“Indira, kaki kamu kenapa?” Ezra langsung bersuara ketika melihat Indira sedikit pincang, meskipun masih kuat untuk berjalan dan menuruni tangga. Hanya terasa sedikit nyeri ketika melangkah, tadi malam dokter mengatakan kalau pergelangan kaki Indira hanya terkilir dan tak memerlukan perawatan intensif. “Terkilir, Mas,” jawab Indira sembari duduk di ruang makan. Pagi ini, dengan amat terpaksa Indira tak bisa membantu Bi Imah bersih-bersih dan memasak. Kehadirannya di dapur hanya akan menganggu dan merepotkan. “Tadi malam jatuh?” tanya Ezra sekali lagi. Indira menunjukkan cengiran di bibirnya, “iya, Mas. Jatuh gara-gara nggak terbiasa pakai high heels.” “Oh, berarti gara-gara Bang Edgar.” “Bukan karena Mas Edgar. Saya sendiri yang salah, karena dari awal nggak bilang kalau belum terbiasa pakai high heels.”Detik berikutnya, Edgar muncul. Langung memberi tatapan tajam ke arah Ezra yang sejak pagi sudah berusaha memojokannya. Ezra tak peduli, memilih untuk mengambil pisang dan meny
“Ndi!”Indira menoleh ketika merasa namanya dipanggil. Lalu, kedua matanya membulat dengan sempurna saat menyadari bahwa sosok yang memanggilnya adalah Valentine Atmaja. Mahasiswi paling populer di fakultas, memiliki side job sebagai content creator. Indira mengenal Valentine, sebab mereka selalu berada di kelas yang sama sejak berstatus sebagai mahasiswa baru. Tapi, gaya hidup yang berbeda jauh membuat keduanya tak pernah sekali pun berinteraksi, kecuali saat ada tugas kelompok. “Kenapa, Val?” tanya Indira sambil membenarkan letak tasnya. Valentine menatap Indira dari ujung kaki sampai ujung kepala, kemudian tersenyum. “Kita satu kelompok kan buat tugas Audit Informasi?” “Iya, kita sekelompok.” “Tugasnya kita kerjain hari ini, yuk. Mumpung gue lagi free, soalnya besok-besok ada jadwal collab sama content creator lain.” Indira mengerjapkan mata, tak mengira kalau Valentine akan mengajaknya untuk mengerjakan tugas bersama. Selama ini, mereka lebih suka mengerjakan sendiri-sendiri
Sejak meninggalkan lounge and bar, tak banyak pembicaraan yang mengalir di antara Edgar dan Indira. Hanya alunan musik dalam volume rendah yang terdengar. Indira tak mau memulai pembicaraan, sebab ia tahu persis kalau Edgar sedang kesal. Pada dasarnya, laki-laki itu memang tak pandai menyembunyikan isi hatinya. Segala hal seolah tergambar dengan jelas dari ekspresi wajahnya. “Jelaskan,” ucap Edgar pada akhirnya, memecah keheningan. “Kenapa kamu ada di bar? Saya nggak percaya alasan kamu yang tadi. Mengerjakan tugas bisa di coffee shop atau restoran. Saya nggak pernah sekali pun lihat ada mahasiswa yang mengerjakan tugas di bar.” Indira memainkan kukunya, lalu berkata, “saya jujur, Mas. Tadi teman saya yang ngajak ke bar buat mengerjakan tugas kelompok. Katanya, kalau masih sore bar belum terlalu ramai.” “Kamu ditipu, Indira. Dasar naif. Kamu diajak ke bar karena mau dikasih minuman.” “Makanya saya langsung pergi waktu ditawarin whisky. Saya masih tahu batasan, kok.” “Bar bukan t
Hari ini Indira libur, memasuki minggu tenang karena beberapa hari lagi masuk periode UAS. Meskipun libur, Indira tetap bangun pagi untuk membantu Bi Imah membersihkan rumah. Setelah itu, pergi ke halaman belakang untuk menyirami bibit tomat dan cabainya yang mulai tumbuh daun. Beberapa hari lagi, siap dipindahkan ke pot yang lebih besar. Tadi malam Valentine menelepon Indira, mengajaknya untuk camping di Puncak selama dua malam. Katanya, untuk menyegarkan otak sebelum dipusingkan dengan serangkaian ujian. Tentu saja Indira menolaknya mentah-mentah, ia tak mau lagi hang out dengan Valentine karena khawatir akan diberi alkohol lagi. Lebih baik tetap di rumah selama masa liburnya, meskipun sebenarnya Indira juga canggung tiap kali terjebak di antara Edgar dan Ezra yang suka bertengkar. “Habis ujian, aku harus kerja part time. Daripada cuma stay di rumah selama liburan semester. Lumayan kan uangnya bisa dipakai buat penelitian skripsi,” gumam Indira sambil menyemprot bibit cabai dan
Semua staf di Bumantara Construction terkejut luar biasa ketika Edgar datang bersama Indira. Meskipun memang dikenal sebagai sosok playboy yang suka gonta-ganti kekasih, tapi tak pernah sekali pun Edgar membawa perempuan ke kantor. Indira langsung menjadi pusat perhatian, ditatap dengan sedemikian rupa oleh para staf. Hal itu tentu saja membuat Indira sedikit risih, rasanya seperti sedang diawasi oleh puluhan pasang mata. Bisa dipastikan rumor dan gosip akan mulai menyebar seperti kobaran api yang sulit dipadamkan. Indira menunduk, hanya mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Edgar tanpa banyak bicara. Mencoba untuk mengabaikan tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Edgar membuka pintu ruang kerjanya, kemudian melangkah masuk. “Kamu bisa duduk di sofa,” ucap Edgar sambil menunjuk ke arah sofa. “Mungkin lebih baik saya pulang aja, Mas,” sahut Indira, mencoba untuk tetap bersikap sopan. “Saya agak kurang nyaman ada di tempat ini. Semua staf juga kelihatannya risih lihat Mas Edga
[Maya : Ed, malam ini Delon ngadain party di barnya. Mau join?]Edgar terdiam ketika membaca sebaris chat dari Maya. Aneh sekali, seolah gairahnya untuk berpesta telah menguap entah ke mana. [Edgar : sorry, malam ini ada acara]Seorang Edgar Pradana Bumantara menolak ajakan pesta adalah hal yang sangat tak wajar. Laki-laki itu sangat mencintai kebebasan, suka melepas stress dengan cara berpesta dan bercumbu mesra dengan perempuan. “Langsung pulang, Mas?” tanya Mila.“Iya, langsung pulang,” jawab Edgar sambil bangkit dari duduknya, lalu beranjak meninggalkan ruangan. Sebab Edgar ingin segera tiba di rumah, khawatir kalau Ezra mulai merayu Indira. Bagaimana pun, isi pikiran Ezra sangat sulit untuk ditebak.Indira sudah pulang sejak pukul satu siang. Meskipun Edgar berusaha mencegah dengan berbagai cara, tetap saja Indira memilih untuk pergi dari kantor menggunakan taksi. Pendiriannya kuat sekali, meskipun dari luar terlihat seperti gadis muda yang labil. Setibanya di basement, Edgar
Agar tak diminta untuk ikut ke kantor lagi, Indira memutuskan untuk pergi dari rumah sejak pagi-pagi buta. Berjalan mengendap-endap dari kamarnya, membawa sebua ransel yang diisi dengan buku, laptop, botol tumbler, dan camilan. Rencananya akan pergi ke perpustakaan, lalu bertemu dengan Kiran untuk belajar bersama. Sialnya, Indira tertangkap basah. “Hei! Mau ke mana?”Langkah Indira seketika berhenti, perlahan menoleh ke belakang. Menjumpai Edgar sedang berdiri di ujung tangga dengan lingkaran hitam di sekeliling matanya. Indira menelan ludah dengan susah payah, lalu berkata, “mau ke rumah teman, Mas. Hari ini udah janjian mau belajar bareng.”“Ini masih jam setengah enam.”“Iya, biar bisa sekalian sarapan bareng.” “Teman yang tempo hari ngajak kamu ke bar?”“Bukan!”Edgar menyipitkan mata, menatap Indira lekat-lekat. Ingin memastikan apakah yang diucapkan oleh Indira adalah sebuah kejujuran. “Kamu sengaj pergi pagi-pagi begini bukan karena mau menghindari saya, kan?” tanya Edgar.
[Indira : malam ini saya mau nginep di rumahnya Kiran]Sial. Edgar serasa ditolak mentah-mentah saat membaca pesan balasan yang dikirimkan oleh Indira. Menginap, katanya. Entah bagaimana firasat Edgar mengatakan kalau Indira ingin menghindar, sehingga mencari seribu alasan agar tak perlu terus berjumpa dan mengobrol dengan Edgar. Edgar berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya, sesekali memandang ke arah langit yang sore ini berselimut awan mendung. Sangat pekat, mungkin sebentar lagi hujan deras akan turun. Mila sampai pusing sendiri melihat atasannya mondar-mandir seperti setrika. Dari luar terlihat seperti seorang CEO muda yang sedang memikirkan proyek-proyek besar yang sedang berlangsung. Padahal, laki-laki itu sedang overthinking gara-gara Indira akan menginap di luar.“Jangan-jangan dia mau party?” gumam Edgar. Mila menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal, semakin bingung melihat Edgar yang mulai bergumam sendiri. “Tapi, perempuan seperti Indira nggak mungkin berani club