Seisi rumah tampaknya telah bersekongkol, sengaja pergi untuk memberi sedikit ruang bagi Edgar dan Indira agar bisa bermesraan. Papa Danu dan Edgar pergi ke Bali, entah menghadiri acara apa di sana. Bi Imah pulang kampung, saudaranya ada yang melangsungkan pernikahan besok siang. Ketika Edgar dan Indira pulang, mereka menjumpai rumah dalam keadaan kosong. “Bi Imah!” panggil Indira, kemudian berjalan menuju dapur. Yang ditemukan hanyalah sebuah sticky note, ditempelkan pada kulkas. [Bibi pulang kampung. Bapak dan Mas Ezra pergi ke Bali untuk menghadiri sebuah acara]Indira terdiam selama beberapa saat, bingung luar biasa karena semua orang pergi tanpa pamit. Yang ditinggalkan hanya sticky note dengan tulisan tangan yang sedikit berantakan. “Bi Imah di mana?” tanya Edgar yang kini menyusul ke dapur. “Pulang kampung,” jawab Indira sambil menunjuk sticky note di kulkas. “Pak Danu dan Mas Ezra juga pergi, ada acara di Bali.” Acara macam apa yang didatangi Papa Danu bersama Ezra? Sel
Indira memutuskan untuk tidur di atas sofa untuk menghilangkan rasa canggung. Berbaring di atas sofa, biarkan tubuhnya ditutupi selimut sampai sebatas dada. Ternyata sofa terasa jauh lebih nyaman ketimbang ranjang di dalam kamar. Gadis itu memang sengaja menghindar karena tak mau bersentuhan dengan suaminya. Edgar tentu saja paham kalau Indira sedang berusaha untuk menciptakan garis batasan. Sikap baik dan senyum manis yang diberikan kepada Edgar bukanlah sebuah jaminan kalau Indira sudah membuka diri. Pada dasarnya, gadis itu memang baik kepada siapa pun. Edgar menghela napas ketika melihat Indira terlelap di atas sofa. Sialnya, laki-laki itu tak bisa melakukan apa-apa. Menggendong sang istri ke kamar sama saja mencari mati. Maka, semalaman Edgar tidur seorang diri di dalam kamar. Menyedihkan sekali, padahal statusnya adalah pengantin baru. Ketika pagi datang, Edgar lekas pergi ke kamar mandi. Bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Di sisi lain, Indira mengendap-endap ke dala
Sepulang kerja, Indira langsung memesan ojek online. Pergi menemui Kiran di rumahnya. Sudah cukup lama mereka tak berjumpa, bahkan komunikasi lewat chat saja sangat jarang, mengingat keduanya sama-sama sibuk dengan berbagai kegiatan. Indira mengikuti program paid internship selama liburan, sedangkan Kiran kerja part time di sebuah coffee shop. Sore ini Kiran sendirian di rumah, sebab orang tuanya sedang berada di Bandung. Tampaknya akan menginap di sana sampai dua hari ke depan. Kiran sedang menyiram tanaman di teras rumah ketika Indira datang bersama driver ojek. “Indira!” teriak Kiran. Indira segera turun dari motor sambil melepas helmnya, kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada sang driver. “Malam ini kamu nggak kerja, kan?” tanya Indira sambil melepas sepatunya, kemudian naik ke teras rumah. “Hari ini aku shift pagi, jadi malamnya free,” jawab Kiran. “Ah, maaf aku nggak bawa makanan. Habis keluar kantor langsung pesen ojek, lupa mampir beli jajan dulu.”“Nggak apa-apa, Nd
Bi Imah sudah kembali, mau tak mau Indira harus tidur di dalam kamar. Bersisian dengan Edgar di atas ranjang, membangun tembok dari tumpukan bantal sebagai pembatas wilayah. Indira tak mungkin tidur di ruang tengah lagi, karena Bi Imah pasti menceritakan kejadian itu kepada Papa Danu. Mengira Indira bertengkar hebat dengan Edgar sampai tak mau tidur sekamar. Alhasil, Indira kesulitan untuk terlelap. Hanya termenung, sesekali menghela napas sambil menatap ke arah jendela. Saat lewat tengah malam, Edgar tanpa sengaja melanggar batas. Tangannya mendarat di pinggang Indira, hingga gadis itu terkejut luar biasa. Tanpa ragu sedikit pun, Indira langsung memindahkan tangan Edgar dari pinggangnya. Sebab sentuhan yang terkesan intim itu membuatnya tak nyaman. Sejak detik itu pula, Indira tidak bisa tidur sampai pagi datang. Gadis itu turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Berjalan mengendap-endap meninggalkan kamar agar tak membangunkan sang suami. Rasanya lega luar biasa karena terbebas
Edgar dan Indira pergi ke super market bersama. Hendak membeli bahan-bahan untuk membuat kue, serta stok buah dan sayuran. Edgar mendorong troli, mengikuti tiap langkah yang diambil oleh Indira. Dua manusia itu layaknya sepasang pengantin baru yang sedang manis-manisnya. Dari luar terlihat sangat serasi, apalagi memakai baju yang warnanya senada. Edgar memakai kaus hitam, celana jeans, dan leather jacket. Indira memakai overall jeans yang dipadukan dengan atasan lengan panjang berwarna hitam. “Mas, boleh ambil tepung terigu yang satu kilogram?” tanya Indira. “Boleh, ambil yang banyak sekalian,” jawab Edgar. Indira mengambil tepung terigu, memasukkannya ke dalam troli. Ada dua kantung, masing-masing seberat satu kilogram. “Lagi, Indira. Ini masih terlalu sedikit,” kata Edgar. “Oh ya? Boleh ambil lagi?” sahut Indira. Tanpa ragu sedikit pun, Edgar menganggukkan kepala. Mau membeli tepung satu truk kontainer sekali pun, Edgar sanggup membayarnya. Indira berjinjit, mengambil satu k
“Pak, ada undangan dari Sutomo Group untuk acara peresmian kantor baru,” ucap Mila, memberi informasi perihal acara yang malam nanti harus Edgar hadiri. “Acaranya jam berapa, Mil?” tanya Edgar sambil menggulung lengan kemejanya, kemudian membuka toples berisi nastar buatan sang istri. “Acaranya dimulai jam tujuh, Pak.”“Thanks informasinya. Nanti saya langsung ke sana sepulang kerja.” “Jangan lupa bawa pasangan, Pak.”“Don’t worry about it. Sekarang saya punya pasangan yang bisa diajak menghadiri acara-acara penting.” Mila mengerutkan kening, berusaha untuk menerka-nerka makna di balik ucapan ambigu Edgar. Sikapnya akhir-akhir ini juga sangat aneh, kadang senyum-senyum sendiri saat menatap layar ponsel atau mengusap cincin di jari manisnya. Seolah sudah terkena mantra, hingga tergila-gila dengan seorang perempuan. Entah siapa mystery girl yang berhasil merebut hati Edgar. Sampai laki-laki itu jatuh dan terjungkal dengan sangat brutal. Edgar membuka ponselnya, mengetik pesan untu
Ini bukan pertama kalinya Indira mendampingi Edgar untuk menghadiri acara penting, tapi tetap saja jantungnya berdebar tak karuan. Indira turun dari mobil, lalu menggandeng tangan Edgar. Berusaha untuk tetap mempertahankan ekspresi datarnya, mengabaikan tatapan dari beberapa tamu yang mulai berdatangan. Edgar tersenyum, hatinya berbunga-bunga karena tangan Indira melingkar di lengan kanannya dengan mesra. Mereka berdua terlihat serasi ketika berdiri bersisian, seperti putra-putri dari keluarga crazy rich yang sudah dijodohkan sejak usia belia. Indira cantik sekali dalam balutan floral dress berwarna hitam. Rambutnya dicepol, wajahnya dirias dengan makeup tipis. Lehernya yang jenjang berhias kalung emas putih dengan bandul berbentuk bulan. “Kalau nggak nyaman, langsung bilang ya,” kata Edgar. Indira mengangguk pelan, “baik, Mas.” Mereka melewati lobi yang penuh dengan karangan bunga, kemudian masuk ke tempat acara. Cukup meriah, berhias dekorasi khas pesta. Para tamu yang datang
Dua minggu lagi, semester baru akan dimulai. Artinya, Indira harus mulai mempersiapkan diri agar bisa mengatur waktu sebaik-baiknya. Menyeimbangkan tanggung jawab di kampus dengan pekerjan di kantor. Total ada tiga mata kuliah pilihan yang diambil, plus proposal dan seminar. Selain fokus pada perkuliahan, Indira juga harus mulai membuat kerangka skripsi. Agar nantinya bisa segera mengajukan sinopsis penelitian. Indira ingin menyelesaikan pendidikannya dalam waktu tiga setengah tahun. Setelah itu, mencari pekerjaan tetap agar bisa mendapat penghasilan setiap bulannya. Indira ingin merdeka secara finansial, dalam artian bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Sekarang hari Sabtu. Indira memulai harinya dengan mengisi Kartu Rencana Studi. Gadis itu duduk di ruang tengah, menghadap laptop yang baru dinyalakan. Masuk ke single sign on, kemudian memeriksa mata kuliah pilihan yang tersedia. Tak berselang lama, Edgar datang dari arah tangga. Baru saja