Indira duduk di atas kursi, biarkan seorang makeup artist merias wajahnya. Jujur, Indira tak menduga kalau merias wajah akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Ia harus duduk tegak di kursi, tidak banyak bicara atau bergerak agar sang makeup artist tetap fokus menjalankan tugasnya. Inidra merasa seperti putri dari negeri dongeng yang hendak menghadiri pesta dansa bersama pangeran. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup mulai menyerang seiringan dengan waktu yang terus berjalan. Meskipun Indira sudah resmi menikah dengan Edgar beberapa bulan yang lalu, tapi resepsi yang digelar malam ini justru lebih mendebarkan ketimbang akad nikah. Maklum, saat akad nikah berlangsung, benih-benih cinta belum tumbuh di dalam dada. Beberapa saat kemudian, Kiran dan Mila masuk ke dalam kamar. Mereka sudah mengenakan dress berwarna sage green. Mereka menjadi bridesmaid, sejak beberapa hari yang lalu ikut sibuk mempersiapkan resepsi. “Indira!” teriak Kiran dengan heboh. Indira hanya tersenyu
Bagi Edgar, Bali adalah tempat yang sangat familiar. Sejak kecil, ia sudah terbiasa bolak-balik Jakarta ke Bali setiap kali masuk musim liburan. Apalagi Papa Danu memiliki satu resort yang terletak di Pecatu, lokasinya persis di dekat pantai. Sebaliknya, Indira belum pernah sekali pun menginjakkan kakinya di Bali. Selama ini hanya bisa melihat foto-foto yang tersebar di sosial media. Oleh sebab itu, Indira sangat antusias dengan agenda honeymoon ke Pulau Dewata itu. Perempuan itu tak dapat menyembunyikan senyuman di wajahnya, bahkan saat berada di dalam pesawat juga terus menatap ke arah jendela. Mengamati awan, serta daratan yang terlihat kecil sekali di bawah sana. Segalanya terasa sangat mengagumkan. Begitu landing di airport, mereka langsung berjalan menuju terminal kedatangan. Di sana, ada seorang pria paruh baya yang sudah menunggu dengan secarik kertas bertuliskan Edgar Bumantara. “Pak Made,” sapa Edgar dengan ramah. Pria paruh baya yang dipanggil Pak Made itu tersenyum, k
Indira melepas sweater dari tubuhnya, biarkan terjatuh begitu saja di atas lantai. Ia lantas masuk ke kolam renang. Air kolam yang dingin langsung bersentuhan dengan kulitnya. Perempuan itu berenang menuju ujung, kemudian bertumpu pada pinggiran kolam. Tatapannya tertuju pada lautan lepas yang ada di depan mata, permukaan airnya yang terkena cahaya matahari sore terlihat cantik sekali. Kini Indira mengerti kenapa orang-orang sangat menyukai sunset, bahkan rela datang ke tempat-tempat yang terkenal memiliki pemandangan sunset terbaik. Rasanya menenangkan kala melihat langit yang perlahan berganti warna, beriringan dengan matahari yang hampir tenggelam. Seperti tertelan dalamnya lautan. Beberapa saat kemudian, Edgar muncul di backyard sambil membawa dua gelas soda. Laki-laki itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek berwarna hitam. Kedua kakinya berjalan menyusuri pinggiran kolam yang basah, hingga akhirnya berhenti di dekat sang istri. “Soda,” kata Edgar sambil menyodor
Hari kedua di Bali, Edgar dan Indira memutuskan untuk pergi ke Ubud. Mendatangi The Blanco Renaissance Museum untuk melihat karya seni, kemudian dilanjutkan ke studio yoga untuk mengikuti kelas yoga bersama beberapa wisatawan lainnya, lalu mampir ke Sweet Orange untuk makan siang. Wajah Indira berseri-seri, sebab agenda jalan-jalan hari ini terasa sangat menyenangkan. Tubuhnya terasa lebih fresh setelah mengikuti kelas yoga, apalagi saat melihat pemandangan persawahan yang tersaji di depan mata. Perempuan itu kini duduk di kursi kayu, memandang ke arah hamparan sawah. Helaian-helaian rambutnya sedikit berterbangan tertiup angun. Mulutnya sibuk mengunyah bakwan. “Malam ini kita menginap di Ubud kan, Mas?” tanya Indira beberapa saat kemudian. Edgar terkekeh pelan, kemudian berkata, “iya, saya udah booking kamar buat malam ini.” Indira mengangguk, lalu mengambil satu tusuk sate ayam. “Kamu lebih suka pemandangan persawahan daripada pantai?” tanya Edgar. “Iya, Mas. Saya suka lihat
Indira keluar dari kamar sambil membawa segelas lemonade, kemudian duduk di dekat kolam renang. Perempuan itu hanya memakai bathrobe, rambutnya masih setengah basah. Sisa-sisa wangi lavender dari sabun cair yang tadi dipakai masih menguar dari tubuh. Indira menengadah, menatap langit malam yang cukup cerah. Suasana malam di Ubud terasa begitu tenang, tak terdengar suara debur ombak maupun angin laut. Yang terdengar hanyalah suara seranga dan gemersik dedaunan yang tertiup angin sepoi, terasa sangat nyaman di telinga. Indira memang menyukai ketenangan, sehingga lebih senang menghabiskan hari di daerah yang masih dikelilingi persawahan hijau daripada pusat kota yang tak ada matinya. Tak berselang lama, Edgar keluar. Laki-laki itu juga memakai bathrobe, tangan kanannya memegang sebuah handuk kecil yang digunakan untuk mengeringkan rambut. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Edgar langsung duduk di samping Indira. Indira menengok ke samping, tersenyum saat melihat suaminya yang lebih f
Honeymoon di Bali telah berakhir. Edgar dan Indira kembali ke Jakarta dengan hati berbunga-bunga, masih dalam suasana romantis setelah puas bercengkrama dan bermesraan. Masa honeymoonnya memang sangat singkat, tapi setidaknya mereka telah menciptakan banyak kenangan indah bersama. Pagi ini, Edgar dan Indira harus kembali menjalani rutinitas masing-masing. Ujian Tengah Semester resmi dimulai hari ini, sehingga Indira menyempatkan diri untuk bangun lebih awal agar bisa membaca materi sekali lagi. Perempuan itu memang cukup ambisius kalau menyangkut nilai, sehingga harus berjuang agar hasil yang didapatkan sesuai dengan ekspektasinya. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi Indira sudah duduk di balkon sambil memegang sebuah buku yang penuh berisi catatan selama mengikuti perkuliahan. Sesekali Indira menoleh ke belakang untuk menatap Edgar yang sedang terlelap di atas ranjang. Laki-laki itu bertelanjang dada, selimut menutupi tubuhnya sampai sebatas pinggang. Tanpa sadar, sudut bibir I
“Indira! Habis nikah kok jadi tambah cantik, sih?” “By the way, pesta resepsinya keren banget, loh. Sayang yang diundang cuma Kiran.”“Iya. Kita cuma bisa lihat foto-foto resepsi dari postingannya Kiran.”“Kenapa nggak ngundang anak-anak seangkatan sih, Ndi? Udah hampir empat tahun loh kita kuliah bareng.” Indira mengerjapkan mata, benar-benar bingung karena semua orang mendadak baik kepadanya. Padahal, selama ini eksistensi Indira di dalam kelas selalu diabaikan. Orang-orang hanya menganggap Indira sebagai gadis yatim piatu yang serba kekurangan dan suka berburu beasiswa. Oleh sebab itu, mereka juga tak pernah mengajak Indira hang out ke mall, kemah ke Puncak, atau berlibur ke pantai ketika masuk musim liburan. Indira malah tak suka dengan perubahan sikap teman-teman sekelasnya. Lebih baik tetap diabaikan seperti biasanya, sehingga Indira tak perlu berbasa-basi atau menunjukkan senyum palsu di bibirnya. “Maaf, ya. Acaranya mendadak, jadi nggak sempat ngundang banyak orang,” jelas
Ujian Tengah Semester telah berakhir. Hanya perlu menunggu nilai-nilainya keluar, biasanya beberapa dosen akan mengadakan perbaikan untuk para mahasiswa yang nilainya masih di bawah angka tujuhpuluh. Indira cukup percaya diri kalau nilai-nilainya akan bagus. Ia rajin mencatat, selalu belajar sampai tengah malam, dan banyak membaca jurnal untuk menambah wawasan. Faktanya, IPK yang tertera di dalam transkrip nilai memang nyaris sempurna. Indira termasuk mahasiswi berprestasi, bahkan pernah memenangkan sebuah kompetisi menulis essay. Malam ini India bisa sedikit bersantai, tak perlu lagi berkutat dengan materi ujian. Daripada tak melakukan apa-apa, Indira memutuskan untuk menyusun kerangka proposal. Ia harus segera mengumpulkan judul dan ringkasan penelitian, agar nantinya pihak program studi bisa memilihkan dosen pembimbing. Indira ingin cepat-cepat lulus dan mendapatkan ijazah, oleh sebab itu ia tak bisa membuang-buang waktu. Lebih baik mulai mengerjakan proposal dari sekarang, aga