Hari pertama bekerja, Indira diajari tentang bagaimana cara mengatur letak dokumen, membuat surat, melakukan entry data, mengatur arsip, serta menyusun jadwal meeting. Tak bisa dipukungkiri kalau Indira sedikit gugup, khawatir akan melakukan kesalahan yang membuat para seniornya marah. Untungnya, Indira mampu beradaptasi dengan cukup baik. Meskipun masih agak canggung tiap kali diminta mengerjakan sesuatu. Tepat pukul empat sore, Indira diperbolehkan untuk pulang. Besok harus berangkat sedikit lebih pagi untuk menyiapkan stok ATK. Tentu saja Indira bersedia, malah lebih bagus berangkat sejak pagi-pagi buta karena bisa menghindari Edgar dan Ezra. Indira meninggalkan ruang administrasi sambil menenteng tasnya. Langkahnya berhenti di depan lobi, hendak mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek. Tapi, tiba-tiba Edgar mengirim pesan. [Mas Edgar : jangan pulang sendiri. Saya jemput di depan kantor]Indira menghela napas, lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Tatapannya tertuju ke
Indira menyeduh secangkir kopi, kemudian berjalan menuju halaman belakang. Memandang kolam renang yang airnya terlihat tenang, permukaannya sedikit berkilau saat terkena lampu taman. Angin berembus, menerbangkan helaian-helaian rambut Indira. Gadis itu duduk di atas rerumputan, lalu menyesap kopinya yang masih sedikit panas. Ketika menengadah, yang dijumpai adalah bulan sabit. Cantik sekali saat tak tertutupi awan. Tenggelam di dalam lamunan, memikirkan peristiwa-peristiwa menyakitkan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Momen-momen bahagia bisa dihitung dengan jari, sisanya merupakan pil pahit yang harus Indira telan bulat-bulat. “Kenapa duduk di sini sendirian?”Suara Edgar seketika membuyarkan lamunan Indira. Indira menoleh, menjumpai Edgar yang sudah berdiri di belakangnya sambil memegang secangkir teh hijau yang masih mengepul. “Mas Edgar? Belum tidur?” tanya Indira. Edgar terkekeh pelan, kemudian duduk di samping Indira. “Baru jam sepuluh,” gumam Edgar, tatapannya tertuju
Indira tahu kalau tak ada yang gartis di dunia ini. Tiap-tiap kebaikan yang ia terima dari orang lain, pasti ada harga yang harus dibayar. Entah itu dengan uang, tenaga, atau yang lainnya. Maksudnya, mana mungkin ada manusia yang benar-benar tulus membantu tanpa mengharapkan imbalan apa pun?Indira sepenuhnya menyadari bahwa Papa Danu menawarkan tempat tinggal dan makanan karena ada maksud tersembunyi. Bukan hanya semata-mata ingin membantu, tapi karena ingin menjadikan Indira sebagai menantu. Indira belum ingin menikah. Usianya baru duapuluh tahun. Statusnya masih mahasiswi. Masih memiliki banyak sekali mimpi yang ingin diraih. Ya, memang benar bahwa menikah bukanlah akhir dari segalanya. Indira tetap bisa berjuang meraih impiannya meskipun sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya. Tapi, tetap saja rasanya berbeda. Ketika seorang perempuan telah menikah, maka prioritasnya akan berubah drastis. Tiap hari harus memperhatikan suami, menyiapkan makanan untuk suami, melayani s
Indira memandang kebaya berwarna putih dan kain jarik yang tergantung di depan lemari. Menjadi pengingat bahwa dirinya benar-benar akan segera melepas masa lajang, untuk menikah dengan Edgar. Indira bahkan sudah tak memiliki sisa energi untuk menangis atau meratapi nasib. Pernikahan telah diatur sedemikian rupa, bahkan saat ini ruang tengah sedang dihias dengan berbagai bunga karena besok pagi akan dijadikan sebagai tempat akad. Sekarang hari Sabtu, secara otomatis semua anggota keluarga berada di rumah. Indira bahkan enggan menginjakkan kakinya di luar kamar, karena tak mau bertemu dan mengobrol dengan siapa pun. Ia membutuhkan sedikit waktu untuk menyendiri, berusaha untuk berpikir positif di tengah situasi sulit yang menjepitnya. Haruskah Indira kabur dari rumah? Pergi sejauh-jauhnya demi membatalkan pernikahan. Tapi, pasti usahanya akan sia-sia. Papa Danu bisa dengan mudah menemukan Indira, meskipun bersembunyi di tempat yang paling terpencil sekali pun. Indira menyentuh kal
Pernikahan adalah momen yang sangat sakral. Dua manusia disatukan dalam sebuah ikatan suci, saling berjanji untuk menerima dan mengasihi sampai maut memisahkan. Tapi, pernikahan tanpa didasari oleh cinta ternyata terasa berat luar biasa. Indira termenung, menatap pantulan wajahnya pada cermin. Wajahnya sudah dirias, tubuhnya dibalut dengan kebaya dan kain batik, rambutnya berhias aksesoris. Sebentar lagi, gadis itu akan resmi melepas masa lajangnya. Indira menyentuh dadanya sendiri, kemudian mengalihkan pandangan ke arah jendela. Tak kuasa melihat penampilannya sendiri. Otaknya berkabut, penuh dengan bayang-bayang mengerikan. Bagaimana jika nantinya kehidupan Indira berubah seratus delapan puluh derajat? Bagaimana jika rasa cinta tak kunjung hadir di dalam dada, hingga tiap detik yang dihabiskan bersama Edgar terasa sangat menyiksa? Bagaimana jika suatu saat nanti Indira justru ingin menyerah dan mengakhiri segalanya? Selama beberapa saat, gadis itu memejamkan mata. Berusaha seku
Edgar sering bergonta-ganti pacar, bahkan make out dengan perempuan yang baru ditemui juga bukan hal yang asing. Tak pernah sekali pun laki-laki itu menerima penolakan, terlebih jika bicara soal ciuman. Banyak perempuan yang mengakui kalau Edgar adalah seorang good kisser. Punya cara yang paling seductive untuk merayu lawan jenisnya. Sayangnya, segala pesona yang melekat dalam diri laki-laki itu sama sekali tak membuat istrinya terpikat. Mereka emang tidur di ranjang yang sama, tapi ada tumpukan bantal yang dijadikan sebagai tembok pembatas. Ranjang king size itu seolah dibagi menjadi dua wilayah, tak boleh saling melewatu batas. Indira meringkuk, tidur dalam posisi memunggungi Edgar. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya dari ujung kaki sampai sebatas leher. Indira tak mengatakan apa-apa, hanya berpura-pura memejamkan mata karena tidak mau diajak bicara. Indira tahu kalau bersetubuh adalah hal yang wajar dilakukan oleh sepasang suami istri. Dan, bukan suatu kesalahan apabila Edg
Semua orang di kantor menyadari kalau hari ini Edgar memakai cincin. Cincin kawin yang melingkar di jari manis itu sengaja tak dilepas, tapi Edgar juga tak bisa menjelaskan secara gamblang kalau dirinya sudah menikah. Indira meminta agar pernikahan dirahasiakan terlebih dulu, sehingga tidak menimbulkan gosip. Sebagai sekretaris yang selalu mengikuti Edgar ke mana-mana, tentu saja Mila bingung. Ini pertama kalinya perempuan itu melihat sang atasan memakai cincin di jari manis. “Pak Edgar sudah bertunangan?” tanya Mila. Edgar yang sedang menata gambar bangunan di whiteboard langsung tertawa. “Kenapa tiba-tiba tanya soal itu?”“Ini pertama kalinya saya lihat Pak Edgar memakai cincin di jari manis.” “Ada yang aneh? Laki-laki nggak boleh memakai cincin?” Mila tersenyum, lalu menganggukkan kepala. Meskipun Edgar tidak memberi jawaban yang jelas, tapi Mila bisa menebak kalau atasannya sudah bertunangan atau malah diam-diam menikah dengan seseorang. Edgar fokus menatap whiteboard, samb
Seisi rumah tampaknya telah bersekongkol, sengaja pergi untuk memberi sedikit ruang bagi Edgar dan Indira agar bisa bermesraan. Papa Danu dan Edgar pergi ke Bali, entah menghadiri acara apa di sana. Bi Imah pulang kampung, saudaranya ada yang melangsungkan pernikahan besok siang. Ketika Edgar dan Indira pulang, mereka menjumpai rumah dalam keadaan kosong. “Bi Imah!” panggil Indira, kemudian berjalan menuju dapur. Yang ditemukan hanyalah sebuah sticky note, ditempelkan pada kulkas. [Bibi pulang kampung. Bapak dan Mas Ezra pergi ke Bali untuk menghadiri sebuah acara]Indira terdiam selama beberapa saat, bingung luar biasa karena semua orang pergi tanpa pamit. Yang ditinggalkan hanya sticky note dengan tulisan tangan yang sedikit berantakan. “Bi Imah di mana?” tanya Edgar yang kini menyusul ke dapur. “Pulang kampung,” jawab Indira sambil menunjuk sticky note di kulkas. “Pak Danu dan Mas Ezra juga pergi, ada acara di Bali.” Acara macam apa yang didatangi Papa Danu bersama Ezra? Sel
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk