Sepulang kerja, Indira langsung memesan ojek online. Pergi menemui Kiran di rumahnya. Sudah cukup lama mereka tak berjumpa, bahkan komunikasi lewat chat saja sangat jarang, mengingat keduanya sama-sama sibuk dengan berbagai kegiatan. Indira mengikuti program paid internship selama liburan, sedangkan Kiran kerja part time di sebuah coffee shop. Sore ini Kiran sendirian di rumah, sebab orang tuanya sedang berada di Bandung. Tampaknya akan menginap di sana sampai dua hari ke depan. Kiran sedang menyiram tanaman di teras rumah ketika Indira datang bersama driver ojek. “Indira!” teriak Kiran. Indira segera turun dari motor sambil melepas helmnya, kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada sang driver. “Malam ini kamu nggak kerja, kan?” tanya Indira sambil melepas sepatunya, kemudian naik ke teras rumah. “Hari ini aku shift pagi, jadi malamnya free,” jawab Kiran. “Ah, maaf aku nggak bawa makanan. Habis keluar kantor langsung pesen ojek, lupa mampir beli jajan dulu.”“Nggak apa-apa, Nd
Bi Imah sudah kembali, mau tak mau Indira harus tidur di dalam kamar. Bersisian dengan Edgar di atas ranjang, membangun tembok dari tumpukan bantal sebagai pembatas wilayah. Indira tak mungkin tidur di ruang tengah lagi, karena Bi Imah pasti menceritakan kejadian itu kepada Papa Danu. Mengira Indira bertengkar hebat dengan Edgar sampai tak mau tidur sekamar. Alhasil, Indira kesulitan untuk terlelap. Hanya termenung, sesekali menghela napas sambil menatap ke arah jendela. Saat lewat tengah malam, Edgar tanpa sengaja melanggar batas. Tangannya mendarat di pinggang Indira, hingga gadis itu terkejut luar biasa. Tanpa ragu sedikit pun, Indira langsung memindahkan tangan Edgar dari pinggangnya. Sebab sentuhan yang terkesan intim itu membuatnya tak nyaman. Sejak detik itu pula, Indira tidak bisa tidur sampai pagi datang. Gadis itu turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Berjalan mengendap-endap meninggalkan kamar agar tak membangunkan sang suami. Rasanya lega luar biasa karena terbebas
Edgar dan Indira pergi ke super market bersama. Hendak membeli bahan-bahan untuk membuat kue, serta stok buah dan sayuran. Edgar mendorong troli, mengikuti tiap langkah yang diambil oleh Indira. Dua manusia itu layaknya sepasang pengantin baru yang sedang manis-manisnya. Dari luar terlihat sangat serasi, apalagi memakai baju yang warnanya senada. Edgar memakai kaus hitam, celana jeans, dan leather jacket. Indira memakai overall jeans yang dipadukan dengan atasan lengan panjang berwarna hitam. “Mas, boleh ambil tepung terigu yang satu kilogram?” tanya Indira. “Boleh, ambil yang banyak sekalian,” jawab Edgar. Indira mengambil tepung terigu, memasukkannya ke dalam troli. Ada dua kantung, masing-masing seberat satu kilogram. “Lagi, Indira. Ini masih terlalu sedikit,” kata Edgar. “Oh ya? Boleh ambil lagi?” sahut Indira. Tanpa ragu sedikit pun, Edgar menganggukkan kepala. Mau membeli tepung satu truk kontainer sekali pun, Edgar sanggup membayarnya. Indira berjinjit, mengambil satu k
“Pak, ada undangan dari Sutomo Group untuk acara peresmian kantor baru,” ucap Mila, memberi informasi perihal acara yang malam nanti harus Edgar hadiri. “Acaranya jam berapa, Mil?” tanya Edgar sambil menggulung lengan kemejanya, kemudian membuka toples berisi nastar buatan sang istri. “Acaranya dimulai jam tujuh, Pak.”“Thanks informasinya. Nanti saya langsung ke sana sepulang kerja.” “Jangan lupa bawa pasangan, Pak.”“Don’t worry about it. Sekarang saya punya pasangan yang bisa diajak menghadiri acara-acara penting.” Mila mengerutkan kening, berusaha untuk menerka-nerka makna di balik ucapan ambigu Edgar. Sikapnya akhir-akhir ini juga sangat aneh, kadang senyum-senyum sendiri saat menatap layar ponsel atau mengusap cincin di jari manisnya. Seolah sudah terkena mantra, hingga tergila-gila dengan seorang perempuan. Entah siapa mystery girl yang berhasil merebut hati Edgar. Sampai laki-laki itu jatuh dan terjungkal dengan sangat brutal. Edgar membuka ponselnya, mengetik pesan untu
Ini bukan pertama kalinya Indira mendampingi Edgar untuk menghadiri acara penting, tapi tetap saja jantungnya berdebar tak karuan. Indira turun dari mobil, lalu menggandeng tangan Edgar. Berusaha untuk tetap mempertahankan ekspresi datarnya, mengabaikan tatapan dari beberapa tamu yang mulai berdatangan. Edgar tersenyum, hatinya berbunga-bunga karena tangan Indira melingkar di lengan kanannya dengan mesra. Mereka berdua terlihat serasi ketika berdiri bersisian, seperti putra-putri dari keluarga crazy rich yang sudah dijodohkan sejak usia belia. Indira cantik sekali dalam balutan floral dress berwarna hitam. Rambutnya dicepol, wajahnya dirias dengan makeup tipis. Lehernya yang jenjang berhias kalung emas putih dengan bandul berbentuk bulan. “Kalau nggak nyaman, langsung bilang ya,” kata Edgar. Indira mengangguk pelan, “baik, Mas.” Mereka melewati lobi yang penuh dengan karangan bunga, kemudian masuk ke tempat acara. Cukup meriah, berhias dekorasi khas pesta. Para tamu yang datang
Dua minggu lagi, semester baru akan dimulai. Artinya, Indira harus mulai mempersiapkan diri agar bisa mengatur waktu sebaik-baiknya. Menyeimbangkan tanggung jawab di kampus dengan pekerjan di kantor. Total ada tiga mata kuliah pilihan yang diambil, plus proposal dan seminar. Selain fokus pada perkuliahan, Indira juga harus mulai membuat kerangka skripsi. Agar nantinya bisa segera mengajukan sinopsis penelitian. Indira ingin menyelesaikan pendidikannya dalam waktu tiga setengah tahun. Setelah itu, mencari pekerjaan tetap agar bisa mendapat penghasilan setiap bulannya. Indira ingin merdeka secara finansial, dalam artian bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Sekarang hari Sabtu. Indira memulai harinya dengan mengisi Kartu Rencana Studi. Gadis itu duduk di ruang tengah, menghadap laptop yang baru dinyalakan. Masuk ke single sign on, kemudian memeriksa mata kuliah pilihan yang tersedia. Tak berselang lama, Edgar datang dari arah tangga. Baru saja
Datang ke camping ground yang terletak di dataran tinggi memang sangat menyenangkan. Dipenuhi pepohonan hijau sejauh mata memandang, sinar matahari tak terasa terlalu terik, serta ada semilir angin yang terasa sejuk saat terkena permukaan kulit. Indira memilih spot yang menghadap ke arah pegunungan. Agar besok pagi bisa menikmati pemandangan sunrise yang cantik sambil menikmati secangkir kopi panas. Saat Indira akan mengeluarkan rangka tenda dari tas, Edgar langsung mencegahnya. “Biar saya yang pasang tenda. Kamu siapin makanan aja,” ujar Edgar. Indira tentu saja tak keberatan. Menyiapkan makanan adalah hal yang mudah, apalagi yang dimasak hanyalah mi instan dengan tambahan telur, sosis, dan sayuran. Pertama-tama, Indira memasang kompor portable. Memastikan apinya menyala dengan cukup baik. Lalu, sebuah panci yang telah diisi air diletakkan di atasnya, tunggu sampai mendidih. Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Penuhi paru-parunya dengan udara
Indira duduk di depan tenda, memutar musik dengan ponselnya. Sementara itu, Edgar menyalakan sebuah emergency lamp sebagai sumber cahaya. Ketika malam datang, udara yang berembus semakin terasa dingin. Untungnya Indira dan Edgar sama-sama membawa jaket untuk menghangatkan tubuh.Indira meletakkan panci di atas kompor portable, kemudian menuangkan air mineral ke dalamnya. Hendak merebus air untuk membuat kopi. Menunggu air mendidih sambil mendengarkan alunan musik. Edgar mengambil sebuah selimut dari dalam tenda, memasangkannya di bahu Indira. “Saya udah pakai jaket, Mas,” ujar Indira. “Biar tambah hangat,” jawab Edgar, kemudian duduk di kursi lipatnya. Indira hanya tersenyum, tatapannya tertuju pada panci yang penuh berisi air. Saat air telah mendidih, Indira lekas menuangkannya ke dalam cangkir yang telah diberi bubuk kopi dan sedikit gula pasir. Aroma kopi yang harum langsung menyeruak, rasanya seperti sedang berada di sebuah coffee shop. Indira memegang sendok logam untuk men