“Pak, hari ini saya sudah mengajukan surat resign. Kemungkinan sebentar lagi HRD akan mengadakan open recruitment untuk posisi sekretaris,” kata Mila sambil menyodorkan sebuah laporan untuk ditandatangani oleh Edgar. “Kenapa tiba-tiba mau resign? Ada masalah?” tanya Edgar sambil menggoreskan bolpoin di atas kertas. “Bulan depan saya menikah, Pak. Habis itu mau tinggal di Bandung.” “Oh, akhirnya dilamar juga?”Mila langsung mendengus kesal. Edgar tertawa, kemudian menutup dokumen yang telah ditandatangani. Tentu saja Edgar ikut bahagia saat mendengar berita pernikahan Mila. Tapi, di sisi lain, Edgar juga bingung karena nantinya harus menyesuaikan diri dengan sekretaris yang baru. “Jujur, sebenarnya saya malas kalau harus beradaptasi sama sekretaris yang baru. Maksudnya, kamu udah tahu segala hal tentang saya, ngerti gimana cara kerja saya. Agak repot kalau harus menjelaskan semuanya ke sekretaris baru, belum tentu juga cocok diajak kerjasama,” kata Edgar. “Apa? Malas beradaptasi
[Mas Edgar : Indira, nanti malam temani saya ke resepsi pernikahan][Mas Edgar : saya udah pesan dress, heels, dan hand bag. Harusnya sebentar lagi sampai rumah]Indira baru saja tiba di rumah ketika membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Edgar. Tampaknya rencana mengerjakan proposal skripsi harus dibatalkan, mengingat malam ini Indira harus menemani Edgar menghadiri pesta pernikahan seorang teman lama. Indira menutup ponselnya, kemudian berjalan memasuki rumah lewat pintu samping yang tak terkunci. Di atas sofa ruang tengah, terdapat tiga buah kotak berukuran besar, masing-masing berisi dress, high heels, dan hand bag. Ternyata sudah datang. “Mbak Indira, ini ada kiriman barang,” kata Bi Imah. Indira tersenyum, “iya, Bi. Terima kasih.” “Biar Bibi bantu bawakan ke kamar, ya.” “Nggak perlu, Bi. Ini nggak berat kok, jadi saya bisa bawa sendiri.” Bi Imah mengangguk, kemudian berjalan menuju dapur untuk melanjutkan aktivitas menata isi kulkas. Sementara itu, Indira mengangkat ti
Indira berdiri di depan wastafel, sedang menggosok gigi. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Rumah terasa sepi, hampir semua lampu di dalam rumah sudah dimatikan (kecuali lampu kamar mandi, balkon, dan teras). Indira mencuci sikat gigi yang baru saja dipakai, lalu mengembalikannya ke dalam cangkir keramik yang diletakkan di dekat wastafel. Keran kembali dinyalakan, Indira menggunakan kedua tangannya untuk menampung air yang selanjutnya dipakai untuk membasuh wajah. Setelah menggosok gigi dan membasuh wajah, Indira lekas meninggalkan kamar mandi sambil memegang handuk kecil. Lalu, tatapan Indira tertuju ke arah Edgar yang sudah terlelap di atas ranjang. Laki-laki itu tampaknya baru saja tertidur, tubuhnya sedikit lelah setelah melakukan banyak aktivitas dari pagi sampai malam. Indira tersenyum, perlahan naik ke atas ranjang. Berusaha semampunya untuk tidak menimbulkan suara, agar Edgar tetap tidur dengan tenang tanpa ada gangguan. Besok pagi ada jadwal prese
Rasanya menyenangkan ketika menginjakkan kaki di lapangan golf lagi setelah sekian lama. Edgar dapat memandang hamparan rumput yang hijau, merasakan semilir angin yang berembus, serta menikmati obrolan ringan yang mengalir. Detik itu, Edgar menyadari bahwa mencurahkan seluruh waktu untuk Indira tidak serta-merta membuat rumah tangga mereka menjadi sehat. Mereka sama-sama membutuhkan sedikit ruang dan waktu untuk melakukan hal-hal yang disukai. Edgar bermain golf atau tenis, sedangkan Indira pergi ke perpustakaan atau mencari jajanan di pinggir jalan. Mereka tak harus selalu bersama, sesekali perlu menyepi agar bisa lebih mencintai diri sendiri. Dengan cara itulah mereka bisa tetap menjaga kewarasan, sehingga kehidupan pernikahan terasa lebih sehat. Setelah bermain golf, Edgar menyempatkan waktu untuk mampir ke sebuah toko kue. Membeli brownies dan cheesecake untuk sang istri yang sudah menunggu di rumah. Edgar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, melewati jalanan yang cu
Pagi ini Indira merasa tak enak badan. Sejak bangun tidur pada pukul setengah enam, rasanya sulit sekali untuk beranjak dari ranjang. Tubuhnya lemas, seolah tak ada tenaga yang tersisa. Padahal, suhu tubuhnya normal, tak ada gejala demam. Indira menghela napas, kemudian mengubah posisi tidurnya yang kurang nyaman. Edgar membuka kedua matanya secara perlahan, menyadari kalau sejak tadi istrinya bergerak dengan gelisah. Edgar mengusap wajahnya, kemudian menatap Indira yang sedang berbaring dengan posisi memunggunginya. “Indira? Are you okay?” tanya Edgar sambil menyentuh bahu Indira dengan lembut. Indira mengusap kedua matanya yang terasa sedikit berat, kemudian menoleh ke belakang. “Saya nggak apa-apa, Mas. Cuma nggak enak badan aja.” Edgar lekas mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian menempelkan telapak tangannya di kening Indira. Tidak terasa panas. “Perlu ke rumah sakit?” tanya Edgar dengan ekspresi cemasnya. Indira menggeleng pelan, “nggak perlu, Mas. Saya baik-baik aja
Indira memang sudah membeli dua buah testpack, tapi masih terlalu takut untuk memakainya. Alhasil, testpack masih tersimpan dengan rapi di dalam tas. Pikiran Indira terasa penuh, sejak tadi sibuk memikirkan skenario-skenario yang mungkin terjadi. Kalau boleh jujur, sebenarnya Indira belum ingin memiliki momongan. Usianya baru duapuluh satu tahun, seharusnya ia masih dalam fase menikmati masa muda dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Tak pernah sekali pun Indira membayangkan kalau dirinya akan menjadi seorang ibu di usia yang terbilang cukup muda. Saat Edgar baru saja tiba di rumah, ia menjumpai sang istri yang sedang duduk di ruang makan dengan wajah murungnya. Tentu saja Edgar bingung bukan main, karena tadi pagi Indira masih bisa tersenyum dan terlihat ceria meskipun sempat mual-mual. “Indira? Are you okay?” tanya Edgar. Lamunan Indira seketika buyar. “Oh, baru pulang?” tanya Indira, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Mm-hmm…” jawab Edgar sambil meletakkan tas kerjanya
Hamil di usia duapuluh satu tahun adalah hal yang tak pernah dibayangkan oleh Indira. Ketika melihat dua garis merah di atas tespack, tentu saja Indira terkejut dan bingung. Alih-alih tersenyum bahagia, ia justru menangis sesegukan. Entahlah, perasaannya menjadi lebih emosional. Di titik itu, Indira masih berharap kalau hasil yang tertera di atas testpack tidaklah akurat. Tapi, ketika datang ke klinik kandungan dan bertemu dengan dokter obgyn, harapan Indira seketika hancur berkeping-keping. Ia memang sedang berbadan dua, kandungannya masuk minggu ke empat. Mual-mual yang dialaminya merupakan efek dari trimester pertama kehamilan, sebab tubuhnya sedang beradaptasi dengan kehadiran janin kecil di dalam rahim. Yeah, hamil memang bukan sebuah kesalahan, apalagi Indira sudah resmi menikah dengan Edgar sejak beberapa bulan silam. Hanya saja, saat ini status Indira adalah mahasiswi, sebentar lagi akan sibuk mengurus skripsi. Orang-orang yang sedang mengerjakan tugas akhir rawan mengalami
Dokter menyarankan agar Indira menjaga pola makannya agar bisa memberikan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan janin. Tapi, jangankan memikirkan soal kandungan gizi, baru memasukkan beberapa sendok makanan ke dalam mulut saja rasa mualnya kembali muncul. Indira memesan semangkuk bakso di kantin kampus, mencampurnya dengan nasi sebagai menu makan siang. Sialnya, aroma daging yang menguar dari bakso malah menghadirkan rasa mual. Alhasil, Indira langsung berlari menuju kamar mandi untuk muntah, baksonya yang masih tersisa banyak dibiarkan begitu saja. Rasanya sangat melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Setelah itu, Indira memutuskan untuk langsung pulang karena nafsu makannya telah menghilang. Perempuan itu berjalan meninggalkan kamar mandi sambil membawa tasnya, pergi menuju tempat parkir khusus mobil di mana Pak Rahmat sudah menunggu. Pak Rahmat merupakan supir yang mulai hari ini bertugas menjemput Indira di kampus. “Langsung pulang, Mbak Indira?” tanya Pak Rahmat. In