Semua staf di Bumantara Construction terkejut luar biasa ketika Edgar datang bersama Indira. Meskipun memang dikenal sebagai sosok playboy yang suka gonta-ganti kekasih, tapi tak pernah sekali pun Edgar membawa perempuan ke kantor. Indira langsung menjadi pusat perhatian, ditatap dengan sedemikian rupa oleh para staf. Hal itu tentu saja membuat Indira sedikit risih, rasanya seperti sedang diawasi oleh puluhan pasang mata. Bisa dipastikan rumor dan gosip akan mulai menyebar seperti kobaran api yang sulit dipadamkan. Indira menunduk, hanya mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Edgar tanpa banyak bicara. Mencoba untuk mengabaikan tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Edgar membuka pintu ruang kerjanya, kemudian melangkah masuk. “Kamu bisa duduk di sofa,” ucap Edgar sambil menunjuk ke arah sofa. “Mungkin lebih baik saya pulang aja, Mas,” sahut Indira, mencoba untuk tetap bersikap sopan. “Saya agak kurang nyaman ada di tempat ini. Semua staf juga kelihatannya risih lihat Mas Edga
[Maya : Ed, malam ini Delon ngadain party di barnya. Mau join?]Edgar terdiam ketika membaca sebaris chat dari Maya. Aneh sekali, seolah gairahnya untuk berpesta telah menguap entah ke mana. [Edgar : sorry, malam ini ada acara]Seorang Edgar Pradana Bumantara menolak ajakan pesta adalah hal yang sangat tak wajar. Laki-laki itu sangat mencintai kebebasan, suka melepas stress dengan cara berpesta dan bercumbu mesra dengan perempuan. “Langsung pulang, Mas?” tanya Mila.“Iya, langsung pulang,” jawab Edgar sambil bangkit dari duduknya, lalu beranjak meninggalkan ruangan. Sebab Edgar ingin segera tiba di rumah, khawatir kalau Ezra mulai merayu Indira. Bagaimana pun, isi pikiran Ezra sangat sulit untuk ditebak.Indira sudah pulang sejak pukul satu siang. Meskipun Edgar berusaha mencegah dengan berbagai cara, tetap saja Indira memilih untuk pergi dari kantor menggunakan taksi. Pendiriannya kuat sekali, meskipun dari luar terlihat seperti gadis muda yang labil. Setibanya di basement, Edgar
Agar tak diminta untuk ikut ke kantor lagi, Indira memutuskan untuk pergi dari rumah sejak pagi-pagi buta. Berjalan mengendap-endap dari kamarnya, membawa sebua ransel yang diisi dengan buku, laptop, botol tumbler, dan camilan. Rencananya akan pergi ke perpustakaan, lalu bertemu dengan Kiran untuk belajar bersama. Sialnya, Indira tertangkap basah. “Hei! Mau ke mana?”Langkah Indira seketika berhenti, perlahan menoleh ke belakang. Menjumpai Edgar sedang berdiri di ujung tangga dengan lingkaran hitam di sekeliling matanya. Indira menelan ludah dengan susah payah, lalu berkata, “mau ke rumah teman, Mas. Hari ini udah janjian mau belajar bareng.”“Ini masih jam setengah enam.”“Iya, biar bisa sekalian sarapan bareng.” “Teman yang tempo hari ngajak kamu ke bar?”“Bukan!”Edgar menyipitkan mata, menatap Indira lekat-lekat. Ingin memastikan apakah yang diucapkan oleh Indira adalah sebuah kejujuran. “Kamu sengaj pergi pagi-pagi begini bukan karena mau menghindari saya, kan?” tanya Edgar.
[Indira : malam ini saya mau nginep di rumahnya Kiran]Sial. Edgar serasa ditolak mentah-mentah saat membaca pesan balasan yang dikirimkan oleh Indira. Menginap, katanya. Entah bagaimana firasat Edgar mengatakan kalau Indira ingin menghindar, sehingga mencari seribu alasan agar tak perlu terus berjumpa dan mengobrol dengan Edgar. Edgar berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya, sesekali memandang ke arah langit yang sore ini berselimut awan mendung. Sangat pekat, mungkin sebentar lagi hujan deras akan turun. Mila sampai pusing sendiri melihat atasannya mondar-mandir seperti setrika. Dari luar terlihat seperti seorang CEO muda yang sedang memikirkan proyek-proyek besar yang sedang berlangsung. Padahal, laki-laki itu sedang overthinking gara-gara Indira akan menginap di luar.“Jangan-jangan dia mau party?” gumam Edgar. Mila menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal, semakin bingung melihat Edgar yang mulai bergumam sendiri. “Tapi, perempuan seperti Indira nggak mungkin berani club
Indira berkata akan menginap di rumah Kiran selama satu malam. Tapi, kenyataannya baru pulang saat akhir pekan. Tiga hari lamanya gadis itu tak kembali, bakan chat dari Edgar saja sering tak dibalas. Edgar tentu uring-uringan, beberapa kali berniat untuk menjemput Indira. Membawanya pulang ke rumah. Tapi, kesannya aneh sekali kalau Edgar memaksa ini dan itu, mengingat pertunangannya dengan Indira dilaksanakan atas dasar keterpaksaan. Mereka sama-sama tak memakai cincin, enggan mengakui status pertunangan di depan orang lain, dan tentu saja tidak saling mencintai. Benar. Edgar harusnya tak peduli. Bukankah lebih bagus kalau Indira sering menginap di luar? Sehingga mereka tidak harus makan bersama atau duduk berdua di ruang tengah.Ternyata tidak semudah itu mengontrol perasaannya. Ketika Indira baru saja pulang, yang Edgar lakukan adalah mengomel panjang lebar. “Bilangnya cuma satu malam, tapi ternyata sampai tiga hari nggak pulang,” ucap Edgar yang kini duduk di atas sofa sambil
Sejak pertengkaran dua hari silam, Indira dan Edgar belum bicara lagi. Lebih tepatnya, Indira lebih memilih untuk menghindar dan tak bersuara. Sarapan sejak pagi-pagi buta, kemudian langsung masuk ke dalam kamar. Sebisa mungkin membatasi interaksi dengan Edgar.Jujur, Edgar tak suka dengan ketegangan yang masih terasa di antara dirinya dengan Indira. Ingin mengakhiri perang dingin itu, tapi tak tahu bagaimana caranya. Canggung sekali kalau tiba-tiba mengajak Indira bicara seolah tak pernah terjadi apa-apa. Hari ini Edgar sengaja bangun lebih awal. Mandi, memakai setelan rapi, kemudian berjalan meninggalkan kamar sambil memakai jam tangan. Setibanya di dapur, Edgar menjumpai Indira sedang berdiri di depan kitchen island. Sedang menikmati nasi dan telur ceplok sebagai menu sarapan. Indira terkejut saat Edgar tiba-tiba muncul. Masih pukul enam, harusnya Edgar baru bangun tidur dan sebentar lagi masuk ke kamar mandi. Indira lekas menghabiskan nasi di atas piringnya, kemudian meminum s
Sepulang kerja, Edgar langsung mampir ke Delon’s House, sebuah bar yang terletak di Senopati. Bersisian dengan sebuah tempat karaoke. Bar itu dikelola oleh sahabat karib Edgar yang bernama Delon. Mereka sudah saling mengenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. “Yo! Akhirnya ke sini juga,” ucap Delon ketika melihat Edgar melenggang lewat pintu kaca yang dibiarkan terbuka. Edgar melepas jasnya, kemudian menggulung lengan kemejanya. Laki-laki itu langsung duduk di depan meja bar, tertawa ketika melihat sahabat karibnya memiliki tato baru di leher. Cukup besar, sehingga sangat mencolok. “New tattoo?” tanya Edgar. Delon mengangguk, “iya, kembaran sama Agnes.”“Kenapa harus dileher?”“Daripada di pantat.” Edgar kembali tertawa, kemudian mengedarkan pandangannya. Bar masih sepi, mengingat saat ini masih pukul lima petang. Bahkan dua orang bartender yang biasa menyiapkan minuman juga baru datang. “Mau apa? Whisky or vodka?” tanya Delon. Edgar menggeleng, “no, lagi nggak mau m
Setelah menjalani periode Ujian Akhir Semester selama seminggu lamanya, akhirnya hari ini Indira bisa bernapas lega. Lepaskan segala beban yang menumpuk di pundaknya, kini hanya menunggu dosen menginput nilai. Masuk akhir pekan, Indira memilih memanfaatkan waktu untuk mencari informasi tentang paid internship. Hubungannya dengan Edgar memang sudah membaik, mereka tak lagi perang dingin atau saling menghindar. Tapi, tetap saja Indira perlu mencari kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu liburannya. Berbekal laptop, Indira menelusuri situs-situs resmi perusahaan yang ada di Jakarta. Mencari program paid internship. Memang ada beberapa opsi magang untuk mahasiswa, tapi sebagian besar tak dibayar. Hingga akhirnya ia menemukan lowongan internship di sebuah perusahaan farmasi sebagai staf administrasi. Gaji yang ditawarkan memang di bawah upah minimum, tapi sangat layak untuk dicoba karena lokasi kantor yang hanya berjarak tiga kilometer dari rumah. Bisa dijangkau dengan angkutan umu