggalkan kamar hotel pada pukul duabelas. Mereka sudah makan nasi goreng seafood sebagai menu brunch. Indira bisa menelan beberapa sendok makanan, walaupun setelah itu harus berlari ke kamar mandi untuk muntah. Entahlah, rasa mual selalu muncul tiap kali berurusan dengan makanan berat. Oleh sebab itu, Indira banyak mengonsumsi buah-buahan dan camilan agar janin yang ada di dalam kandungan tetap mendapat nutrisi yang cukup untuk tumbuh dan berkembang. Yang jelas, liburan singkat di Bandung membuat perasaan Indira sedikit membaik. Perempuan itu tidak lagi murung dan memasang ekspresi sedih tiap kali melamun. Sebuah kemajuan y
Liburan singkat di Bandung telah berakhir. Indira kembali ke Jakarta dengan mood yang jauh lebih baik, seolah menemukan satu kebahagiaan kecil yang bisa menjadi sumber energinya untuk menjalani hari. Indira ingin lebih menikmati masa-masa kehamilannya, sehingga janin yang ada di dalam kandungan dapat tumbuh dengan baik. Hari ini Indira berangkat ke kampus seperti biasa. Menjelang Ujian Akhir Semester, ada banyak tugas yang harus dikumpulkan. Selain itu, Indira juga perlu meminjam beberapa buku dari perpustakaan, untuk dijadikan referensi dalam proposal skripsinya. Tadi pagi Indira sempat mual-mual. Hanya bisa menelan sepotong apel dan setangkup roti isi selai strawberry. Untungnya, rasa mual itu hilang ketika Indira tiba di kelas. Ia dapat mengikuti kelas sampai akhir, tak perlu bolak-balik ke kamar mandi untuk muntah. Untuk hal kecil itu, Indira sangat bersyukur. “Eh, baby bumpnya udah mulai kelihatan. Lucu banget,” gumam Kiran sambil mengusap perut Indira. Indira buru-buru mema
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk