Sepulang kerja, Edgar langsung mampir ke Delonâs House, sebuah bar yang terletak di Senopati. Bersisian dengan sebuah tempat karaoke. Bar itu dikelola oleh sahabat karib Edgar yang bernama Delon. Mereka sudah saling mengenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. âYo! Akhirnya ke sini juga,â ucap Delon ketika melihat Edgar melenggang lewat pintu kaca yang dibiarkan terbuka. Edgar melepas jasnya, kemudian menggulung lengan kemejanya. Laki-laki itu langsung duduk di depan meja bar, tertawa ketika melihat sahabat karibnya memiliki tato baru di leher. Cukup besar, sehingga sangat mencolok. âNew tattoo?â tanya Edgar. Delon mengangguk, âiya, kembaran sama Agnes.ââKenapa harus dileher?ââDaripada di pantat.â Edgar kembali tertawa, kemudian mengedarkan pandangannya. Bar masih sepi, mengingat saat ini masih pukul lima petang. Bahkan dua orang bartender yang biasa menyiapkan minuman juga baru datang. âMau apa? Whisky or vodka?â tanya Delon. Edgar menggeleng, âno, lagi nggak mau m
Setelah menjalani periode Ujian Akhir Semester selama seminggu lamanya, akhirnya hari ini Indira bisa bernapas lega. Lepaskan segala beban yang menumpuk di pundaknya, kini hanya menunggu dosen menginput nilai. Masuk akhir pekan, Indira memilih memanfaatkan waktu untuk mencari informasi tentang paid internship. Hubungannya dengan Edgar memang sudah membaik, mereka tak lagi perang dingin atau saling menghindar. Tapi, tetap saja Indira perlu mencari kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu liburannya. Berbekal laptop, Indira menelusuri situs-situs resmi perusahaan yang ada di Jakarta. Mencari program paid internship. Memang ada beberapa opsi magang untuk mahasiswa, tapi sebagian besar tak dibayar. Hingga akhirnya ia menemukan lowongan internship di sebuah perusahaan farmasi sebagai staf administrasi. Gaji yang ditawarkan memang di bawah upah minimum, tapi sangat layak untuk dicoba karena lokasi kantor yang hanya berjarak tiga kilometer dari rumah. Bisa dijangkau dengan angkutan umu
Pagi ini, Indira menerima notifikasi bahwa dirinya lolos seleksi administrasi untuk program paid internship. Diundang datang ke perusahaan untuk melakukan sesi interview pada hari Selasa. Tentu saja Indira bangga. Meskipun masih ada tahap interview yang harus dilewati, persaingannya juga pasti semakin ketat. Tapi, paling tidak Indira sudah selangkah lebih dekat untuk mendapatkan pekerjaan. Indira tersenyum, ponselnya diletakkan di atas meja. Gadis itu lantas melanjutkan aktivitasnya, menyiram tanaman cabai dan tomat yang sudah tumbuh daun. Dalam beberapa hari bisa mulai dipindahkan ke pot yang lebih besar. Saat ini waktu menunjukkan pukul empat sore, tapi suhu permukaan masih cukup tinggi. Leher dan punggung Indira sampai dibasahi oleh keringat, padahal semestinya sore-sore begini mulai terasa sejuk. Selesai menyiram tanaman, Indira meletakkan alat semprot di dalam gudang kayu. Setelah itu, menyalakan keran di luar untuk membasuh wajahnya. Segar sekali saat terkena air. Perhatian
âKamu belajar masak sejak kapan, Indira?â âSaya tinggal di panti asuhan, pastinya harus serba bisa, Mas. Dari kecil, saya sering bantu-bantu masak, jaga adik-adik yang masih bayi, nyuci baju, sampai ngurus taman juga. Memang harus mandiri sejak kecil, karena nggak tahu juga mau minta bantuan sama siapa. Pengurus panti jumlahnya cuma sedikit, sedangkan anak-anak yang tinggal di sana ada banyak banget.â Edgar terdiam, merasa tertampar dan malu. Dari segi usia, Indira memang jauh lebih muda dari Edgar. Tapi, gadis itu seolah bisa melakukan apa saja dan mampu bertahan di tengah situasi apa pun. âCoba dicicipi. Itu tadi Mas Edgar sendiri yang bikin bumbu ikannya,â kata Indira beberapa saat kemudian. Lamunan Edgar seketika buyar. Laki-laki itu lantas memegang sendok, mengambil sedikit ikan goreng yang telah tersaji di atas meja. Memasukkannya ke dalam mulut, perlahan mengunyah daging ikan hingga hancur. Tapi, sedetik kemudian mengambil sehelai tisu dan meludahkan makanannya. Ternyata
âAwal bulan. Saatnya belanja, Pak.â Jemari Edgar berhenti bergerak di atas keyboard. Benar, sekarang sudah masuk awal bulan. Harusnya Edgar pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian, sepatu, dan jam tangan baru. Biasanya ditemani seorang gebetan atau pacar. âJam berapa sekarang?â tanya Edgar. âSetengah lima, Pak,â jawab Mila sambil melirik jam tangannya. âMau pergi sekarang? Perlu saya teleponkan Maya atau Alicia untuk menemani Pak Edgar belanja?â âNggak perlu, Mil. Saya bisa belanja sendiri.ââSendiri? Tanpa siapa-siapa?âEdgar mengangguk dengan yakin. Mila tercenang, tak menyangka kalau atasannya yang terkenal playboy itu mau pergi ke pusat perbelanjaan seorang diri. Padahal, biasanya selalu ada perempuan yang mau menemani dengan sukarela. âKalau kamu mau pulang duluan, silakan. Saya ngecek laporan perkembangan proyek dulu, habis itu langsung keluar,â kata Edgar. Mila menyipitkan mata, menatap Edgar dengan penuh curiga. âPak Edgar sekarang nggak suka perempuan lagi?
Pagi ini Indira memakai kemeja putih dan rok hitam. Rambutnya diikat rapi, wajahnya dipoles dengan makeup tipis agar terlihat lebih fresh. Tak lupa, gadis itu juga memakai parfum agar wangi. Jantungnya berdebar-debar, antusias sekali karena hari ini resmi bekerja sebagai intern di sebuah perusahaan farmasi. Meskipun statusnya hanya intern dengan masa kontrak tiga bulan, tetap saja Indira senang. Paling tidak, pengalaman magang selama tiga bulan itu bisa dimasukkan ke dalam curriculum vitae, sehingga dapat menjadi poin plus ketika Indira hendak mencari pekerjaan full time nantinya. Ketika memandang standing mirror, tatapan Indira terpaku pada kalung yang melingkar dengan manis di lehernya. Tangannya perlahan bergerak, mengusap bandul kalungnya dengan lembut. Lalu, menyembunyikannya di balik kemeja, agar tidak terlalu mencolok. Setelah memastikan penampilannya benar-benar rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki, barulah Indira berjalan meninggalkan kamar. Sambil membawa tas yang tel
Hari pertama bekerja, Indira diajari tentang bagaimana cara mengatur letak dokumen, membuat surat, melakukan entry data, mengatur arsip, serta menyusun jadwal meeting. Tak bisa dipukungkiri kalau Indira sedikit gugup, khawatir akan melakukan kesalahan yang membuat para seniornya marah. Untungnya, Indira mampu beradaptasi dengan cukup baik. Meskipun masih agak canggung tiap kali diminta mengerjakan sesuatu. Tepat pukul empat sore, Indira diperbolehkan untuk pulang. Besok harus berangkat sedikit lebih pagi untuk menyiapkan stok ATK. Tentu saja Indira bersedia, malah lebih bagus berangkat sejak pagi-pagi buta karena bisa menghindari Edgar dan Ezra. Indira meninggalkan ruang administrasi sambil menenteng tasnya. Langkahnya berhenti di depan lobi, hendak mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek. Tapi, tiba-tiba Edgar mengirim pesan. [Mas Edgar : jangan pulang sendiri. Saya jemput di depan kantor]Indira menghela napas, lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Tatapannya tertuju ke
Indira menyeduh secangkir kopi, kemudian berjalan menuju halaman belakang. Memandang kolam renang yang airnya terlihat tenang, permukaannya sedikit berkilau saat terkena lampu taman. Angin berembus, menerbangkan helaian-helaian rambut Indira. Gadis itu duduk di atas rerumputan, lalu menyesap kopinya yang masih sedikit panas. Ketika menengadah, yang dijumpai adalah bulan sabit. Cantik sekali saat tak tertutupi awan. Tenggelam di dalam lamunan, memikirkan peristiwa-peristiwa menyakitkan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Momen-momen bahagia bisa dihitung dengan jari, sisanya merupakan pil pahit yang harus Indira telan bulat-bulat. âKenapa duduk di sini sendirian?âSuara Edgar seketika membuyarkan lamunan Indira. Indira menoleh, menjumpai Edgar yang sudah berdiri di belakangnya sambil memegang secangkir teh hijau yang masih mengepul. âMas Edgar? Belum tidur?â tanya Indira. Edgar terkekeh pelan, kemudian duduk di samping Indira. âBaru jam sepuluh,â gumam Edgar, tatapannya tertuju
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.âMau pulang sekarang?â tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, âayo pulang, Mas.â Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. âTahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,â ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. âJangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,â ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. âJujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,â ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, âkehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.â âI see. Pasti berat banget, ya?ââIya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk