Edgar dan Indira pergi ke super market bersama. Hendak membeli bahan-bahan untuk membuat kue, serta stok buah dan sayuran. Edgar mendorong troli, mengikuti tiap langkah yang diambil oleh Indira. Dua manusia itu layaknya sepasang pengantin baru yang sedang manis-manisnya. Dari luar terlihat sangat serasi, apalagi memakai baju yang warnanya senada. Edgar memakai kaus hitam, celana jeans, dan leather jacket. Indira memakai overall jeans yang dipadukan dengan atasan lengan panjang berwarna hitam. “Mas, boleh ambil tepung terigu yang satu kilogram?” tanya Indira. “Boleh, ambil yang banyak sekalian,” jawab Edgar. Indira mengambil tepung terigu, memasukkannya ke dalam troli. Ada dua kantung, masing-masing seberat satu kilogram. “Lagi, Indira. Ini masih terlalu sedikit,” kata Edgar. “Oh ya? Boleh ambil lagi?” sahut Indira. Tanpa ragu sedikit pun, Edgar menganggukkan kepala. Mau membeli tepung satu truk kontainer sekali pun, Edgar sanggup membayarnya. Indira berjinjit, mengambil satu k
“Pak, ada undangan dari Sutomo Group untuk acara peresmian kantor baru,” ucap Mila, memberi informasi perihal acara yang malam nanti harus Edgar hadiri. “Acaranya jam berapa, Mil?” tanya Edgar sambil menggulung lengan kemejanya, kemudian membuka toples berisi nastar buatan sang istri. “Acaranya dimulai jam tujuh, Pak.”“Thanks informasinya. Nanti saya langsung ke sana sepulang kerja.” “Jangan lupa bawa pasangan, Pak.”“Don’t worry about it. Sekarang saya punya pasangan yang bisa diajak menghadiri acara-acara penting.” Mila mengerutkan kening, berusaha untuk menerka-nerka makna di balik ucapan ambigu Edgar. Sikapnya akhir-akhir ini juga sangat aneh, kadang senyum-senyum sendiri saat menatap layar ponsel atau mengusap cincin di jari manisnya. Seolah sudah terkena mantra, hingga tergila-gila dengan seorang perempuan. Entah siapa mystery girl yang berhasil merebut hati Edgar. Sampai laki-laki itu jatuh dan terjungkal dengan sangat brutal. Edgar membuka ponselnya, mengetik pesan untu
Ini bukan pertama kalinya Indira mendampingi Edgar untuk menghadiri acara penting, tapi tetap saja jantungnya berdebar tak karuan. Indira turun dari mobil, lalu menggandeng tangan Edgar. Berusaha untuk tetap mempertahankan ekspresi datarnya, mengabaikan tatapan dari beberapa tamu yang mulai berdatangan. Edgar tersenyum, hatinya berbunga-bunga karena tangan Indira melingkar di lengan kanannya dengan mesra. Mereka berdua terlihat serasi ketika berdiri bersisian, seperti putra-putri dari keluarga crazy rich yang sudah dijodohkan sejak usia belia. Indira cantik sekali dalam balutan floral dress berwarna hitam. Rambutnya dicepol, wajahnya dirias dengan makeup tipis. Lehernya yang jenjang berhias kalung emas putih dengan bandul berbentuk bulan. “Kalau nggak nyaman, langsung bilang ya,” kata Edgar. Indira mengangguk pelan, “baik, Mas.” Mereka melewati lobi yang penuh dengan karangan bunga, kemudian masuk ke tempat acara. Cukup meriah, berhias dekorasi khas pesta. Para tamu yang datang
Dua minggu lagi, semester baru akan dimulai. Artinya, Indira harus mulai mempersiapkan diri agar bisa mengatur waktu sebaik-baiknya. Menyeimbangkan tanggung jawab di kampus dengan pekerjan di kantor. Total ada tiga mata kuliah pilihan yang diambil, plus proposal dan seminar. Selain fokus pada perkuliahan, Indira juga harus mulai membuat kerangka skripsi. Agar nantinya bisa segera mengajukan sinopsis penelitian. Indira ingin menyelesaikan pendidikannya dalam waktu tiga setengah tahun. Setelah itu, mencari pekerjaan tetap agar bisa mendapat penghasilan setiap bulannya. Indira ingin merdeka secara finansial, dalam artian bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Sekarang hari Sabtu. Indira memulai harinya dengan mengisi Kartu Rencana Studi. Gadis itu duduk di ruang tengah, menghadap laptop yang baru dinyalakan. Masuk ke single sign on, kemudian memeriksa mata kuliah pilihan yang tersedia. Tak berselang lama, Edgar datang dari arah tangga. Baru saja
Datang ke camping ground yang terletak di dataran tinggi memang sangat menyenangkan. Dipenuhi pepohonan hijau sejauh mata memandang, sinar matahari tak terasa terlalu terik, serta ada semilir angin yang terasa sejuk saat terkena permukaan kulit. Indira memilih spot yang menghadap ke arah pegunungan. Agar besok pagi bisa menikmati pemandangan sunrise yang cantik sambil menikmati secangkir kopi panas. Saat Indira akan mengeluarkan rangka tenda dari tas, Edgar langsung mencegahnya. “Biar saya yang pasang tenda. Kamu siapin makanan aja,” ujar Edgar. Indira tentu saja tak keberatan. Menyiapkan makanan adalah hal yang mudah, apalagi yang dimasak hanyalah mi instan dengan tambahan telur, sosis, dan sayuran. Pertama-tama, Indira memasang kompor portable. Memastikan apinya menyala dengan cukup baik. Lalu, sebuah panci yang telah diisi air diletakkan di atasnya, tunggu sampai mendidih. Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Penuhi paru-parunya dengan udara
Indira duduk di depan tenda, memutar musik dengan ponselnya. Sementara itu, Edgar menyalakan sebuah emergency lamp sebagai sumber cahaya. Ketika malam datang, udara yang berembus semakin terasa dingin. Untungnya Indira dan Edgar sama-sama membawa jaket untuk menghangatkan tubuh.Indira meletakkan panci di atas kompor portable, kemudian menuangkan air mineral ke dalamnya. Hendak merebus air untuk membuat kopi. Menunggu air mendidih sambil mendengarkan alunan musik. Edgar mengambil sebuah selimut dari dalam tenda, memasangkannya di bahu Indira. “Saya udah pakai jaket, Mas,” ujar Indira. “Biar tambah hangat,” jawab Edgar, kemudian duduk di kursi lipatnya. Indira hanya tersenyum, tatapannya tertuju pada panci yang penuh berisi air. Saat air telah mendidih, Indira lekas menuangkannya ke dalam cangkir yang telah diberi bubuk kopi dan sedikit gula pasir. Aroma kopi yang harum langsung menyeruak, rasanya seperti sedang berada di sebuah coffee shop. Indira memegang sendok logam untuk men
Semalaman Edgar tak bisa terlelap. Sudah berusaha untuk memejamkan mata, tapi rasanya sulit sekali untuk terbang ke alam mimpi. Kalimat yang diucapkan oleh sang istri terus terngiang di telinganya. Sesekali Edgar menengok ke samping, menatap Indira yang sudah terlelap. Wajahnya begitu damai, bibir mungilnya terkatup rapat, kedua matanya terpejam. Gadis itu tampaknya sangat menyukai dinginnya camping ground, nyaman sekali berada di dalam sleeping bag sambil mendengarkan suara hewan-hewan malam. Menjelang dini hari, barulah Edgar bisa memejamkan mata. Menyudahi sesi overthinkingnya.Pukul setengah enam pagi, Indira bangun dari tidurnya. Pelan-pelan membuka sleeping bag, kemudian mengerjapkan kedua matanya yang masih sedikit berat. Tatapannya lantas tertuju pada Edgar yang masih tertidur lelap (tak terganggu sedikit pun dengan suara resleting yang baru dibuka). Indira merapatkan jaketnya, lalu pelan-pelan membuka tenda. Udara dingin langsung menyambut, membuat Indira meringis saat ka
Saat semester baru resmi dimulai, jadwal Indira semakin padat. Gadis itu harus pintar-pintar membagi waktu antara kuliah dan bekerja, sehingga segala kewajiban tetap bisa dijalankan dengan seimbang. Tersisa beberapa mata kuliah pilihan, sehingga Indira hanya berangkat ke kampus pada hari Selasa dan Rabu dari pukul setengah delapan pagi sampai setengah dua belas siang. Setelah itu, Indira harus berangkat ke kantor. Bukan hal yang mudah, tapi Indira sangat menikmati kesibukannya. Bahkan berencana untuk mengikuti program paid internship di perusahaan lain setelah kotrak tiga bulannya habis. Waktu luangnya jauh lebih bermanfaat jika dihabiskan untuk bekerja, daripada hanya duduk di rumah tanpa melakukan apa-apa. Justru Edgar yang uring-uringan, sebab tak bisa menghabiskan banyak waktu bersama Indira. Saat akhir pekan pun, Indira akan pergi ke perpustakaan kota untuk mengerjakan tugas atau menyusun proposal skripsi. Edgar kini duduk di ruang kerjanya, sedang memeriksa laporan proyek. La