“Indira! Habis nikah kok jadi tambah cantik, sih?” “By the way, pesta resepsinya keren banget, loh. Sayang yang diundang cuma Kiran.”“Iya. Kita cuma bisa lihat foto-foto resepsi dari postingannya Kiran.”“Kenapa nggak ngundang anak-anak seangkatan sih, Ndi? Udah hampir empat tahun loh kita kuliah bareng.” Indira mengerjapkan mata, benar-benar bingung karena semua orang mendadak baik kepadanya. Padahal, selama ini eksistensi Indira di dalam kelas selalu diabaikan. Orang-orang hanya menganggap Indira sebagai gadis yatim piatu yang serba kekurangan dan suka berburu beasiswa. Oleh sebab itu, mereka juga tak pernah mengajak Indira hang out ke mall, kemah ke Puncak, atau berlibur ke pantai ketika masuk musim liburan. Indira malah tak suka dengan perubahan sikap teman-teman sekelasnya. Lebih baik tetap diabaikan seperti biasanya, sehingga Indira tak perlu berbasa-basi atau menunjukkan senyum palsu di bibirnya. “Maaf, ya. Acaranya mendadak, jadi nggak sempat ngundang banyak orang,” jelas
Ujian Tengah Semester telah berakhir. Hanya perlu menunggu nilai-nilainya keluar, biasanya beberapa dosen akan mengadakan perbaikan untuk para mahasiswa yang nilainya masih di bawah angka tujuhpuluh. Indira cukup percaya diri kalau nilai-nilainya akan bagus. Ia rajin mencatat, selalu belajar sampai tengah malam, dan banyak membaca jurnal untuk menambah wawasan. Faktanya, IPK yang tertera di dalam transkrip nilai memang nyaris sempurna. Indira termasuk mahasiswi berprestasi, bahkan pernah memenangkan sebuah kompetisi menulis essay. Malam ini India bisa sedikit bersantai, tak perlu lagi berkutat dengan materi ujian. Daripada tak melakukan apa-apa, Indira memutuskan untuk menyusun kerangka proposal. Ia harus segera mengumpulkan judul dan ringkasan penelitian, agar nantinya pihak program studi bisa memilihkan dosen pembimbing. Indira ingin cepat-cepat lulus dan mendapatkan ijazah, oleh sebab itu ia tak bisa membuang-buang waktu. Lebih baik mulai mengerjakan proposal dari sekarang, aga
“Pak, hari ini saya sudah mengajukan surat resign. Kemungkinan sebentar lagi HRD akan mengadakan open recruitment untuk posisi sekretaris,” kata Mila sambil menyodorkan sebuah laporan untuk ditandatangani oleh Edgar. “Kenapa tiba-tiba mau resign? Ada masalah?” tanya Edgar sambil menggoreskan bolpoin di atas kertas. “Bulan depan saya menikah, Pak. Habis itu mau tinggal di Bandung.” “Oh, akhirnya dilamar juga?”Mila langsung mendengus kesal. Edgar tertawa, kemudian menutup dokumen yang telah ditandatangani. Tentu saja Edgar ikut bahagia saat mendengar berita pernikahan Mila. Tapi, di sisi lain, Edgar juga bingung karena nantinya harus menyesuaikan diri dengan sekretaris yang baru. “Jujur, sebenarnya saya malas kalau harus beradaptasi sama sekretaris yang baru. Maksudnya, kamu udah tahu segala hal tentang saya, ngerti gimana cara kerja saya. Agak repot kalau harus menjelaskan semuanya ke sekretaris baru, belum tentu juga cocok diajak kerjasama,” kata Edgar. “Apa? Malas beradaptasi
[Mas Edgar : Indira, nanti malam temani saya ke resepsi pernikahan][Mas Edgar : saya udah pesan dress, heels, dan hand bag. Harusnya sebentar lagi sampai rumah]Indira baru saja tiba di rumah ketika membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Edgar. Tampaknya rencana mengerjakan proposal skripsi harus dibatalkan, mengingat malam ini Indira harus menemani Edgar menghadiri pesta pernikahan seorang teman lama. Indira menutup ponselnya, kemudian berjalan memasuki rumah lewat pintu samping yang tak terkunci. Di atas sofa ruang tengah, terdapat tiga buah kotak berukuran besar, masing-masing berisi dress, high heels, dan hand bag. Ternyata sudah datang. “Mbak Indira, ini ada kiriman barang,” kata Bi Imah. Indira tersenyum, “iya, Bi. Terima kasih.” “Biar Bibi bantu bawakan ke kamar, ya.” “Nggak perlu, Bi. Ini nggak berat kok, jadi saya bisa bawa sendiri.” Bi Imah mengangguk, kemudian berjalan menuju dapur untuk melanjutkan aktivitas menata isi kulkas. Sementara itu, Indira mengangkat ti
Indira berdiri di depan wastafel, sedang menggosok gigi. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Rumah terasa sepi, hampir semua lampu di dalam rumah sudah dimatikan (kecuali lampu kamar mandi, balkon, dan teras). Indira mencuci sikat gigi yang baru saja dipakai, lalu mengembalikannya ke dalam cangkir keramik yang diletakkan di dekat wastafel. Keran kembali dinyalakan, Indira menggunakan kedua tangannya untuk menampung air yang selanjutnya dipakai untuk membasuh wajah. Setelah menggosok gigi dan membasuh wajah, Indira lekas meninggalkan kamar mandi sambil memegang handuk kecil. Lalu, tatapan Indira tertuju ke arah Edgar yang sudah terlelap di atas ranjang. Laki-laki itu tampaknya baru saja tertidur, tubuhnya sedikit lelah setelah melakukan banyak aktivitas dari pagi sampai malam. Indira tersenyum, perlahan naik ke atas ranjang. Berusaha semampunya untuk tidak menimbulkan suara, agar Edgar tetap tidur dengan tenang tanpa ada gangguan. Besok pagi ada jadwal prese
Rasanya menyenangkan ketika menginjakkan kaki di lapangan golf lagi setelah sekian lama. Edgar dapat memandang hamparan rumput yang hijau, merasakan semilir angin yang berembus, serta menikmati obrolan ringan yang mengalir. Detik itu, Edgar menyadari bahwa mencurahkan seluruh waktu untuk Indira tidak serta-merta membuat rumah tangga mereka menjadi sehat. Mereka sama-sama membutuhkan sedikit ruang dan waktu untuk melakukan hal-hal yang disukai. Edgar bermain golf atau tenis, sedangkan Indira pergi ke perpustakaan atau mencari jajanan di pinggir jalan. Mereka tak harus selalu bersama, sesekali perlu menyepi agar bisa lebih mencintai diri sendiri. Dengan cara itulah mereka bisa tetap menjaga kewarasan, sehingga kehidupan pernikahan terasa lebih sehat. Setelah bermain golf, Edgar menyempatkan waktu untuk mampir ke sebuah toko kue. Membeli brownies dan cheesecake untuk sang istri yang sudah menunggu di rumah. Edgar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, melewati jalanan yang cu
Pagi ini Indira merasa tak enak badan. Sejak bangun tidur pada pukul setengah enam, rasanya sulit sekali untuk beranjak dari ranjang. Tubuhnya lemas, seolah tak ada tenaga yang tersisa. Padahal, suhu tubuhnya normal, tak ada gejala demam. Indira menghela napas, kemudian mengubah posisi tidurnya yang kurang nyaman. Edgar membuka kedua matanya secara perlahan, menyadari kalau sejak tadi istrinya bergerak dengan gelisah. Edgar mengusap wajahnya, kemudian menatap Indira yang sedang berbaring dengan posisi memunggunginya. “Indira? Are you okay?” tanya Edgar sambil menyentuh bahu Indira dengan lembut. Indira mengusap kedua matanya yang terasa sedikit berat, kemudian menoleh ke belakang. “Saya nggak apa-apa, Mas. Cuma nggak enak badan aja.” Edgar lekas mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian menempelkan telapak tangannya di kening Indira. Tidak terasa panas. “Perlu ke rumah sakit?” tanya Edgar dengan ekspresi cemasnya. Indira menggeleng pelan, “nggak perlu, Mas. Saya baik-baik aja
Indira memang sudah membeli dua buah testpack, tapi masih terlalu takut untuk memakainya. Alhasil, testpack masih tersimpan dengan rapi di dalam tas. Pikiran Indira terasa penuh, sejak tadi sibuk memikirkan skenario-skenario yang mungkin terjadi. Kalau boleh jujur, sebenarnya Indira belum ingin memiliki momongan. Usianya baru duapuluh satu tahun, seharusnya ia masih dalam fase menikmati masa muda dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Tak pernah sekali pun Indira membayangkan kalau dirinya akan menjadi seorang ibu di usia yang terbilang cukup muda. Saat Edgar baru saja tiba di rumah, ia menjumpai sang istri yang sedang duduk di ruang makan dengan wajah murungnya. Tentu saja Edgar bingung bukan main, karena tadi pagi Indira masih bisa tersenyum dan terlihat ceria meskipun sempat mual-mual. “Indira? Are you okay?” tanya Edgar. Lamunan Indira seketika buyar. “Oh, baru pulang?” tanya Indira, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Mm-hmm…” jawab Edgar sambil meletakkan tas kerjanya
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk