Edgar dan Indira duduk bersisian di balkon. Sekotak pizza dan dua gelas es sirup tergeletak di atas meja, menjadi menu makan malam mereka. Langit berselimut mendung, sebab tak ada kelip bintang yang terlihat. Tampaknya tengah malam nanti hujan deras akan turun. “Maaf, kemarin saya langsung pergi ke rumah Kiran tanpa ngomong dulu sama Mas Edgar,” ucap Indira, membuka pembicaraan di antara mereka. “Nggak apa-apa. Kiran chat saya, bilang kalau kamu nginep di rumahnya. Makanya saya nggak khawatir,” jawab Edgar. “Saya belum dewasa, Mas. Suka menyendiri kalau lagi ada masalah, bahkan berkelahi di kampus karena nggak bisa ngontrol emosi.” “Apa yang kamu lakukan itu wajar, Indira. Jangan merasa rendah diri. Lagipula, usia kamu masih dua puluh tahun, proses yang harus kamu lalui buat menuju kedewasaan masih sangat panjang.”“Sebentar lagi duapuluh satu tahun.”“Oh ya? Sebentar lagi kamu ulang tahun?”“Dua minggu lagi, Mas.” Ah, untungnya belum terlewati, sehingga Edgar bisa menyiapkan ke
Indira mengerjapkan mata ketika rasakan hangatnya sinar matahari mengenai kulit wajahnya. Ia masih berbaring di atas ranjang dengan kondisi telanjang, hanya sehelai selimut yang menutupi tubuh sampai sebatas dada. Gaun tidur dan pakaian dalamnya tersebar di atas lantai. Sayup-sayup Indira mendengar suara shower dari arah kamar mandi. Indira terdiam selama beberapa saat, kemudian menenggelamkan wajahnya pada bantal. Masih tergambar jelas dalam ingatannya perihal apa yang terjadi tadi malam. Sial. Indira tiba-tiba diserang rasa gugup, bahkan wajahnya mulai memerah. “Aku beneran having sex sama Mas Edgar?” gumam Indira, kemudian menarik selimut sampai menutupi kepalanya. Bercinta untuk pertama kalinya memang menyakitkan, tapi di sisi lain juga menghadirkan sensasi baru yang belum pernah Indira rasakan sebelumnya Tak berselang lama, Edgar keluar dari kamar mandi. Hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggang. Rambutnya masih setengah basah. Indira bahkan tidak berani keluar dari
Edgar membuka ponselnya, hendak menelepon Mila. Ada beberapa hal penting yang perlu didiskusikan. “Pak Edgar lupa kalau sekarang tanggal merah?” tanya Mila ketika baru saja mengangkat telepon dari Edgar. “Saya nggak lupa,” jawab Edgar, kemudian terkekeh pelan. “Ada beberapa hal yang perlu saya diskusikan dengan kamu.”“Nggak bisa nunggu besok, Pak?”“Sayangnya nggak bisa. Ini cukup mendesak.” “Tentang Stella? Sampai sekarang dia belum datang menemui Bapak untuk meminta maaf?” “Jangankan meminta maaf, klarifikasi di sosial media saja belum dilakukan. Padahal postingannya mengundang banyak komentar kebencian untuk Indira.” “Besok kita bisa diskusi sama Pak Felix, biar bisa secepatnya melaporkan masalah ini ke pihak kepolisian.” “Indira nggak mau memperbesar masalah, hanya butuh permintaan maaf dari Stella.”“Temui orang tua Stella, Pak. Jelaskan kalau anak mereka sudah menyebarkan rumor di sosial media.”Edgar menghela napas, kemudian menatap ke arah kolam renang lewat jendela le
Indira menyadari kalau dirinya masih menjadi pusat perhatian ketika menginjakkan kaki di kampus. Tapi, setidaknya sudah tak ada lagi selentingan bernada negatif yang merebak di selasar dan kantin. Kini semua orang malah membahas tentang fakta bahwa Indira telah menikah dengan pria kaya raya. Indira tak peduli lagi dengan ucapan orang lain, hanya ingin fokus menjalani kehidupannya sebagai seorang mahasiswi. Toh, tinggal satu semester lagi ia akan meninggalkan kampus. “Ndi, habis ini mau ke kantor?” tanya Kiran ketika kelas baru saja selesai. Indira menggeleng, “aku hari ini ambil jatah cuti, soalnya nanti mau ketemu wedding organizer.” “Oh my God! Beneran mau ngadain resepsi?”“Iya, keinginannya Mas Edgar.” Kiran bertepuk tangan, senang bukan main karena sahabatnya akan segera menggelar pesta pernikahan. Akirnya Kiran bisa melihat Indira dalam balutan wedding dress. “Semoga lancar ya sampai d-day. Jangan lupa undangannya,” kata Kiran. “Iya, nanti aku sekalian pesen bridesmaid dr
“Ini beberapa pilihan venue yang tersedia di tanggal yang Pak Edgar tetapkan,” jelas Agnes, wedding organizer yang akan membantu Edgar dan Indira mempersiapkan pesta pernikahan. Indira terdiam selama beberapa saat, mengamati foto-foto dari venue yang bisa dibooking. Semuanya mewah, kapasitasnya juga cukup besar. Tentu saja Indira bingung bukan main, sebab ia belum pernah sekali pun menghadiri pesta pernikahan yang digelar di ballroom hotel bintang lima atau convention hall yang super luas. “Saya nggak menyarankan konsep outdoor, karena akhir-akhir ini sering hujan, cuaca sulit sekali untuk diprediksi,” jelas Agnes. Edgar mengangguk, kemudian berkata, “konsepnya indoor, Miss Agnes. Saya ingin menggelar resepsi saat malam hari, jadi nggak mungkin pilih venue di tempat terbuka.”“Tradisional atau modern, Pak?”“Modern. Tapi, saya nggak ingin dekorasi yang berlebihan. Buat sesederhana mungkin, tapi tetap terkesan elegan.”Agnes membuat catatan ke dalam tabletnya, agar nanti bisa berdis
Edgar menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah dua lantai. Ia lantas keluar dari mobil sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah tujuh petang, harusnya Hadyan Wiyasa dan Ratu Wiyasa sudah berada di rumah. Edgar menoleh ke belakang, menatap Mila dan Felix yang baru saja tiba. Mereka juga ikut serta mendampingi Edgar yang hendak menemui orang tua Stella. Inilah usaha terakhirnya untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan, agar masalah bisa segera selesai tanpa ada drama yang berlarut-larut. Edgar, Mila, dan Felix berjalan melewati gerbang yang dibiarkan terbuka lebar. Lalu, mereka berhenti di teras rumah. Edgar menekan bel di samping pintu, kemudian menunggu sampai sang pemilik rumah muncul. Tak berselang lama, seorang Asisten Rumah Tangga membuka pintu. “Saya ingin bertemu Pak Hadyan dan Ibu Ratu,” jelas Edgar tanpa basa-basi. “Baik. Silakan menunggu di ruang tamu, saya panggilkan Pak Hadyan dan Bu Ratu yang sed
“Sekarang saya paham kenapa Stella sampai seberani itu nyebar rumor palsu di sosial media,” ucap Indira setelah mendengar cerita Edgar. “Mungkin selama ini dia menderita karena nggak dapat kasih sayang dari orang tuanya, tapi dituntut untuk selalu sempurna.” Edgar mengangguk pelan, kemudian memasukkan potongan strawberry ke dalam mulutnya. “Stella terlalu berharap sama Mas Edgar, makanya sakit hati waktu tahu Mas Edgar udah nikah,” sambung Indira, tatapannya menerawang jauh. “Juju, saya juga nggak tahu kalau selama ini Stella punya masalah sama orang tuanya. Kami berdua memang pacaran, tapi nggak pernah sharing hal-hal yang sifatnya pribadi. Cuma pergi ke mall atau bar, terus late night drive sampai puas. Saya nggak pernah menjanjikan apa pun, bahkan dari awal udah ngasih tahu kalau saya nggak berniat buat menjalin hubungan yang serius,” jawab Edgar. “Mas Edgar satu-satunya orang yang mau ngasih afeksi, makanya Stella terlanjur bergantung. Dia haus kasih sayang, makanya dikasih pe
Indira duduk di atas kursi, biarkan seorang makeup artist merias wajahnya. Jujur, Indira tak menduga kalau merias wajah akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Ia harus duduk tegak di kursi, tidak banyak bicara atau bergerak agar sang makeup artist tetap fokus menjalankan tugasnya. Inidra merasa seperti putri dari negeri dongeng yang hendak menghadiri pesta dansa bersama pangeran. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup mulai menyerang seiringan dengan waktu yang terus berjalan. Meskipun Indira sudah resmi menikah dengan Edgar beberapa bulan yang lalu, tapi resepsi yang digelar malam ini justru lebih mendebarkan ketimbang akad nikah. Maklum, saat akad nikah berlangsung, benih-benih cinta belum tumbuh di dalam dada. Beberapa saat kemudian, Kiran dan Mila masuk ke dalam kamar. Mereka sudah mengenakan dress berwarna sage green. Mereka menjadi bridesmaid, sejak beberapa hari yang lalu ikut sibuk mempersiapkan resepsi. “Indira!” teriak Kiran dengan heboh. Indira hanya tersenyu
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk