“Pak, ada undangan dari Sutomo Group untuk acara peresmian kantor baru,” ucap Mila, memberi informasi perihal acara yang malam nanti harus Edgar hadiri. “Acaranya jam berapa, Mil?” tanya Edgar sambil menggulung lengan kemejanya, kemudian membuka toples berisi nastar buatan sang istri. “Acaranya dimulai jam tujuh, Pak.”“Thanks informasinya. Nanti saya langsung ke sana sepulang kerja.” “Jangan lupa bawa pasangan, Pak.”“Don’t worry about it. Sekarang saya punya pasangan yang bisa diajak menghadiri acara-acara penting.” Mila mengerutkan kening, berusaha untuk menerka-nerka makna di balik ucapan ambigu Edgar. Sikapnya akhir-akhir ini juga sangat aneh, kadang senyum-senyum sendiri saat menatap layar ponsel atau mengusap cincin di jari manisnya. Seolah sudah terkena mantra, hingga tergila-gila dengan seorang perempuan. Entah siapa mystery girl yang berhasil merebut hati Edgar. Sampai laki-laki itu jatuh dan terjungkal dengan sangat brutal. Edgar membuka ponselnya, mengetik pesan untu
Ini bukan pertama kalinya Indira mendampingi Edgar untuk menghadiri acara penting, tapi tetap saja jantungnya berdebar tak karuan. Indira turun dari mobil, lalu menggandeng tangan Edgar. Berusaha untuk tetap mempertahankan ekspresi datarnya, mengabaikan tatapan dari beberapa tamu yang mulai berdatangan. Edgar tersenyum, hatinya berbunga-bunga karena tangan Indira melingkar di lengan kanannya dengan mesra. Mereka berdua terlihat serasi ketika berdiri bersisian, seperti putra-putri dari keluarga crazy rich yang sudah dijodohkan sejak usia belia. Indira cantik sekali dalam balutan floral dress berwarna hitam. Rambutnya dicepol, wajahnya dirias dengan makeup tipis. Lehernya yang jenjang berhias kalung emas putih dengan bandul berbentuk bulan. “Kalau nggak nyaman, langsung bilang ya,” kata Edgar. Indira mengangguk pelan, “baik, Mas.” Mereka melewati lobi yang penuh dengan karangan bunga, kemudian masuk ke tempat acara. Cukup meriah, berhias dekorasi khas pesta. Para tamu yang datang
Dua minggu lagi, semester baru akan dimulai. Artinya, Indira harus mulai mempersiapkan diri agar bisa mengatur waktu sebaik-baiknya. Menyeimbangkan tanggung jawab di kampus dengan pekerjan di kantor. Total ada tiga mata kuliah pilihan yang diambil, plus proposal dan seminar. Selain fokus pada perkuliahan, Indira juga harus mulai membuat kerangka skripsi. Agar nantinya bisa segera mengajukan sinopsis penelitian. Indira ingin menyelesaikan pendidikannya dalam waktu tiga setengah tahun. Setelah itu, mencari pekerjaan tetap agar bisa mendapat penghasilan setiap bulannya. Indira ingin merdeka secara finansial, dalam artian bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Sekarang hari Sabtu. Indira memulai harinya dengan mengisi Kartu Rencana Studi. Gadis itu duduk di ruang tengah, menghadap laptop yang baru dinyalakan. Masuk ke single sign on, kemudian memeriksa mata kuliah pilihan yang tersedia. Tak berselang lama, Edgar datang dari arah tangga. Baru saja
Datang ke camping ground yang terletak di dataran tinggi memang sangat menyenangkan. Dipenuhi pepohonan hijau sejauh mata memandang, sinar matahari tak terasa terlalu terik, serta ada semilir angin yang terasa sejuk saat terkena permukaan kulit. Indira memilih spot yang menghadap ke arah pegunungan. Agar besok pagi bisa menikmati pemandangan sunrise yang cantik sambil menikmati secangkir kopi panas. Saat Indira akan mengeluarkan rangka tenda dari tas, Edgar langsung mencegahnya. “Biar saya yang pasang tenda. Kamu siapin makanan aja,” ujar Edgar. Indira tentu saja tak keberatan. Menyiapkan makanan adalah hal yang mudah, apalagi yang dimasak hanyalah mi instan dengan tambahan telur, sosis, dan sayuran. Pertama-tama, Indira memasang kompor portable. Memastikan apinya menyala dengan cukup baik. Lalu, sebuah panci yang telah diisi air diletakkan di atasnya, tunggu sampai mendidih. Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Penuhi paru-parunya dengan udara
Indira duduk di depan tenda, memutar musik dengan ponselnya. Sementara itu, Edgar menyalakan sebuah emergency lamp sebagai sumber cahaya. Ketika malam datang, udara yang berembus semakin terasa dingin. Untungnya Indira dan Edgar sama-sama membawa jaket untuk menghangatkan tubuh.Indira meletakkan panci di atas kompor portable, kemudian menuangkan air mineral ke dalamnya. Hendak merebus air untuk membuat kopi. Menunggu air mendidih sambil mendengarkan alunan musik. Edgar mengambil sebuah selimut dari dalam tenda, memasangkannya di bahu Indira. “Saya udah pakai jaket, Mas,” ujar Indira. “Biar tambah hangat,” jawab Edgar, kemudian duduk di kursi lipatnya. Indira hanya tersenyum, tatapannya tertuju pada panci yang penuh berisi air. Saat air telah mendidih, Indira lekas menuangkannya ke dalam cangkir yang telah diberi bubuk kopi dan sedikit gula pasir. Aroma kopi yang harum langsung menyeruak, rasanya seperti sedang berada di sebuah coffee shop. Indira memegang sendok logam untuk men
Semalaman Edgar tak bisa terlelap. Sudah berusaha untuk memejamkan mata, tapi rasanya sulit sekali untuk terbang ke alam mimpi. Kalimat yang diucapkan oleh sang istri terus terngiang di telinganya. Sesekali Edgar menengok ke samping, menatap Indira yang sudah terlelap. Wajahnya begitu damai, bibir mungilnya terkatup rapat, kedua matanya terpejam. Gadis itu tampaknya sangat menyukai dinginnya camping ground, nyaman sekali berada di dalam sleeping bag sambil mendengarkan suara hewan-hewan malam. Menjelang dini hari, barulah Edgar bisa memejamkan mata. Menyudahi sesi overthinkingnya.Pukul setengah enam pagi, Indira bangun dari tidurnya. Pelan-pelan membuka sleeping bag, kemudian mengerjapkan kedua matanya yang masih sedikit berat. Tatapannya lantas tertuju pada Edgar yang masih tertidur lelap (tak terganggu sedikit pun dengan suara resleting yang baru dibuka). Indira merapatkan jaketnya, lalu pelan-pelan membuka tenda. Udara dingin langsung menyambut, membuat Indira meringis saat ka
Saat semester baru resmi dimulai, jadwal Indira semakin padat. Gadis itu harus pintar-pintar membagi waktu antara kuliah dan bekerja, sehingga segala kewajiban tetap bisa dijalankan dengan seimbang. Tersisa beberapa mata kuliah pilihan, sehingga Indira hanya berangkat ke kampus pada hari Selasa dan Rabu dari pukul setengah delapan pagi sampai setengah dua belas siang. Setelah itu, Indira harus berangkat ke kantor. Bukan hal yang mudah, tapi Indira sangat menikmati kesibukannya. Bahkan berencana untuk mengikuti program paid internship di perusahaan lain setelah kotrak tiga bulannya habis. Waktu luangnya jauh lebih bermanfaat jika dihabiskan untuk bekerja, daripada hanya duduk di rumah tanpa melakukan apa-apa. Justru Edgar yang uring-uringan, sebab tak bisa menghabiskan banyak waktu bersama Indira. Saat akhir pekan pun, Indira akan pergi ke perpustakaan kota untuk mengerjakan tugas atau menyusun proposal skripsi. Edgar kini duduk di ruang kerjanya, sedang memeriksa laporan proyek. La
Indira sedang dalam masa adaptasi dengan status barunya sebagai seorang istri. Tapi, setidaknya ia mulai terbiasa tidur seranjang bersama sang suami. Tentu saja dengan tumpukan bantal yang menjadi tembok pembatas di antara mereka. Indira selalu bangun lebih awal, bahkan ketika matahari belum sepenuhnya muncul ke permukaan. Gadis itu akan turun dari ranjang sebelum suaminya bangun, lalu berjalan meninggalkan lama sambil mengendap-endap agar tak menimbulkan suara. Langung pergi ke halaman belakang untuk menengok tanaman tomat dan cabainya yang mulai besar, serta membersihkan debu tipis yang menyelimuti daun-daun tanaman hias. Indira suka melihat dedaunan hijau saat pagi hari, apalagi jika ada tetesan embun yang menyelimuti permukaannya. Setidaknya, Indira tetap bisa menghirup udara segar meskipun tinggal di Ibukota yang sibuk dan penuh polusi. Gadis itu tersenyum kala menjumpai bunga pada tanaman tomatnya. Rupanya sudah mulai berbunga, tak lama lagi ia bisa menikmati tomat segar yan
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk